xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan pesantren atau pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sangat penting dan menarik. Dengan membicarakan
pendidikan pondok pesantren, kita dapat mengetahui peran, fungsi dan kontribusi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan dakwah
Islam dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia. Pesantren sebagai lembaga pergulatan spiritual, pendidikan dan
sosialisasi yang sudah tua dan sangat heterogen merupakan pusat perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya, sosial dan keagamaan. Pesantren yang
sudah terdapat sebelum masa penjajahan menunjukkan adanya pengaruh agama sebelum Islam. Oleh sebab itu pesantren dapat dipandang sebagai
bentuk pendidikan yang ortodoks ataupun yang progresif dan dapat disamakan dengan pusat-pusat pendidikan serupa dalam lingkungan “Agama Jawa” yang
telah memiliki tradisi suasana budaya Hindu dan Budha.
1
Meskipun sejak abad ke-17, pesantren di Jawa menjadi pusat-pusat pengganti otoritas gaya hidup keraton. Keraton menekankan gaya hidup
berdasarkan nilai-nilai Jawa kuno yang halus, sedangkan pesantren
1
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial Jakarta: P3M, 1986, h. 2.
xiii menekankan perilaku kesalehan dan kehidupan akhirat. Namun masing-
masing pihak biasanya mengakui legitimasi dan peran sosial pihak lain.
2
Pada mulanya banyak pesantren dibangun sebagai pusat reproduksi spiritual, yakni tumbuh berdasarkan sistem-sistem nilai yang bersifat Jawa,
tapi para pendukungnya tidak hanya menanggulangi isi pendidikan agama saja. Pesantren bersama-sama dengan para muridnya mencoba melaksanakan
gaya hidup yang menghubungkan kerja dan pendidikan serta membina lingkungan desa berdasarkan struktur budaya dan sosial. Karena itu pesantren
mampu menyesuaikan diri dengan bentuk masyarakat yang amat berbeda maupun dengan kegiatan-kegiatan individu yang beraneka ragam. Akhirnya
pesantrenlah yang hampir semata-mata merupakan basis terbuka bagi penduduk desa demi terlaksananya swadaya dalam bidang sosial, budaya dan
perekonomian.
3
Pesantren-pesantren sebagai pusat sosial dan budaya serta organisasi- organisasi basis dari wujud kepribadian pimpinan non-formal di daerah
transformasi pendidikan Islam yang di dalamnya termasuk pesantren, bermula dari perluasan kesempatan belajar bagi penduduk pribumi yang terjadi pada
akhir abad ke-19 M. Pada waktu itu, pemerintah Hindia-Belanda memberikan fasilitas pendidikan dengan sistem perjenjangan. Selain sistem perjenjangan
itu, Belanda juga mengenalkan sistem sekolah yang sekarang disebut berbasis kompetensi. Tetapi sekolah-sekolah desa tersebut, setidak-tidaknya dalam
perkembangan awalnya, cukup mengecewakan. Bagi pemerintah Belanda,
2
Ibid.
3
Ibid.
xiv sekolah desa ini tidak berhasil mencapai tujuan seperti yang diharapkan,
karena tingkat putus sekolah yang tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Di sisi lain, kalangan pribumi, khususnya di Jawa terdapat resistensi
yang sangat kuat terhadap sekolah-sekolah tersebut, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk
“membelandakan” anak-anak mereka.
4
Pada tahun 1882, pemerintah Belanda mendirikan Pengadilan Agama yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
pesantren yang disebut Priesterraden. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru
agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa
yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah
mulai tampak tumbuh dan berkembang
5
. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah
yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar Wilde School Ordonantie
6
.
4
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan pendidikan Pesantren Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, h. 5-7.
5
Muchtarom Zuhairin, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1997, h. 147.
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: Rajawali Pers, 1997, h. 253.
xv Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang sedemikian
ketat dan keras mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktifitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam waktu
yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi lumpuh atau porak poranda. Akan tetapi apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang
sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung. Dibendung di sini meluap di sana.
Kemudian pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru ini lantaran penolakan Kyai Hasyim Asy’ari –
kemudian diikuti kyai-kyai pesantren lainnya – terhadap Saikere yaitu penghormatan terhadap kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa
Amaterasu dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00, sehingga mereka ditangkap dan dipenjara di Jepang.
Ribuan santri dan kyai berdemonstrasi mendatangi penjara, kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk memulai gerakan bawah tanah
menentang Jepang.
7
Demonstrasi yang digelar tersebut menyadarkan pemerintah Jepang betapa besar pengaruh Kyai Tebuireng yang menjadi referensi keagamaan
seluruh kyai Jawa dan Madura itu. Lagi pula Jepang memandang bahwa tindakan tersebut bukan saja tidak menguntungkan, tetapi merupakan
kesalahan fatal terutama dalam upaya rekrutmen kekuatan militer menghadapi
7
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transfortasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi
Jakarta: Erlangga, 2005, h. 12.
xvi tentara sekutu. Kyai Hasyim pun akhirnya dibebaskan dari penjara. Sejak saat
itu Jepang tidak pernah mengganggu kyai dan pesantrennya. Bahkan Jepang memberikan preferensi
8
kepada pemimpin Islam atau kyai pesantren, seperti dibentuknya Kantor Urusan Agama Indonesia, Masyumi dan Hizbullah. Maka
pesantren dan madrasah masih bisa mengoperasikan kegiatan belajar- mengajarnya secara lebih wajar dibanding kegiatan belajar lembaga
pendidikan umum lainnya.
9
Pada mulanya, keberadaan pesantren sebetulnya tidak direncanakan sebagai lembaga pendidikan yang mengambil batas tegas untuk secara
permanen hadir di tengah warga desa dan meninggalkan komunitas yang berada di perkotaan. Namun, ketika kaum kolonial menguasai sejumlah daerah
di beberapa wilayah Nusantara, memaksa para kyai pengasuh yang jauh dari keramaian kota dan menjauh dari intaian penjajah.
Pesentren-pesantren sebagai pusat sosial dan budaya serta organisasi- organisasi basis dari wujud kepribadian pimpinan non-formal di daerah adalah
amat berpengaruh terhadap pembentukan cara hidup di desa-desa. Pengambilan peranan ganda – sebagai lembaga pendidikan dan arena
perjuangan atau jihad fisabilillah – dari pesantren itu kemudian melahirkan pola hubungan sosial antara pesantren dan desa yang demikian menyatu.
8
Preferensi merupakan kecenderungan untuk memilih sesuatu yang memang sesuai.
9
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transfortasi, h. 13
xvii Sesudah masa kemerdekaan, ternyata keberadaan dan perkembangan
pesantren tetap tidak bisa meninggalkan basis lamanya di pedesaan.
10
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tetap istiqomah dan konsisten melakukan perannya sebagai pusat pendalaman ilmu-ilmu agama
tafaqquh fi al-din dan lembaga dakwah Islamiyah serta ikut mencerdaskan bangsa telah diakui oleh masyarakat. Walaupun pesantren-pesantren sudah
banyak yang mengadakan perubahan-perubahan yang mendasar sebagai jawaban positif atas perkembangan zaman namun perubahan tersebut masih
sangat terbatas.
11
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud mengangkat sebuah pesantren untuk dijadikan bahan penulisan skripsi. Pesantren tersebut yaitu
Pondok Pesantren Al-Quran Al-Furqon terletak di Kabupaten Bogor, tepatnya di desa Cilendek. Pesantren ini adalah pesantren salafiyah yang didirikan oleh
K.H. Abdurrahman biasa dipanggil Bapa atau Aba oleh santri dan masyarakat setempat pada tahun 1973. Sesuai dengan namanya yaitu Pondok Pesantren
Al-Qur’an Al-Furqon, pesantren ini mengkhususkan dirinya sebagai pesantren dengan sistem pendidikan Al-Qur’an yang banyak mencetak para qori dan
qori’ah.
10
Manfred Ziemek, Pesantren, h. 56.
11
Abdullah Syukri, Gontor dan Pembaharuan pendidikan Pesantren, h. x.
xviii
B. Identifikasi Masalah