Sikap Anak Terhadap Perceraiaan Orang Tua.

2. Sikap Anak Terhadap Perceraiaan Orang Tua.

Adanya suatu permasalahan dalam rumah tangga yang berupa putusnya komunikasi antara suami istri mengakibatkan hubungan antar suami istri merenggang. Rasa kasih sayang pun mulai meregang sehingga tidak mampu menopang keutuhan kehidupan keluarga sehingga terjadi suatu perceraian.

Setiap orang (keluarga) pasti tidak ada yang menginginkan terjadi perceraian dalam suatu perkawinan. Tetapi apabila dalam suatu perkawinan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan maka perceraian merupakan jalan yang diambil oleh suami istri. Perceraian akan membawa dampak bagi orang- orang yang ada di lingkungannya. Dampak perceraian berpengaruh pada suami-istri dan anak-anak yang merupakan buah hati dari perkawianan.

Sikap anak terhadap adanya perceraiaan orang tua bermacam-macam. Berdasarkan hasil wawancara dengan Febriata ( yayan) mengenai sikap anak terhadap perceraian orang tua, menyatakan bahwa: "Saya tidak setuju dengan perceraian orang tua saya karena kami (saya dan kakak) masih membutuhkan mereka baik dalam sekolah dan kehidupan sehari-hari, karena saya merasa sedih dan sangat kecewa dan merasa kasih sayang sangat kurang". (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2009). Selain itu pernyataan juga di ungkapkan oleh Amalia bahwa: "Saya tidak setuju dengan perceraian orang tua karena saya sangat sedih dan trauma dengan perceraian ini, dan hal yang membuat saya sangat kaget, saya dulu harus memilih ikut siapa (ayah atau ibu) padahal saya sayang kedua-duanya". (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2009).

Pernyataan mengenai sikap anak terhadap perceraian orang tua tersebut juga diperkuat dengan pendapat Widodo yang menyatakan bahwa: "Saya sebenarnya sangat-sangat tidak mau orang tua saya bercerai karena saya bingung harus ikut ayah atau ibu, dan harus berpisah dengan adik saya, perceraian orang tua saya menjadikan saya malas dan sakit hati karena setelah perceraian itu saya ikut bapak dan bapak saya tidak perhatian dengan saya".(Hasil wawancara tanggal 17 Jui 2009).

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa anak tidak pernah setuju dan sangat menolak perceraian orang tua. Anak sangat tidak setuju, merasa sedih, kecewa, trauma, malas bahkan binggung karena meraka harus memilih ikut ayah atau ibunya. Perceraian akan menyebabkan anak kurang perhatian dan kasih sayang karena keluarga mereka tidak utuh lagi.

Berikut ini merupakan pernyataan sikap anak terhadap perceraian orang tuanya berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terhadap anak korban perceraian di desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen, dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 11. Sikap Anak Terhadap Perceraian Orang Tua

No Nama Umur Sikap Anak Terhadap Waktu

perceraian

wawancara

1 Febriata (Yayan)

20 Th Sangat tidak setuju,

15 Juli 2009

tidak happy

2 Endah Erlita W

19 Th Sangat tidak setuju,

15 Juli 2009 walaupun dengan alas an apapun, tidak happy

3 Widodo

19 Th Sangat tidak setuju,

17 Juli 2009 sangat tidak happy

4 Deni

13 Th Tidak setuju dan

15 Juli 2009 tidak ingin, tidak happy

5 Galih

17 Th Sangat-sangat tidak

15 Juli 2009 setuju dan tidak mau, sangat tidak happy

6 Amalia

14 Th Tidak setuju, tidak

9 Th Sangat tidak setuju,

17 Juli 2009

tidak happy

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan selain sikap setuju dan tidak setuju anak terhadap perceraian orang tuanya. Anak juga menunjukkan perasaan sebagai berikut:

Tabel 12. Perasaan Anak Terhadap Perceraian Orang Tua No

Nama Perasaan Anak Terhadap Perceraian Orang Tua

1 Febriata

Sedih dan sangat kecewa

2 Endah Erlita W Sedih, malu dan malas

3 Widodo Binggung harus ikut Ayah atau Ibu, malas dan sakit hati

4 Deni Sedih karena setelah perceraian tidak bisa ketemu dengan Ayah

5 Galih Malas di rumah karena suasana rumah kacau

6 Amalia Sedih dan kecewa karena setelah perceraian orang tuanya menikah lagi

7 Imam Sedih dan kecewa karena berpisah dengan Ayah (Hasil wawancara lihat lampiran 3).

Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel diatas ada 7 anak korban perceraian yang menjadi responden. Anak yang merasa sedih karena berpisah dengan salah satu orang tua ada 5 anak. Anak yang merasa malu karena orang tuanya bercerai ada 1 anak. Anak yang merasa binggung ikut Ayah atau Ibunya ada 1 anak. Anak yang merasa kecewa ada 3 anak. Anak yang merasa malas setelah perceraian orang tua ada 2 anak

Hal tersebut diatas sesuai dengan pernyataan A.H. Markum (1999) dalam skipsi Juliarti, Tiwik (2002: 19) menyatakan bahwa: "Anak-anak yang orang tuanya bercerai pada umumnya merasa:

a. Sedih, karena harus berpisah dengan salah satu orang tua.

b. Kesepian

c. Malu atas tingkah laku orang tuanya.

d. Bersalah, atas kenakalan yang pernah dilakukan nya, yang dalam khayal mereka mungkin dianggap penyebab perceraian orang tuanya.

e. Takut dan Malu bahwa mereka sekarang berbeda dengan kawan- kawannya".

Jadi berdasarkan teori diatas memang benar setelah perceraian orang tua anak merasa sedih, malu dan binggung akan ikut Ayah atau Ibunya. Tapi disamping alasan berdasarkan teori diatas ada juga anak yang merasa kecewa dan malas setelah orang tuanya bercerai. Selain itu berdasarkan tabel diatas,

responden anak yang menjadi korban perceraian orang tua dan belum mencapai umur 21 tahun yang akan memasuki usia remaja. Dimana mereka telah merasakan realita atau kenyataan yang sebenarnya dengan adanya perceraian orang tuanya dalam sebuah keluarga. Sehingga sikap yang ditujukan terhadap perceraian orang tua dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Semua anak yang menjadi korban perceraian orang tua tidak menyetujui bahkan sangat tidak setuju dengan adanya perceraian itu. Karena dengan perceraian orang tua mereka merasa sedih, bingung karena harus memilih ikut ayah atau ibunya dan bahkan harus berpisah dengan saudaranya karena ada yang ikut ayah atau ibunya. Minder dan malu karena mereka merasa berbeda dengan teman-temanya yang lain, merasa kesepian karena di rumah tidak ada salah satu orang tua dan bahkan mereka menyesal apabila perceraian orang tua itu disebabkan karena kenakalan mereka.