Kemegahan Agung Pelepasan Keduniawian Seorang Raja **********

Kemegahan Agung Pelepasan Keduniawian Seorang Raja **********

[169] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. 454 Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang menetap di Kusinàrà di hutan-sàl milik para Malla, menjelang Nibbàna akhirnya di bawah pohon-sàl kembar.

1.2. Yang Mulia ânanda mendatangi Sang Bhagavà, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavà, sudilah Bhagavà tidak wafat di kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Bhagavà, ada kota-kota besar lainnya seperti Campà, Ràjagaha, Savatthi, Sàketa, Kosambi, atau Vàràõasã. Di tempat-tempat itu, ada para Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga kaya yang penuh pengabdian kepada Sang Tathàgata, dan mereka akan melakukan pemakaman yang layak untuk Sang Tathàgata.’

1.3. ‘ânanda, jangan menyebut tempat ini kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Suatu ketika, ânanda, Raja Mahàsudassana 455 adalah seorang raja pemutar- roda, raja yang adil dan jujur, yang telah menaklukkan wilayah di empat penjuru dan memastikan keamanan wilayahnya. [170] Dan Raja Mahàsudassana ini membangun Kusinàrà ini, dengan nama Kusàvatã, sebagai ibu kota kerajaannya. Dan luasnya dua belas

262 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta yojana dari timur ke barat, dan tujuh yojana dari utara ke selatan.

Kusàvatã adalah negeri yang kaya, makmur, dan berpenduduk banyak, ramai oleh penduduk dan memiliki banyak persediaan makanan. Bagaikan kota dewa âëakamandà yang kaya … (seperti Sutta 16, paragraf 5.18), demikian pula kota kerajaan Kusàvatã. Dan kota Kusàvatã tidak pernah sepi dari sepuluh suara siang dan malam: suara gajah, kuda, kereta, genderang-bernada, genderang- samping, kecapi, nyanyian, simbal dan gong, dan teriakan, “Makan, minum dan bergembiralah” sebagai yang ke sepuluh.’

1.4. ‘Ibu kota Kusàvatã dikelilingi oleh tujuh tembok. Satu dari emas, satu perak, satu beryl, satu kristal, satu dari batu delima, satu dari jamrud, dan satu dari berbagai jenis permata.’

1.5. ‘Dan gerbang-gerbang Kusàvatã berwarna empat: satu emas, satu perak, satu beryl, satu kristal. [171] Dan di depan tiap-tiap gerbang terdapat tujuh pilar, setinggi tiga atau empat manusia. Satu dari emas, satu perak, satu beryl, satu kristal, satu dari ruby, satu dari jamrud, dan satu dari berbagai jenis permata.’

1.6. ‘Kusàvatã dikelilingi oleh tujuh baris pohon palem, dari bahan yang sama. Pohon emas, berbatang emas dengan daun dan buah perak, pohon perak berbatang perak, dengan daun dan buah emas, pohon beryl berbatang beryl, dengan daun dan buah kristal, pohon kristal berbatang kristal, dengan daun dan buah beryl, pohon ruby berbatang ruby, dengan daun dan buah jamrud, pohon jamrud berbatang jamrud, dengan daun dan buah ruby, sedangkan pohon dari berbagai jenis permata adalah sama sehubungan dengan batang, daun dan buah. Suara dedaunan yang ditiup angin menimbulkan bunyi yang merdu, menyenangkan, indah, dan memabukkan, bagaikan suara dari lima jenis alat musik 456 yang dimainkan dalam sebuah konser oleh para pemain ahli dan terlatih. [172] Dan ânanda, mereka yang terbebas dari perbudakan dan para pemabuk di Kusàvatã, terpuaskan keinginannya oleh suara dari dedaunan yang tertiup angin. 457 ’

1.7. ‘Raja Mahàsudassana memiliki tujuh pusaka dan empat ciri.

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 263 Apakah tujuh itu? Suatu ketika, pada hari Uposatha tanggal lima

belas, 458 ketika Raja telah membasuh kepalanya dan naik ke teras atas istananya untuk menjalankan hari Uposatha, Pusaka-Roda surgawi 459 muncul di hadapannya, berjari-jari seribu, lengkap dengan lingkaran, sumbu, dan segala hiasannya. Melihatnya, Raja Mahàsudassana berpikir: “Aku telah mendengar bahwa seorang Raja Khattiya yang sah ketika melihat roda seperti ini pada hari Uposatha tanggal lima belas, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda. Semoga aku menjadi raja demikian!”’

1.8. ‘Kemudian, bangkit dari duduknya, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, Raja mengambil kendi emas dengan tangan kirinya, memercikkan air ke roda itu dengan tangan kanannya, dan berkata: “Semoga Pusaka-Roda mulia berputar, semoga Pusaka-Roda mulia menaklukkan!” Roda itu bergerak ke timur, dan Raja Mahàsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya. 460 Dan di negeri mana pun [173] Roda itu berhenti, Raja menetap di sana bersama empat barisan bala tentaranya.’

1.9. ‘Dan raja-raja di wilayah timur datang menghadapnya dan berkata: “Selamat datang, Baginda, Selamat datang! Kami adalah milikmu, Baginda, perintahlah kami, Baginda!” Dan Sang Raja berkata: “Jangan membunuh. Jangan mengambil apa yang tidak diberikan. Jangan melakukan hubungan seksual yang salah. Jangan berbohong. Jangan meminum minuman keras. Makanlah secukupnya.” 461 Dan mereka yang melawannya di wilayah timur menjadi taklukannya.’

1.10. ‘Dan ketika Roda itu menyelam ke laut timur, keluar dari air dan berbelok ke selatan, dan Raja Mahàsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya … menjadi taklukannya. Setelah menyelam ke dalam laut selatan, Roda itu berbelok ke barat …, setelah menyelam ke dalam laut barat, Roda itu berbelok ke utara dan Raja Mahàsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya … [174] dan raja-raja yang melawannya di wilayah utara menjadi taklukannya.’

264 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta

1.11. ‘Kemudian Pusaka-Roda, setelah menaklukkan wilayah- wilayah dari laut ke laut, kembali ke ibu kota Kusàvatã dan berhenti di depan istana raja ketika Raja sedang memimpin persidangan, 462 seolah-olah menghias istana kerajaan. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Roda muncul di depan Raja Mahàsudassana.’

1.12. ‘Kemudian Pusaka-Gajah muncul di depan Raja Mahàsudassana, putih bersih, 463 memiliki tujuh kekuatan, dengan kekuatan menakjubkan dalam hal melakukan perjalanan melalui angkasa, seekor gajah kerajaan yang diberi nama Uposatha. 464 Melihatnya, Raja berpikir: “Seekor gajah tunggangan yang indah, seandainya aku dapat menjinakkannya!” Dan Pusaka-Gajah ini menyerah untuk dikendalikan bagaikan seekor kuda berdarah murni yang telah lama dilatih. Dan suatu ketika, Sang Raja, mencobanya, menunggang gajah itu pada dini hari dan mengendarainya dari laut ke laut, kembali ke Kusàvatī tepat pada waktu makan pagi. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Gajah muncul di depan Raja Mahàsudassana.’

1.13. ‘Kemudian Pusaka-Kuda muncul di depan Raja Mahàsudassana, berkepala gagak, 465 bersurai hitam, dengan kekuatan menakjubkan dalam hal melakukan perjalanan melalui angkasa, seekor kuda kerajaan yang diberi nama Valàhaka. 466 Dan Raja berpikir: “Seekor tunggangan yang menakjubkan, seandainya aku dapat menjinakkannya!” Dan [175] Pusaka-Kuda ini menyerah untuk dikendalikan bagaikan seekor kuda berdarah murni yang telah lama dilatih …. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Kuda muncul di depan Raja Mahàsudassana.’

1.14. ‘Kemudian Pusaka-Permata muncul di depan Raja Mahàsudassana. Permata itu adalah beryl, murni, indah, dipotong dengan sempurna dalam delapan sisi, jernih, cemerlang, sempurna dalam segala aspek, kilauan dari permata ini bersinar hingga radius satu yojana. Dan ketika Raja mencobanya, melakukan manuver- malam pada malam yang gelap bersama empat barisan bala- tentaranya, dengan Pusaka-Permata terpasang di puncak panjinya. Dan semua orang yang tinggal di desa di sekitar sana mulai bekerja

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 265 karena berpikir hari sudah siang. Dan demikianlah bagaimana

Pusaka-Permata muncul di depan Raja Mahàsudassana.’

1.15. ‘Kemudian Pusaka-Perempuan muncul di depan Raja Mahàsudassana, elok, rupawan, menarik, dengan kulit seperti bunga teratai, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk, tidak terlalu gelap dan tidak terlalu cerah, kecantikannya melampaui kecantikan manusia, menyerupai kecantikan dewa. Dan sentuhan kulit Permata-Perempuan itu bagaikan sentuhan kapas atau sutra, dan anggota badannya sejuk di saat panas dan hangat di saat dingin. Aroma tubuhnya berbau cendana dan mulutnya berbau bunga teratai. Permata-Perempuan ini bangun sebelum Raja [176] dan tidur setelah Raja, dan selalu bersedia melakukan apa pun demi kesenangan Raja, dan gaya bahasanya memikat. Dan Permata-Perempuan ini selalu setia kepada Raja, bahkan dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Perempuan muncul di depan Raja Mahàsudassana.’ 467

1.16. ‘Kemudian Pusaka-Perumah tangga muncul di depan Raja Mahàsudassana. Dengan mata-batinnya yang, sebagai akibat dari kamma, ia miliki, 468 ia melihat harta tersembunyi, yang ada pemiliknya atau pun yang tidak ada pemiliknya. Ia mendatangi Raja dan berkata: “Jangan khawatir, Baginda, aku akan menjaga harta kekayaanmu.” Dan suatu ketika, Sang Raja, mengujinya, menaikkannya ke perahu dan membawanya ke tengah arus sungai Gangga. Kemudian ia berkata kepada si Permata-Perumah tangga: “Perumah tangga, aku menginginkan kepingan uang emas!” “Baiklah, Baginda, menepilah.” “Aku menginginkan keping uang emas di sini!” Kemudian si perumah tangga menyentuh air dengan kedua tangannya dan menarik keluar sebuah kendi yang penuh dengan keping-kepingan uang emas, dan berkata: “Apakah ini cukup, Baginda?” dan Raja berkata: “Itu cukup, perumah tangga, engkau telah melayaniku dengan baik.” [177] Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Perumah tangga muncul di depan Raja Mahàsudassana.’

266 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta

1.17. ‘Kemudian Pusaka-Penasihat muncul di depan Raja Mahàsudassana. Ia bijaksana, berpengalaman, cerdas, dan kompeten dalam menasihati Raja mengenai bagaimana melakukan apa yang harus dilakukan, dan untuk membatalkan apa yang harus dibatalkan, dan untuk mengabaikan apa yang harus diabaikan. 469 Ia mendatangi Raja dan berkata: “Jangan khawatir, Baginda, aku akan menasihati engkau.” Dan demikianlah bagaimana Pusaka- Penasihat muncul di depan Raja Mahàsudassana, dan bagaimana ia dilengkapi dengan tujuh pusaka ini.’

1.18. ‘Dan lagi, ânanda, Raja Mahàsudassana memiliki empat ciri. 470 Apakah itu? Pertama, Raja tampan, indah dipandang, menyenangkan, dengan kulit menyerupai teratai terbaik, melampaui semua orang lain.’

1.19. ‘Ke dua, ia berumur panjang, melampaui semua orang lain.’

1.20. ‘Ke tiga, ia bebas dari penyakit, memiliki pencernaan yang sehat, lebih jarang mengalami kedinginan dan kepanasan dibandingkan orang-orang lain.’ 471 [178]

1.21. ‘Ke empat, ia disayang oleh para Brahmana dan perumah tangga. Bagaikan seorang ayah yang disayangi oleh anak-anaknya, demikian pula ia dengan para Brahmana dan perumah tangga. Dan mereka disayangi oleh Raja bagaikan anak-anak disayang oleh ayah mereka. Suatu ketika, Raja pergi ke taman-rekreasi bersama empat barisan bala-tentaranya, dan para Brahmana dan perumah tangga mendatanginya dan berkata: “Berjalanlah pelan-pelan, Baginda, agar kami dapat melihatmu selama mungkin!” dan Raja berkata kepada kusirnya: “Berkendaralah pelan-pelan agar aku dapat melihat para Brahmana dan perumah tangga ini selama mungkin.” Demikianlah Raja Mahàsudassana memiliki empat ciri ini.’

1.22. ‘Kemudian Raja Mahàsudassana berpikir: “Bagaimana jika aku membuat kolam-kolam teratai di antara pohon-pohon palem, satu sama lain berjarak seratus busur. 472 ” Dan ia melakukan hal itu. Kolam-kolam teratai itu berlantai ubin empat warna, emas,

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 267 perak, beryl, dan kristal. Masing-masing kolam dapat dicapai

menggunakan empat tangga, satu emas, satu perak, satu beryl, dan satu kristal. Dan tangga emas memiliki tiang dari emas [179] dengan pegangan dan sandaran dari perak. Dan tangga perak memiliki tiang dari perak dengan pegangan dan sandaran dari emas, dan seterusnya. Dan kolam-kolam teratai itu dilengkapi dengan dua jenis pagar, emas dan perak – pagar emas memiliki tiang emas, pegangan dan sandaran dari perak, dan pagar perak memiliki pegangan dan sandaran dari emas.’

1.23. ‘Kemudian Raja berpikir: “Bagaimana jika aku menanam di masing-masing kolam berbagai jenis [bunga] yang cocok untuk membuat karangan bunga 473 - bunga teratai biru, kuning, merah, dan putih yang dapat tetap mekar di segala musim tanpa layu?” Dan ia melakukannya. Kemudian ia berpikir: “Bagaimana jika aku menempatkan para petugas mandi di tepi kolam ini untuk memandikan mereka yang datang ke sini?” Dan ia melakukannya. Kemudian ia berpikir “Bagaimana jika aku membuat meja persembahan di tepi kolam ini agar mereka yang ingin makan dapat memperolehnya, mereka yang ingin minum dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan pakaian dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan transportasi dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan tempat tidur dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan seorang istri dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan kepingan uang emas dapat memperolehnya?” [180] Dan ia melakukan hal-hal itu.’

1.24. ‘Kemudian para Brahmana dan perumah tangga membawa banyak harta dan mendatangi Raja, berkata: “Baginda, ini adalah harta yang telah kami kumpulkan bersama khusus untuk Baginda, terimalah!” “Terima kasih, Teman-teman, tetapi aku telah memiliki cukup kekayaan dari penghasilan yang sah. Biarlah ini menjadi milik kalian, dan selain itu, ambillah lebih banyak lagi!” Karena ditolak oleh Raja, mereka menarik diri ke satu sisi dan berdiskusi: “Tidaklah benar jika kita membawa pulang harta ini. Bagaimana jika kita membangun tempat tinggal untuk Raja Mahàsudassana.” Maka mereka mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, kami akan

268 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta membangunkan tempat tinggal untukmu,” dan Raja menerimanya

dengan berdiam diri.’

1.25. ‘Kemudian, Sakka, Raja para dewa, mengetahui pikiran Raja Mahàsudassana dalam batinnya, berkata kepada pelayannya, Dewa Vissakamma: 474 “Mari, teman Vissakamma, dan bangunlah sebuah tempat tinggal untuk Raja Mahàsudassana.” “Baik, Baginda,” jawab [181] Vissakamma dan, secepat seorang kuat merentangkan tangannya atau melipatnya lagi, ia seketika lenyap dari alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa dan muncul kembali di hadapan Raja Mahàsudassana, dan berkata kepadanya: “Baginda, aku akan membangunkan sebuah tempat tinggal untukmu, sebuah istana yang bernama Dhamma.” Raja menerimanya dengan berdiam diri, dan Vissakamma membangunkan untuknya Istana Dhamma.’

1.26. ‘Istana Dhamma, ânanda, panjangnya satu yojana dari timur ke barat, dan setengah yojana lebarnya dari utara ke selatan. Keseluruhan istana itu tingginya tiga kali tinggi manusia dengan lantai empat warna, emas, perak, beryl, dan kristal, dan terdiri dari delapan puluh empat ribu tiang dengan empat warna yang sama. Memiliki dua puluh empat tangga dengan empat warna yang sama. Dan tangga emas memiliki tiang dari emas dengan pegangan dan sandaran dari perak …. (seperti paragraf 23). [182] Istana ini juga memiliki delapan puluh empat ribu kamar dengan warna-warni yang sama. Dalam kamar emas terdapat ranjang perak, dalam kamar perak terdapat ranjang emas, dalam kamar beryl terdapat ranjang gading, dan di dalam kamar kristal terdapat ranjang cendana. Di pintu kamar emas terukir gambar pohon palem perak, dengan tangkai perak, daun dan buah emas .... Di pintu kamar perak terukir gambar pohon palem emas, dengan batang, daun dan buah dari emas, di pintu kamar beryl terukir gambar pohon palem kristal, dengan batang kristal, dan daun dan buah beryl, di pintu kamar kristal terukir gambar pohon palem beryl, dengan daun dan buah kristal.’

1.27. ‘Kemudian Raja berpikir: “Bagaimana jika aku membuat hutan pohon palem yang seluruhnya terbuat dari emas di depan pintu

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 269 kamar besar beratap segitiga di mana aku duduk di siang hari?”

dan ia melakukannya.’

1.28. ‘Di sekeliling istana Dhamma terdapat dua pagar, [183] satu terbuat dari emas, satu dari perak. Pagar emas memiliki tiang-tiang dari emas, pegangan dan sandaran dari perak, dan pagar perak memiliki tiang-tiang dari perak, pegangan dan sandaran dari emas.’

1.29. ‘Istana Dhamma dikelilingi oleh dua jaring lonceng. Satu jaring terbuat dari emas dengan lonceng perak, dan yang lainnya terbuat dari perak dengan lonceng emas. Dan ketika jaring-jaring lonceng ini tertiup angin, suaranya merdu, menyenangkan, indah, dan memabukkan, bagaikan suara dari lima jenis alat musik yang dimainkan dalam sebuah konser oleh para pemain ahli dan terlatih. Dan mereka yang terbebas dari perbudakan dan para pemabuk di Kusàvatī terpuaskan keinginannya oleh suara dari jaring-jaring lonceng yang tertiup angin itu.’

1.30. ‘Dan ketika Istana Dhamma telah selesai, istana itu sulit dilihat, menyilaukan mata, bagaikan di akhir musim hujan, di musim gugur, ketika langit bersih dan tanpa awan, matahari yang menembus kabut adalah sulit dilihat, [184] demikian pula Istana Dhamma setelah selesai dibangun.’

1.31. ‘Kemudian Raja berpikir: “Bagaimana jika aku membuat danau- teratai yang diberi nama Dhamma di depan Istana Dhamma?” dan ia melakukannya. Danau ini satu yojana panjangnya dari timur ke barat, dan setengah yojana lebarnya dari utara ke selatan, dan berlantai empat jenis ubin, emas, perak, beryl, dan kristal. Terdapat dua puluh empat tangga menuju danau ini terbuat dari bahan yang berbeda-beda: emas, perak, beryl, dan kristal. Tangga emas memiliki tiang emas dengan pegangan dan sandaran perak, tangga perak dengan pegangan dan sandaran emas … (dan seterusnya seperti paragraf 22).’

1.32. ‘Danau Dhamma dikelilingi oleh tujuh jenis pohon palem.

270 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta Suara dedaunan yang ditiup angin menimbulkan bunyi yang

merdu, menyenangkan, indah, dan memabukkan, bagaikan suara dari lima jenis alat musik yang dimainkan dalam sebuah konser oleh para pemain ahli dan terlatih. Dan, ânanda, mereka yang terbebas dari perbudakan dan para pemabuk di Kusàvatã terpuaskan keinginannya oleh suara dari dedaunan yang tertiup angin.’ [185]

1.33. ‘Ketika Istana Dhamma dan Danau Dhamma selesai, Raja Mahàsudassana, setelah memuaskan semua keinginan dari mereka yang pada saat itu adalah para petapa dan Brahmana, atau memberikan penghormatan, ia naik ke Istana Dhamma.’

[Akhir dari bagian pembacaan pertama]

2.1. ‘Kemudian Raja Mahàsudassana berpikir: “Dari kamma apakah ini berbuah, dari kamma apakah ini berakibat, sehingga aku sekarang begitu kuat dan berkuasa?” [186] Kemudian ia berpikir: “Ini adalah buah, akibat dari tiga jenis kamma: memberi, pengendalian-diri, dan penghindaran.”’’ 475

2.2. ‘Kemudian Raja pergi ke kamar besar beratap segitiga dan, berdiri di pintu, berseru: “Semoga pikiran nafsu lenyap! semoga pikiran kebencian lenyap! Semoga pikiran kekejaman lenyap! Sedemikian jauh dan tidak ada lagi pikiran nafsu, kebencian, kekejaman!”’

2.3. ‘Kemudian Raja masuk ke kamar besar beratap segitiga, duduk bersila di atas bantal emas dan, terlepas dari segala kenikmatan- indria, terlepas dari kondisi batin yang jahat, masuk dan berdiam dalam jhàna pertama, yang disertai dengan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang muncul dari ketidakterikatan, dipenuhi oleh kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan menyingkirkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan mencapai ketenangan di dalam dan keterpusatan-pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhàna ke dua, yang tanpa awal-pikiran dan tanpa kelangsungan-pikiran, yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan memudarnya

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 271 kegembiraan, berdiam dalam keadaan tanpa-gangguan, penuh

perhatian dan berkesadaran jernih, ia mengalami dalam dirinya apa yang oleh Para Mulia dikatakan: “Berbahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian,” ia masuk dan berdiam dalam jhàna ke tiga. Dan, setelah melepaskan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia masuk dan berdiam dalam jhàna ke empat yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian.’

2.4. ‘Kemudian Raja, keluar dari kamar besar beratap segitiga, pergi ke kamar emas beratap segitiga dan, duduk bersila di atas bantal perak, berdiam dengan memancarkan cinta kasih ke satu arah kemudian arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikianlah ia berdiam, memancarkan pikiran cinta-kasih ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, ke segala tempat, selalu dengan pikiran yang penuh dengan cinta-kasih, berlimpah, membesar, tanpa batas, tanpa kebencian atau permusuhan, dan ia melakukan hal yang sama untuk pikiran belas-kasihan, kegembiraan simpatik, dan keseimbangan.’ 476

2.5. ‘Dari delapan puluh empat ribu kota yang dikuasai oleh Raja Mahàsudassana, 477 ibu kota Kusàvatã adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu istana, Istana Dhamma adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu aula beratap segitiga, kamar besar beratap segitiga adalah yang utama; delapan puluh empat ribu bantalnya terbuat dari emas, perak, gading, cendana, ditutupi oleh selimut bulu domba, wol, berselimutkan bulu dari kulit rusa-kadali, dengan penutup kepala, dengan bantal merah di kedua ujungnya; dari delapan puluh empat ribu ekor gajahnya yang dihias dengan spanduk emas dan ditutupi dengan jaring emas, Gajah Uposatha adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu keretanya yang ditutup dengan kulit singa, kulit-macan, kulit-macan tutul, atau kain berwarna jingga, dihias dengan perhiasan emas, spanduk emas, dan selimut dengan jaring emas, Kereta Vejayanta 478 adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu permatanya, Pusaka- Permata adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu istrinya,

272 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta Ratu Subhaddà 479 adalah yang utama; [188] dari delapan puluh

empat ribu perumah tangga, Pusaka-Perumah tangga adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu pelayan Khattiya, Pusaka- Penasihat adalah yang utama; delapan puluh empat ribu sapinya tertambat dengan tali rami dan ember susu (?) terbuat dari perak; 480 delapan puluh empat ribu gulung kain terbuat dari rami, kapas, dan wol terbaik; delapan puluh empat ribu persembahan nasi tersedia untuk diambil oleh mereka yang membutuhkan, siang dan malam.’

2.6. ‘Dan pada saat itu, Delapan puluh empat ribu gajah milik Raja Mahàsudassana melayaninya siang dan malam. Dan ia berpikir: “Delapan puluh empat ribu ekor gajah ini melayaniku siang dan malam. Bagaimana jika, setiap akhir abad, empat puluh dua ribu gajah melayaniku bergantian?” Dan ia memberikan instruksi kepada Pusaka-Penasihatnya, [189] dan demikianlah hal itu dilakukan.’

2.7. ‘Dan, ânanda, setelah beberapa ratus, beberapa ribu tahun berlalu, Ratu Subhaddà berpikir: “Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat Raja Mahàsudassana. Bagaimana jika aku melihatnya?” Maka ia berkata kepada para perempuan: “Marilah, basuh kepala kalian dan kenakan pakaian bersih. Sudah lama sejak terakhir kali kita melihat Raja Mahàsudassana. Kita akan pergi melihatnya.” “Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab, dan mempersiapkan diri sesuai apa yang diperintahkan, kemudian kembali menghadap Ratu. Dan Ratu Subhaddà berkata kepada Pusaka-Penasihat: “Sahabat Penasihat, siapkan empat barisan bala tentara. Sudah lama sejak terakhir kali kita melihat Raja Mahàsudassana. Kita akan pergi melihatnya.” “Baiklah, Yang Mulia,” jawab Pusaka-Penasihat dan, setelah mempersiapkan empat barisan bala tentara, ia melapor kepada Ratu: “Sekarang adalah saatnya untuk melakukan apa yang engkau inginkan.”’ [190]

2.8. ‘Kemudian Ratu Subhaddà pergi bersama empat barisan bala tentara dan para perempuan menuju Istana Dhamma dan, masuk menuju kamar besar beratap segitiga dan berdiri bersandar pada tiang pintu. Dan Raja Mahàsudassana, berpikir: “Ada apakah

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 273 keributan ini, seperti kerumunan besar orang?” Keluar ke pintu

dan melihat Ratu Subhaddà bersandar pada tiang pintu. Dan ia berkata: “Tetap di sana, Ratu! Jangan masuk!”’

2.9. ‘Kemudian Raja Mahàsudassana berkata kepada pelayannya: “Ke sini, Teman, pergilah ke kamar besar beratap segitiga, ambilkan kasur emas dan hamparkan di antara pohon-pohon palem emas.” “Baik, Baginda,” jawab orang itu, dan melakukan sesuai perintah. Kemudian Raja Mahàsudassana berbaring ke arah kanan menyerupai posisi singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan berkesadaran jernih.’ 481

2.10. ‘Kemudian Ratu Subhaddà berpikir: “Indria-indria Raja Mahàsudassana murni, kulitnya bersih dan cemerlang, oh – aku harap ia tidak mati!” 482 Maka ia berkata kepada Raja: “Baginda, dari delapan puluh empat ribu kota, Kusàvatī adalah yang utama. Bertekadlah, munculkan keinginan untuk hidup menetap di sana!” Demikianlah, mengingatkannya akan segala harta kerajaan (seperti paragraf 5), ia menasihatinya agar memunculkan keinginan untuk terus hidup. ’ [191] [192]

2.11. ‘Mendengar kata-kata ini, Raja Mahàsudassana berkata kepada Sang Ratu: “Sejak lama, Ratu, engkau selalu mengucapkan kata-kata indah, menyenangkan, menarik kepadaku, tetapi sekarang pada saat-saat terakhir ini, kata-katamu tidak indah, tidak menyenangkan, dan tidak menarik bagiku.” “Baginda, bagaimanakah seharusnya aku berbicara kepadamu?”’

‘Beginilah seharusnya engkau berbicara: “Segala sesuatu yang menyenangkan dan menarik pasti mengalami perubahan, lenyap, menjadi kebalikannya. Jangan, Baginda, meninggal dunia dengan penuh keinginan. Meninggal dengan penuh keinginan adalah menyakitkan dan tercela. Dari delapan puluh empat ribu kota milikmu, Kusàvatī adalah yang utama: lepaskanlah nafsu, lepaskanlah keinginan untuk hidup di dalamnya … dari delapan puluh empat ribu istana, Dhamma adalah yang utama: lepaskanlah nafsu, lepaskanlah keinginan untuk hidup di dalamnya … (dan

274 D฀ãgha Nikà฀ya 17: Mahàsudassana Sutta

2.12. ‘Mendengar kata-kata ini, Ratu Subhaddà menangis dan mengucurkan air mata. Kemudian, setelah menghapus air matanya, ia berkata: “Baginda, segala sesuatu yang menyenangkan dan menarik pasti mengalami perubahan … jangan, Baginda, meninggal dunia dengan penuh keinginan ….”’ [195]

2.13. ‘Segera setelahnya, Raja Mahàsudassana meninggal dunia; dan bagaikan seorang perumah tangga atau putranya akan merasa mengantuk setelah memakan makanan lezat, demikianlah ia merasakan sensasi [196] kematian, dan ia terlahir kembali di alam bahagia di alam Brahmà.’

‘Raja Mahàsudassana menikmati masa kanak-kanak selama delapan puluh empat ribu tahun, selama delapan puluh empat ribu tahun ia menjadi raja muda, selama delapan puluh empat ribu tahun ia berkuasa sebagai raja, dan selama delapan puluh empat ribu tahun sebagai seorang umat-awam, ia menjalani kehidupan suci di dalam Istana Dhamma. 483 Dan, setelah melatih empat kediaman luhur, saat hancurnya jasmani, ia terlahir kembali di alam Brahmà. 484 ’

2.14. ‘Sekarang, ânanda, engkau mungkin berpikir bahwa Raja Mahàsudassana pada saat itu adalah orang lain. Tetapi jangan engkau beranggapan demikian, karena Aku adalah Raja Mahàsudassana pada saat itu. Delapan puluh empat ribu kota dengan Kusàvatī sebagai yang utama adalah milikku, … [197] delapan puluh empat ribu persembahan nasi … adalah milikku.’

2.15. ‘Dan dari delapan puluh ribu kota, Aku hanya menetap di satu kota yaitu Kusàvatī; … [198] dari delapan puluh empat ribu istri yang kumiliki, hanya satu yang memerhatikanku, dan dia bernama Khattiyàni atau Velàmikàni; 485 dari delapan puluh empat ribu gulung kain, aku hanya memiliki satu …; dari delapan puluh empat ribu persembahan-nasi di sana, hanya satu takaran pilihan kari yang kumakan.’

2.16. ‘Lihat, ânanda, bagaimana segalanya yang terkondisi di masa lampau itu lenyap dan berubah! Demikianlah, ânanda, hal-hal

Pelepasan Keduniawian Seorang Raja 275 yang terkondisi adalah tidak kekal, tidak stabil, tidak membawa

kebahagiaan, dan karena itu, ânanda, kita tidak boleh bergembira dalam hal-hal yang terkondisi, kita harus berhenti tertarik dalam hal-hal tersebut, dan terbebas dari hal-hal tersebut.’

2.17. ‘Enam kali, ânanda, Aku ingat telah meninggalkan jasmani ini di tempat ini, dan yang ke tujuh kali, Aku meninggalkan jasmani ini sebagai Raja Pemutar-Roda, raja yang adil yang telah menaklukkan empat penjuru dan menegakkan peraturan yang kokoh, dan yang memiliki tujuh pusaka. Tetapi, ânanda, aku tidak melihat tempat mana pun di dunia ini bersama para dewa [199] dan màra dan Brahmà, atau dalam generasi ini bersama para petapa dan Brahmana, raja-raja dan umat manusia, di mana Sang Tathàgata akan meninggalkan jasmani ini untuk ke delapan kalinya.’

Demikianlah Sang Bhagavà berbicara, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan telah mengatakan hal ini, Sang Guru mengatakan:

‘Semua yang tersusun adalah tidak kekal, cenderung muncul dan lenyap, Setelah muncul, akan hancur, kematiannya adalah kebahagiaan sejati.’