Pendidikan Akhlak NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM

49 adanya nilai-nilai keiman yang harus ditanamkan dalam pendidikan Islam sebagai salah satu upaya pemenuhan aspek afektif bagi peserta didik.

B. Pendidikan Akhlak

Sebagaimana diketahui bahwa “tasawuf” Hamka termasuk kepada tasawuf akhlaki, Hal ini tercermin dalam pemaknaan tasawuf menurut Hamka yang sependapat dengan definisi tasawuf yang dikemukakan al-Junaid, bahwa tasawuf adalah membersihkan jiwa dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala kerakusan dan memerangi syahwat. Tasawuf akhlaki berorientasi pada pembinaan akhlak yang mulia. Terlebih Hamka menjelaskan bahwa tujuan dari tasawuf adalah untuk membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi. Hal ini tentu saja sangat relevan dengan definisi dan tujuan pendidikan akhlak yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik melalaui proses pengajaran, pembinaan, pelatihan, pengasuhan dan tanggung jawab untuk diarahkan kepada suatu arah dan kebiasaan yang baik dan mulia, baik aspek jasmani maupun rohani. Pada buku yang sama, Hamka juga menjelaskan bahwa keutamaan budi ialah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat istiadat yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan mana yang mesti di buang dan mana yang mesti dipakai. Serta dibiasakan perangai-prangai yang terpuji, yang mulia, berbekas di dalam pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang adat yang mulia itu. 16 Menurut Hamka kalau kita menjauhi apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintahkan tetapi karena terpaksa dan bukan karena ketulusan, maka yang demikian itu tandanya belum naik kepada tingkatan budi. Oleh sebab itu hendaklah diri berperang dengan diri dan dalam perjuangan yang hebat itulah kita dapat mencapai tujuan yang mulia. Menurut Hamka, untuk mencapai keutamaan budi harus ada tiga rukun yang perlu 16 Hamka, Tasawuf Modern …, h. 117 50 dicapai, yaitu: 1. Dengan tabi’at, 2. Dengan pengalaman, 3. Dengan pelajaran. 17 Ketiga rukun di atas harus dilaksanakan, apabila hanya salah satu saja yang dilaksanakan maka akan pincang keutamaannya. Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa banyak orang yang dari kecil bergaul dalam kalangan yang utama, tetapi pengalaman tidak ada atau ilmu tidak ditambah, maka keutamaan budi tidak akan tercapai. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Sidi Gazalba, bahwa Kepribadian muslim sebagian besar berasal dari kapasitas atau predisposisi tertentu yang dikuasai oleh keturunan, sebagian dari keadaan individu yang diperolehnya selama hidupnya, dan sebagian lagi dari kebiasaan-kebiasaan yang diberikan kepadanya oleh kebudayaan tertentu. 18 Maka ketiga rukun yang dikemukakan Hamka tersebut sangat baik untuk mendidik akhlak manusia supaya budi semakin baik dan menjadi yang utama. Selanjutnya Hamka menyatakan bahwa musuh yang senantiasa menghalangi manusia mencapai keutamaan ialah hawa nafsu yang menyebabkan marah, dengki, loba dan kebencian. 19 Maka hawa nafsu yang bisa menyebabkan kerusakan akhlak tersebut harus diperangi dan dihilangkan. Dalam hal ini Hamka juga menjelaskan tentang hawa dan akal, menurut Hamka hawa membawa sesat dan tidak berpedoman, dan akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Untuk membedakan antara mana kehendak akal dan hawa amatlah sulit, maka untuk dapat membedakannya perlu ilmu hakikat yang dalam. Akan tetapi, meskipun pedoman itu telah ada, namun manusia masih sangat berpotensi menjadi sesat, karena semua itu bergantung kepada taufiq dan hidayat Ilahi, karena itu hendaklah lekas-lekas lari kepada Allah di waktu hati 17 Hamka, Tasawuf Modern ….,h. 119 18 Sidi Gazalba, masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, jilid 1Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h.53. 19 Hamka, Tasauf Modern..,h. 119 51 telah mulai ragu. Minta pertimbangaNya, bentangkan kitabNya. Demikian menurut Hamka. 20 Dalam buku yang sama Hamka juga menyebutkan beberapa sifat yang termasuk ke dalam keutamaan budi pekerti, yaitu syaja’ah, adil, iffah dan hikmat. Dalam hal ini sepertinya Hamka sependapat dengan imam Al Ghazali bahwa syaja’ah, adil, iffah dan hikmat adalah induk akhlak mulia, yang denganya dapat diketahui mana yang benar dan mana yang salah. 21 Selain itu, Hamka juga menjelaskan secar spesifik tentang beberapa perilaku terpuji yang ada dalam buku Tasawuf Modern, di antaranya yaitu malu, amanat, sidiq, ikhlas, qona’ah dan tawakal. Pertama, malu. Perasaan malu menurut Hamka sangat berpengaruh terhadap pergaulan hidup. Dengan malu, orang yang berakal akan enggan untuk mengerjakan perbuatan jahat. Sebelum orang menggunakan undang- undang lebih dahulu orang telah dilindungi oleh hukum malu yang telah melekat dalam budi pekertinya. Lebih lanjut Hamka mengatakan bahwa rasa malu tidak akan hidup dalam hati dan budi pekerti seorang manusia, kalau dia tidak merasakan rasa kehormatan diri. 22 Sifat malu membawa seseorang mengarungi lautan besar, memasuki rimba belantara, ditimpa susah dan kepayahan untuk mencapai keutamaan. Sifat malu menyebabkan manusia sanggup menahan hawa nafsu, mengekang dirinya dan menempuh halangan lantaran menghindarkan diri dari perangai yang durjana. Kedua, amanat. Bisa dipercaya amanat adalah tiang kedua dari masyarakat yang utama. Hamka mengutip pendapat Herbert Spencer yang berpendapat bahwa hidup itu ialah kelancaran hubungan diri dengan luar diri 23 . Sedang nasi sesuap, tak bisa masuk ke dalam mulut kalau tidak beribu bahkan bermiliun orang yang mengerjakan. Dia mesti ditanam oleh para petani yang 20 Hamka, Tasauf Modern ….,h. 124 21 Ahmad Muhammad Al Hufy, Akhlak Nabi Muhammad SAW;Kemuliaan dan Keluhuranya, Jakarta: Bulan Bintang h. 28. 22 Hamka, Tasawuf Modern..,h. 103 23 Hamka, Tasawuf Modern...,h. 105 52 begitu banyaknya, mesti ditumbuk oleh mesin penumbuk padi yang mempunyai buruh beribu-ribu orang, semua itu dikerjakan oleh bermiliun- miliun orang. Menurut Hamka, amanat adalah salah satu sifat yang harus dimiliki terutama dalam konteks hubungan diri dengan luar diri atau sesama manusia hablum minannas. Kebalikan dari sifat amanat adalah sifat khianat, yaitu menyia-nyiakan kepercayaan atau tidak dapat dipercaya, yang demikian itu termasuk ke dalam salah satu tanda orang munafiq. Hamka mengatakan, supaya masyarakat dapat hidup secara teratur, perlu berdiri pemerintah yang bisa mengatur Negara, sedangkan negara hanya dapat tegak di atas amanat. Kalau amanat telah runtuh atau para pemimpinnya khianat, maka runtuhlah pemerintah,berarti runtuh pulalah masyarakat dan umat. Ketiga, sidiq. Sidiq yang berarti jujur atau benar merupakan dasar pembinaan akhlak yang sangat penting dalam ajaran Islam. Dan bersikap seperti ini memerlukan perjuangan yang tidak ringan, karena banyaknya godaan dilingkungan sekitar yang menggoda kita untuk tidak bersikap jujur sidiq. Hamka menjelaskan bahwa sidiq adalah tiang ketiga dari masyarakat. Karena kejujuran sangatlah penting artinya bagi masyarakat. Dalam hal ini Hamka mengilustrasikan seorang manusia yang diciptakan dimuka bumi, yang awalnya tidak tau ke mana dia akan dibawa, hanya mempunyai panca indra yakni penciuman, pendengaran, penglihatan, perasaan lidah dan kulit. Dan manusia perlu pertolongan, baik pertolongan ilmu maupun akal. Dan semua tidak akan tercapai kalau pertolongan itu tidak diterima dari sumber yang benar. 24 Keempat, ikhlas. Sifat ikhlas merupakan salah satu sifat terpuji yang harus ditanamkan kepada peserta didik, Dalam ibadah misalnya, peserta didik selain diajarkan tentang syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan ibadah, juga perlu diajarkan tentang ruh ibadah yakni keikhlasan melaksanakan 24 Hamka, Tasawuf Modern …., h. 107 53 ibadah. Ikhlas ialah melaksanakan sesuatu amal semata-mata karena Allah, yakni semata-mata karena iman kepada yang maha pencipta, dan semata-mata mengharap Ridhanya. Sesungguhnya ikhlas itu adalah ruh suatu amalan. Sabda nabi : Allah tiada menerima amalan, melainkan amalan yang khalis bagiNya dan dituntut denganya keridhaan Allah HR. Ibnu Majah. Dalam buku risalah Al Qusairy karangan Qusyairy an naisabury, dijelaskan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah SWT, sebagai satu-satunya sesembahan. Sikap taat yang dimaksud adalah taqarrub kepada Allah, mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia. Dapat dikatakan, “keikhlasan berarti menyucikan amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga, “keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia. 25 Adapun ikhlas menurut Hamka adalah pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu . Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa Ikhlas dalam hal ini tidak hanya berlaku untuk Allah, tetapi untuk siapa saja. Dalam penjelasanya bila seseorang melakukan sesuatu untuk dipuji majikanya, maka ia berlaku ikhlas untuk majikanya atau bila manusia berlaku sesuatu untuk kepentingan perutnya, maka iapun ikhlas untuk perutnya. 26 Orang yang melakukan sesuatu untuk yang ditujunya, bila ia melakukan sesuatu untuk Allah semata berarti ia ikhlas karena Allah. Oleh karena itu Hamka menjelaskan dalam buku Tasawuf Modern tentang ikhlas kepada Allah, kitabullah, Rasulullah, dan ikhlas kepada kaum muslimin. Berikut penjelasanya: 1. Ikhlas kepada Allah Ikhlas kepada Allah maknanya adalah hanya semata-mata percaya kepadanya.Ia tidak boleh dipersekutukan dengan yang lain, pada zat sifat dan pada kekuasaanya.Hadapkan kepadanya segala sifat-sifat 25 Imam Qusyairi An Naisabury, risalah Qusyairiyah induk ilmu tasawuf, h. 243. 26 Hamka, Tasauf Modern …,h. 127 54 kesempurnaan yang penuh, hindarkan dari pada persangkaan sifat-sifat kekurangan. 2. Ikhlas kepada kitabullah Ikhlas kepada kitabullah adalah percaya dengan sungguh-sungguh bahwa kitab itu ialah kalamullah, yang tiada serupa dengan kalam makhluk. Tidak seorangpun yang sanggup membuat kitab semacam ini, kitabullah adalah kitab yang diturunkan Allah kepada rasulnya untuk menjadi tuntunan kita sekalian. Kita baca dan kita fahamkan isinya, kita junjung dan kita sucikan, kita perhatikan dengan hati yang khusu’. 3. Ikhlas kepada Rasulullah Ikhlas kepada Rasulullah adalah mengakui dengan sungguh-sungguh risalahnya, percaya dengan segala yang dibawanya. 4. Ikhlas kepada imam kaum muslimin Ikhlas kepada imam atau raja-raja dan pemerintah muslim ialah dengan jalan membela dalam kebenaran, taat kepada mereka di dalam agama. Hamka mengemukakan bahwa lawan dari ikhlas adalah isyrak, isyrak artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Sedangkan tempatnya ikhlas dan isyrak adalah hati. 27 Maka jika seseorang berniat mengerjakan sesuatu pekerjaan, mulai dari melangkah sudah dapat ditentukan ke mana arah dan tujuannya, apakah niat karena faktor lain ataukah karena Allah SWT. Ikhlas tidak dapat dipisahkan dari jujur atau dalam bahasa lainya tulus. 28 oleh sebab itu banyak orang mengatakan tulus ikhlas, padahal ketulusan itu bukanlah dibuktikan oleh lidah saja, tetapi lebih dari itu adalah hati. Ada sebuah syair yang diungkapkan oleh Hamka; Jangan terpedaya oleh seorang ahli pidato lantaran pidatonya, sebelum kelihatan bukti pada perbuatanya. Karena perkataan itu sumbernya adalah hati. Lidah hanya dijadikan sebagai tanda dari hati. Dalam menjelaskan tentang ikhlas Hamka merujuk surat Al Baqarah ayat 177: 27 Hamka, Tasawuf Modern…, h. 127 28 Hamka, Tasawuf Modern.., h. 129 55                                                        Tidaklah jasa dan kebaikan itu, bahwa engkau palingkan mukamu ke timur dan ke barat, tetapi jasa kebaikan ialah beriman kepada Allah dan hari akhirat, dengan malaikat dan Nabi; dan memberikan harta kepada yang berhak menerima dari kaum kerabat, anak yatim, orang miskin, orang yang tak tentu rumah tangganya, budak yang ada harapan akan dimerdekakan dan mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menempati perjanjian bilaman mereka berjanji, dan orang yang sabar di waktu kesusahan dan kesempitan, serta kesusahan yang tiba-tiba. Mereka itulah orang-orang yang benar dan tulus dalam pengakuanya, dan mereka itulah orang-orang yang muttaqin. QS. Al- Baqarah ayat 177. Kelima, qona’ah dan tawakal. Dewasa ini banyak sekali manusia yang saling berebut jabatan dan kekayaan dengan saling menjatuhkan satu sama lain, tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan. Selain budaya rebutan jabatan, budaya korupsi juga kian merajalela dewa ini yang membuat bangsa ini semakin hancur. Para koruptor bukanlah orang yang tidak memiliki cukup uang, bahkan kekayaan mereka relatif berlimpah, namun mereka tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah mereka miliki, karena mereka mengedepankan sifat tamak daripada sifat qona’ah. Qona’ah dan tawakal merupakan salah satu materi dalam Pendidikan Islam, Sifat qona’ah dan tawakal hendaknya dimiliki oleh peserta didik, karena Dengan sifat qona’ah orang tidak akan tergila-gila untuk menindas yang lain guna mendapatkan jabatan dan kekayaan, karena mereka yakin bahwa rizki telah diatur oleh Tuhan, tugas manusia adalah berikhtiar. Maka 56 Dzu Nuun al Mishry mengatakan bahwa orang qona’ah selamat dari orang- orang semasanya dan berjasa atas semua orang. Qona’ah menurut Abu Abdullah bin khafif adalah meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki. Muhammad bin Ali at Tirmidzi menegaskan, qona’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rizki yang diberikan. 29 Rasulullah SAW bersabda:“qona’ah itu adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap” Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern menjelaskan bahwa q ona’ah adalah menerima dengan cukup, dan qona’ah mengandung lima perkara: 1. Menerima dengan rela apa yang ada 2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha 3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan 4. Bertawakal kapada Tuhan 5. Tidak tertarik oleh tipu daya manusia 30 Qona’ah bukan berarti menerima saja apa yang ada, sehingga tidak ada ikhtiar. Karena sejatinya agama menyuruh untuk qona’ah hati bukan qona’ah ikhtiar. Rasulullah bersabda: “Qona’ah itu adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap. ” Hamka menjelaskan bahwa qona’ah maknanya sangatlah luas. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita., menyuruh sabar akan ketentuan ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur akan dipinjaminya Nikmat. Maka bekerja, berusaha, bergiat sehabis tenaga adalah kewajiban manusia. 31 Jadi qona’ah bukan untuk melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qona’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup. 29 Abul Qasim Al Qusyairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, induk ilmu Tasawuf, Terj. Dari Arrisalatul Qusyairiyah fi’ilm At Tashawwufi oleh Muhammad Luqman Hakim, Surabaya: Risalah Gusti, 1997, cet: 2, h. 174 30 Hamka, Tasawuf Modern…, h. 219 31 Hamka, Tasawuf Modern…, h. 221 57 Dalam pendidikan Islam sifat qona’ah merupakan sifat yang terpuji yang tentunya harus dimiliki oleh peserta didik, dengan sifat qona’ah yang mempunyai makna yang sangat luas maka peserta didik tidak akan malas dalam berusaha dan belajar, karena sebagaimana dijelaskan Hamka bahwa qona’ah yang dimaksud adalah qona’ah hati bukan qona’ah ikhtiar. Sejatinya q ona’ah adalah tiang kekayan yang sejati. Dan lawan qona’ah adalah gelisah, gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. 32 Agar manusia tidak salah paham tentang qana’ah yaitu merasa puas dengan yang telah dimiliki. Maka Hamka membedakan qona’ah dengan malas, karena malas dan qona’ah perbedaanya sangat tipis. Qona’ah adalah berikhtiar semaksimal mungkin untuk mendapatkan rizki dan merasa puas dengan rizki yang telah dimilikinya, sedangkan malas adalah merasa puas dengan rizki yang dimiliki tanpa melakukan ikhtiar. Di dalam qona’ah seperti yang telah dijelaskan di atas tersimpulah tawakal, yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Syekh Muhammad Shalih al Muajjid berpendapat bahwa tawakal merupakan tingkatan akhlak yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi pelakunya. Tawakal adalah bagian dari hasil keimanan yang terbesar, amalan dan ibadah yang paling utama yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah SWT. 33 Menurut Hamka tawakal bukan semata-mata menyerahkan seluruhnya kepada kehendak Allah tanpa berusaha sama sekali, tapi tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan Allah setelah manusia melakukan ikhtiar semaksimal mungkin. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Hamka yaitu: Maka orang yang menutup kandangnya, takut ayamnya ditangkap musang, orang yang mengunci rumahnya takut maling masuk, orang yang mengikat untanya takut akan dilarikan orang; mereka itulah mutawakil, bertawakalh yang sejati, tawakal dalam teori dan praktek. 34 32 Hamka, Tasawuf Modern …, h. 222 33 Syekh Muhammad Shalih Al Munajjid, Jagalah Hati Raih Ketenangan, penerjemah: Saat Mubarak, cet 1, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006, h. 35. 34 Hamka, Tasawuf Modern …, h. 233-234 58 Kritikan Hamka tentang tawakal tersebut sejalan dengan pendirianya tentang adanya kebebasan manusia dalam memilih takdir hidupnya. Keterangan tawakal yang demikian mendorong orang untuk berusaha, tidak hanya pasrah terhadap keadaan dengan dalih tawakal kepada Allah SWT.

C. Pendidikan Spiritual Tazkiyatunnafs