43
dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk
memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim.
2. Pendekatan psikologis
Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh
akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi.
i
Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit
diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan
mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya
karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari
kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel
utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni:
1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek
diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
44
2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap
tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan.
3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap
seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan
eksternalisasi diri. Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui
proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini,
keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orangtua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana
sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi di luar keluarga. Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-
kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain. Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian
menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan
menungkatkan kualitas pemilih. Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya
berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih partai politik, anggota legislatif, dan pasangan presidenwakil presiden, yang menurut
perhitungan pribadinya akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa
Universitas Sumatera Utara
45
pun bentuk keuntungan itu. Menyebut bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar. Pertama, objek pilihan mempunyai
diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik. Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya.
Pemilih bisa dikatakan rasional jika dia memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan. Pilihannya bisa dikatakan rasional jika pilihan yang
tersedia bervariasi. Tanpa variasi dari pilihan yang tersedia, sulit untuk mengatakan bahwa keputusan atau pilihan pemilih bersifat rasional. Paling tidak
ada dua alasan, mengapa pemilih yang rasional penting untuk demokrasi. Pertama, pemilih rasional akan mendorong parpol mengajukan calon yang bukan
hanya populer, tapi juga berkualitas. Ke depan, hal ini akan mendorong kaderisasi politik yang lebih baik. Parpol yang tidak berhasil menghasilkan dan mengajukan
calon yang berkualitas akan kehilangan dukungan dari pemilih rasional. Kedua, pemilih rasional akan membuat demokrasi menjadi transformatif.
Selama ini, demokrasi di Indonesia hanya berfungsi sebagai proses agregasi preferensi dan aspirasi publik. Demokrasi di Indonesia belum mampu
mentransformasi preferensi dan aspirasi elite. Pemilih yang rasional akan menolak elite yang hanya mengandalkan popularitas dan yang tidak mampu menampung
dan menjawab aspirasi mereka. Ada dua kemungkinan dalam rasionalitas pemilih. Pertama, pemilih tidak
menentukan pilihannya berdasarkan rasionalitas karena mereka memilih bukan berdasarkan perbedaan calon. Kedua, pemilih memilih dalam bounded rationality
atau dengan modal pengetahuan yang sangat terbatas mengenai pilihan yang
Universitas Sumatera Utara
46
ada. Jadi, pilihan yang dijatuhkan pada satu calon bukan karena pertimbangan rasional, tapi didasarkan pada kekurangtahuan tentang perbedaan antara calon.
Pemilih rasional akan memilih calon yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga berkualitas, karena calon yang berkualitas dan bukan calon yang populer
yang akan memberikan keuntungan buat pemilih. Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang tinggi, hampir tidak mungkin calon mampu membawa keuntungan buat
pemilihnya.
6.5. Konsep Rasionalitas