Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam
usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan
penciptaan.
34
Pembelajaran cerpen selalu diajarkan di sekolah baik tingkat dasar, menengah, atau tingkat atas.Bahkan di perguruan tinggi pun, pembelajaran
cerpen masih diterapkan.Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran karya sastra di semua jenjang sangat dibutuhkan guna meningkatkan kreativitas
dan keterampilan siswa dalam kegiatan berbahasa dan bersastra. Berhubungan dengan pengajaran cerpen di sekolah, hendaknya
seorang guru memiliki metode atau teknik yang digunakan agar siswa mampu
mencapai kompetensi
yang diinginkan.Rahmanto
mengungkapkan, salah satu metode yang dapat digunakan adalah membaca ekstensif yang cocok untuk berbagai bahan bacaan seperti novel
dan cerpen yang memungkinkan adanya praktik latihan membaca cepat serta berlangsung terus menerus dengan minat sendiri.Bahan-bahan bacaan
ekstensif ini cocok untuk diberikan sebagai aktivitas membaca di rumah.Tujuan akhir dari pembinaan membaca ekstensif ini dimaksudkan
untuk membina minat baca siswa berdasarkan motivasi dari dalam, sehingga siswa dapat memiliki kesenangan hobi membaca tanpa paksaan
satau dorongan dari guru.
35
E. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan dan masukan dalam penelitian ini antara lain penelitian yang dilakukan oleh
Alfian Rokhmansyah dalam skripsinya yang berjudul “Jenis Gaya dan Fungsinya dalam Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma
Sebuah Kajian Stilistika. Dalam penelitian tersebut, ditemukan beberapa
34
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1988, h. 16-25
35
Ibid., h. 41
gaya bahasa berupa majas, antara lain: majas repetisi, hiperbola, simile, klimaks, sarkasme, personifikasi, antithesis, dan majas retoris. Gaya
bahasa yang ditemukan tersebut juga mempunyai fungsi masing-masing terhadap penggambaran cerita.
Penelitian lain dilakukan oleh Nur Saputri Puji Lestari dengan judul “Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Sepasang Maut Karya Moh.
Wan Anwar dan Alternatif Pembelajarannya di SMK, IKIP PGRI, Semarang”. Dalam kesimpulannya, di dalam kumpulan cerpen itu terdapat
berbagai macam gaya bahasa antara lain: gaya bahasa tak resmi, gaya bahasa percakapan, hiperbola, simile, repetisi epizeukis. Berikut ini akan
diberikan contoh beberapa kutipan: 1.
Gaya bahasa tak resmi, seperti pada kutipan: “Aku baca juga sajak itu semata – mata agar aku tak
kehilangan jejakmu.Agar aku bisa menjawab kalau suatu hari kau bertanya lagi tentang laut di matamu.Tetapi
anehnya aku semakin tak mengerti apakah laut dan bagaimana merumuskannya.Bagaimana pula yang dianggap
sebagai rahang laut dalam sajak yang kau berikan itu.Aku tahu sajak itu berlatar laut.Aku memang melihat gambaran
laut dalam sajak itu”. 2.
Gaya bahasa percakapan, seperti pada kutipan: “Laut telah berubah, pasir mungkin akan segera gelap.”
Sejenak saja “Laut telah meninggalkanku.”
Kapan kita bisa bertemu lagi? “tidak tahu.”
Minggu depan “Ya, kalau aku belum dijemput peri – peri dari laut.”
Peri dari laut?Apa maksudmu? Jangan kau buat aku dungudihadapanmu Tapi kau keburu ngeloyor pergi
meninggalkankuyang ternganga seperti rahang laut dalam sajak yang pernah kauberikan padaku.Aku memang tak
pernah bisa memahamimu,tetapi sekali
– kali kau tuduh aku tak pernah mencintaimu.
3. Hiperbola, seperti pada kutipan:
“Tetapi pada suatu sore tiba – tiba saja kau sudah duduk di kursi beranda rumahku.Rambutmu kusut, parasmu kisut,
senyummu kecut, dan matamu, ah, matamu, bola matamu itu mulai surut.Sore memang tidak seredup
kehadiranmu”. Langit
bersih, awan
cuma tipis,
dan lembayung
memuncratkan emas ke seluruh penjuru angkasa.Kuseduh teh hangat agar lenyap segala pucat dan hasrat meloncat dari
tatapmu.Tapi kau Cuma mengucap terima kasih dan mengatakan bahwa kau mampir hanya sekejap.
4. Simile, seperti pada kutipan:
“Andai kukira seandainnya uang dan tenagamu sanggup untuk mengitari seluruh laut dimuka bumi, kau akan
melakukannya. Laut bagimu seperti takdir, kemanapun kau beringsut laut akan bertau. Ke manapun kau mengalir laut
selalu hadir”. 5.
Repetisi epizeukis, seperti pada kutipan: “Setiap kau bicara tentang laut, pengalamanmu bersentuhan
dengan laut, kerinduanmu tentang laut, aku bahkan kadang melihat laut bergemuruh dimatamu. Sekali waktu, ketika kau
mengungkapkan pergulatanmu dengan laut membentang
bening di bola matamu”. “Entah sudah berapa ribu kali aku mengamati bola matamu,
kelopak matamu, bulu matamu, alismu, tulang disekitar matamu, dan aku selalu merasa bertemu laut. Tetapi getar
apa yang ada di bola matamu, lengkung alismu, deretan bulu matamu, lekuk tulang di sekitar matamu, sungguh aku tak
pernah bisa menangkapnya”.
Selanjutnya, penelitian lain juga dilakukan oleh Novita Rihi Amalia yang berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-nilai Pendidikan
Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta. Dalam penelitiannya diperoleh beberapa gaya bahasa, antara lain: majas perbandingan, majas perulangan, dan majas pertentangan.
Akan tetapi, majas yang paling dominan adalah majas personifikasi. Di bawah ini akan diberikan contoh beberapa kutipannya:
1. Majas perbandingan: