BAGIAN PERTAMA: MORALITAS

BAGIAN PERTAMA: MORALITAS

1. Brahmajàla Sutta: Jaring Tertinggi (Apa yang Bukan Ajaran). Para bhikkhu menyaksikan pengembara Suppiya berdebat dengan muridnya tentang kualitas-kualitas Sang Buddha, Ajaran-Nya (Dhamma) dan para bhikkhu (Sangha). Sang Buddha mengajarkan kepada mereka agar tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan terhadap ajaran, dan menyatakan bahwa ‘orang-orang awam’ akan memuji-Nya karena alasan-alasan remeh dan bukan karena inti ajaran-Nya. Beliau menguraikan enam puluh dua jenis pandangan salah, yang semuanya berdasarkan pada kontak dari enam landasan-indria dengan objeknya masing-masing. Kontak mengondisikan keinginan, yang selanjutnya mengarah pada kemelekatan, pada penjelmaan (kembali), pada kelahiran, pada usia-tua dan kematian, dan segala jenis penderitaan. Tetapi Sang Tathàgata (Sang Buddha) telah melampaui semua ini, dan seluruh enam puluh dua pandangan ini terjebak dalam jaring ini.

2. Sàma¤¤aphala Sutta: Buah Kehidupan Tanpa Rumah. Raja Ajàtasattu dari Magadha, yang memperoleh tahtanya dengan membunuh ayahnya, menghadap Sang Buddha dengan sebuah pertanyaan yang telah ia ajukan dengan sia-sia kepada enam ‘guru’ saingan: Apakah buah, yang terlihat di sini dan saat ini

Rangkuman Tiga-puluh Empat Sutta liii (dalam kehidupan ini) dari kehidupan tanpa rumah? Sang Buddha

menjelaskan kepadanya, dan melanjutkan dengan penjelasan akan manfaat yang lebih tinggi, berbagai kondisi meditatif, dan akhirnya kebebasan sejati (bagian ini berulang pada sebelas Sutta berikutnya). Sang Raja, dengan sangat terkesan, menyatakan dirinya sebagai pengikut-awam. Sang Buddha kelak mengatakan kepada para bhikkhu bahwa jika tidak karena kejahatannya, Ajàtasattu akan sudah menjadi seorang pemenang-arus dengan ‘membuka mata- Dhamma.’

3. Ambaññha Sutta: Tentang Ambaññha (Merendahkan Kesombongan). Pokkharasàti, seorang guru Brahmana terkenal, mengutus muridnya, Ambaññha (yang dianggap sepenuhnya terpelajar dalam pengetahuan Brahmana) untuk membuktikan bahwa ‘Petapa Gotama’ adalah seorang manusia luar biasa seperti yang diberitakan (jika Beliau memiliki ‘tiga-puluh-dua tanda seorang manusia luar biasa’). Ambaññha, sombong akan kelahiran Brahmananya, berperilaku bodoh dan angkuh terhadap Sang Buddha, dan karenanya mengetahui satu dua hal mengenai leluhurnya sendiri, selain itu juga tersadar bahwa Khattiya (Kasta pejuang-mulia) adalah lebih superior daripada Brahmana. Dengan rendah hati, ia kembali ke Pokkharasàti, yang menjadi marah karena perbuatannya, dan tergesa-gesa menjumpai Sang Buddha, melihat bahwa Beliau sungguh memiliki tiga-puluh-dua tanda manusia luar biasa, dan menjadi beralih keyakinan.

4. Sonadaõóa Sutta: Tentang Sonadaõóa (Kualitas Brahmana Sejati). Brahmana Sonadaõóa dari Campà mengetahui kedatangan Petapa Gotama dan pergi menghadap Beliau, menentang nasihat para Brahmana lainnya yang menganggap hal itu akan menurunkan martabatnya. Sang Buddha bertanya kepadanya mengenai kualitas- kualitas seorang Brahmana sejati. Ia menyebutkan lima, tetapi dengan perumpamaan-perumpamaan yang diberikan oleh Sang Buddha, ia mengakui bahwa ini dapat dirangkum menjadi dua: kebijaksanaan dan moralitas. Ia menjadi beralih keyakinan, namun tidak mengalami ‘terbukanya mata-Dhamma’.

liv Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha

5. Kåñadanta Sutta: Tentang Kåñadanta (Pengorbanan Tanpa Darah). Brahmana Kåñadanta ingin melakukan pengorbanan besar dengan membunuh ratusan binatang. Ia memohon (tidak mungkin, seperti yang ditunjukkan oleh Rhys Davids!) Sang Buddha agar memberikan nasihat atas bagaimana hal tersebut dilakukan. Sang Buddha menceritakan kepadanya tentang kisah Raja masa lampau dan Brahmana kerajaan, yang melakukan secara simbolis, suatu pengorbanan tanpa darah. Kåñadanta duduk terdiam, di akhir kisah tersebut, setelah menyadari bahwa Sang Buddha tidak mengatakan: ‘Aku pernah mendengar ini’, dan Sang Buddha mengonfirmasi bahwa kisah itu adalah salah satu kisah kehidupan masa lampau- Nya, dengan demikian berarti ‘Kisah-kehidupan’ (Jàtaka). Sang Buddha selanjutnya menjelaskan tentang ‘pengorbanan yang lebih bermanfaat’, yaitu, yang bermanfaat lebih tinggi seperti pada Sutta

2. Kåñadanta melepaskan ratusan binatang yang ia rencanakan akan dibunuh, dengan berkata: ‘Beri binatang-binatang itu rumput untuk dimakan dan berikan air dingin untuk diminum, dan biarkan angin sejuk membelai mereka.’ Ia menjadi pengikut-awam, dan ‘mata- Dhamma yang murni dan tanpa-noda’ terbuka dalam dirinya.

6. Mahàli Sutta: Tentang Mahàli (Pemandangan Surgawi, Jiwa dan Badan). Oññhaddha (dengan nama keluarga Mahàli) seorang Licchavi bertanya kepada Sang Buddha mengenai mengapa beberapa orang tidak dapat mendengarkan ‘suara-suara surgawi’ dan seterusnya, yang dijelaskan oleh Sang Buddha bahwa hal tersebut adalah karena latihan ‘samàdhi satu sisi’ mereka. Pada bagian berikutnya, Sang Buddha menjelaskan bagaimana dua petapa, Maõóisa dan Jàliya, pernah bertanya kepada-Nya apakah jiwa atau prinsip kehidupan, adalah sama dengan badan, atau berbeda (Ini adalah satu dari ‘pertanyaan yang tidak terjawab’ yang disebutkan dalam Sutta 9). Sang Buddha mengatakan bahwa siapa pun yang telah mencapai pemahaman yang lebih tinggi tidak akan lagi terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan demikian.

7. Jàliya Sutta: Tentang Jàliya. Hanya mengulang bagian terakhir dari Sutta 6.

Rangkuman Tiga-puluh Empat Sutta lv

8. Mahàsihanàda Sutta: Khotbah Panjang Auman Singa juga disebut ‘Auman Singa kepada Kassapa’. Petapa telanjang Kassapa bertanya, benarkah bahwa Sang Buddha mencela segala bentuk praktik keras. Sang Buddha menyangkal hal ini, dan mengatakan bahwa seseorang harus membedakan. Kassapa menguraikan praktik- praktik standar (beberapa di antaranya agak menjijikkan), dan Sang Buddha mengatakan bahwa seseorang boleh saja melakukan hal ini, namun jika moralitas, hati, dan kebijaksanaannya tidak berkembang, maka ia masih jauh dari sebagai seorang petapa atau Brahmana (dalam pengertian sesungguhnya). Beliau sendiri telah mempraktikkan segala praktik keras, moralitas, dan kebijaksanaan yang mungkin dilakukan untuk mencapai kesempurnaan. Kassapa memohon penahbisan, dan segera, dengan latihan yang tekun, ia menjadi seorang Arahat.

9. Poññhapàda Sutta: Tentang Poññhapàda (Kondisi Kesadaran). Petapa Poññhapàda memberitahu Sang Buddha bahwa ia dan teman- temannya sedang memperdebatkan tentang ‘padamnya kesadaran yang lebih tinggi’, dan mencari pemecahan atas persoalan ini. Sang Buddha mengatakan bahwa mereka yang menganggap bahwa kondisi batin muncul dan lenyap secara kebetulan adalah keliru. Beliau menguraikan berbagai tingkat jhàna, menunjukkan bagaimana persepsi dapat ‘dikendalikan’. Poññhapàda mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar tentang hal ini sebelumnya. Diskusi berkembang pada berbagai jenis diri yang mungkin, yang semuanya dibantah oleh Sang Buddha, dan pada ‘pertanyaan- pertanyaan yang tidak terjawab’ dan alasan atas mengapa tidak terjawab. Citta, putra seorang pelatih-gajah, bergabung dalam diskusi tersebut, dan akhirnya, Citta menjadi seorang bhikkhu dan segara mencapai Kearahatan, sedangkan Poññhapàda menjadi seorang pengikut-awam. Dalam Sutta ini, pertama-tama kita menjumpai perumpamaan seorang laki-laki yang dikisahkan jatuh cinta pada seorang perempuan yang paling cantik di negeri tersebut, tanpa mengenal siapa dia dan bagaimana wajahnya.

10. Subha Sutta: Tentang Subha (Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan). Tidak lama setelah Sang Buddha meninggal 10. Subha Sutta: Tentang Subha (Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan). Tidak lama setelah Sang Buddha meninggal

kebijaksanaan Ariya (seperti pada Sutta 2) kepada Brahmana muda Subha, yang menjadi seorang pengikut-awam.

11. Kevaddha Sutta: Tentang Kevaddha (Apa yang Tidak Diketahui Brahmà). Kevaddha mendesak Sang Buddha agar memperlihatkan kesaktian untuk memperkuat keyakinan orang-orang. Sang Buddha menolak, dengan mengatakan bahwa satu-satunya kesaktian yang Beliau benarkan adalah ‘kesaktian nasihat’. Beliau menceritakan kisah seorang bhikkhu yang ingin mengetahui ‘di mana empat unsur utama lenyap tanpa sisa’. Dengan kekuatan psikis, ia naik ke alam surga, namun tidak ada yang mampu menjawabnya -- bahkan Maha Brahmà, yang menyarankan agar ia kembali dan bertanya kepada Sang Buddha.

12. Lohicca Sutta: Tentang Lohicca (Guru yang Baik dan yang Buruk). Lohicca memiliki suatu pandangan buruk bahwa jika seseorang menemukan suatu ajaran baru, ia harus menyimpannya sendiri. Sang Buddha meluruskannya dan menjelaskan perbedaan antara guru yang baik dan yang buruk.

13. Tevijja Sutta: Tiga Pengetahuan (Jalan Menuju Brahmà). Dua Brahmana muda bingung karena guru-guru yang berbeda-beda mengajarkan cara yang berbeda-beda untuk mencapai alam (atau bergabung dengan) Brahmà, yang bagi mereka adalah tujuan tertinggi. Sang Buddha membuat mereka mengakui bahwa tidak satu pun dari guru-guru mereka, atau bahkan mereka yang menjadi asal-mula ajaran mereka, pernah melihat Brahmà secara langsung, kemudian mengajarkan Bramavihàra kepada mereka, yang mengarah pada tujuan tersebut -- yang tentu saja bukan, tujuan dari Ajaran Buddha.