Kegunaan Teoritik Rasionalitas Pemilih

16

5. Manfaat Penelitian Adapun hasil dari tulisan ini memberi sumbangsih manfaat, diantaranya:

5.1. Kegunaan Teoritik

1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu Politik. 2. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah di Sumatera Utara sebagai salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi.

5.2. Kegunaan Praktis

1. Memberi gambaran mengenai media massa dalam mempengaruhi rasionalitas pemilih dan partisipasi pemilih dalam Pilgub 2013 2. Memberi informasi kepada publik terkait dengan Kontribusi media dalam menciptakan rsionalitas pada pemilih dalam PilGub Sumut 2013. 3. Memberi informasi kepada pemerintah sebagai acuan dalam mewujudkan tujuan pemilihan kepala daerah dan mewujudkan pendidikan dan pembangunan politik yang merata bagi masyarakat. 6. Kerangka Teori 6.1. Pengertian Peran Mengenai definisi peran, Pratama, Fauzi, Setiawan, Zafriady Fallo 2008 dan Tangkilisan 2005 mengungkapkan bahwa peran dapat didefinisikan sebagai suatu aspek dinamis dari adanya suatu kedudukan posisistatus sosial. Aspek dinamis tersebut mencakup rangkaian wewenang, hak dan kewajiban yang menyertai keberadaan dari kedudukan tersebut. Lebih lanjut, Pratama dkk. menyebutkan bahwa suatu peran mencakup tiga hal, yaitu: Universitas Sumatera Utara 17 • Peran meliputi norma-norma terkait posisi dan tempat kedudukan dalam masyarakat, • Peran merupakan konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu atau organisasi dalam masyarakat. • Peran sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial. Struktur sosial sendiri dapat diartikan sebagai suatu jalinan atau pola hubungan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu antara lain kelompok-kelompok sosial, institusi sosial, norma sosial dan stratifikasi sosial Henslin, 2007. Dalam istilah yang lebih sederhana, peran merupakan perilaku individu yang penting bagi pihak-pihak selain dirinya dalam suatu masyarakat. Henslin 2007 mendefinisikan peran role sebagai perilaku, kewajiban dan hak yang melekat pada suatu status. Lebih jauh, Henslin menyebutkan bahwa arti penting sosiologis dari suatu peran adalah “…memaparkan apa yang diharapkan dari seseorang“. Jika masyarakat dianalogikan sebagai sebuah pementasan drama, maka peran diibaratkan sebagai aturan yang “...mengekang orang – mengatakan kepada mereka kapan harus ‘masuk’ dan kapan harus ‘keluar’…“. Dengan kata lain, peran dapat diartikan sebagai batasan-batasan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh, patut dan tidak patut dilakukan oleh seseorang atau suatu institusi di tengah masyarakat di sekitarnya. Universitas Sumatera Utara 18 Dari beberapa definisi tersebut, dapat didefinisikan bahwa dalam sudut pandang sosiologi ‘peran partai politik’ dapat diartikan sebagai apa yang diharapkan masyarakat dari keberadaan partai politik ditengah masyarakat tersebut. Harapan dari masyarakat tersebut mencakup perilaku, kewajiban dan hak yang idealnya melekat pada suatu partai politik. Lebih lanjut, berbicara tentang peran partai politik ditengah masyarakat berarti berbicara tentang norma-norma serta perilaku-perilaku yang menunjukkan arti penting urgensitas partai politik terhadap masyarakat yang menjadi konstituennya. 6.2. Peran Media Massa dalam membuat Rasionalitas Pemilih dan Partisipasi Pemilih dalam Pilbugsu 2013 Media massa hadir di tengah-tengah masyarakat bukan saja menyenangkan hati seseorang dalam menumbuhkan perasaan tertentu. Tumbuhnya perasaan senang atau percaya dan marah pada media massa erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut. Menurut McLuhan Rakhmat, 2004:219 bentuk media telah mempengaruhi khalayak. Bentuk media telah mempengaruhi kita bukan apa yang di siarkan media, tetapi komunikasi yang kita pergunakan. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi kepada khalayak, informasi dapat membentuk dan mempertahankan citra. Mc. Luhan Rakhmat, 2004 : 224 menyatakan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak alami secara langsung. Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang banyak memperoleh informasi tentang dunia dari media massa. Menurut Wilbur Schram Universitas Sumatera Utara 19 Rakhmat, 2004 : 208 Media massa memenuhi kebutuhan fantasi dan informasi, hiburan dan informasi. Konsepsi mengenai peranan media massa telah banyak menjadi sorotan para ahli komunikasi dewasa ini antara lain, Effendy mengatakan bahwa media massa atau mass communication meliputi pers, radio, televisi dan sebagainya. Berdasarkan pendapat tersebut maka media massa dapat di defenisikan sebagai alat berkomunikasi atau penghubung secara umum dalam bentuk media, cetak, media elektronik, pers, serta perfilman, dan sebagainya. Bentuk komunikasi massa yang melalui sarana komunikasi tersebut akan menimbulkan arus informasi dari komunikator dan komunikan. Media massa yang terkait secara fungsional dalam proses komunikasi dapat di kategorikan dalam dua kategori yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan lambang bahasa yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam komunikasi terutama setelah di temukannya media massa seperti surat kabar, majalah, radio, Film, dan televisi yang menghendaki penggunaan bahasa dengan cara dan gaya yang berlainan. Demikian pula komunikasi non verbal adalah komunikasi dengan gejela-gejela yang menyangkut gerak-gerik, sikap, ekspresi muka, pakdian yang bersifat simbolik. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara simultan, serta di ikuti perkembangan masyarakat dan peradabannya, komunikasi bermedia mengalami kemajuan pula dengan memindahkan komunikasi berlambang bahasa dengan komunikasi berlambang gambar atau warna. Oleh karena itu dalam proses komunikasi massa yang menggunakan media televisi, radio, film, dan media Universitas Sumatera Utara 20 lainnya pun sebagai media, mengandung bahasa, suara, gambar, warna, yang melanda komunikasi masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Berdasarkan paradigma Efendy 1999:86 tersebut komunikasi adalah proses penyampain pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Sifat massal dari suatu pesan komunikasi lewat media massa memberi kesan, bahwa pesan akan nilai itulah yang di anut oleh massa memenuhi syarat demokrasi massa, walaupun mungkin sekali merupakan suatu pesan yang dihayati secara pribadi oleh wartawan yang membahas suatu topik dan kebetulan lolos sensor penanggung jawab redaksi Susanto- Sunario:1995. Memang ada beberaparus di dalam masyarakat yang tidak menyetujui unsur sensual dan Seksualitas,dalam sajian informasi, namun karena pendapat ini dapat mematikan kehidupan media massar maka pendapat-pendapat tersebut hampir tak pernah di munculkan oleh pihak media massa, karena akan mengakhiri eksistensinya sendiri. Untuk itu Lasswel menghendaki agar komunikasi di jadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur di teliti secara khusus. Fungsi media massa dalam pembangunan nasional sangat membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Apalagi jangkauan media massa amat luas bahkan relatif tidak terbatas dan mampu menembus segenap lapisan masyarakat. Karena itu, perlu di manfaatkan dengan mendayagunakan segala kekuatan yang di milikinya untuk tujuan pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan dunia pendidikan, Universitas Sumatera Utara 21 karena pendidikan merupakan bekal dalam menentukan corak suatu bangsa serta pengarah pemikiran guna mendapatkan perbaikan moral yang cenderung menyimpang akibat sekian dari imbas negatif media massa. Media massa mempunyai kekuatan yang sangat signifikan dalam usaha mempengaruhi khlayaknya. Keberadaan media massa mempunyai peranan penting dalamusaha memberikan informasi penting bagi masyarakat, pengetahuan yang dapat memperluas wawasan, sarana hiburan sebagai pelepas ketegangan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peranan media sebagai kontrol sosial untuk memberikan kritik maupun mendukung kebijakan pemerintah agara memotivasi masyarakat. Media massa merupakan institusi baru yang berkaitan dengan produksi dan distribusi pengetahuan dalam arti luas. Media massa mempunyai sejumlah ciri-ciri yang menonjol, diantaranya adalah penggunaan teknologi yang relatif maju untuk produksi massal dan penyebaran pesan, mempuyai organisasi yang sistematis dan aturan-aturan sosial serta sasaran pesan yang mengarah pada audiens dalam jumlah besar yang tidak bisa ditentukan apakah meraka menerima pesan yang disampaikan, atau malah menolaknya. Institusi media massa pada dasarnya terbuka, beroprasi dalam dimensi publik untuk memberikan saluran komunikasi reguler dari berbagai pesan yang mendapat persetujuan sosial dan dikehendaki oleh banyak individu. Universitas Sumatera Utara 22 Dalam komunikasi massa menurut Winarni dipusatkan pada komponen- komponen komunikasi massa, yaitu variabel yang dikandung dalam setiap tindak komunikasi dan bagaimana variabel ini bekerja pada media massa, kelima komponen tersebut adalah: 1. Sumber. Komunikasi massa adalah suatu organisasi kompleks yang mengeluarkan biaya besar untuk menyusun dan mengirimkan pesan. 2. Khalayak. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, yaitu khalayak yang jumlahnya besar yang bersifat heterogen dan anonim. 3. Pesan. Pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, maksudnya adalah setiap orang bisa mengetahui pesan-pesan komunikasi dari media massa. 4. Proses. Ada dua proses dalam komunikasi massa yaitu: 1 Komunikasi massa merupakan proses satu arah. Komunikasi ini berjalan dari sumber ke penrima dan tidak secara langsung dikembalikan kecuali dalam bentuk umpan balik tertunda. 2 Komunikasi massa merupakan proses dua arah Proses seleksi. Baik media ataupun khalayak melakukan seleksi. Media menyeleksi khalayak sasaran atau penerima menyeleksi dari semua media yang ada, pesan manakah yang mereka ikuti. 5. Konteks komunikasi massa berlangsung dalam suatu konteks sosial. Media mempengaruhi konteks sosial masyarakat, dan konteks sosial masyarakat mempengaruhi media massa. Winarni, 2003 : 4-5 Universitas Sumatera Utara 23 Setiap disiplin ilmu dalam komunikasi memiliki ciri-ciri dan karekateristik yang berbeda-beda, adapun beberapa karakteristik komunikasi massa yang sering digunakan pada media massa yaitu: 1. Sifatnya satu arah, walaupun beberapa media massa terkadang melibatkan khalayak secara langsung dengan diadakannya dialog interaktif, namun itu hanya untuk kepentingan terbatas. 2. Selalu ada proses seleksim misalnya, setiap media memilih khalayaknya, demikian juga dengan khlayak yang juga menyeleksi medianya, baik jenis maupun isi siaran dan berita, serta waktu untuk menikmatinya. 3. Menjangkau khalayak secara luas. Dengan adanya satuu stasiun pemancar pesan atau informasi dapat disampaikan dalam cakupan satu negara. Namun dalam karakteristik ini sistem ekonomi dan sosial juga ikut berperan. 4. Berusaha membidik sasaran tertentu, informasi yang disampaikan harus menarik minat orang-orang sehingga informasi tersebut disalurkan kepada orang lain 5. Komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Ada interaksi tertentu yang berlangsung antara media dan masyarakat. Untuk memahami sebuah masyarakat kita harus menelaah latar belakang, asumsi dan keyakinan-keyakinan dasarnya. Untuk itu diperlukan penguasaan atas sejarah, sosiologi, ilmu ekonomi Universitas Sumatera Utara 24 dan filsafat demi memahami sebuah masyarakat secara benar. Rivers, 2004 :18 Dalam komunikasi massa, umpan balik relatif tidak ada atau bersifat tunda, komunikator cenderung sulit untuk mengetahui umpan balik komunikan secara segera. Untuk mengetahuinya, maka biasanya harus diadakan seminar terbuka yang menghubungkan antara komunikator dan komunikan secara langsung, diadakannya survey atau penelitian. Vardiansyah, 2004:33. 6.2.1.Pengaruh Media Pada Pemilih Dunia politik hampir tidak dapat dipisahkan dari opini publik sebagai salah satu objek politik dan media sebagai sarananya. Dalam setiap Pemilu Pemilihan Umum kita dapat melihat bagaimana media membentuk dan mempengaruhi opini publik, termasuk hubungan yang terjalin antara media dengan pelaku politik, seperti politisi, partai politik dan masyarakat umum. Iklan- iklan politik peserta Pemilu banyak bermunculan menjajakan platform-nya. Pertanyaannya, dalam konteks politik, bagaimana media dapat membentuk dan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga secara mayoritas publik menerima semua keputusan-keputusan politik, atau dalam konteks Pemilu, menyebabkan masyarakat dengan mantap menetapkan pilihan kepada parpol tertentu? Namun, sebelum melangkah lebih jauh, apa sebetulnya opini publik itu. Opini publik merupakan pandangan orang banyak yang tidak terorganisasi, tersebar di mana-mana, dan karena kesamaan pandangan terhadap sesuatu, mereka secara sadar atau tidak dapat bergerak serentak dan bersatu-padu menyikapi sesuatu tersebut. Untuk itu, opini publik bisa diciptakan dan Universitas Sumatera Utara 25 direncanakan. Seringkali kalau tidak selalu muatan berita sebuah media massa bermisi pembentukan opini publik. Jika sekarang lebih banyak orang memandang Usamah bin Ladin Osama bin Laden sebagai seorang teroris, hal itu karena tulisan yang membentuk opini publik Usamah bin Ladin sebagai teroris lebih banyak dan dominan ketimbang tulisan yang menyanjungnya sebagai pejuang pembela Islam. Untuk membentuk opini publik, yang perlu dilakukan hanyalah mengintensifkan informasi yang harus sampai ke publik sesuai yang diinginkan. Misalnya, jika ingin membentuk citra yang baik tentang organisasi A, maka ekspos terus-menerus kiprahnya yang baik-baik. Dengan demikian, opini publik dapat mengandung kesan positif maupun negatif, tergantung pada kepentingan orang atau lembaga yang mengarahkan media untuk mencitrakan kesan tersebut. Dalam penyelenggaraan Pemilu yang lalu, kiprah media dalam menyusun – lebih tepatnya membentuk opini masyarakat – tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Masyarakat lebih mengenal suatu partai politik, proses dan mekanisme Pemilu, dan tetek bengek lainnya, lebih banyak mengetahuinya melalui media. Pemilu 2004 dianggap sukses apabila publik memilih partai dan kandidat yang bisa menyelenggarakan negara sesuai dengan cita-cita bangsa. Karenanya, publik membutuhkan informasi yang berkualitas tentang semua peserta Pemilu, sehingga menjadi pemilih yang well informed. Di sinilah kemudian media memainkan peranan sangat krusial. Dalam Pemilu, media juga dapat mempengaruhi perilaku memilih, masyarakat. Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang Universitas Sumatera Utara 26 ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu. Secara implisit, masyarakat membuat suatu penilaian terhadap pihak maupun cara yan ditempuh untuk memenangkan pemilihan, atau isu-isu panas yang diperdebatkan. Penilaian personal yang dipengaruhi kuat oleh media ini diam-diam bisa berdampak pada pengurangan jumlah suara bagi pihak yang kalah. Ulasan dini seputar pemilu atau laporan berdasarkan survei secara random dapat memperkuat penilaian masyarakat, terutama tentang siapakah yang akan menjadi pemenang dan mendorong terbentuknya diantara pihak yang merasa kalah atau menjadi pecundang. Jadi, jangan terlalu yakin jika poling-poling sms di berbagai stasiun televisi tidak memiliki dampak apa-apa, setidaknya besarnya angka poling pada Cagub-Cawagub A, akan mengusik atau menciutkan hati Cagub-Cawagub B, atau lainnya. Masyarakat yang mengidolakan atau akan memilih Cagub-Cawagub C misalnya, mau tidak mau akan ”dipaksa” untuk ”meringis” tatkala melihat jagonya berada di urutan buncit dalam poling sms, meski hampir semua percaya bahwa itu bukan representasi masyarakat Indonesia. Inilah gambaran opini publik yang begitu dahsyatnya mampu diciptakan oleh media. Media dalam konteks ini berperan sebagai ruang publik bagi masyarakat. Ruang publik terdiri dari organ-organ penyedia informasi dan Universitas Sumatera Utara 27 perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal; termasuk ruang publik adalah juga lembaga-lembaga diskusi politis seperti parlemen, klub-klub politik, klub- klub sastra, perkumpulan publik, rumah minum, dan warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Ditempat-tempat itu kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dijunjung tinggi Juliawan, Basis No. 11-12, 2004. Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya mengandung daya kritis terhadap proses-proses pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik. Upaya Habermas untuk menjelaskan konsep ruang publik public sphere menuntunnya pada konklusi bahwa dalam perkembangannya, hampir selama satu abad kemudian fondasi-fondasi sosial bagi ruang publik ini nyaris terjebak di dalam proses pembusukan. Membicarakan ruang publik bahkan hampir tanpa menemukan esensi nyata dari keberadaan ruang publik itu sendiri Habermas, 2007:1-40. Habermas menelusuri bahwa dalam fase perkembangan konsep ini sejak zaman Yunani, sama sekali tidak ditemukan negasi antara konsep ruang privat dan ruang publik. Keduanya menyumbang kekuatan terbesar bagaimana sebuah wacana mengalir dan diperdebatkan secara terbuka. Sebuah kenyataan yang saat ini justru bertolak belakang. Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang Universitas Sumatera Utara 28 masalah-masalah politik. Arti penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang rasional saja. Pada titik inilah Habermas menyumbangkan sebuah konsep yang dia sebut tindakan komunikatif communicative action yang secara filosofis menjadi mesin kerja dari berfungsinya ruang publik tadi. Dalam dunia modern, sulit untuk membayangkan bahwa ruang publik hanya terjadi pada media-media sosial dan tempat-tempat publik seperti abad ke- 17 yang dilukiskan Habermas. Saat mana internet dan dunia maya sudah betul- betul menciptakan transformasi sosial, maka harapan akan ruang publik lebih merupakan sebuah harapan terciptanya teknologi informasi yang berpihak pada sisi-sisi humanisme ketimbang industri Green, 2002; Wilhelm, 2003; Briggs Burke, 2006. Landasan normatif yang digunakan dalam melihat dinamika masyarakat komunikatif adalah partisipan debat memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Disamping itu, sikap kritis merupakan salah satu unsur kunci yang memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut Calhoun, 1993. Dalam konteks itu, media memainkan peran yang semakin obyektif dalam diskursus ruang publik. Namun sayangnya, penelusuran Habermas atas keterlibatan media sejak awal abad ke- 17 Universitas Sumatera Utara 29 dalam konstelasi wacana publik menunjukkan sikap mengambil jarak yang justru membuat media terperangkap dengan dunianya sendiri : dunia komoditas dan kompetisi yang tidak mencerdaskan esensi ruang publik. Peran media tradisional, seperti televisi, majalah, dan surat kabar, di dalam masyarakat demokratis tampak semakin problematik. Problematikanya terletak pada sejauh mana media tersebut mampu menjadi tempat bagi sikap kritis publik ataupun debat rasional tentang berbagai problem yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Demokrasi memang telah menjadi “ideologi” dominan didalam kehidupan politik modern. Akan tetapi, jarak antara perumusan ideologi yang luhur dengan implementasi praktisnya tampak sangat jelas, sehingga atas itu semua, sebuah pertanyaan penting layak kita ajukan, “apakah cita-cita ideal demokrasi dapat tercapai, terutama dengan meningkatkan peran praksis komunikatif di dalam ruang publik?” Jawaban utopis Habermas pada akhirnya sangat menyandarkan diri pada kesediaan media massa ikut bertanggung jawab dalam proses dialektis dinamis ruang publik. Realitas yang hari demi hari nampak semakin menjauhkan harapan Habermas. Alih-alih menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat di dalam debat rasional, media telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan. Menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamor, seberapapun jenius dan luhurnya ide-ide yang dikembangkan. Pada titik ini sampailah kita pada dunia pencitraan yang Universitas Sumatera Utara 30 telah sukses menggunakan mesin-mesin psikologi persuasi Setiyono, 2007; Firmanzah, 2007. Tidak lagi penting niat otentik tentang kemajuan bersama. Yang lebih diutamakan adalah struktur pesan dan bagaimana kekuatan pesan mampu menghipnotis khalayak. Esensi debat rasional kritis telah musnah seiring dengan gegap gempitanya dunia politis selebritis dalam media. Program debat politik pun dapat juga ditelaah sebagai upaya untuk menciptakan semacam ilusi kolektif dari partisipasi kritis publik, yang membuat warga seolah-olah merasa bahwa hak-hak politik demokratis mereka telah terpenuhi. Padahal yang terjadi sesungguhnya ada proses “pengebirian hak berpolitik”. Apapun peran yang dapat dijalankan oleh media dalam pemilu, tetapi yang menjadi perhatian adalah media harus dikembalikan kepada fungsinya yaitu sebagai pilar demokrasi dan melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Media juga seharusnya tidak acuh terhadap kritik, masyarakat juga mempunyai hak untuk mengkritisi media yang keblabasan. Begitu besar pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana oleh media itu sendiri. Terkadang seorang tokoh atau pihak tertentu yang masih bermasalah di masa silam atau kini nampak begitu kemilau dan tiba-tiba bersih sehingga masyarakat pun lengah dengan kepahitan yang pernah ada. Terus berputar pada masa lampau juga tidak akan mencerahkan bangsa ini, namun melupakan masa lalu juga bukan syarat bagi perbaikan diri, terlebih suatu bangsa. Kontrol masyarakat untuk selalu melihat dan menempatkan media dengan proposional, kritis dan obyektif sangatlah diperlukan. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan kritikal kontrol, sehingga terjalin kerjasama yang Universitas Sumatera Utara 31 benar-benar secara positif antara media dan masyarakat dan membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak pihak media massa dan terutama, pihak masyarakat.

6.3. Rasionalitas Pemilih

Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih partai politik, anggota legislatif, dan pasangan presidenwakil presiden, yang menurut perhitungan pribadinya akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa pun bentuk keuntungan itu. Menyebut bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar. Pertama, objek pilihan mempunyai diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik. Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya. Pemilih bisa dikatakan rasional jika dia memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan. Pilihannya bisa dikatakan rasional jika pilihan yang tersedia bervariasi. Tanpa variasi dari pilihan yang tersedia, sulit untuk mengatakan bahwa keputusan atau pilihan pemilih bersifat rasional. Paling tidak ada dua alasan, mengapa pemilih yang rasional penting untuk demokrasi. Pertama, pemilih rasional akan mendorong parpol mengajukan calon yang bukan hanya populer, tapi juga berkualitas. Ke depan, hal ini akan mendorong kaderisasi politik yang lebih baik. Parpol yang tidak berhasil menghasilkan dan mengajukan calon yang berkualitas akan kehilangan dukungan dari pemilih rasional. Kedua, pemilih rasional akan membuat demokrasi menjadi transformatif. Selama ini, demokrasi di Indonesia hanya berfungsi sebagai proses agregasi Universitas Sumatera Utara 32 preferensi dan aspirasi publik. Demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasi preferensi dan aspirasi elite. Pemilih yang rasional akan menolak elite yang hanya mengandalkan popularitas dan yang tidak mampu menampung dan menjawab aspirasi mereka. 17 Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang Ada dua kemungkinan dalam rasionalitas pemilih. Pertama, pemilih tidak menentukan pilihannya berdasarkan rasionalitas karena mereka memilih bukan berdasarkan perbedaan calon. Kedua, pemilih memilih dalam bounded rationality atau dengan modal pengetahuan yang sangat terbatas mengenai pilihan yang ada. Jadi, pilihan yang dijatuhkan pada satu calon bukan karena pertimbangan rasional, tapi didasarkan pada kekurangtahuan tentang perbedaan antara calon. Pemilih rasional akan memilih calon yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga berkualitas, karena calon yang berkualitas dan bukan calon yang populer yang akan memberikan keuntungan buat pemilih. Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang tinggi, hampir tidak mungkin calon mampu membawa keuntungan buat pemilihnya. 17 Ibid Universitas Sumatera Utara 33 kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam itu, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak mencalonkan kembali, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat. Pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi. Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif- alternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri self interest maupun untuk kepentingan umum. 18 18 Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, hal.146 Universitas Sumatera Utara 34 Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut. Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional tidak permanentberubah-ubah terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah Universitas Sumatera Utara 35 kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya. Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo 19 1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternative dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa: Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional : 2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain 3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C 4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan 5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif- alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah 19 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, CV. Remaja Karya, Bandung, hal 148 Universitas Sumatera Utara 36 alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama. Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya. Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut. dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui Universitas Sumatera Utara 37 konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan public choice. Dalam konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili masyarakat Australia yang terdiri dari individu-individu dengan keanekaragaman karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang masing- masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik. Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan roda pemerintahan di suatu negara. Bagaimana agenda politik dalam suatu negara itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan melalui pemilihan umum. Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat. 20 20 James Q. Wilson, New Politics, New Ellites, Old Publics, dalam Marc K. Landy dan Martin A. Levin, The New Politics of Public Policy, The Johns Hopkins University Press, London, 1995, hal 263, dalam skripsi Dani Tri Anggoro, Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005,Unej, 2006,hal 11- 14 Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai individu yang independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku. Universitas Sumatera Utara 38 Buchanan dan Tullock mengajarkan bahwa dalam menentukan suatu public choice, terdapat aspek-aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi peraturan politik pemerintah dalam pemilu. Aspek-aspek tersebut meliputi pilihan-pilihan untuk membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga-lembaga perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut Buchanan dan Tullock menyatakan bahwa untuk menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik dan ekonomi. Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar, redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat mempengaruhi tujuan-tujuan politik. Semua segi-segi ekonomi dan politik tersebut hanya dapat dipahami jika kita memandangnya dari perspektif teori yang sama. 21 Tidak semua pilihan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya. Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermukim didaerah urban. Tingkat pendidikan yang membawa serta pemahaman akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin rasional. Penduduk yang bermukim di negara- 21 Peter C. Ordeshook, The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse, Perspective on Positive Political Economy, Cambridge University Press, Melbourne, 1990, hal.15. dalam skripsi Dani Tri Anggoro, Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005,Unej, 2006,hal 14 Universitas Sumatera Utara 39 negara maju berat, seperti Australia terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingkat buta huruf yang sangat minim. Oleh karena itu menurut Saiful Mujani 22 22 Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam , seorang pemilih akan cenderung memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan ditempat.

6.4. Perilaku Pemilih Voting Behavior

Dokumen yang terkait

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

2 70 105

Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi : Perilaku Pemilih Masyarakat di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008)

0 39 77

Peran Media Massa Dalam Membentuk Rasionalitas Pemilih Dan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilahan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Johor)

0 0 13

Peran Media Massa Dalam Membentuk Rasionalitas Pemilih Dan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilahan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Johor)

0 0 4

Peran Media Massa Dalam Membentuk Rasionalitas Pemilih Dan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilahan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Johor)

0 0 65

Peran Media Massa Dalam Membentuk Rasionalitas Pemilih Dan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilahan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Johor)

0 0 13

Peran Media Massa Dalam Membentuk Rasionalitas Pemilih Dan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilahan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Johor)

0 0 3

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 8 45

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 0 10

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 3 11