Pengaruh Sosial Budaya terhadap Pemenuhan Hak-Hak Reproduksi Wanita pada Pasangan Usia Subur di Rumah Sakit Tingkat II DAM I/BB di Kota Medan Tahun 2012
PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK REPRODUKSI WANITA PADA PASANGAN USIA SUBUR DI RUMAH
SAKIT TINGKAT II DAM I/BB DI KOTA MEDAN TAHUN 2012
TESIS
Oleh
ERNI NAIBAHO 107032169/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK REPRODUKSI WANITA PADA PASANGAN USIA SUBUR DI RUMAH
SAKIT TINGKAT II DAM I/BB DI KOTA MEDAN TAHUN 2012
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ERNI NAIBAHO 107032169/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK REPRODUKSI WANITA PADA PASANGAN USIA SUBUR DI RUMAH SAKIT TINGKAT II DAM I/BB DI KOTA MEDAN TAHUN 2012
Nama Mahasiswa : Erni Naibaho Nomor Induk Mahasiswa : 097032169
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Fikarwin Zuska) (dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 30 Agustus 2012
KETUA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Fikarwin Zuska
Anggota : 1. dr. Yusniwarti Yusad, M.Si 2. Dra. Syarifah, M.S
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK REPRODUKSI WANITA PADA PASANGAN USIA SUBUR DI RUMAH
SAKIT TINGKAT II DAM I/BB DI KOTA MEDAN TAHUN 2012
TESIS
Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2012
Erni Naibaho 107032169/IKM
(6)
ABSTRAK
Pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur (PUS) di Rumah Sakit Tk.II DAM I/BB Kota Medan tidak sepenuhnya bebas melakukan sesuatu hal yang berkaitan dengan hak kesehatan reproduksinya. Keadaan ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan) wanita tersebut berada.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepecayaan) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur di Rumah Sakit Tk. II DAM/I BB Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur yang memeriksakan kehamilannya, melahirkan, mengunjungi klinik KB di Rumah sakit Tk. II DAM I/ BB Kota Medan pada tahun 2012 yang berjumlah 1.417 orang yang memeriksakan kehamilannya 701 orang, mengunjungi klinik KB 188 orang, dan melahirkan 528 orang. Sampel sebanyak 90 orang, diambil dengan cara purposive sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik gandapada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden mayoritas dengan pengetahuan baik sebesar 56,7%, sikap mayoritas dengan sikap baik sebesar 60,0%, nilai atau aturan baik sebesar 58,9%, kepercayaan baik sebesar 66,7%, menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan memilih pelayanan kesehatan mayoritas dengan kategori terpenuhi 51,1%, terdapat pengaruh sosio budaya (pengetahuan, sikap dan nilai atau aturan) terhadap pemenuhan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan dan tidak terdapat pengaruh sosio budaya (kepercayaan) terhadap pemenuhan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
Saran peneliti kepada Rumah Sakit Tk. II DAM I/BB Kota Medan khususnya bagi petugas yang bertugas lebih meningkatkan pelayanan kebidanan dalam memberikan penyuluhan, konseling, komunikasi, informasi, edukasi (KIE) bagi suami,istri dan pemutaran filim tentang hak merencanakan kapan sebaiknya hamil dan hak mengatur jarak kelahiran serta berhak mendapat pelayanan kesehatan yang aman dan tenang.
(7)
ABSTRACT
The fulfillment of women's reproductive rights of the reproductive age couples at DAMI/BE Hospital Level II Medan does not mean that the women are fully free to do anything related to their rights of reproductive health. This condition is influenced by the socio-cultural environment (knowledge, attitude, value and trust) of where they are.
The purpose of this analytical survey study with cross-sectional approach was to analyze the influence of socio-culture (knowledge, attitude, value and trust) on the women's reproductive rights of the reproductive age couples at DAM I/BB Hospital Level II Medan. The population of this study was all of the 1,417 women in reproductive age who visited DAM I/BB Hospital Level II Medan in 2012 comprising 701 women having their pregnancy examined, 188 women visited the Family Planning clinic, and 528 women delivered their babies; and 90 of the women in the three clusters were determined through cluster sampling technique and the individual sample was selected through purposive sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at a =
5%.
The result of this study showed that majority of the respondents had good knowledge (56.7%), majority of the respondents had good attitude (60.0%), the value or regulation was good (58.9%), trust was good (66.7%), majority of determining the number of children, birth spacing, and selecting health service were met (51.1%). The socio-culture (knowledge, attitude, and value) had influence on determining the number of children, birth spacing, and selecting health service. Trust did not have any influence on the fulfillment of the number of children, birth spacing, and obtaining health service at DAM I/BB Hospital Level II Medan.
The health service are suggested to improve the understanding of the mothers about the importance of fulfilling the number of children, birth spacing, and selecting health service that the women in reproductive age further improve the fulfillment of reproductive rights. The mothers are suggested to further improve their knowledge, attitude and value on the fulfillment of the number of children, birth spacing, and obtaining health service.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat-Nya lah maka tesis ini bisa selesai tepat pada waktunya, adapun tesis ini berjudul "Pengaruh Sosial Budaya terhadap Pemenuhan Hak-Hak Reproduksi Wanita pada Pasangan Usia Subur di Rumah Sakit Tingkat II DAM I/BB di Kota Medan Tahun 2012".
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, saya mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H. M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(9)
4. Dr. Fikarwin Zuska selaku ketua pembimbing I yang telah banyak memberi waktu, pikiran, dalam membimbing dan mengarahkan saya selama penyusunan dan pembuatan tesis ini.
5. dr. Yusniwarti Yusad, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu dan pemikiran demi tesis ini.
6. Dra. Syarifah, M.S selaku penguji I yang telah memberikan dan meluangkan waktu serta pemikiran selama perbaikan tesis ini dengan kesabaran.
7. Asfnyati, S.K.M, M.Kes selaku penguji II yang telah banyak memberikan masukan dalam pembuatan tesis ini dengan penuh kebaikan dan kesabaran. 8. Mayjen TNI Loudwik F. Paulus, Pangdam I/BB, Bapak Kolonel Ckm dr. Dubel
Mariyenes, Sp.B, Kakesdam I/BB dan Bapak Kolonel Ckm dr. M. Munif, Karumkit TK. II Putri Hijau Kesdam I/BB yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
9. Orang tua tersayang Ayahanda O. Naibaho dan Ibunda H.Sinurat yang telah memberikan doa dan dukungan selama mengikuti pendidikan.
10. Suamiku Drs. J. Limbong, M.Si dan anak-anakku tersayang, Friska, Ivan, Gracius yang telah memberikan doa dan dukungan selama mengikuti pendidikan
Saya menyadari bahwa penulisan ini mempunyai kelcurangan. Untuk itu, saya menerima kritik dan saran guna penyempurnaan tesis ini. Untuk semua saran dan kritik yang disampaikan demi perbaikan tesis ini saya ucapkan terima kasih.
Akhirnya saya mohon maaf yang setulusnya kepada semua pihak jika ditemui kekurangan selama saya mengikuti pendidikan dan penelitian berlangsung. Semoga
(10)
Tuhan Yang Maha Kuasa yang membalas semua kebaikan yang diberikan kepada saya dengan berlipat-lipat ganda. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Oktober 2012 Penulis,
Erni Naibaho 107032169/IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Saya bernama Erni Naibaho, dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Desember 1968, anak 2 dari 8 bersaudara, beragama Katolik dengan alamat di Budi Luhur Kecamatan Medan Helvetia.
Saya menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD RK Makmur Jalan Makmur Medan tahun 1976-1981, tahun 1981- 1984 menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) RK Makmur tahun 1984 - 1987 menamatkan pendidikan di SPK Kesdam I/BB Medan tahun 1994 - 1995 menamatkan pendidikan Bidan DI Sari Mutiara Medan tahun 2002-2005 menamatkan pendidikan Akademi Kebidanan Politeknik Kesehatan Medan, tahun 2008-2009 menamatkan Pendidikan D4 Bidan Pendidik di Fakultas Kedokteran USU Medan kemudian tahun 2010 mendaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Tahun 1987 sampai dengan sekarang bekerja di Rumah Sakit Tingkat II DAM I/BB Medan sebagai Ketua Komite Keperawatan.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Hipotesis ... 11
1.5. Manfaat Penelitian ... 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Sosial Budaya ... 12
2.1.1. Pengertian Sosial Budaya ... 12
2.1.2. Pembagian Budaya ... 13
2.1.3. Unsur Budaya ... 15
2.1.4. Wujud Budaya ... 17
2.1.5. Sistem Sosial Budaya ... 18
2.2. Kesehatan Reproduksi ... 19
2.2.1. Sejarah Kesehatan Reproduksi ... 19
2.2.2. Pengertian Kesehatan Reproduksi ... 20
2.2.3. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan ... 21
2.3. Hak Reproduksi Wanita ... 21
2.3.1. Pengertian Hak Reproduksi Wanita ... 21
2.3.2. Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita ... 23
2.4. Penentuan Jarak Kehamilan ... 29
2.5. Perencanaan Kehamilan yang Sehat ... 32
2.5.1. Fase-fase dalam Mengatur Kehamilan ... 32
2.6. Efek Jarak Kehamilan Terlalu Dekat pada Anak ... 33 2.7. Faktor yang Mendasari Penentuan Jarak Kehamilan pada Pasangan
(13)
Usia Subur (PUS) ... 34
2.7.1. Umur ... 34
2.7.2. Pendidikan ... 35
2.7.3. Ekonomi ... 35
2.7.4. Sosial Budaya ... 36
2.7.5. Sumber Informasi ... 37
2.7.6. Status Kesehatan ... 37
2.8. Pelayanan Kesehatan Reproduksi ... 38
2.9. Pasangan Usia Subur ... 39
2.9.1. Pengertian Pasangan Usia Subur ... 39
2.10. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Reproduksi ... 39
2.10. 1. Masalah Kesehatan Reproduksi ... 40
2.11. Jarak Kehamilan ... 44
2.12. Landasan Teori ... 46
2.13. Kerangka Konsep ... 48
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49
3.1. Jenis Penelitian ... 49
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 49
3.2.2. Waktu Penelitian ... 49
3.3. Populasi dan Sampel ... 49
3.3.1. Populasi ... 49
3.3.2. Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel ... 50
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 51
3.4.1. Jenis Data ... 51
3.4.2. Pengumpulan Data ... 52
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 52
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 53
3.6. Metode Pengukuran ... 54
3.7. Metode Analisis Data ... 56
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57
4.1.1. Lokasi Penelitian ... 57
4.1.2. Sejarah Singkat Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 57
(14)
4.1.3. Sarana Rumah Sakit Tk II DAI/BB ... 58 4.1.4. Tenaga Kesehatan dan Pelayanan di Rumah Sakit Tingkat II
Putri Hijau Kesdam II/BB Medan ... 60 4.1.5. Karakteristik Responden ... 60 4.2. Analisis Univariat ... 61
4.2.1. Pengetahuan Responden tentang Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan . 61 4.2.2. Distribusi Sikap Responden tentang Pemenuhan Hak-hak
Reproduksi Wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan . 63 4.3.3. Nilai Responden tentang Pemenuhan Hak-hak Reproduksi
Wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan ... 65 4.3.4. Kepercayaan ... 67 4.3.5. Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita pada Pasangan Usia
Subur ... 68 4.3. Analisis Bivariat ... 70
4.3.1. Hubungan Pengetahuan Responden dengan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan ... 70 4.3.2. Hubungan Sikap dengan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi
Wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan ... 71 4.3.3. Hubungan Nilai Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di
Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 72 4.3.4. Hubungan Kepercayaan dengan Pemenuhan Hak-hak
Reproduksi Wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan . 72 4.4. Analisis Multivariat ... 73 BAB 5. PEMBAHASAN ... 78
5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Pemenuhan Jumlah Anak, Jarak Kelahiran dan Mendapat Pelayanan Kesehatan di Rumkit Tk. II DAM/II BB Kota Medan ... 78 5.2. Pengaruh Sikap terhadap Pemenuhan Jumlah Anak, Jarak Kelahiran
dan Mendapat Pelayanan Kesehatan di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 80 5.3. Pengaruh Nilai terhadap Pemenuhan Jumlah Anak, Jarak Kelahiran
dan Mendapat Pelayanan Kesehatan di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan ... 82
(15)
5.4. Pengaruh Kepercayaan terhadap Pemenuhan Jumlah Anak, Jarak Kelahiran dan Mendapat Pelayanan Kesehatan di Rumkit TK. II
DAM/I BB Kota Medan ... 84
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86
6.1. Kesimpulan ... 86
6.2. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
(16)
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman 3.1. Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 56 4.1. Distribusi Karakteristik Responden di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota
Medan ... 60 4.2. Pengetahuan Responden tentang Menentukan Jumlah Anak, Jarak
Kelahiran dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Rumkit TK. II
DAM/I BB Kota Medan ... 62 4.3. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden tentang Pemenuhan
Hak-hak Reproduksi Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 63 4.4. Sikap Responden tentang Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di
Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 64 4.5. Distribusi Kategori Sikap Responden tentang Pemenuhan Hak-hak
Reproduksi Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 65 4.6. Distribusi Nilai Responden tentang Pemenuhan Hak-hak Reproduksi
Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 65 4.7. Distribusi Kategori Nilai Responden tentang Pemenuhan Hak-hak
Reproduksi Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 66 4.8. Kepercayaan Responden di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan .... 67 4.9. Distribusi Kategori Kepercayaan Responden tentang Pemenuhan
Hak-hak Reproduksi Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 68 4.10. Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita pada Pasangan Usia Subur .. 68
(17)
4.11. Distribusi Kategori tentang Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita
di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 69 4.12. Hubungan Pengetahuan dengan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi
Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 70 4.13. Hubungan Sikap dengan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di
Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 71 4.14. Hubungan Nilai dengan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di
Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 72 4.15. Hubungan Kepercayaan dengan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi
Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB Kota Medan ... 73 4.16. Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Nilai dan Kepercayaan terhadap
Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita di Rumkit TK. II DAM/I BB
(18)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman 1. Landasan Teori ... 47 2. Kerangka Konseptual Penelitian ... 48
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Kuesioner ... 91
2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 94
3. Master Data ... 101
4. Uji Univariat, Bivariat dan Multivariat ... 110
(20)
ABSTRAK
Pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur (PUS) di Rumah Sakit Tk.II DAM I/BB Kota Medan tidak sepenuhnya bebas melakukan sesuatu hal yang berkaitan dengan hak kesehatan reproduksinya. Keadaan ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan) wanita tersebut berada.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepecayaan) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur di Rumah Sakit Tk. II DAM/I BB Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur yang memeriksakan kehamilannya, melahirkan, mengunjungi klinik KB di Rumah sakit Tk. II DAM I/ BB Kota Medan pada tahun 2012 yang berjumlah 1.417 orang yang memeriksakan kehamilannya 701 orang, mengunjungi klinik KB 188 orang, dan melahirkan 528 orang. Sampel sebanyak 90 orang, diambil dengan cara purposive sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik gandapada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden mayoritas dengan pengetahuan baik sebesar 56,7%, sikap mayoritas dengan sikap baik sebesar 60,0%, nilai atau aturan baik sebesar 58,9%, kepercayaan baik sebesar 66,7%, menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan memilih pelayanan kesehatan mayoritas dengan kategori terpenuhi 51,1%, terdapat pengaruh sosio budaya (pengetahuan, sikap dan nilai atau aturan) terhadap pemenuhan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan dan tidak terdapat pengaruh sosio budaya (kepercayaan) terhadap pemenuhan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
Saran peneliti kepada Rumah Sakit Tk. II DAM I/BB Kota Medan khususnya bagi petugas yang bertugas lebih meningkatkan pelayanan kebidanan dalam memberikan penyuluhan, konseling, komunikasi, informasi, edukasi (KIE) bagi suami,istri dan pemutaran filim tentang hak merencanakan kapan sebaiknya hamil dan hak mengatur jarak kelahiran serta berhak mendapat pelayanan kesehatan yang aman dan tenang.
(21)
ABSTRACT
The fulfillment of women's reproductive rights of the reproductive age couples at DAMI/BE Hospital Level II Medan does not mean that the women are fully free to do anything related to their rights of reproductive health. This condition is influenced by the socio-cultural environment (knowledge, attitude, value and trust) of where they are.
The purpose of this analytical survey study with cross-sectional approach was to analyze the influence of socio-culture (knowledge, attitude, value and trust) on the women's reproductive rights of the reproductive age couples at DAM I/BB Hospital Level II Medan. The population of this study was all of the 1,417 women in reproductive age who visited DAM I/BB Hospital Level II Medan in 2012 comprising 701 women having their pregnancy examined, 188 women visited the Family Planning clinic, and 528 women delivered their babies; and 90 of the women in the three clusters were determined through cluster sampling technique and the individual sample was selected through purposive sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at a =
5%.
The result of this study showed that majority of the respondents had good knowledge (56.7%), majority of the respondents had good attitude (60.0%), the value or regulation was good (58.9%), trust was good (66.7%), majority of determining the number of children, birth spacing, and selecting health service were met (51.1%). The socio-culture (knowledge, attitude, and value) had influence on determining the number of children, birth spacing, and selecting health service. Trust did not have any influence on the fulfillment of the number of children, birth spacing, and obtaining health service at DAM I/BB Hospital Level II Medan.
The health service are suggested to improve the understanding of the mothers about the importance of fulfilling the number of children, birth spacing, and selecting health service that the women in reproductive age further improve the fulfillment of reproductive rights. The mothers are suggested to further improve their knowledge, attitude and value on the fulfillment of the number of children, birth spacing, and obtaining health service.
(22)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pemenuhan hak-hak reproduksi wanita di dunia pada masa sekarang ini masih banyak persoalan, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah Negara Indonesia, di mana masalah kesehatan reproduksi masih memprihatinkan, misalnya : kekerasan dalam rumah tangga (78%), kematian ibu (45%), pemilihan alat kontrasepsi (32%), perceraian (28%), wanita buta huruf (14,9%), aborsi (13%), kawin usia muda (3,8%) (Noah 2007).
Persoalan kesehatan reproduksi di atas terjadi karena banyak hal, misalnya kemiskinan, pendidikan, gender, beban kerja yang terlalu berat, kawin muda, dan kekurangan gizi (Ismail 2008). Kemiskinan mengakibatkan pendidikan yang rendah,.Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya anak laki-laki seringkali lebih di utamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Kemiskinan juga dapat melakukan kekerasan terhadap istri juga dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap istrinya yang berpendidikan rendah yang di lakukan suami akan berdampak buruk pada kesehatan ibu. Tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya.
(23)
Nunuk Fawziah (2009) menyatakan bahwa kejadian KDRT di daerah Tuban kebanyakan perempuan buta huruf 70%, yaitu tidak mampu membaca dan menulis. Kejadian ini terdapat di pedesaan terutama tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, dan masyarakat menganggapnya biasa, hal ini di sebabkan masih kuatnya patriarkhi dalam budaya masyarakat pedesaan. Budaya ini menempatkan laki-laki sebagai peran utama dalam kehidupan sosial sementara perempuan masih di anggap sebagai subordinat, dalam budaya patriakhi ini laki-laki dominan melakukan kekerasan terhadap istri karena istri hanya pelengkap rumah tangga.
Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM 2003 terdapat 655 kasus kekerasan terhadap perempuan, 50 persennya adalah kekerasan seksual, yang di lakukan pada 47 % perempuan di bawah 18 tahun, yang berpendidikan SD hingga SLTA (74 %). Jika kekerasan itu di lakukan dalam rumah tangga, hal ini sangat ironis karena kekerasan itu justru di lakukan oleh orang yang mereka cintai artinya setiap perempuan mempunyai hak untuk tidak mendapat kekerasan ( fisik mupun verbal) oleh pasangan seksualnya ataupun orang lain.
Menurut Soekanto (2001),di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya dibawah usia 18 tahun). Sebagian masyarakat menganggap kalau belum menikah di usia muda di anggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan di serahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Disamping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita
(24)
yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
Laporan BPS 2008 menyatakan bahwa median usia kawin muda perempuan Indonesia 19 tahun, perempuan di pedesaan 18 tahun, perkotaan 20 tahun. Sulitnya perempuan mendapat akses pendidikan dan informasi yang mengakibatkan perempuan Indonesia di atas 10 tahun tidak bersekolah sebesar 11,56 % dari jumlah penduduk, perempuan buta huruf 12,28 %.
Sutar (2008) menyatakan bahwa wanita yang telah menjadi ibu sebelum usia 20 tahun terjadi di berbagai negara. Banyak wanita tersebut tidak sempat memulihkan tenaga antara jarak kehamilan tidak menggunakan alat kontrasepsi sehingga lebih sering mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebagian besar wanita tersebut memperoleh status aman di masyarakat dengan mempunyai banyak anak, terutama anak laki-laki. Di berbagai negara, anak perempuan berusia belasan tahun secepat mungkin ditekan untuk menikah dan mempunyai anak pertama. Contohnya di Zaria, Nigeria, 83% anak perempuan telah menikah pada umur 14 tahun.
Ihromi (2007), menyatakan perceraian merupakan masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, perceraian itu menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian menimbulkan celaan, kutukan, dan pelecehan bagi sang istri. Ihromi juga mengatakan perceraian menyebabkan wanita single perent. Dalam posisi seperti ini wanita akan mengerjakan pekerjaan ganda seperti mengurus anak –anak dan mencari nafkah untuk kehidupan keluarga.
(25)
Menurut World Health organization (WHO) kekurangan gizi di negara berkembang terrnasuk Indonesia, menyebabkan kira-kira 450 juta wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak sehingga fungsi alat –alat reproduksi tidak berkembang dengan sempurna dan berdampak buruk pada kehamilan, persalinan dan nifas sementara itu menurut hasil-hasil penelitian terdahulu bahwa wanita ternyata bekerja jauh lebih lama dari pada pria. Berbagai penelitian yang telah di lakukan di seluruh dunia menyebabkan rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress sehingga kesehatan reproduksi tidak pernah di hiraukan dan di perhatikan karena beban kerja yang berat yang dapat berdampak pada kesehatan reproduksi wanita yang menggalami beban kerja yang berat tersebut. Suehendi, (2001).
Menurut Affandi (2007), mengenai aborsi yang di selenggarakan pada periode 80-an menemukan bahwa ternyata pelayanan aborsi juga di cari oleh perempuan menikah yang tidak menginginkan tambah anak lagi tetapi tidak menggunakan kontrasepsi. Pola ini tidak berubah di era 90-an, seperti di tunjukkan pada sebuah penelitian di Bali di mana 71% perempuan yang melakukan aborsi berstatus menikah. penelitian yang diselenggarakan oleh Population Council pada tahun 2000-2007 di klinik swasta dan klinik pemerintah menunjukkan 98,8% klien merupakan perempuan menikah dan telah punya 1-3 orang anak (Herdayati 2008).
Tingginya kasus aborsi pada perempuan menikah dengan jumlah paritas tinggi ini, memberikan pemikiran mengenai rendahnya pemakaian kontrasepsi dan
(26)
rendahnya kualitas pelayanan kontrasepsi. Hasil SDKI 2005 menunjukkan masih terdapat 9% pasangan usia subur (PUS) yang tidak ingin hamil tetapi tidak memakai kontrasepsi (BPS, BKKBN, Depkes 2006).
Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Di perkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo 2008).
Berdasarkan laporan World Health organization (WHO) pada tahun 2005 Fakta tentang kematian ibu di Indonesia juga memperlihatkan kondisi–kondisi seperti ini ikut mempengaruhi kondisi kesehatan reproduksi wanita, yang tidak menggambarkan Angka Kematian Ibu di Indonesia masih relatif tinggi sebesar 420/100.000 kelahiran hidup. Angka ini tergolong tinggi di bandingkan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) di Negara Asia Tenggara lainnya. Angka Kematian Ibu (AKI) di Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup dan di Thailand 110/100.000 kelahiran hidup. Di Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup, di Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup.
Menurut Depkes RI (2005), Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mengalami penurunan dari 420/100.000 kelahiran hidup menjadi 373/100.000 kelahiran hidup. Namun angka ini masih tergolong tinggi karena sama artinya dengan perbandingan negara-negara tetangga se Asia Tenggara menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) 373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada
(27)
Singapura (AKI 10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup).
Di Provinsi Sumatera Utara, tempat penelitian ini di lakukan memperlihatkan Angka Kematian Ibu (AKI) cenderung menurun. Pada tahun 2006 Angka Kematian Ibu (AKI) 330 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2008 Angka Kematian Ibu (AKI) 315 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Sumut, 2010), tahun 2009 AKI 280 per 100.000 kelahiran hidup (Saragih, 2010). Angka- angka tersebut menunjukkan AKI Sumatra Utara cenderung menurun, tetapi tidak mencapai target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI 2008).
Masih tingginya angka kematian ibu berarti masih rendahnya kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu. Masalah kematian maternal ini merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut banyak hal, status kesehatan reproduksi dan status gizi sebelumnya dan selama kehamilan. Penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah Anemia, Kurang Energi Kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu” (terlalu muda/tua, sering dan banyak) (Wiknjosastro 2008).
Hasil penelitian Tambunan (2009) di RSUD Dr. Pirngadi tahun 2007 terdapat 1142 persalinan dengan kasus komplikasi persalinan sebanyak 154 dan 8 kasus kematian maternal. Penyebab tingginya komplikasi persalinan itu karena banyaknya kasus yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) dalam keadaan morbiditas berat, perdarahan, preeklamsia/eklamsia dan infeksi postpartum, penyebab langsung
(28)
kematian maternal yaitu preeklamsia/eklamsia menduduki urutan pertama sebanyak 7 kasus (87,5%) diikuti perdarahan 1 kasus (12,5%).
Wiknjosastro (2005), menyatakan bahwa penjelasan kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan pada ibu yang di sebabkan tiga macam keterlambatan antara lain (1) keterlambatan untuk memutuskan untuk segera mencari pengobatan atau pertolongan karena (a) tidak mengetahui akan adanya komplikasi, (b) status wanita yang dianggap masih rendah (c) hambatan sosio kultural dalam mencari pengobatan atau pertolongan: (2) keterlambatan akses terhadap tempat pengobatan atau pertolongan, karena letak geografis atau karena faktor ekonomi (3) keterlambatan dalam mendapat pertolongan karena sarana tidak memadai, petugas kesehatan yang tidak terlatih .
Menurut Kompas (2007), perempuan tidak sepenuhnya dapat mengambil keputusan untuk menentukan jumlah anak dan keinginannya untuk hamil. Di kalangan masyarakat Mentawai misalnya laki-laki yang justru menentukan kehamilan. Suami akan bersikeras ingin punya anak lagi bila jumlah anak laki-laki belum mencapai yang di harapkannya. Anak laki-laki merupakan pewaris harta di keluarga Mentawai. Jarak usia anak umumnya berdekatan dan kasus keguguran sudah di anggap masalah yang biasa. Kehamilan bukan sesuatu yang dirasa perlu untuk dirawat intensif, seperti periksa rutin ke tenaga medis, mengurangi pekerjaan berat, dan mengkonsumsi makanan bergizi. Perempuan yang hamil dan tidak hamil tidak mendapatkan perbedaan perlakuan. Kondisi ini di perparah dengan tidak ada tenaga medis yang bisa membantu merawat kehamilan para ibu.
(29)
Sesungguhnya tiap wanita mempunyai hak mendapat pelayanan dan perlindungan setinggi-tingginya untuk perawatan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. Namun terkadang, menurut Depkes RI (2008), istri harus tertular penyakit menular seksual atau HIV/AIDS, yang mengakibatkan kemandulan, keguguran, bahkan kehamilan ekstra uterine dan radang panggul, bukan akibat perbuatannya, tapi akibat perilaku seks suami yang tidak terkendali (suka berhubungan seks tidak aman di luar). Di Indonesia terdapat kasus AIDS pada perempuan 2.658 (Depkes RI 2008).
Fenomena Angka Kematian Ibu (AKI) di atas relatif masih tinggi sehingga memengaruhi kondisi kesehatan reproduksi wanita pada kehamilan, persalinan dan kontrasepsi, hal ini di akibatkan pengambilan keputusan berada di tangan laki-laki maka perempuan tersebut dapat mengalami resiko tinggi terhadap kematian seperti komplikasi kehamilan dan persalinan ini terjadi karena perempuan pada masa reproduksinya tidak dapat menentukan hak reproduksinya dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan pelayanan kesehatan reproduksinya (Abdullah, 2001).
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit TK II/BB pada tahun 2008-2010 ditemukan jumlah ibu meninggal 4 orang yang disebabkan komplikasi. Sedangkan data pada tahun 2008-2011 ditemukan 8 bayi meninggal yang disebabkan masih kurang usia kehamilan,dan bayi berat lahir rendah.
Rumah Sakit TK I/BB merupakan Rumah Sakit tipe B, dan juga Rumah Sakit pendidikan, Rumah Sakit rujukan. Rumah Sakit ini menerima atau melayani Tentara, masyarakat umum, askes, dan perusahaan. Rumah Sakit ini memiliki fasilitas
(30)
pelayanan prima yang salah satunya rawat inap, terdiri dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan kebidanan dan pelayanan penunjang. Pelayanan kebidanan diberikan pada ibu hamil, ibu melahirkan dan konseling pemasangan alat kontrasepsi serta pemberian, informasi melalui pemutaran filim mengenai kesehatan reproduksi wanita khususnya tentang jumlah anak, jarak kelahiran dan pelayanan kesehatan reproduksi tentang hak-hak reproduksi wanita. Dari kunjungan ibu hamil dan ibu melahirkan ke Rumah Sakit yang berada di pusat Kota Medan tampak, bahwa masih banyak ibu hamil, ibu melahirkan yang sudah memilik anak di atas 4 orang(43,3%) Menurut hasil penelitian yang ada, hal ini di sebabkan rendahnya pengetahuan ibu mengenai hak-hak reproduksi mengenai Kesehatan reproduksi dan posisinya dalam menentukan jumlah anak,jarak kelahiran dan pelayanan kesehatan (Kusumapradja 2002).
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2011 pun menunjukan gejala yang sama. Dari 87 orang ibu yang bersalin, 10 di antaranya memiliki jumlah anak di atas 4 orang. Hasil wawancara yang di lakukan kepada dokter yang menolong persalinan dengan menyatakan keluarga bersangkutan ingin mendapatkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti selama bulan Oktober sampai Desember 2011 dari 94 ibu yang bersalin 12 di antaranya memiliki jumlah anak di atas 4 orang di Rumah Sakit TK II DAM I/BB Medan. Hasil wawancara di lakukan kepada suami menyatakan bahwa keingginan mempunyai anak laki-laki sebagai penerus keturunan keluarga sebagai .alasan utama.
(31)
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak reproduksi wanita masih belum terpenuhi menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi wanita, masih banyak pihak keluarga tidak memperhatikan kesehatan wanita, umpamanya melalui penekanan sosial budaya tentang pentingnya mempunyai anak laki–laki sebagai penerus garis keturunan keluarga (Hia, 2011). Inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh sosial budaya terhadap pemenuhan hak-hak Reproduksi Wanita pada Pasangan Usia Subur, terutama dalam hal menetukan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi. Penelitian ini akan di lakukan di Rumah Sakit TK II DAM I /BB sebagai salah satu Rumah Sakit rujukan yang melakukan pelayanan kebidanan dan konseling. Faktor sosial budaya yang di maksud di sini mencakup 4 hal yaitu pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan.
1.2. Permasalahan
Bagaimanakah sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai kepercayaan) terhadap pemenuhan hak reproduksi wanita menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi pada pasangan usia subur di Rumah Sakit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosial budaya terhadap pemenuhan hak reproduksi wanita menentukan jumlah anak, jarak kelahiran
(32)
dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi pada pasangan usia subur di Rumah Sakit TK. II DAM/I BB Kota Medan tahun 2012.
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur di Rumah Sakit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan di bidang KB dan pemberdayaan perempuan dan BKKBN dalam merumuskan kebijakan kesehatan reproduksi dalam upaya peningkatan pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur.
2. Bagi tenaga kesehatan meningkatkan promosi tentang kesehatan reproduksi dan hak reproduksi wanita terutama tentang menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi pada wanita.
(33)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sosial Budaya
2.1.1. Pengertian Sosial Budaya
Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika di lihat dari asal katanya,
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) di artikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Menurut Koentjoroningrat (1981), budaya berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekerti. Sedangkan menurut Larry, dkk kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang di miliki dan di pertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi.
sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama.
Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang di aturkan atau di ajarkan manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989) sedangkan menurut Sir Eduarel Baylor (1871) dalam Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung pengetahuan, kepercaayaan seni, moral,
(34)
hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi setempat.
Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, religius, dan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
2.1.2. Pembagian Budaya
Menurut pandangan antropologi tradisional, budaya di bagi menjadi dua yaitu: 1. Budaya Material
Budaya material dapat beruapa objek, seperti makanan, pakaian, seni, benda – benda kepercayaan.
2. Budaya Non Material
(35)
a. Kepercayaan
Menurut Rousseau yang di kutip Andi (2006), kepercayaan adalah bagian psikologis terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau perilaku orang lain. Sedangkan menurut Robinson yang di kutip Lendra (2006) kepercayaan adalah harapan seseorang, asumsi-asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya (Lendra, 2004).
b. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003).
c. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakans reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
(36)
d. Nilai
Nilai adalah merupakan suatu hal yang nyata yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak di sadari tentang apa yang di anggap penting dalam masyarakat. Sedangkan norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa norma adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku mereka.
Menurut konsep budaya Lainingen (1978-1984) karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis.
b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga di namis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan.
c. Budaya di isi dan tentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa di sadari. 2.1.3. Unsur Budaya
Adapun unsur-unsur dari budaya adalah : a. Sistem religi
Terdiri dari sistem kepercayaan kesusastraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.
(37)
b. Sistem dan organisasi masyarakat
Terdiri dari sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpilan dan sistem kenegaraan.
c. Sistem pengetahuan
Terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam flora, pengetahuan tentang zat-zat bahan mentah, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan pengetahuan tentang ruang, waktu dan bilangan.
d. Bahasa
Terdiri dari bahasa lisan dan tulisan. e. Kesenian
Terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis/gambar, seni rias, seni vocal, seni instrumenseni kesusastraan dan seni drama.
f. Mata pencaharian
Terdiri dari berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di lading, bercocok tanam menetap, peternakan, perdagangan.
g. Teknologi dan peralatan
Terdiri dari alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan transport, wadah-wadah atau tempat untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.
(38)
2.1.4. Wujud Budaya
J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan :
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (2007) memberikan penjelasannya sebagai berikut:
a.
Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, di pegang ataupun di foto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga di sebut adat istiadat.
Wujud ide
b.
Wujud tersebut di namakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-Wujud perilaku
(39)
aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.
c.
Wujud ini di sebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa di raba, di lihat dan di dokumentasikan. Wujud artefak
2.1.5. Sistem Sosial Budaya
Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin “Sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti :
a. Suatu hubungan yang tersusun atas sebagian bagian.
b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen komponen secara teratur.
Sosial berarti segala sesuatu yang beralian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nila-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materil maupun yang psikologis, adil, dan spiritual.
Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep serta keyakinan. Dengan demikian sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia
(40)
lebih sering disebut sebagai adat istiadat (Koentjoaraningrat, 1990). Dalam arti lain, sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi deskripsinya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat (Anonim 2010).
2.2. Kesehatan Reproduksi
2.2.1. Sejarah Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam konferensiinternasional tentang kependudukan dan pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal ini penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi (Widyastuti 2009). Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser kearah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
(41)
Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penangan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang di bahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi. Dengan paradigma baru ini di harapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat di capai lebih baik.
2.2.2. Pengertian Kesehatan Reproduksi
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan : kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2000), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo 2007).
(42)
Dalam Konfrensi kependudukan di Kairo 1994, di susun pula defenisi kesehatan reproduksi yang di landaskan kepada defenisi sehat menurut WHO : keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan social, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit di segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri (Widyastuti 2009, Suyono 1997). 2.2.3. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan
Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005) meliputi: 1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
2. Keluarga berencana
3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk IMS-HIV/AIDS
4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi 5. Kesehatan reproduksi remaja
6. Pencegahan dan penganan infertilitas
7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti kanker, osteoporosis, dementia dan lain-lain.
2.3 Hak Reproduksi Wanita
2.3.1. Pengertian Hak Reproduksi Wanita
Hak adalah sesuatu yang benar, sungguh-sungguh, kepunyaan atau mempunyai wewenang yang dapat dipergunakan (Daryanto, 1998). Sedangkan
(43)
menurut Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Reproduksi berasal dari kata re = kembali dan produksi = membuat atau menghasilkan, jadi reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup.
Hak reproduksi wanita secara umum diartikan sebagai hak yang di miliki oleh individu dalam hal ini perempuan yang berkaitan dengan keadaan reproduksinya (Palu, 2008). Hak-hak reproduksi wanita merupakan hak asasi manusia. Baik dalam International Conference on Population and Development
(ICPD) 1994 di Kairo maupun Fourth World Conference on Women (
Perkembangan hak asasi perempuan
FWCW) 1995 di Beijing yang mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual (Febrina 2010).
Pemerintah Indonesia yang sebelumnya meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-Undang No. 7/1984 bertanggung jawab secara simultan melaksanakan peraturan-peraturan di bawah tersebut. Hak-hak tersebut lebih ke arah hak-hak sipil dan hak politis misalnya hak untuk hidup, bebas dari tekanan, bersuara dan mendapat informasi. Sedangkan hak- hak ekonomi, social dan budaya misalnya mendapat pendidikan, berkerja dan standart hidup yang sehat, baik fisik dan mental (Winkjosastro 2006).
Winkjosastro 2006 menuliskan dalam setiap hak, pemerintah mempunyai tiga tingkat peraturan :
(44)
1) Menghormati Hak Asasi manusia (HAM) yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan.
2) Melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang mengatur mekanisme untuk melindungi dari kekerasan. 3) Memenuhi Hak Asasi manusia (HAM) yang berarti pemerintah mengambil
suatu tindakan yang bertahap ditempatkan dalam suatu peraturan yang prosedural (sesuai prosedur) dalam suatu institusi.
2.3.2. Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita
Berdasarkan Undang- Undang No. 7/ 1984 dan dokumen di Kairo dapat disimpulkan, hak reproduksi (dan implikasinya pada kesehatan reproduksi) yang termasuk di dalam hak reproduksi adalah :
a. Hak semua pasangan dan individual untuk memutuskan dan bertanggung jawab terhadap jumlah, jarak dan waktu untuk mempunyai anak serta hak atas informasi yang berkaitan dengan hal tersebut.
b. Hak untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat terwujud.
c. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan (www.kespro.info.com, 2007). Berdasarkan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo 1994, ditentukan ada 12 hak-hak reproduksi. Namun demikian, hak
(45)
reproduksi bagi wanita yang paling dominan dan secara sosial dan budaya dapat diterima di Indonesia mencakup 12 hak, yaitu:
1.
Setiap wanita berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi. Contohnya: seorang wanita harus mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2.
Setiap wanita memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kehidupan reproduksinya termasuk perlindungan dari resiko kematian akibat proses reproduksi. Contoh: seorang wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan harus tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik agar proses kehamilan dan kelahirannya dapat berjalan dengan baik.
Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
3.
Setiap wanita berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan akan tetapi dengan melakukan upaya advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Contoh: seseorang dapat saja mempunyai pikiran bahwa banyak anak menguntungkan bagi dirinya dan keluarganya. Bila ini terjadi maka orang tersebut tidak boleh serta merta Hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi.
(46)
dikucilkan atau dijauhi dalam pergaulan. Upaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan setelah mempertimbangkan berbagai hal sebagai dampak dari advokasi dan KIE yang dilakukan petugas.
4. Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari
Setiap perempuan yang hamil dan akan melahirkan berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam arti mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses kehamilan dan melahirkan tersebut. Contoh: Pada saat melahirkan seorang perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya secara cepat terutama jika proses kelahiran tersebut berisiko untuk terjadinya komplikasi atau bahkan kematian. Keluarga tidak boleh menghalangi dengan berbagai alasan.
kematian karena kehamilan dan proses melahirkan)
5.
Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang di milikinya serta jarak kelahiran yang di inginkan. Contoh: Dalam konteks program KB, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan tidak boleh melakukan pemaksaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah besar. Yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai dampak negatif dari memiliki anak jumlah besar dan dampak positif dari memiliki jumlah anak sedikit. Jika pun klien berkeputusan untuk Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran
(47)
memiliki anak sedikit, hal tersebut harus merupakan keputusan klien itu sendiri.
6.
Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Contoh: Dalam konteks adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi” pemaksaaan” atau “pengucilan” atau munculnya ketakutan dalam diri individu karena memiliki hak kebebasan tersebut.
Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasaan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
8.
Wanita berhak mendapatkan perlindungan dari kemungkinan berbagai perlakuan buruk di atas karena akan sangat berpengaruh pada kehidupan reproduksi. Contoh: Perkosaan terhadap wanita misalnya dapat berdampak pada munculnya kehamilan yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan maupun oleh keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja berpengaruh pada kehidupan reproduksinya.
Setiap wanita berhak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, serta mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya dan kemudahan akses Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi
(48)
untuk mendapatkan pelayanan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Wanita Contoh: Jika petugas mengetahui tentang Kesehatan Reproduksi Wanita, maka petugas berkewajiban untuk memberi informasi kepada wanita , karena mungkin pengetahuan tersebut adalah hal yang paling baru untuk wanita
9.
Setiap individu harus dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan misalnya informasi tentang kehidupan seksual, masa menstruasi dan lain sebagainya. Contoh: Petugas atau seseorang yang memiliki informasi tentang kehidupan reproduksi seseorang tidak boleh “membocorkan” atau dengan sengaja memberikan informasi yang dimilikinya kepada orang lain. Jika informasi dibutuhkan sebagai data untuk penunjang pelaksanaan program, misalnya data tentang prosentase pemakaian alat kontrasepsi masih tetap dimungkinkan informasi tersebut dipublikasikan sepanjang tidak mencantumkan indentitas yang bersangkutan.
Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan.
10.
Setiap individu dijamin haknya : kapan, dimana, dengan siapa, serta bagaimana ia akan membangun keluarganya. Tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari norma agama, sosial dan budaya yang berlaku (ingat tentang adanya kewajiban yang menyertai adanya hak reproduksi). Contoh : Hak membangun dan merencanakan keluarga
(49)
Seseorang akan menikah dalam usia yang masih muda, maka petugas tidak bisa memaksa orang tersebut untuk membatalkan pernikahannya. Yang bisa di upayakan adalah memberitahu orang tersebut tentang peraturan yang berlaku di Indonesia tentang batas usia terendah untuk menikah dan yang penting adalah memberitahu tentang dampak negatif dari menikah dan hamil pada usia muda.
11.
Setiap orang tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena ras, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, keyakinan/agamanya dan kebangsaannya. Contoh: Orang tidak mampu harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas (bukan sekedar atau asal-asalan) yang tentu saja sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Demikian pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi hanya karena yang bersangkutan memiliki keyakinan berbeda dalam kehidupan reproduksi. Misalnya seseorang tidak mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan secara benar, hanya karena yang bersangkutan tidak ber-KB atau pernah menyampaikan suatu aspirasi yang berbeda dengan masyarakat sekitar. Pelayanan juga tidak boleh membedakan apakah seseorang tersebut perempuan atau laki-laki. Hal ini disebut dengan diskriminasi gender.
Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
(50)
12.
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya baik melalui pernyataan pribadi atau pernyataan melalui suatu kelompok atau partai politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Contoh: seseorang berhak menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap aborsi baik sebagai individu maupun bersama dengan kelompok. Yang perlu diingatkan adalah dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi tersebut harus memperhatikan azas demokrasi dan dalam arti tidak boleh memaksakan kehendak dan menghargai pendapat orang lain serta taat kepada hukum dan peraturan peraturan yang berlaku.
Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
2.4. Penentuan Jarak Kehamilan
Penentuan jarak kehamilan adalah upaya untuk menetapkan atau member batasan sela antara kehamilan yang lalu dengan kehamilan yang akan datang (Alwi, 2005). Penentuan jarak kehamilan merupakan salah satu cara untuk menentukan berapa jarak yang akan direncanakan diantara kehamilan satu dengan yang lain (Dwijayanti, 2005). Pengaturan jarak kehamilan merupakan salah satu usaha agar pasangan dapat lebih menerima dan siap untuk memiliki anak. Perencanaan pasangan kapan untuk memiliki anak kembali, menjadi hal penting untuk dikomunikasikan (Masyhuri, 2007). Keinginan keluarga untuk memiliki anak sangat erat kaitannya dengan pandangan masing-masing keluarga tentang pandangan masing-masing keluarga tentang nilai anak (value of children). Semakin tinggi tanggung jawab
(51)
keluarga terhadap nilai anak maka semakin tinggi pula dorongan keluarga untuk merencanakan jumlah anak ideal (BKKBN, 2007).
Menentukan jarak kehamilan tidak semua pasangan usia subur mengetahui secara jelas manfaatnya buat kehidupan jangka panjang yang lebih baik. Maka yang paling penting dalam hal ini adalah meningkatkan peran suami istri dalam memahami betul manfaat menentukan jarak kehamilan. Dimana, terdapat keadaan bahwa jarak kehamilan yang diinginkan sebagian besar wanita di negara berkembang tersebut tidak selalu terpenuhi. Hal itu diakibatkan beberapa faktor yang mungkin sangat kompleks sifatnya seperti faktor sosial budaya serta pengambilan keputusan yang dilakukan tidak oleh istri, akan tetapi oleh anggota keluarga lainnya seperti suami atau ibu mertua. Kejadian ini masih terjadi di Indonesia, terutama di beberapa daerah pedalaman yang masih kuat nilai-nilai tradisionalnya. Padahal tertulis dalam hak-hak reproduksi yang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimiliki serta jarak kehamilan yang diinginkan (Diana, 2007).
Dalam merencanakan dan mengatur jarak kehamilan, perencanaan pasangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari segi kematangan ekonomi, umur pasangan, pengaruh sosial budaya, lingkungan, pekerjaan maupun status kesehatan pasangan (Susan, 2006). Faktor usia juga merupakan salah satu faktor dalam menentukan jarak kehamilan dimana pada saat merencanakan kehamilan yang harus dihindari antara lain empat T yaitu (Manuaba, 1998) :
1. Terlalu muda untuk hamil (< 20 tahun) 2. Terlalu tua untuk hamil (> 35 tahun)
(52)
3. Terlalu sering hamil (anak > 3 orang berisiko tinggi) 4. Terlalu dekat jarak kehamilannya (< 2 tahun)
Oleh karena faktor usia, di Indonesia wanita di atas usia 30 tahun banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka berumur 35 tahun ke atas (Yolan, 2007). Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih menginginkan 2 orang anak maka tidak bisa hamil dengan jarak umur tiga tahun antara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005).
Keberhasilan beberapa negara maju yang wanitanya berpendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan. Karena umumnya mereka menyadari perlunya mengatur jarak kehamilan (Diana, 2007). Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga (Bappenas, 2007).
Aspek ekonomi juga faktor yang tak kalah penting, jika tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya, bisa juga berakibat fatal. Salah satu keuntungan dalam mengatur penentuan jarak kehamilan adalah dari segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan secara menyeluruh (Diana, 2007). Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau mempunyai anak
(53)
beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya. Dengan persiapan mental maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah pasangan untuk menentukan jarak kehamilan (Zeverina, 2007).
2.5. Perencanaan Kehamilan yang Sehat
Perencanaan berkeluarga yang optimal melalui perencanaan kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya menurunkan angka kematian maternal. Menjaga jarak kehamilan tak hanya menyelamatkan ibu dan bayi dari sisi kesehatan, namun juga memperbaiki kualitas hubungan psikologis keluarga (Sugiri, 2007).
Salah satu perencanaan kehamilan antara lain dengan mengikuti program Keluarga Berencana (KB). KB memberi kepada pasangan pilihan tentang kapan sebaiknya mempunyai anak, berapa jumlahnya, jarak antar anak yang satu dengan yang lain, dan kapan sebaiknya berhenti mempunyai anak (Yolan, 2007).
2.5.1. Fase-Fase dalam Mengatur Kehamilan
Dalam mengatur jarak kehamilan kita dapat menggunakan kontrasepsi sesuai dengan fase-fase berikut ini yaitu (Manuaba, 1998) :
1. Fase menunda kehamilan
Pada fase ini, pasangan dapat memilih metode kontrasepsi antara lain :
- Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala,pemakaian spermisid, dan senggama terputus
(54)
- Pil KB yaitu pil progestin atau pil kombinasi
- Suntikan KB yaitu suntikan progestin atau suntikan kombinasi 2. Fase menjarangkan kehamilan
- Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala, pemakaian spermisida, dan senggama terputus
- Metode mekanis yaitu Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) - Metode MKE kecuali kontap
3. Fase mengakhiri kehamilan
- Metode MKE termasuk kontap - Metode sederhana
2.6. Efek Jarak Kehamilan Terlalu Dekat pada Anak
Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan juga dapat memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik maupun psikis, yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidak siapan berbagi kasih sayang dari orang tuanya (Yolan, 2007). Banyak kakak-beradik dengan jarak kehamilan atau kelahiran terlalu pendek menimbulkan sikap iri atau cemburu. Seperti kakak tidak gembira atas kehadiran si kecil, justru sering menganggapnya musuh karena merampas jatah kasih sayang orang tuanya (Diana, 2007). Persiapan secara mental untuk si kakak sangat penting dilakukan oleh orang tuanya terutama si ibu agar nantinya tidak merasa tersisih, yaitu dengan cara (Yanti, 2007):
(55)
1. Menjelaskan padanya secara natural bahwa kehadiran adiknya nanti tidak akan membuat perhatian orangtua padanya berkurang bahkan mungkin akan semakin sayang.
2. Semakin besar usia anak maka akan semakin mudah bagi orangtua untuk menjelaskannya. Ia mungkin tertarik dengan penjelasan mengenai apa yang akan terjadi dengan tubuh ibu dan apa yang ada dalam perut ibu nantinya.
3. Berjanji pada si kakak bahwa kelak ia akan dilibatkan saat orangtua akan memilih nama untuk si adik juga pada saat akan membelikan perlengkapan untuk si adik serta saat mengasuhnya.
2.7 Faktor yang Mendasari Penentuan Jarak Kehamilan pada Pasangan Usia Subur (PUS)
2.7.1 Umur
Terkejar oleh faktor usia, di Indonesia wanita di atas usia 30 tahun banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka berusia 35 tahun keatas (Yolan, 2007). Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih menginginkan 2 orang anak maka tidak bisa hamil dengan jarak umur tiga tahun antara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005).
(56)
Berdasarkan hasil penelitian Amiruddin (2006) dari 70 responden mayoritas responden berumur 20-30 tahun memilih jarak kehamilan 2-5 tahun sebanyak 51 orang (72,8%) dan hanya 9 orang (12,8%) yang memilih jarak kehamilan <2 tahun. 2.7.2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 1999).
Beberapa negara maju yang wanitanya berpendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan. Karena umumnya mereka menyadari perlunya mengatur jarak kehamilan (Diana, 2007). Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga (Bappenas, 2007). Menurut Lukman (2008) juga umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.
2.7.3. Ekonomi
Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau mempunyai anak beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya. Dengan persiapan mental
(57)
maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah pasangan untuk menentukan jarak kehamilan (Zeverina, 2007). Salah satu keuntungan dalam mengatur jarak kehamilan adalah dari segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan secara menyeluruh.
Selain kesehatan dan kejiwaan, aspek ekonomi juga tak kalah penting. Jika tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya bisa juga berakibat fatal (Diana, 2007). Oleh karena itu persiapan pasangan baik dari segi fisik maupun psikis sangatlah penting untuk menentukan jarak kehamilan pada pasangan usia subur. 2.7.4. Sosial Budaya
Budaya merupakan pelaksanaan norma-norma kelompok tertentu yang dipelajari dan ditanggung bersama. Yang termasuk di dalamnya adalah pemikiran, penuntun, keputusan dan tindakan atau perilaku seseorang. Selain itu nilai budaya adalah merupakan suatu keinginan individu atau cara bertindak yang dipilih atau pengetahuan terhadap sesuatu yang dibenarkan sepanjang waktu sehingga mempengaruhi tindakan dan keputusan (Leiningger, 2005).
Pengaruh sosial budaya juga terlibat dalam perilaku perawatan keluarga yang memiliki anak. Mempunyai anak merupakan pengalaman hidup yang kritis dan penuh dengan kepercayaan dan praktek-praktek tradisional (Alfonso, 1979 dalam Bobac dan Jansen, 1997). Dalam perencanan kehamilan keputusan pasangan dapat dipengaruhi oleh budaya yang ada, seperti pengambilan keputusan dalam menentukan jumlah anak dan jarak antara kehamilan yang dilakukan tidak oleh istri, akan tetapi oleh anggota keluarga lainnya seperti suami atau ibu mertua. Kejadian ini masih terjadi di
(58)
Indonesia terutama di beberapa daerah pedalaman yang masih kuat nilai tradisionalnya (Diana, 2007).
2.7.5. Sumber Informasi
Sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi (Alwi, 2005). Dengan memberikan informasi tentang bagaimana cara hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Selanjutnya dengan pengetahuan yang dimilikinya akan menimbulkan kesadaran masyarakat dan akhirnya akan menyebabkan orang berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Nugraha (2007) salah satu faktor yang mendasari pasangan memilih jarak anak yang dekat adalah karena kurangnya informasi tentang dampak jarak kehamilan yang terlalu dekat. Dengan pengetahuan dan informasi tentang kehamilan yang aman akan memudahkan pasangan untuk mengambil keputusan kapan saat yang tepat untuk menentukan berapa jumlah anak serta jarak kehamilan yang aman (Yanti, 2007).
2.7.6. Status Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hanafiah, 1999). Status kesehatan sangat mempengaruhi perilaku dan tindakan seseorang sehari-hari. Pasangan yang tidak mempunyai masalah kesehatan yang
(59)
membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005).
Dari beberapa faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan diatas, yang akan dibahas oleh peneliti adalah faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan berdasarkan umur, pendidikan dan ekonomi.
2.8. Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Tujuan dari program-program yang terkait serta konfigurasi dari pelayanan tersebut harus menyeluruh, dan mengacu kepada program Keluarga Berencana (KB) yang konvensional serta pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Komponen yang termasuk di dalam kesehatan reproduksi adalah:
1. Konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit;
2. Pendidikan seksualitas dan jender;
3. Pencegahan, skrining dan pengobatan infeksi saluran reproduksi, penyakit menular seksual (PMS), termasuk HIV/AIDS dan masalah kebidanan lainnya; 4. Pemberian informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat
kontrasepsi yang ada;
5. Pencegahan dan pengobatan infertilitas; 6. Pelayanan aborsi yang aman;
(60)
7. Pelayanan kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan pasca kelahiran; dan
8. Pelayanan kesehatan untuk bayi dan anak-anak.
Kualitas pelayanan merupakan prioritas dan ini harus didukung dengan: 1. Menerapkan metode yang kompeten dengan standar yang tinggi (maintaining
high standards of technical competence);
2. Melayani klien dengan rasa hormat dan bersahabat;
3. Merancang pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan klien; 4. Menyediakan pelayanan lanjutan.
2.9. Pasangan Usia Subur
2.9.1. Pengertian Pasangan Usia Subur
Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun, dan secara operasional termasuk pula pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan telah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid.
2.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesehatan Reproduksi
Secara garis besar faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan reproduksi dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi :
(61)
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil).
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain).
c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi).
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual).
Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi (Harahap 2008).
2.10.1. Masalah Kesehatan Reproduksi
Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :
(62)
a. Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital, diskriminasi nilai anak).
b. Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman).
c. Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman.
d. Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah.
e. Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual. f. Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan
penyakit menular seksual.
g. Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi.
h. Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya.
Masalah kesehatan reproduksi mencakup area yang jauh lebih luas, dimana masalah tersebut dapat kita kelompokkan sebagai berikut :
1. Masalah reproduksi
a. Kesehatan, morbiditas (gangguan kesehatan) dan kematian perempuan yang berkaitan dengan kehamilan. Termasuk didalamnya juga masalah
(1)
dapat meningkatkan kesehatan ibu, jumlah anak yang > dari 3 orang dapat mengurangi kondisi kesehatan reproduksi ibu, pemilihan tempat persalinan di Rumah Sakit merupakan kepercayaan dari keluarga dan penentu dalam pemilihan alat kontrasepsi pada ibu ditentukan oleh suami, dan keluarga
Menurut Robinson yang dikutip Lendra (2006) kepercayaan merupakan harapan seseorang, asumsi-asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya.
(2)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Pengetahuan responden mayoritas dengan pengetahuan baik sebesar 56,7%, sikap mayoritas dengan sikap baik sebesar 60,0%, nilai atau aturan baik sebesar 58,9%, kepercayaan baik sebesar 66,7%, menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan mayoritas dengan kategori terpenuhi 51,1%.
2. Terdapat pengaruh sosio budaya (pengetahuan, sikap dan nilai ) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi wanita dalam menentukan jumlah anak,jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
3. Tidak terdapat pengaruh sosio budaya (kepercayaan) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi wanita lam menentukan jumlah anak,jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi wanita di Rumkit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
6.2. Saran
1. Kepada Dinas Kesehatan Kota Medan khususnya bidang KB, pemberdayaan perempuan membuat kebijakan kesehatan reproduksi wanita dalam upaya promosi peningkatan pemenuhan hak-hak reproduksi wanita tentang jumlah
(3)
2. Bagi Rumah Sakit Tk. II DAM I/BB Kota Medan khususnya bagi petugas yang bertugas lebih meningkatkan pelayanan kebidanan dalam memberikan penyuluhan, konseling, komunikasi, informasi, edukasi (KIE) bagi suami,istri dan pemutaran film tentang hak merencanakan kapan sebaiknya hamil, hak jarak kelahiran serta mendapat pelayanan kesehatan yang aman dan tenang. 3. Kepada tenaga kesehatan baik bidan, perawat maupun dokter agar
memberikan konseling dan informasi tentang hak-hak ibu dalam kesehatan reproduksi ibu yang datang berkunjung ketempat pelayanan kesehatan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta : Tarawang Press.
Adrina, dkk, 1998. Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Affandi. 2007. Fungsi Ibu Sulit di Ganti. Diakses tanggal 5 maret 2012, www.rumahzakat.org.
Alwi, Q., 2007. Tema Budaya yang Melatarbelakangi Perilaku Ibu-ibu Penduduk Asli dalam Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Mimika. Volume 35 Nomor 3, Buletin Penelitian Kesehatan.
Burns, A. A., Lovoich, R., Maxwell, J. Shapiro, K., 2000. Pemberdayaan Wanita dalam Bidang Kesehatan, Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.
BKKBN, 2007. Manfaat KB dan Kesehatan Reproduksi, Jakarta : BKKBN.
Depkes, 2005. Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia, Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Dwiyanto, A., Darwin, M., 1996. Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender, Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Enda. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Foster, G. M. dan Anderson, B. G., 1986, Antropologi Kesehatan, Jakarta : UI-Press. Ganges, F., Long, P., 1999. Kesehatan Ibu : Keberhasilan dan Tantangan, Edisi
Khusus : Keselamatan Ibu, Volume 16, OUT LOOK. 195
______, 2009. Jangan Tanyakan Usia dan Jumlah Anak. Diakses tanggal 8 April
Bagus, Ida. 2008. Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC
Ihromi. 2007. Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender, Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
(5)
Ismail. 2008. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta : Tarawang Press.
Kartono, Kartini, 1992. Psikologi Wanita edisi ke 2, Bandung : Penerbit Mandar Maju.
Koentjarningrat, 1996. Pokok-pokok Etnografi II, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Koblinsky, M., Timyan, J., Gay, J., 1997. Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Laiya, B., 1979. Solidaritas Kekelurgaan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Lestari, H., 2006. Modul Mahasiswa Kesehatan Reproduksi, Jakarta. MDG, 2007. Laporan MDG’s Tahun 2007, AKB dan AKI di Indonesia.
Miles, M. B., Huberman, A. M., 1992. Analisis Data Kualitatif, penerjemah : Rohidi, T. R, Jakarta : UI-Press.
Mohamad,K., 1998. Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, P.T. Citra Putra Bangsa dan Ford Foundation.
Noah. 2007. Hak - Hak Reproduksi pada Wanita., Tesis USU.
Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Notosusanto, S., Poerwandari, E. K., 1997. Perempuan dan Pemberdayaan, Jakarta : Penerbit OBOR.
Nugraha, 2007. Komplikasi dalam Kehamilan dan Persalinan. Diakses tanggal 8 April
Nunuk. 2009. Pemberdayaan Wanita dalam Bidang Kesehatan. Jogjakarta : Essentia Medica.
Rukmini, Wiludjeng, L. K., 2005. Gambaran Penyebab Kematian Maternal di Rumah Sakit (Studi di RSUD Pesisir Selatan, RSUD Padang Pariaman, RSUD Sikka, RSUD Larantika dan RSUD Serang), Surabaya : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Kebijakan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
(6)
Savitri, Nita, 2003. Memasyarakatkan Kesehatan Reproduksi Wanita (Studi Antropologis : di Desa Cilandek Barat, Kotamadya Bogor Provinsi Jawa Barat), USU digital Library.
Singarimbun, M., 1996. Penduduk dan Perubahan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Srini, S., Griapan, Y., Lase, F. A., Butt, L., 1995. Persepsi dan Perlakuan Orang Dani di Lembah Baliem Terhadap Kehamilan, Wamena : Jayawijay Watch Project dan Jurusan Antopologi Universitas Cendrawasih Jayapura.
Subargus, Amin, 2008. Fungsi Ibu Sulit Diganti. Diakses tanggal 8 April 2010,
Suehendi, Hendi. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung : Pustaka Setia.
Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sutar. 2008. Manfaat Kb dan Kesehatan Reproduksi. Bandung : Renika. Soekamto, Soejono. 2001. Ilmu Sosial Budaya. Cetakan 2. Jakarta.
Sonjaya, J. A., 2008. Melacak Batu Menguak Mitos Petulangan Antarbudaya di Nias, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tambunan. 2009. Hak kesehatan Reproduksi perempuan, Tesis UI. Utomo. 2008. Kebudayaan dan Perilaku Seksual, Tesis UI.
Widyastuti, Y., Rahmawati, A., Purnamaningrum, Y. E., 2009. Kesehatan Reproduksi, Yogyakarta : Penerbit Fitramaya.
WHO, 2007. Profil Kesehatan dan Pembangunan Perempuan di Indonesia, Indonesia. Wiknjosastro. 2008. Hak - hak Reproduksi Wanita. Bandung : Fitramaya.