1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, meskipun fakta menunjukkan adanya kemajuan yang
cukup pesat dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada
satu wilayah pun di negara-negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan
gender terjadi begitu luas dalam hal kendali atas sumber daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam partisipasi politik. Meskipun perempuan
dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari ketidaksetaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada
akhirnya akan merugikan setiap orang Bank Dunia, 2000:1. Dalam praktiknya program pemberdayaan sering sekali mengalami
permasalahan, salah satunya adalah tidak meratanya program pemberdayaan yang diterima oleh masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya yaitu adanya pembedaan peran perempuan dan laki-laki gender. Dalam hal ini, yang membentuk pembedaan antara laki-laki dan perempuan adalah
konstruksi sosial dan kebudayaan, bukan konstruksi yang dibawa sejak lahir. Jika “jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka “gender” adalah
2 sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan semua orang laki-laki dan
perempuan untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup Bank Dunia, 2000:1.
Bangsa yang maju mengakui perlunya perbaikan kualitas, status dan peran perempuan dalam pembangunan untuk meningkatkan keadilan sosial dan
memenuhi hak-hak asasi manusia yang setara antara perempuan dan laki-laki. Peningkatan kualitas perempuan menjadi dasar untuk menciptakan pembangunan
yang berkelanjutan bagi suatu bangsa. Analisa ini memberikan bukti bahwa rendahnya pendidikan dan keterampilan perempuan, derajat kesehatan dan gizi
yang rendah, serta terbatasnya akses terhadap sumber daya pembangunan akan membatasi produktivitas bangsa, membatasi pertumbuhan ekonomi, dan
mengurangi efisiensi pembangunan secara keseluruhan. Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan
masalah hak asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu perempuan saja, karena masalah dan kondisi sosial tersebut
merupakan persyaratan dalam proses pembangunan masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan Sadli dalam Ihromi, dkk., 2006:7.
Seiring dengan perubahan pada masyarakat, peningkatan peranan wanita memiliki tantangan yang berubah. Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini
ternyata belum mampu mendorong terwujudnya kesetaraan gender khususnya bagi perempuan. Hasil pembangunan menunjukkan, dalam hampir di semua
3 sektor pembangunan, pencapaian perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan
lawan jenisnya, walaupun sebenarnya kebijakan dan program pembangunan telah menganut anti-diskriminasi gender.
Kesulitan untuk mewujudkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan menurut UNDP disebabkan karena adanya beberapa alasan yaitu : 1. Kurangnya
komitmen politik; 2. Salah arah kebijakan; dan 3. Ketidakefisienan dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Kendala-kendala yang berasal dari nilai-nilai
ideologi yang dominan yaitu ideologi patriarki juga memberi kontribusi yang cukup besar sebagai faktor yang mempersulit upaya untuk mewujudkan
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki Singarimbun 1996 dalam Nugroho, 2008:156.
Di Indonesia, konsep gender sudah lama mendapat perhatian, yaitu dimulai dari perjuangan Raden Ajeng Kartini, pada masa sebelum Indonesia
merdeka, dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Di Indonesia, kesempatan perempuan tetap lebih sedikit
dibanding dengan kesempatan untuk laki-laki karena faktor tradisi dan budaya. Pandangan umum yang terjadi adalah laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga
sedangkan perempuan sebagai manajer rumah tangga. Indonesia telah memiliki seperangkat aturan hukum yang bertujuan untuk
menghapuskan diskriminasi gender menuju hadirnya kesetaraan gender, di antaranya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
4 Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Convention on the
Elimination of Discrimination Against Women, dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan inilah yang diharapkan dapat mempercepat penghapusan diskriminasi gender. Namun demikian, perangkat
hukum tersebut sesungguhnya tidaklah cukup karena belum ada satu payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi penghapusan diskriminasi
gender. Hal inilah yang mengakibatkan bangsa Indonesia belum dapat memaksimalkan upaya penghapusan diskriminasi gender.
Instruksi Presiden Inpres Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender PUG dalam Pembangunan Nasional
menginstruksikan kepada semua kementerianlembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan PUG dan dilanjutkan dengan diintegrasikannya perspektif
gender ke dalam perencanaan pembangunan, serta munculnya berbagai kegiatan yang berbasis gender. Tujuan ditetapkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
pengarusutamaan gender ini adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal ini ditetapkan karena memang kaum perempuan cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk membekali dirinya dengan
sumber daya yang ada, yang akhirnya berujung pada kurangnya keterlibatan mereka pada masalah kebijakan dan program pembangunan nasional.
5 Berdasarkan Human Development Report HDR tahun 20072008, angka
gender-related development index GDI Indonesia adalah 0,721. Angka GDI tersebut telah meningkat bila dibandingkan dengan angka GDI dalam HDR tahun
2006 yaitu sebesar 0,704. Hasil tersebut mengindikasikan adanya peningkatan akses perempuan terhadap pembangunan terutama di bidang pendidikan,
kesehatan dan ekonomi. Namun, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, GDI Indonesia masih termasuk rendah, hanya lebih tinggi Myanmar dan
Kamboja. Meskipun telah meningkat, nilai GDI Indonesia masih lebih rendah juga bila dibandingkan dengan nilai HDI pada tahun yang sama yaitu sebesar
0,728. Data Badan Pusat Statistik BPS dan data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan KNPP juga menunjukkan kesenjangan yang relatif
besar jika dibandingkan dengan data HDR. Angka GDI tahun 2005 adalah 0,651, meningkat menjadi 0,653 pada tahun 2006 dan meningkat lagi menjadi 0,658
pada tahun 2007. Sedangkan angka HDI pada tahun 2005 adalah 0,696, pada tahun 2006 adalah 0,701 dan pada tahun 2007 adalah 0,706. Nilai gender
empowerment measurement GEM Indonesia berdasarkan laporan pembangunan manusia berbasis gender KNPP-BPS juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari
0,613 pada tahun 2005 menjadi 0,618 pada tahun 2006, dan 0,621 pada tahun 2007.
Kondisi dari kesenjangan nilai angka-angka tersebut juga merupakan cerminan dari kondisi yang terjadi di kota Medan, dimana nilai dari angka-angka
tersebut menunjukkan masih adanya perbedaan manfaat yang diterima oleh perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam hal mengakses
6 pendidikan, berpartisipasi di bidang politik, kedudukan dalam jabatan publik,
ketenagakerjaan, maupun pendapatan. Banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam hal pengarusutamaan
gender. Salah satunya adalah memiliki menteri pemberdayaan perempuan dengan harapan bias gender dapat diselesaikan. Pemerintah juga telah berupaya
menerapkan kesetaraan gender di Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh Indonesia dengan mengikuti pertemuan beberapa negara dan menghasilkan program tujuan
pembangunan millenium Millenium Development Goals. Prioritas ke-3 dari tujuan pembangunan millenium itu adalah kesetaraan gender. Walaupun begitu
perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender masih menghadapi beribu kendala. Dari Konferensi di Beijing 1995, yang diinformasikan oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, teridentifikasi 12 isu keprihatinan yaitu :
“Masalah perempuan dan kemiskinan terutama dikarenakan kemiskinan struktural akibat kebijakan
pembangunan dan sosial budaya yang berlaku,
keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan untuk Meningkatkan posisi tawar
menawar menuju kesetaraan gender, masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan yang kurang mendapat
perlindungan dan pelayanan yang memadai, kekerasan fisik non fisik terhadap perempuan baik dalam rumah
tangga maupun di tempat kerja tanpa mendapat perlindungan secara hukum, perempuan di tengah wilayah
konflik dan kerusuhan, banyak yang menjadi korban kekejaman dan kekerasan politik yang bertikai,
terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha di bidang ekonomi produktif, termasuk mendapatkan modal
dan pelatihan usaha, keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam keluarga,
masyarakat dan negara masih sangat terbatas, terbatasnya lembaga-lembaga dan mekanisme yang dapat
7 memperjuangkan kaum perempuan baik sektor pemerintah
maupun non pemerintah swasta, perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara
sosial maupun hukum masih lemah, keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa, sehingga ada
kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eksploitasi murahan,
kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan
lingkungan lainnya, terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan kekerasan terhadap
anak perempuan BKKBN. Isu Global Gender. 2007:13.”
Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan menjadi rentetan catatan, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian,
tahap implementasi merupakan tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa dipantau. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
Kota Medan BPPKB adalah salah satu badan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan urusan Pemerintah daerah
di bidang Pemberdayaan Perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana. Dalam hal ini, peneliti akan terfokus pada kinerja bidang pemberdayaan
perempuan dalam pelaksanaan salah satu fungsinya yaitu dalam melaksanakan pengarusutamaan gender.
Masalah rendahnya representasi perempuan dalam arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia terkhusus di Kota Medan
menjadi persoalan yang penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya.Dampak dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan pada
tubuh birokrasi menimbulkan setidaknya 4 empat implikasi negatif, yaitu :
8 1.
Perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan memiliki kualitas rendah sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya
produktifitasnya rendah. 2.
Posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor pembangunan, seperti politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi,
kesehatan, hukum dan pertahanan keamanan. 3.
Di tengah masyarakat, baik di lingkungan keluarga dan umum, muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan violence dan perdagangan orang
trafiking. Perempuan memiliki beban ganda, dimana kaum perempuan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga domestik dan di sektor publik
juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. 4.
Perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati
secara adil oleh kaum perempuan Marpaung 2008:5. Pada tubuh birokrasi juga masih ditemukan stereotip mengenai
ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah PNS laki-laki dan perempuan yang terdapat pada grafik
dibawah ini :
9
Gambar I.1 : Peningkatan jumlah PNS berdasarkan jenis kelamin
http:www.bkn.go.idenprofilunit-kerjainkadirektorat-pengolahan- dataprofil-statistik-pnspertumbuhan-jumlah-pns-dirinci-menurut-jenis-
kelamin-tiap-tahunnya.html, diakses pada tanggal 22 Mei 2015
Melalui PUG, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif
gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan
membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender KKG menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan
yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.
Meskipun sampai pada saat ini telah banyak kemajuan pembangunan yang telah tercapai, namun pada kenyataannya kesenjangan gender masih terjadi di
berbagai bidang pembangunan. Kesenjangan gender tersebut tentunya sangat merugikan kaum perempuan. Oleh karena itulah upaya pemberdayaan perempuan
10 mutlak diperlukan untuk meningkatkan status dan kedudukan perempuan di
berbagai bidang pembangunan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul: “Kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam melaksanakan pengarusutamaan gender di kota
Medan”.
I.2 Fokus Masalah