Pola kumunikasi kyai dan santri dalm pengajaran seni baca al-Qur'an di pondok Pesantren Al-Qur'aniyyah Pondok Aren

(1)

POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI

DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN

DI PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH

PONDOK AREN

Oleh :

Mutmainnah

104051001796

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M


(2)

POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI

DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN

DI PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH

PONDOK AREN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh :

Mutmainnah 104051001796

Di bawah Bimbingan

Drs. M. Luthfi, MA NIP: 150 268 782

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 02 April 2008


(4)

ABSTRAK MUTMAINNAH

Pola Komunikasi Kyai dan Santri dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah Pondok Aren

Komunikasi sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia dalam bersosialisasi, manusia dituntut agar pandai dalam berkomunikasi, bahkan pada proses belajar mengajar. Karena Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan (guru) melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan (murid). Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah merupakan sebuah yayasan pendidikan Islam yang berbadan hukum yang bertujuan mencetak santri agar dapat membaca al-Qur’an secara fasih, baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at yang berlaku.

Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mempunyai ciri khas, yaitu keal-Qur’anan, sehingga pondok pesantren tersebut berbeda dari pesantren-pesantren lainnya yang ada di Desa Jurang Mangu Pondok Aren Tangerang. Sebagai yayasan pendidikan Islam yang bercirikan keal-Qur’anan, para santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama Islam atau pendidikan kepesantrenan, tetapi juga dianjurkan untuk bisa mengenal dan memahami Qur’an dengan baik dan benar, juga indah karena membaca al-Qur’an sama dengan berdialog langsung dengan Allah SWT.

Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, santri lebih ditekankan pada keterampilan seni membaca al-Qur’an oleh kyai, yaitu bagaimana al-Qur’an dibaca dengan fasih, dipelajari dan dipahami baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu Qira’at.

Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah menetapkan program-program pengajaran seni baca al-Qur’an untuk menerapkan kedisiplinan ilmu yang harus ditempuh oleh para santri. Program pengajaran seni baca al-Qur’an yang diterapkan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah ini terbagi menjadi tiga jenjang/kategori, antara lain: tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat mahir. Materi dan metode yang digunakan oleh kyai adalah materi tentang isi dan makna kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan ditambahkan lagu dan tangga nada yang sesuai dengan kaidah seni baca al-Qur’an, dan metode pengajarannya adalah dengan penugasan, tanya jawab, hafalan, membaca, menyimak, demonstrasi, dan motivasi. Dengan begitu, santri dapat menguasai dan memahami materi yang disampaikan, sehingga kemampuan santri dapat tersalurkan.

KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, sebagai seorang kyai di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dalam penyampaikan materi pelajaran seni baca al-Qur’an, menggunakan berbagai macam bentuk atau pola komunikasi, seperti komunikasi verbal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil dan komunikasi instruksional, semua komunikasi yang digunakan oleh kyai dilakukan dengan tatap muka melalui lisan dan komunikasi seperti ini sangat efektif dalam pengajaran seni baca al-Qur’an.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur hanya milik Moral Realitas Tertinggi. Tuhan Maha Mutlak yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu yaitu kepada Allah SWT dengan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman kedzaliman menuju zaman kebenaran Tuhan yang sesungguhnya.

Alhamdulillah penulisan skripsi ini berjalan dengan baik dan lancar. Semua ini takkan tercapai tanpa adanya usaha, perjuangan, dorongan, dari semua pihak dan do’a serta tawakkal kepada Sang Pencipta. Maka pada kesempatan kali ini, penulis merasa sangat perlu untuk menghaturkan dan mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang terkait, yang telah membantu dan mendukung penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih yang sangat penulis haturkan kepada :

1. Bpk. Dr. Murodi, M.A, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya. 2. Bpk. Drs. Wahidin Saputra, M.A, selaku Ketua Jurusan Komunikasi

Penyiaran Islam, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya.

3. Ibu Dra. Umi Musyarofah, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, yang selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(6)

4. Bpk. Drs. M. Luthfi, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, selaku pimpinan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.

6. Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, selaku pengurus pondok pesantren Al-Qur’aniyyah yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk wawancara. Dan Ust. Abdul Latif, S.Ag, yang selalu siap membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Rahmatullah dan Sifa Nafiga, selaku santri pondok pesantren Al-Qur’aniyyah yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Para staff perpustakan utama dan perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini.

9. Ayahanda dan Ibunda terhormat (Bpk. Asmad dan Ibu Jennah), yang telah mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih sayang yang tercurah baik dengan moril, maupun materil, sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi dan terasa ringan.

10.Kakanda tersayang Ust. Fadillah. S.Th.I, Maspuroh, Thoyyibah, Fauzi dan adik penulis Rizal Abdul Fahmi, yang selalu memberikan kasih sayang yang tak terhingga, motivasi, didikan, bimbingan, dan semangat untuk terus maju pantang mundur dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

11.Sahabat-sahabat penulis seperjuangan, khususnya anak-anak KPI B angkatan 2004/2005 seperti: Siti Aminah, Ida Suryani, Yusriani Pulungan, Sukasih Nur, Al-Mukarromah, Siti Sarah, Choirunnisa, Listiani Wirafsya, Hikmatinnisa, Yayu Rulia Syarof, Haiza Roni, Mika Aprianti, Ika Puspita Sari, Restifa Anbiya Yuneni, dan lain-lain, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Seluruh teman-teman penulis yang ada di pondok pesantren Nurul Iman di antaranya: Muhammad Irvan, Suratno, Miftahul Huda, Siti Marwah, Rahmawati, dan lain-lain yang selalu mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya bisa mengucapkan jazakumullah khairan katsir

semoga amal ibadah Bapak/Ibu sekalian dibalas oleh Allah SWT, Amiien ya

Rabbal A’lamin.

Tangerang, 02 April 2008


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN………....i

LEMBAR PENGESAHAN……….…..ii

ABSTRAK………...………..iii

KATA PENGANTAR………...………vi

DAFTAR ISI………...………..vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Batasan dan Rumusan Masalah………..6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..7

D. Tinjauan Pustaka………7

E. Metodologi Penelitian………8

F. Sistematika Penulisan………...12

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pola Komunikasi………..14

1. Pengertian Pola Komunikasi………..14

2. Macam-macam Pola Komunikasi………..19

3. Penerapan Pola Komunikasi………..22

B. Kyai dan Santri……….24

1. Pengertian Kyai dan Santri……….24

2. Komunikasi Kyai dan Santri………..28

C. Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an……….30


(9)

2. Pengertian Seni Baca Al-Qur’an………32

3. Komunikasi Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an…………...33

BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH A. Letak Geografis dan Sejarah Berdiri………35

B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan………...40

C. Santri dan Pengasuh……….45

D. Program Kerja………..48

E. Sarana dan Prasarana………48

BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN A. Kyai dan Santri………...………..51

B. Program Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an………..63

C. Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an………67

D. Analisis Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an………77

E. Hasil Yang Dicapai dari Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an….80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………..82

B. Saran……….83 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berkomunikasi adalah kebutuhan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup, hampir tidak mungkin seseorang dapat menjalani hidupnya tanpa berkomunikasi dengan orang lain. Artinya, manusia memang tidak bisa hidup tanpa komunikasi, karena komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat penting, tanpa komunikasi manusia tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pembawa amanah dari Tuhan di muka bumi (kholifah).

Dalam perspektif agama, bahwa komunikasi sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia dalam bersosialisasi, manusia dituntut agar pandai dalam berkomunikasi. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat ar-rahmaan ayat 1-4, yang berbunyi:

!

"#$%&

'

() *

,

-.

Artinya: “(Tuhan) yang maha pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara”.

Perlu disadari bahwa peran komunikasi sangat diperlukan dalam kehidupan bersosialisasi, bahkan pada proses belajar mengajar. Karena proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan (guru) melalui saluran atau media tertentu


(11)

ke penerima pesan (murid). Pesan yang akan dikomunikasikan adalah bahan atau materi pelajaran yang ada dalam kurikulum. Sumber pesannya bisa guru, murid, dan lain sebagainya. Salurannya berupa media pendidikan, dan penerimanya adalah murid.1

Komunikasi dalam pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai pengalihan ilmu pengetahuan yang mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak dan keterampilan serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan.2 Fungsi komunikasi tidak hanya sebagai pertukaran informasi dan pesan, tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta dan ide. Agar komunikasi berlangsung efektif dan informasi yang disampaikan oleh seorang pendidik dapat diterima dan dipahami oleh peserta didik dengan baik, maka seorang pendidik perlu menerapkan pola komunikasi yang baik pula.3

Komunikasi dalam istilah pendidikan dikenal sebagai komunikasi instruksional, dan komunikasi ini merupakan salah satu aspek fungsi komunikasi untuk meningkatkan kualitas berfikir pada pelajar sebagai komunikan dalam situasi instruksional yang terkondisi. Misalnya guru disamping sanggup mengajar untuk memberikan instruksi kepada pelajar, juga memiliki metode dalam penyampaian pesan atau materi kepada pelajar. Komunikasi instruksional ini lebih mengarah kepada pendidikan dan pengajaran, bagaimana seorang pengajar memiliki kerja sama dengan muridnya, sehingga pesan atau materi yang

1

H.M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta, 2005), Cet. Ke-1, h. 11.

2 H. A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Ke-3, h. 11.

3


(12)

disampaikan dapat diterima dengan baik. Komunikasi instruksional merupakan salah satu bentuk atau pola komunikasi dalam dunia pendidikan dan pengajaran, dan dapat terjadi di mana saja. Misalnya di sekolah, universitas, bahkan di pondok pesantren.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional, tempat untuk mempelajari, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam yang menerapkan pentingnya moral keagamaan.4 Di mana seorang kyai sebagai pemimpin pondok pesantren dituntut untuk memiliki keahlian dan kepercayaan dalam penyampaian pesan kepada santrinya, khususnya dalam proses belajar mengajar/pengajaran.

Kyai dalam suatu pondok pesantren merupakan elemen yang paling esensial. Ia merupakan pendiri pondok pesantren, sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Di sebuah pesantren kyai atau ustadz merupakan salah satu pemicu minat santri untuk menuntut ilmu, sehingga santri dari berbagai daerah berdatangan untuk menuntut ilmu. Dalam hal pembelajaran, kyai atau ustadz mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian para santri baik dalam tata cara bergaul dan bermasyarakat dengan sesama santri lainnya. Untuk terciptanya hal tersebut, maka dibutuhkan sebuah sistem komunikasi yang baik dengan menggunakan metode-metode pengajaran didalamnya.

Metode pengajaran dan materi pelajaran yang diajarkan seorang kyai kepada santri ditentukan oleh seberapa jauh kedalaman ilmu pengetahuan sang kyai dan yang dipraktekkan sehari-hari dalam kehidupan. Sedangkan tujuan dari

4


(13)

metode pengajaran di pondok pesantren lebih mengutamakan niat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, agar mereka disebut sebagai ahli ilmu semata. Sebuah pondok pesantren tidak terlepas dari konsep komunikasi yang efektif dalam kehidupan masyarakat.

Telah disepakati bahwa fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi. Dalam komunikasi istilah pendidikan dan pengajaran adalah dua komponen yang saling melibatkan antara pengajar (kyai) sebagai komunikator dan pelajar (santri) sebagai komunikan. Dalam proses belajar mengajar, keakraban dan kedekatan antara seorang guru dengan murid sangat diharapkan, agar pesan yang disampaikan oleh seorang guru akan mudah diterima oleh murid dengan pemahaman mereka masing-masing. Pesan atau materi pelajaran yang disampaikan sangat beragam, dan tidak mudah untuk mendapatkan efek positif, semua itu butuh kesamaan dan pemahaman makna antara pengajar dan pelajar. Seperti halnya dalam pengajaran seni baca al-Qur’an.

Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, santri lebih ditekankan pada keterampilan seni membaca al-Qur’an, yaitu bagaimana al-Qur’an dibaca secara fasih dengan suara yang indah dan merdu menggunakan lagu-lagu dalam al-Qur’an, seperti lagu bayyati, rost, hijaz dan lain sebagainya, kemudian al-Qur’an juga dipelajari dan dipahami dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid.

Berdasarkan ajaran agama bahwa al-Qur’an dengan seni baca, penuh keindahan suara adalah dalam rangka ibadah dan dakwah. Karena lagu yang indah sesuai dengan kaidah-kaidah seni baca al-Qur’an dapat mengantarkan suatu


(14)

bacaan lebih meresap ke dalam hati sanubari pembacanya maupun pendengarnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-anfal ayat 2 sebagai berikut:

* /0

1 234 5*

7839:;

5<0

3=><

?;

@%

AB C

E F > >9

5<0

C

@% ,0 >G

.E H

I()(J

K

E  M

N

2 *K0

OP G  C

R0S0 T U

> :=

J K

V

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.

Membaca al-Qur’an dengan seni baca adalah termasuk program agama yang kita cintai. Keindahan merupakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia, termasuk memperindah suara dalam membaca al-Qur’an. Kesenian adalah penjelmaan rasa keindahan untuk kesejahteraan hidup.5 Membaca al-Qur’an dengan seni baca sering diajarkan di dalam suatu lembaga pendidikan Islam, seperti pondok pesantren. Dan salah satu pondok pesantren yang mempunyai perhatian khusus dengan seni baca al-Qur’an adalah pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.

Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah merupakan sebuah yayasan pendidikan Islam yang berbadan hukum yang bertujuan mencetak santri agar dapat membaca al-Qur’an secara fasih, baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at yang berlaku.

5


(15)

Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mempunyai ciri khas, yaitu keal-Qur’anan, sehingga pondok pesantren tersebut berbeda dari pesantren-pesantren lainnya yang ada di Desa Jurang Mangu Pondok Aren Tangerang. Sebagai yayasan pendidikan Islam yang bercirikan keal-Qur’anan, para santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama Islam atau pendidikan kepesantrenan, tetapi juga dianjurkan untuk bisa mengenal dan memahami Qur’an dengan baik dan benar, juga indah karena membaca al-Qur’an sama dengan berdialog langsung dengan Allah SWT.

Melihat peran yang sangat besar bagi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, dalam menyampaikan pesan atau materi dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, melalui pengenalan dan pemahaman al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid serta dapat melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dengan menggunakan berbagai macam bentuk komunikasi, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan-permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul, “Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah Pondok Aren”. Dengan alasan bahwa di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mempunyai ciri khas, yaitu keal-Qur’anan, sehingga pondok pesantren tersebut berbeda dari pesantren-pesantren lainnya yang ada di Pondok Aren.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan kegiatan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, maka penulis membatasi penelitian skripsi ini hanya pada Pola Komunikasi


(16)

Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Pada Tingkatan Mahir di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah Pondok Aren Tangerang.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang dibahas, maka penulis merumuskan masalah tersebut yaitu bagaimana pola komunikasi kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: Untuk mengetahui pola komunikasi kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.

Sebagaimana tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berarti bagi pembaca, tokoh masyarakat, dan lembaga-lembaga yang berkepentingan sebagai bahan pemikiran dan perbandingan, serta untuk menambah wawasan keilmuan dalam bidang dakwah dan komunikasi. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi praktisi dakwah tentang strategi yang praktis dalam menstransformasikan nilai-nilai agama pada masyarakat Pondok Aren Tangerang melalui seni baca al-Qur’an, dan sebagai masukan bagi lembaga pendidikan seperti pondok pesantren.


(17)

D. Tinjauan Pustaka

Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan ternyata secara khusus skripsi yang membahas pola komunikasi kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an belum ada, maka penulis akan membahas permasalahan ini ke dalam bentuk skripsi.

Kemudian penulis menggunakan referensi dari Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A, dengan judul buku: “Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek”, dalam buku tersebut terdapat bentuk-bentuk komunikasi, seperti komunikasi persona (intrapersona dan interpersonal), komunikasi kelompok (kelompok kecil dan kelompok besar), komunikasi massa, dan komunikasi medio.

KH. Amin Haedar, dengan judul: “Masa Depan Pesantren; Dalam

Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global”, di dalam buku

tersebut membahas mengenai elemen-elemen pondok pesantren seperti kyai dan santri, pola komunikasi atau hubungan antara kyai dan santri di pondok pesantren, hubungan kyai dan santri dalam menyampaikan pesan atau materi.

KH. Muhsin Salim, SQ dengan judul: “Ilmu Nagham Al-Qur’an; Belajar

Membaca Al-Qur’an Dengan Lagu”, di dalam buku tersebut membahas

kaidah-kaidah seni baca al-Qur’an, seperti ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham), dan macam-macam lagu dengan tangga nada (maqom).

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian


(18)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Riset Lapangan (field reseach), yaitu mencari dan mengumpulkan informasi tentang masalah yang dibahas dari lapangan (tempat melakukan penelitian tersebut).

2. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan representatif dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis

melalui pendekatan kualitatif. Di mana pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat, serta hubungan antara fenomena yang diteliti.

Adapun secara deskriptif adalah bahwa data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.6

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah terletak di Jalan Panti Asuhan. No. 06, Kp. Ceger, Rt. 003 Rw. 012 Kelurahan Jurang Mangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang Banten.

Dalam mendapatkan hasil penelitian yang akurat, maka penulis membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melakukan penelitian langsung ke lapangan (lokasi). Adapun lamanya penelitian ini, dari bulan Februari-Maret 2008.

4. Sumber Data

6

Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), Cet. Ke-23, h. 9-10.


(19)

Sumber data yaitu dari mana data diperoleh.7 Untuk memerlukan data, penulis memperolehnya dari pimpinan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah yaitu KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Ust. Muhammad Halimi, S.Ag, dan Ust. Abdul Latif, S.Ag, sebagai pengasuh atau pengurus dan santri.

5. Populasi dan Sampel

“Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian, sedangkan sampel adalah wakil populasi yang akan diteliti.”8 Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah santri yang mengikuti pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-al-Qur’aniyyah yang berjumlah 300 orang, dengan perincian sebagai berikut: tingkat dasar berjumlah 137 orang, tingkat menengah berjumlah 83 orang dan tingkat mahir berjumlah 80 orang.

Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah tingkatan mahir dan penulis pilih secara acak (random sampling) dengan sistem undi, yaitu menuliskan nama-nama seluruh responden dalam potongan-potongan kertas, kemudian dikocok seperti arisan, maka nama yang keluar tersebutlah yang kemudian penulis jadikan sebagai sampel yaitu berjumlah 10 orang.

6. Teknik Pengumpulan Data

7

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Cet. Ke-10, Edisi Revisi, h. 115.

8


(20)

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Interview (wawancara)

Yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu penulis sebagai pewawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada individu yang bersangkutan,9 yaitu KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, sebagai pimpinan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, Ust. Muhammad Halimi, S.Ag, dan Ust. Abdul Latif, S.Ag sebagai pengasuh atau pengurus dan santri. Untuk memperoleh informasi mengenai pola komunikasi antara kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an pada tingkatan mahir yang digunakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.

b. Observasi (pengamatan)

Yaitu di mana penulis melakukan pengamatan secara langsung untuk memperoleh data yang diperlukan.10 Pengamatan memungkinkan penulis membentuk pengetahuan yang diketahui bersama. Dalam hal ini, penulis mengamati secara langsung mengenai kegiatan belajar mengajar dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sehingga penelitian dapat terfokuskan.

c. Documentation (dokumentasi)

9

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186. 10

Winayno Suyakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsiti, 1986), Cet, Ke-7, h. 162.


(21)

Yaitu teknik pengumpulan data melalui pengumpulan dokumen-dokumen untuk memperkuat informasi. Dokumentasi dapat dilakukan untuk mencari data mengenai permasalahan yang diteliti dari berbagai macam dokumen seperti arsip, brosur, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis teliti.

7. Teknik Analisa Data

Untuk mendapatkan data-data dan informasi yang sesuai dengan pokok permasalahan yang dirumuskan, peneliti menggunakan metode Deskriptif Analisis Kualitatif, yaitu peneliti menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan dari lapangan dan buku-buku dengan cara menggambarkan dan menjelaskan ke dalam bentuk kalimat yang disertai kutipan-kutipan data.11

Alasan penulis memilih teknik analisis data secara kualitatif adalah demi memudahkan proses penelitian. Data-data yang bisa diperoleh dari pelaksanaan penelitian adalah data tulisan dan lisan (data verbal) bukan data nominal atau yang menunjukkan angka-angka.

8. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

11

Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-18, h. 6.


(22)

Untuk memudahkan susunan skripsi ini, maka dibuatlah sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab dan bab-bab tersebut memiliki sub-bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Teoritis yang terdiri dari Pola Komunikasi, Pengertian Pola Komunikasi, Macam-macam Pola Komunikasi, Penerapan Pola Komunikasi, Kyai dan Santri, Pengertian Kyai dan Santri, Komunikasi Kyai dan Santri, Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, Pengertian Pengajaran, Pengertian Seni Baca Al-Qur’an, dan Komunikasi Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an.

Bab III Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah yang terdiri dari Letak Geografis dan Sejarah Berdiri, Struktur Organisasi, Santri dan Pengasuh, Program Kerja, Sarana dan Prasarana.

Bab IV Analisis Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an yang terdiri dari Kyai dan Santri, Program Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, dan Analisis Pola


(23)

Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an.

Bab V Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

Bagian terakhir memuat Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran.


(24)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pola Komunikasi

1. Pengertian Pola Komunikasi

Pola komunikasi merupakan serangkaian dari dua kata, yaitu pola dan komunikasi. Dan dari keduanya mempunyai keterkaitan makna, sehingga makna tersebut saling mendukung satu sama lainnya. Untuk lebih jelasnya, dari dua kata tersebut akan diuraikan dengan penjelasan masing-masing.

Kata “pola” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya bentuk atau sistem. Cara atau bentuk (struktur) yang tetap.12 Sedangkan kata “pola” dalam Kamus Ilmiah Populer artinya model, contoh atau pedoman (rancangan).13 Tapi dalam bahasan ini pola lebih tepat diartikan bentuk sebagaimana keterkaitannya dengan kata yang digandengnya yaitu komunikasi.

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 778.

13

Puis A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 605.


(25)

Sedangkan kata komunikasi dalam bahasa Inggris yaitu

communication, secara etimologi komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu

communicare yang berarti “partisipasi atau memberitahukan”.14

Menurut Onong Uchjana Effendi istilah “komunikasi” berasal dari perkataan Inggris yaitu communication yang bersumber dari bahasa Latin

communicatio yang berarti “pemberitahuan” atau “pertukaran pikiran”.

Makna hakiki dari communicatio ini ialah communis yang berarti “sama” atau “kesamaan arti”.15

Pendapat hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Astrid S. Susanto yaitu perkataan komunikasi berasal dari kata communicare yang di dalam bahasa Latin memiliki arti ‘berpartisipasi’ atau ‘memberitahukan’. Kata

communis berarti ‘milik bersama’ atau ‘berlaku di mana-mana’.16

Sedangkan secara terminologi, para ahli mendefinisikan komunikasi. Menurut Onong Uchjana Effendi: “komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan atau merubah sikap, pendapat dan perilaku, baik secara langsung melalui lisan maupun secara tidak langsung melalui media.”17

Menurut Wilbur Schram dalam uraiannya seperti yang dikutip oleh T. A. Lathief Rosyidi mengatakan bahwa sebenarnya definisi komunikasi berasal dari bahasa Latin ‘communis’, bilamana kita mengadakan komunikasi, itu artinya kita mencoba untuk berbagi informasi, ide atau

14

Astrid. S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Bina Cipta, 1947), h. 67.

15

Onong Uchjana Effendi, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992), Cet. Ke-1, h. 4.

16

Astrid. S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek 1, (Bandung: Bina Cipta, 1998), h. 1.

17

Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. Ke-4, h. 3-4.


(26)

sikap. Jadi, esensi dari komunikasi itu adalah menjadikan si pengirim dapat berhubungan bersama dengan si penerima guna menyampaikan isi pesan.18

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang berkomunikasi berarti mengharapkan agar orang lain ikut berpartisipasi atau bertindak sesuai dengan tujuan, harapan dari isi pesan yang disampaikan. Jadi, diantara orang yang terlibat dalam kegiatan komunikasi harus memiliki kesamaan makna atau arti pada lambang-lambang yang digunakan untuk berkomunikasi, dan harus bersama-sama mengetahui hal yang dikomunikasikan.

Dari beberapa pendapat di atas, bisa dipahami bahwa arti dari pola komunikasi adalah gabungan dari dua kata antara pola dan komunikasi, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk penyampaian suatu pesan atau bentuk-bentuk komunikasi yang disampaikan oleh seorang komunikator kepada komunikan.

a. Unsur-Unsur Komunikasi

Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran berupa gagasan, ide, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benak atau perasaan yang berupa keyakinan, kepastian, kekhawatiran dan sebagainya yang muncul dari lubuk hati.

18

T. A. Lathief Rosyidi, Dasar-dasar Retorika Komunikasi dan Informasi, (Medan: 1985), h. 48.


(27)

Dari berbagai pengertian di atas, tampak akan adanya komponen atau unsur-unsur yang mencakup didalamnya yang merupakan syarat terjadinya komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut adalah:

1. Komunikator

Komunikator adalah orang yang menyampaikan pesan. Komunikator memiliki fungsi sebagai encoding, yaitu orang yang memformulasikan pesan atau informasi yang kemudian akan disampaikan kepada orang lain. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam mengendalikan jalannya komunikasi. Untuk itu, komunikator harus terampil dalam berkomunikasi, dan juga harus kaya akan ide-ide serta harus penuh dengan daya kreativitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Syarat-syarat yang diperlukan oleh komunikator, diantaranya: a. Memiliki kredibilitas yang tinggi bagi komunikannya,

b. Memiliki kemampuan komunikasi, c. Mempunyai pengetahuan yang luas, d. Memiliki daya tarik,

e. Mengenal diri sendiri, f. Memiliki kekuatan (power).19

Dari beberapa syarat dan pengertian komunikator di atas, tentunya seorang komunikator harus dapat memposisikan dirinya sesuai dengan karakter yang dimilikinya.

2. Pesan

19

Onong Uchjana Effendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996). Cet. Ke-1, h. 59.


(28)

Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh kominikator. Pesan harus mempunyai inti pesan sebagai pengarah di dalam usaha mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan yaitu pernyataan yang disampaikan oleh komunikator yang didukung oleh lambang. Penyampaian pesan dapat dilakukan secara langsung melalui lisan maupun secara tidak langsung melalui media.

Ada beberapa bentuk pesan di antaranya:

a. Informatif, yaitu memberikan keterangan-keterangan dan kemudian komunikan mengambil kesimpulan sendiri.

b. Persuasif, yaitu dengan bujukan untuk membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan berupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan, namun perubahan ini adalah kehendak sendiri.

c. Koersif, yaitu dengan menggunakan sanksi-sanksi. Bentuknya

terkenal dengan agitasi, yakni dengan penekanan-penekanan yang menimbulkan tekanan batin di antara sesamanya dan pada kalangan publik.20

3. Media

Media merupakan sarana atau saluran yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan.

4. Komunikan

20

H. A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Ke-3, h. 14.


(29)

Komunikan adalah orang yang menerima pesan dari komunikator. Fungsinya sebagai decoding, yaitu orang yang menginterpretasikan, menerjemahkan dan menganalisa isi pesan yang diterimanya.

5. Efek

Efek merupakan dampak atau hasil sebagai pengaruh pesan. Komunikasi dapat dikatakan berhasil apabila sikap dan tingkah laku komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Hal yang penting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan efek atau dampak tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yaitu:

a. Dampak Kognitif, yaitu dampak yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya.

b. Dampak Afektif, yaitu dampak yang menimbulkan perasaan tertentu dan bergerak hati seorang komunikan, misalnya perasaan iba, sedih, gembira dan lain sebagainya.

c. Dampak Behavior, dampak yang paling tinggi kadarnya, yaitu dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.21

2. Macam-macam Pola Komunikasi

21

Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, h. 7.


(30)

Menurut Onong Uchjana Effendi dalam bukunya yang berjudul: “Ilmu

Komunikasi; Teori dan Praktek”. Pola atau bentuk komunikasi terdapat empat

macam, yaitu komunikasi persona (intrapersona dan interpersona), komunikasi kelompok (besar dan kecil), komunikasi massa, dan komunikasi medio.22 Adapun dalam proses pendidikan dan pengajaran, komunikasi yang berlangsung melibatkan antara kyai atau guru sebagai komunikator santri atau murid sebagai komunikan, dan penyampaian pesannya pun berlangsung secara lisan dan melalui tatap muka. Maka dalam tatap muka ini dibagi ke dalam tiga bentuk komunikasi yaitu komunikasi kelompok kecil, komunikasi interpersonal dan komunikasi instruksional.

a). Komunikasi Kelompok Kecil

Komunikasi kelompok kecil adalah kelompok komunikan yang dalam situasi komunikasi terdapat kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal. Dengan lain perkataan dalam komunikasi kelompok kecil komunikator dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan salah satu anggota kecil.23 Suatu situasi komunikasi dinilai sebagai komunikasi kelompok kecil (small group communication), apabila situasi komunikasi seperti itu diubah menjadi komunikasi interpersonal dengan setiap komunikan.

Komunikasi kelompok kecil kurang efektif dalam mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikan, karena dari tiap komunikan tidak mungkin dikuasai oleh komunikator seperti halnya pada komunikan

22

Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-6, h. 7.

23


(31)

komunikasi interpersonal. Komunikasi kelompok kecil lebih bersifat rasional dalam menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator, komunikan menanggapinya dengan lebih banyak menggunakan pikiran dari pada perasaan. Mereka sempat bertanya pada dirinya mengenai benar-tidaknya apa yang diucapkan oleh komunikator kepadanya itu.

Dalam situasi komunikasi seperti itu, pesan yang disampaikan oleh komunikator harus mengarahkan kepada rasio komunikan bukan pada emosi.24

b). Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang dengan orang lain yang sendiri juga secara pribadi. Komunikasi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.25

Pada hakikatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan.26 Komunikasi interpersonal, dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Karena sifat dialogis, berupa percakapan dan umpan balik bersifat berlangsung secara tatap muka sehingga tanggapan komunikan dapat langsung diketahui.27

24

Effendi, Dinamika Komunikasi, h. 31. 25

Alo Liliweri, Komunikasi Antar Pribadi, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 1991), Cet.. Ke-1, h. 72.

26

Effendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, h. 77. 27


(32)

Untuk memahami komunikasi interpersonal lebih jauh, akan lebih baik jika seorang komunikator mengetahui ciri-ciri dan faktor-faktor penting dalam komunikasi interpersonal yaitu:

1. Komunikasi berlangsung secara dialogis, berbentuk percakapan dan tanya jawab sehingga komunikator dapat mengetahui segalanya mengenai diri komunikan.

2. Komunikasi berlangsung secara tatap muka, saling berhadapan dan saling menatap, sehingga komunikator dapat menyaksikan ekspresi wajah, sikap dan tingkah laku yang merupakan umpan balik non verbal.28

Dengan ciri tersebut komunikasi interpersonal dinilai ampuh untuk mengubah sikap, opini dan prilaku komunikan, biasanya hubungan seperti ini menggunakan teknik persuasif, yang dipergunakan untuk mempersuasikan orang-orang tertentu saja, yang mempunyai pengaruh dan pengikutnya banyak. Sehingga seorang komunikator berhasil mengubah sikap, opini dan prilaku, maka jajarannya akan berubah pula.

c) Komunikasi Instruksional

Komunikasi instruksional berarti komunikasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Istilah instruksional berasal dari kata

instruction yang berarti penyajian, pelajaran atau perintah juga bisa diartikan instruksi.

Dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah tetapi lebih mendekati kedua arti yang pertama yakni pengajaran atau

28


(33)

pelajaran, bahkan akhir-akhir ini kata tersebut diartikan sebagai pembelajaran. Memang ketiga kata tersebut bisa berlainan makna karena masing-masing menitikberatkan faktor-faktor tertentu yang menjadi perhatiannya.29

3. Penerapan Pola Komunikasi

Keberhasilan seorang komunikator dalam menyampaikan isi pesan kepada komunikan dengan efektif, merupakan salah satu di antaranya bergantung pada bentuk atau pola komunikasi yang dibangun oleh seorang komunikator pada saat berinteraksi dengan komunikan.

Ada tiga pola komunikasi dalam proses interaksi sosial yakni komunikasi sebagai aksi, interaksi, dan transaksi. Pertama, komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah, yaitu menempatkan komunikator sebagai pemberi aksi dan komunikan hanya sebagai penerima aksi saja. Komunikator aktif sedangkan komunikan pasif. Demikian halnya dalam proses pengajaran seorang guru (kyai) lebih aktif dalam menyampaikan bahan pengajaran, sedangkan peserta didik (santri) hanya bisa menerima apa yang disampaikan oleh kyai tanpa berkomentar apapun.

Kedua, komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, yaitu komunikator bisa berperan sebagai pemberi aksi dan penerima aksi. Demikian pula halnya komunikan, bisa berperan sebagai penerima aksi dan bisa pula sebagai pemberi aksi.

29


(34)

Dalam proses pengajaran baik guru (kyai) maupun siswa (santri) bisa berperan ganda sebagai pemberi dan penerima aksi atau komunikasi ini bisa dikatakan sebagai komunikasi interpersonal, yaitu proses pertukaran informasi antara komunikator dengan komunikan yang feedbecknya secara langsung dapat diketahui, serta komunikator dan komunikan memiliki dua fungsi sekaligus.

Ketiga, komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah, yaitu komunikasi tidak hanya terjadi antara perorangan melainkan kepada banyak orang. Di sini komunikan dituntut lebih aktif dari pada komunikator.

Situasi pengajaran atau proses belajar mengajar bisa terjadi dalam tiga pola atau bentuk komunikasi di atas. Akan tetapi, dalam komunikasi yang ketiga (komunikasi sebagai transaksi atau banyak arah), pengajaran berlangsung dalam kondisi yang sesuai dengan hakekat belajar dan mengajar yang sebenarnya.30

B. Kyai dan Santri

1. Pengertian Kyai dan Santri a. Pengertian Kyai

Kyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim ulama (cerdik dan pandai dalam agama Islam).31 Sedangkan dalam sebuah pesantren, kyai adalah pembimbing, pengajar, atau pemimpin sebuah pesantren. Kyai menurut definisi Manfred Ziemek adalah:

30

Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung: Sinar baru, 1989), h. 9-10. 31

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 437.


(35)

“Pendiri dan pemimpin sebuah pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah memberikan hidupnya demi Allah serta menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan kyai berfungsi sebagai seorang ulama, artinya ia mengetahui pengetahuan dalam tata masyarakat Islam dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum Islam, dengan demikian ia mampu memberikan nasehat”.32

Istilah kyai adalah sebutan yang diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kyai banyak tersebar di pulau Jawa dan juga di luar pulau Jawa.33 Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan Madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren.

Menurut asal muasalnya, sebagaimana dirinci Zamakhsyari Dhofier, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren.34

Kyai dalam hal ini mengacu kepada pengertian ketiga, yakni gelar yang diberikan kepada para pemimpin agama Islam atau pondok pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada para

32

Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M. 1986), H. 131. 33

Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. Ke-1, h. 13.

Pradjata Dirdjosanjoto mengutip pendapat Zamakhsyari Dhofier mengenai definisi kyai di suatu pondok pesantren.

34

HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), h. 28.


(36)

santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “ajengan,” di Aceh dengan Teuku, sedangkan di Sumatera Barat dinamakan Buya.35

H. Aboebakar Atjeh menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar yaitu:

1. Pengetahuannya 2. Keshalehannya 3. Keturunannya 4. Jumlah Muridnya.36

Vrenden Bregt memberikan skema yang hamper sama dengan H. Aboebakar Atjeh yaitu:

1. Keturunan (seorang kyai besar mempunyai silsilah yang cukup panjang)

2. Pengetahuan agamanya 3. Jumlah muridnya

4. Cara dengan mengabdian dirinya pada masyarakat.37

Dalam perkembangannya, gelar kyai tidak lagi menjadi monopoli bagi para pemimpin atau pengasuh pesantren. Gelar kyai dewasa ini juga dianugerahkan sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren. Gelar kyai ini juga sering dipakai

35

Ibid., h. 29. 36

Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, h. 13 37


(37)

oleh para da’i atau mubaligh yang biasa memberikan ceramah agama Islam.38

b. Pengertian Santri

Kata “santri“ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh.39 Mengenai asal usul kata “santri” ituada dua pendapat, yaitu: 1. Kata santri berasal dari perkataan “shastri” yang berasal dari India,

yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci. Di sini dapat diasumsikan bahwa santri berarti orang yang mempelajari kitab suci. 2. Kata santri berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik” yang artinya

seseorang yang selalu mengikuti seorang guru, menetap dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian.40

Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut mempelajari ilmu-ilmu agama Islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, aksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya.

Santri juga merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses belajar mengajar. Santri merupakan objek yang akan dibimbing dan diarahkan oleh kyai di pesantren. Oleh karena itu, keberadaan santri

38

Haedari, h. 28-29. 39

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 783.

40

Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 20.


(38)

termasuk yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan proses belajar mengajar.

Santri terbagi dalam dua katagori. Pertama, santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Kedua,

santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong pergi ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya.41

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa santri adalah murid yang belajar di pesantren untuk lebih memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam di sebuah pondok pesantren.

2. Komunikasi Kyai dan Santri

Kyai dan santri merupakan elemen yang paling penting dalam proses belajar mengajar atau pengajaran dalam suatu lembaga pendidikan yaitu pondok pesantren. Hubungan antara kyai sebagai pemimpin dan pengajar atau guru di pesantren dengan santri sebagai peserta didik sangat erat sekali. Di mana seorang kyai yang bertindak sebagai komunikator dapat merubah sikap dan tingkah laku para santrinya, agar penyampaian pesan berhasil dengan baik dan berjalan secara efektif. Seorang kyai harus menciptakan keadaan yang

41

Haedari, Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, h. 35.


(39)

baik pula, artinya seorang kyai harus menjadi suri tauladan dan kepercayaan sehingga santri mulai menghargai seorang kyai dan hubungan yang serasi tetap terpelihara dengan baik.

Tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh kyai terhadap santrinya adalah untuk menciptakan adanya hubungan timbal balik antara santri dan kyai, di mana para santri mengganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap dan hubungan timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.42

Mastuhu menemukan dua pola komunikasi yang unik antara kyai dan santri. Sebagaimana gaya kepemimpinan sang kyai, dua pola komunikasi ini juga terdapat di semua pesantren yang dijadikan objek penelitiannya. Dua pola komunikasi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pola komunikasi otoriter-paternalistik. Yaitu pola

komunikasi antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scott, patron-client relationship, dan tentunya sang kyailah yang menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya, sangat kecil, untuk mengatakan tidak ada, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan sang kyai.

Kedua, pola komunikasi laissez faire. Yaitu pola komunikasi kyai dan santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah sehingga pembagian

42


(40)

kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan.43

C. Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an 1. Pengertian Pengajaran

Kata “pengajaran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan.44 Pengajaran juga diambil dari istilah instruksional yang berarti: “memberikan pengetahuan atau informasi khusus dengan maksud melatih dari berbagai bidang khusus, memberikan keahlian atau pengetahuan dalam berbagai bidang seni atau spesialisasi tertentu” atau dapat berarti pula “mendidik dalam subjek atau bidang pengetahuan tertentu.” Di sini juga dicantumkan makna lain yang berkaitan dengan komando atau perintah.45

KH. Dewantara juga menjelaskan pengajaran adalah bagian dari pendidikan dan pengajaran onder wijs, itu tidak lain dan tidak bukan ialah salah satu bagian dari pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan. Para ahli pendidikan telah mencoba merumuskan batasan

43

Ibid, h. 61-62.

HM. Amin Haedari, dkk, mengutip pendapat Mastuhu mengenai pola komunikasi di pondok pesantren.

44

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Ke-7, h. 7.

45

Pawit M. Yusuf, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, (Jakarta: Jakarta Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 6.


(41)

pengertian tentang pengajaran, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Hasan Langgulung bahwa pengajaran adalah pemindahan pengetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan, kepada orang lain yang belum mengetahui.46

Dari terminologi di atas, terdapat unsur-unsur subtansial kegiatan pelajaran yang meliputi: pertama, pengajaran adalah upaya pemindahan pengetahuan, kedua, pengajaran adalah pemindahan pengetahuan (pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahui (pelajar) melalui suatu proses belajar mengajar.

Bertitik tolak pada pengertian metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka fungsi metode mengajar tidak dapat diabaikan, karena metode mengajar tersebut turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian yang integral dalam suatu sistem pengajaran. Oleh karena itu pemakaian metode harus sesuai dan selaras dengan karakteristik siswa (santri), materi, kondisi lingkungan di mana pengajaran berlangsung.47

Dengan demikian, pengajaran adalah pemberian pelajaran atau informasi dari berbagai mata pelajaran yang diajarkan pendidik kepada peserta didik, dengan tujuan agar peserta didik memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan.

46

Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), Cet. Ke-3, h. 3.

47

Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 22.


(42)

Melalui pengajaran inilah peserta didik mengetahui dan memahami mana yang boleh dan harus dikerjakan dalam hidup ini, agar dapat melaksanakan atau terampil dalam mengerjakannya, serta bersikap menghargai dan mau melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Semakin efektif pengajaran yang diberikan akan semakin berfaedah bagi peserta didik untuk membentuk pribadinya dan kesejahteraan hidupnya.48

2. Pengertian Seni Baca Al-Qur’an

Kata “seni” berasal dari bahasa Latin “ars” yang berarti “keahlian”, merupakan keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan benda, suasana atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah.49

Sedangkan kata “seni” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keahlian membuat karya yang bermutu (kehalusan dan keindahan), atau karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa.50

Seni menurut H. Endang Saipuddin Anshari, MA, adalah “manifestasi budaya priksa (pikiran), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi (keyakinan tentang suatu kebenaran yakni keyakinan yang tidak didapatkan dengan jalan

48

Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, h. 55. 49

Endang Saifuddin Anshari, M.A, Wawasan Islami, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986), h. 3.

50

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-3, h. 1037.


(43)

berfikir diskursif, tetapi timbul sebagai faham, dan karya (perbuatan) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetika.51

Kesenian sebagai penjelmaan rasa keindahan pada umumnya adalah untuk kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran dan perasaan sehingga ia menjadi bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki. Intisari kesenian adalah menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.52

Sedangkan kata “baca” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis.53 Dan al-Qur’an dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah firman-firman Allah SWT yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia, atau al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam.54

Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan (qira’ah). Sedangkan al-Qur’an menurut istilah firman Allah SWT bukan sabda Nabi Muhammad SAW atau perkataan Malaikat, Jin dan lain-lain.55

Al-Qur’an kitab suci umat Islam dianjurkan supaya dibaca dan dihiasi dengan suara yang merdu sehingga dapat memberikan kesan kepada pembaca

51

Anshari, Wawasan Islam, h. 4. 52

KH. Muhsin Salim, Ilmu Nagham Al-Qur’an, (Jakarta: Kebayoran Widya Ripta, 2000), h. 8.

53

Departemen Pendidikan Nasional, h. 83. 54

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 24.

55


(44)

dan pendengarnya. Melagukan bacaan al-Qur’an dengan suara yang indah merupakan seni baca yang paling tinggi nilainya dalam ajaran agama. 56

Kemudian dari definisi-definisi di atas dapat dipahami, bila seni dihubungkan dengan membaca al-Qur’an berarti keahlian, kemahiran yang ada pada diri seseorang diwujudkan dalam bentuk suara yang indah dengan berbagai macam metode-metode yang digunakan.

3. Komunikasi Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an

Melihat definisi komunikasi, pengajaran dan seni baca al-Qur’an di atas, maka komunikasi pengajaran seni baca al-Qur’an adalah komunikasi yang dibangun oleh kyai atau guru dalam suatu proses belajar mengajar yaitu kemampuan seorang kyai atau guru yang profesional dalam menggambarkan, menerangkan, dan memberikan sebuah metode dalam menyampaikan materi kepada peserta didik (santri), sehingga proses pengajaran yang disampaikan oleh kyai atau guru dapat berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan program yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga pendidikan yaitu pondok pesantren.

Komunikasi dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren, dapat diartikan sebagai suatu rencana yang digunakan oleh seorang kyai atau ustadz dalam menyampaikan materi atau pesan pelajaran seni baca al-Qur’an kepada para santri selaku komunikan dengan berbagai macam bentuk. Untuk itu, komunikasi yang digunakan oleh kyai atau ustadz dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, yaitu secara langsung melalui tatap muka

56


(45)

dengan lisan, dan menggunakan pola komunikasi kelompok kecil antara seorang kyai atau ustadz dengan para santri.

Dalam proses pengajaran tersebut kyai atau ustadz menggunakan komunikasi instruksional, di mana pelaksanaannya komunikasi instruksional yang terjadi dalam mencapai tujuan tersebut lebih banyak menginstruksikan kepada santri untuk lebih banyak meningkatkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemahaman tentang materi pengajaran seni baca al-Qur’an.


(46)

BAB III

GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH

A. Letak Geografis dan Sejarah Berdiri 1. Letak Geografis

Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah terletak di Jalan Panti Asuhan. No. 06, Kp. Ceger, RT. 003 RW. 012, Kelurahan Jurang Mangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang Banten.

Pondok Pesantren ini memiliki lokasi yang mudah dijangkau, mudah ditemukan dan sangat strategis, serta jauh dari keramaian kendaraan umum sehingga tidak bising dan menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar. Dibangun di atas areal tanah seluas 500 M2 menjadikan Pondok Pesantren ini cukup memadai untuk kegiatan belajar mengajar.

2. Sejarah Berdiri

Berdirinya Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah tidak terlepas dari keberadaan Pemberantasan Buta Huruf Arab (PBHA), yang merupakan cikal bakal berdirinya pesantren salafiyah/tradisional yang bercirikan keal-Qur’anan yang belum ada di desa Jurang Mangu.

Sebelum lahir nama Al-Qur’aniyyah, diperkirakan jauh sebelumnya pada tahun 1973 sudah dimulai pengajian ibu-ibu yang dipimpin oleh Alm. Ibu Hj. Pilus (Ibunda KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A). Pada tahun 1980 keinginan yang kuat terdorong oleh Ibu Hj. Pilus untuk punya sebuah Majlis


(47)

Taklim, maka dibentuklah pengajian biasa tersebut dengan sebutan Majlis Taklim Hari Minggu Kaum Ibu.57

Pada tahun 1986 dibentuklah pengajian remaja yang dikoordinir oleh HM. Sobron Zayyan, M.A, dengan materi keal-qur’anan dan kegiatan tersebut hanya dilakukan setiap satu minggu sekali pada malam jum’at.

Perintisan Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah dimulai pada tahun 1987. Sobron, yang biasa disapa, seorang putra Ceger, Jurang Mangu Timur Pondok Aren Tangerang, tepatnya kelahiran Tangerang, 1964. Pada tahun 1985 mencapai puncak impiannya di dunia seni baca Al-Qur’an. Beliau dapat memperoleh Juara I Lomba Cerdas Cermat Isi Kandungan al-Qur’an atau Musabaqah Fahmil Qur’an tingkat Nasional.58

Sebuah perjalanan panjang telah dilaluinya, semenjak usia kanak-kanak hingga remaja. Berbagai perlombaan dan kejuaraan MTQ pun sudah diikutinya, dari mulai tingkat RT hingga Nasional, meskipun bukan pada cabang Tilawatil Qur’an.

Beliau adalah seorang pemuda yang hidup hanya didampingi oleh seorang Ibu yang sudah tua, karena ayahnya meninggal jauh hari, ketika beliau masih kecil. Tetapi itu tak pernah menjadi penghalang bagi dirinya untuk menggeluti dunia al-Qur’an yang memang menjadi kegemarannya semenjak kecil.

Keberhasilannya di dunia MTQ, membuat namanya mencuat kepermukaan terutama di wilayah Pondok Aren dan Tangerang. Lalu beliau,

57

Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008.

58

Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag. Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(48)

melanjutkan studinya di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an), tentunya dengan kondisi yang serba pas-pasan. Tetapi dorongan dari orangtuannya serta kemauan dan kegigihan akhirnya beliau berhasil menyelesaikan studinya dengan hasil yang cukup memuaskan, pada tahun 1990.59

Di saat kuliah, beliau dipercaya untuk mengajar di MTs Ishlauddiniyyah serta santripun mulai berdatangan untuk belajar mengaji ke tempatnya. Untuk mengajar mengaji di rumahnya sudah dilakukannya semenjak ia duduk di kelas 1 PGA, semua ia jalani dengan penuh keikhlasan dan ketabahan. Memperdalam Seni tarik suara ia tak pernah ketinggalan untuk terus belajar kepada KH. Husin (Alm), H. Muhammad Ali dan H. Muhammad Nasir serta Ust. Abdullah (Alm). Kegiatan memperdalam al-Qur’an, terus ia lakukan hingga saat ini.60

Pada tahun 1987, jumlah santri yang belajar mengaji di rumahnya kian hari kian bertambah. Kemudian dengan dukungan Tokoh Masyarakat setempat dan aparat Pemerintah, maka didirikanlah sebuah Lembaga Pendidikan Islam dengan nama “Al-Qur’aniyyah”. Saat itu, Al-Qur’aniyyah barulah sebuah Majlis Taklim anak-anak dan remaja. Pada tahun, didirikanlah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sebagai fondasi awal berdirinya lembaga pendidikan semi formal.61

Lambat laun, nama Al-Qur’aniyyah semakin melambung, seiring dengan cemerlangnya prestasi para santri Al-Qur’aniyyah baik TPA maupun

59

Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.

60

Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.

61

Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(49)

remaja. Beriringan dengan itu, tuntutan masyarakat untuk memondokkan anaknya di Al-Qur’aniyyah semakin besar. Dengan kondisi aula yang seadanya mulailah diterima santri untuk mukim yang pada saat itu baru berjumlah 4 orang.

Pada tanggal 15 Maret 1989, dimulailah pembangunan gedung tahap pertama di atas pimpinan LPI Al-Qur’aniyyah dengan luas bangunan 100 M2 dengan rancangan dua lantai, namun pada tanggal 17 Februari 1990 Al-Qur’aniyyah hanya dapat menyelesaikan lantai dasar saja. Pada tahun 1991 pembangunan tahap II dimulai dan selesai pada tahun 1992.62

Sejalan dengan itu, di sekitar Pondok Aren khususnya, banyak sekali anak-anak yatim-piatu yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya, karena terbentur biaya pendidikan. Hal ini membuat hati pimpinan tergerak untuk menolong mereka, dengan cara menampung mereka untuk tinggal di lembaga pendidikan Islam Al-Qur’aniyyah sambil belajar di sekolah yang dibiayai oleh pimpinan. Sejak saat itu, pimpinan terus berupaya menolong anak-anak yatim-piatu dan dhuafa yang membutuhkan pertolongan. Pada tanggal 21 Oktober tahun 1992 diresmikan Panti Asuhan Yatim Piatu Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah yang di dalamnya menampung anak-anak yatim-piatu dan dhuafa.63

Pada tahun 1994, pimpinan berfikir bagaimana menyiapkan generasi-generasi penerus sebagai insan yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia, yang dapat mengabdikan diri mereka kepada agama bangsa dan

62

Wawancara Pribadi dengan Ust.Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.

63

Wawancara Pribadi dengan Ust.Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(50)

Negara, khususnya kepada masyarakat di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, didirikanlah Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah dengan pengajaran selama 6 tahun dengan kurikulum yang dibuat dengan nuansa kealqur’anan yaitu dengan mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur’an, tajwid, tartil, tahfidz dan ditambah dengan pengajian kitab kuning, serta dengan mengarahkan bakat masing-masing anak kearah pengkaderan generasi muda menjadi seorang da’i-da’iyah, hafidz-hafidzah, yang memiliki dasar keagamaan yang berkualitas.64

Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah semakin percaya diri dengan prestasi yang dicapainya. Maka pada tahun 1995, mulailah genderang Al-Qur’aniyyah ditabuh. Yakni dengan pengurusan Legalisasi Akta Notaris serta menerima santri mukimin. Dan pada tanggal 6 September 1995 Pimpinan mendapatkan pengesahan berbadan hukum untuk Yayasan Pendidikan Islam Al-Qur’aniyyah dengan akta notaris Ruwin Diara, SH. No. HT. 04 : 910 : 2001/PN/TNG. Kemudian dirayakanlah Hari Lahir Al-Qur’aniyyah ke-VIII secara akbar pada tahun 2001.65

Pimpinan selalu berupaya mengembangkan Yayasan Pendidikan Islam Al-Qur’aniyyah dengan misinya di bidang sosial dan pendidikan bagi generasi Islam khususnya bagi para anak-anak yatim-piatu dan kaum dhuafa. Serta pembenahan sistem organisasi, administrasi dan manajemen terus ditingkatkan, seiring dengan orientasi Al-Qur’aniyyah untuk Go-Public pada

64

Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.

65

Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(51)

tahun 1997/1998, sampai sekarang Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah ini selalu mengalami perkembangan yang sangat pesat.66

B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan 1. Struktur Organisasi

Dalam menjalankan organisasi, pondok pesantren Al-Qur’aniyyah membentuk bagian-bagian/bidang-bidang yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, adapun bidang-bidang tersebut adalah:

1. Bidang Urusan Rumah Tangga 2. Bidang Keuangan

3. Bidang Keamanan 4. Bidang Kesehatan

5. Bidang Pendidikan dan Pengajaran. 6. Bidang Dakwah dan Humas

7. Bidang Sarana dan Prasarana.67

Setiap bidang membawahi 1 sub bagian, yaitu diketuai 1-2 orang yang diangkat berdasarkan musyawarah dan mufakat, juga mendapatkan restu dari yayasan. Adapun tugas masing-masing sebagai berikut:

1. Bidang Urusan Rumah Tangga

a. Merencanakan menu dan gizi para santri b. Mengatur suplay makanan

c. Penerimaan tamu

66

Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.

67

Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(52)

d. Mengadakan dapur umum e. Mengadakan kebersihan 2. Bidang Keuangan

a. Mengkoordinir keuangan para santri 3. Bidang Keamanan

a. Mengadakan persidangan b. Membuat hukuman dan sangsi c. Memberikan surat perizinan 4. Bidang Kesehatan

a. Mengadakan poliklinik

b. Menyediakan obat-obatan gratis bagi para santri 5. Bidang Pendidikan dan Pengajaran

a. Membentuk pendidikan formal b. Membina pendidikan non formal c. Membina latihan dan pendidikan. 6. Bidang Dakwah dan Humas

a. Mempublikasikan kemajuan dan perkembangan Pesantren b. Menjalin silaturrahmi kepada wali santri

c. Sosialisasi dan Pengenalan 7. Bidang Sarana dan Prasarana

a. Menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan b. Menyediakan fasilitas belajar mengajar.68

68

Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(53)

STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH (1)

Sumber: (1) Dokumentasi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah

Pelindung

Pimpinan Yayasan

Wakil Yayasan Penasehat

Sekretaris Bendahara

Sek. Bid. Keamanan Sek. Bid. Kesehatan

Sek. Bid. Pendidikan dan Pengajaran

Sek. Bid. Sarana dan Prasarana Sek. Bid. Keuangan

Ustadz dan Ustadzah Sek. Bid. Humas

Sek. Bid. Urusan Rumah Tangga


(54)

2. Kepengurusan

Di dalam mengembangkan dan memajukan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, baik di bidang pendidikan maupun bidang sarana dan prasarana. KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A tidak berjalan sendirian, melainkan dibantu oleh beberapa pengurus, atas bantuan mereka dari tahun ke tahun kemajuan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah semakin berkembang pesat. Adapun susunan pengurus pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sebagaimana tertera di bawah ini:

SUSUNAN PENGURUS YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH (2)

Pelindung : 1. Camat Pondok Aren

2. Kepala K.U.A Pondok Aren 3. Kepala Desa Jurang Mangu Timur Penasehat : 1. H. Amin Kiswardono

2. H.M. Nasir

3. H. Syamsu Kammar 4. H. Winarso Taru Pranoto 5. Hj. Nunie Rudi

6. Hj. Ninin Syafruddin Jalil Ketua Umum : KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A Wakil Ketua : Mahmur Syahid


(55)

Sekretaris : Sahlan H.A

Bendahara : Mochammad Halimi Seksi-seksi :

A. Seksi Pendidikan dan Pengajaran 1. Drs. H. Hilman M.A 2. M. Yunus S.Ag B. Seksi Dakwah dan Humas

1. Drs. Sahlan HD 2. Hamdani S.Pd C. Seksi Sarana dan Prasarana

1. H. Syafi’i 2. Muhasyar D. Seksi Keuangan 1. Mahfudz 2. Muslih HD E. Seksi Kesehatan

1. Maulana Yusuf 2. Abidin

F. Seksi Keamanan dan Urusan Rumah Tangga 1. Abdillah

2. Abdul Latief, S.Ag.69

Sumber: (2) Dokumentasi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah

69

Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.


(56)

C. Santri dan Pengasuh 1. Santri

Santri merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses belajar mengajar. Santri merupakan objek yang akan dibimbing dan diarahkan oleh kyai di pondok pesantren. Oleh karena itu, keberadaan santri termasuk yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan proses belajar mengajar.

Kata “santri“ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh.70 Santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah selain mendapatkan materi pendidikan kepesantrenan termasuk pengajaran seni baca al-Qur’an, juga mendapatkan pendidikan formal melalui Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsanawiyyah, dan Madrasah Aliyah dengan status disamakan melalui akreditasi.

Santri yang belajar di Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsanawiyyah, dan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah tidak semuanya tergolong santri mukim, ada juga santri luar. Santri mukim hanya Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah. Itupun hanya sebagian besar saja, tidak seluruhnya, hanya santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh kemudian menetap dalam kelompok pesantren dan mengikuti pembelajaran yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, yaitu pengajian-pengajian kitab kuning, tahfidz, naghom, murottal, nahwu, shorof,

70

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 783.


(57)

ilmu qira’at dan lain sebagainya. Mukimnya santri ini, maka mereka mendapat materi pendidikan formal dan juga mendapat pendidikan kepesantrenan.71

Sedangkan santri luar adalah santri yang tidak menetap di pesantren, mereka mengikuti pembelajaran pesantren dan pada waktu yang sama juga mengikuti pendidikan di luar pesantren. Adapun jumlah santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sebanyak 300 orang.72

2. Pengasuh

Kyai merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang yang ahli agama Islam, yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya. Kyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim ulama (cerdik dan pandai dalam agama Islam).73 Sedangkan dalam sebuah pesantren, kyai adalah pembimbing, pengajar, atau pemimpin sebuah pesantren.

Pendapat di atas mendapat pembenaran dari masyarakat Desa Jurang Mangu Timur Pondok Aren Tangerang terhadap kyai pengasuh pesantren. Hal ini dapat dilihat dari prilaku masyarakat sekitar yang berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan pesantren. Begitu pula dengan pemerintah setempat dari tingkat kekelurahan, kecamatan, sampai tingkat kabupaten yang sering berkunjung dan berkonsultasi dengan pihak pesantren. Sehingga yang terlihat dari kehidupan masyarakat Desa Jurang Mangu Timur Pondok Aren

71

Wawancara Pribadi dengan KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008.

72

Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008.

73

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 437.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, mendapatkan keberhasilan yang sangat gemilang atas sebuah prestasi yang diraih dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, dan selama ini dapat dimungkinkan karena didukung oleh bentuk atau pola komunikasi pengajaran yang baik, metode pengajaran yang bagus, tenaga pengajar yang profesional dan kurikulum yang baik pula. Sehingga dapat memungkinkan bagi pengurus dan pengelolah pondok pesantren mampu menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang kaya akan disiplin, baik ilmu agama maupun ilmu umum.

Berdasarkan uraian tentang kondisi objektif kegiatan pondok pesantren Al-Qur-aniyyah dalam mengarahkan bakat masing-masing santri kearah pengkaderan generasi muda menjadi seorang qori-qoriah, da’i-da’iyah, hafidz-hafidzah, yang memiliki dasar keagamaan yang berkualitas, yaitu dengan penggunaan pola-pola komunikasi dan metode pengajaran dilakukan oleh seorang kyai pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dapat menentukan hasil akhir yang memuaskan. Akhirnya dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa:

1. Pola komunikasi yang digunakan oleh kyai pondok pesantren Al-Qur’aniyyah terhadap santri dalam pengajaran seni baca Al-Qur’an dari berbagai tingkatan, terutama pada tingkatan mahir ialah pola komunikasi verbal yaitu komunikasi secara tatap muka dengan menggunakan lisan dalam penyampaian materi pelajaran. Selain itu, kyai juga menggunakan


(2)

komunikasi instruksional, komunikasi antar pribadi (interpersonal), dan komunikasi kelompok kecil. Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah menetapkan program-program pengajaran seni baca al-Qur’an untuk menerapkan kedisiplinan ilmu yang harus ditempuh oleh para santri. Program pengajaran seni baca al-Qur’an yang diterapkan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah selain untuk mendidik dan mengajarkan para santri agar dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta dapat melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan indah sesuai dengan ilmu lagu-lagu al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at, terdapat tujuan-tujuan lain di dalam program pengajaran seni baca al-Qur’an tersebut, yaitu tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang. Dan keberhasilan yang dicapai oleh pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dalam pengajaran seni baca al-Qur’an adalah pemahaman bagi para santri terhadap isi dan makna al-Qur’an serta ilmu dan kaidah yang terkandung dalam al-Qur’an, mengenal lagu-lagu maupun nada-nada dalam al-Qur’an, sehingga tercetak qori dan qoriah dari berbagai tingkatan, mulai dari tingkat biasa sampai tingkat internasional.

B. Saran

Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis terhadap kegiatan pengajaran seni baca Al-Qur’an yang dilaksanakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Penulis ingin memberikan sedikit saran kepada pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sekaligus kepada pengurus-pengurus dan kepada para santri yang sekiranya dapat


(3)

bermanfaat, guna dijadikan bahan pertimbangan untuk melangkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pengajaran tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Bagi pengurus, perlu adanya peningkatan kualitas para guru, agar kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik. Serta diharapkan adanya peningkatan dan lebih mengoptimalkan hasil-hasil pembinaan terhadap santri. Semua itu, dapat dilakukan dengan cara merekrut tenaga-tenaga profesional yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam seni baca al-Qur’an.

2. Agar santri menjadi generasi yang kreatif dan maju, perlu kiranya usaha untuk membekali mereka dengan pengalaman-pengalaman.

3. Perlu adanya kelas khusus bagi santri dalam rangka pengembangan bakat dan kemampuan dalam seni baca al-Qur’an.

4. Bagi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, agar kegiatan pengajaran seni baca al-Qur’an yang dilaksanakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah berjalan dengan baik perlu kiranya menjalin kerja sama dengan berbagai pondok pesantren lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saipuddin, Wawasan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986.

Basyiruddin Usman, Asnawir, Media Pembelajaran, Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1.

………, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, Cet. Ke-1.

………, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Cet, Ke-7.

………, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet, Ke-3.

Dirdjosanjoto, Pradjata, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, Yogyakarta: LKIS, 1999, Cet, Ke-1.

Effendi, Onong Uchjana, Spektrum Komunikasi, Bandung: Bandar Maju, 1992, Cet, Ke-1.

………., Dinamika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, Cet, Ke-4.

………., Kepemimpinan dan Komunikasi, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996. Cet. Ke-1.

……….., Dinamika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, Cet-Ke-6.

………., Kepemimpinan dan Komunikasi, Yogyakarta: PT. Al-Amin Press, 1992, Cet, Ke-1.

Haedari, Amin dkk, Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta: IRD Press, 2004.


(5)

Liliweri, Alo, Komunikasi Antar Pribadi, Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 1991,Cet. Ke-1.

Langgulung, Hasan, Prndidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983, Cet, Ke-3.

Moleong, Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2007, Cet, Ke-23.

Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Puis A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.

Rosyidi, T. A. Lathief, Dasar-dasar Retorika Komunikasi dan Informasi, Medan: 1985.

Salim, Muhsin, Ilmu Nagham Al-Qur’an, Jakarta: Kebayoran Widya Ripta, 2000.

Sabri, Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta, 2005, Cet. Ke-1.

Sudjana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif, Bandung: Sinar baru, 1989.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-13.

Suyakhmad, Winayno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsiti, 1986, Cet, Ke-7.

Susanto, Astrid. S, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Bandung: Bina Cipta, 1947.

……….., Komunikasi Dalam Teori dan Praktek 1, Bandung: Bina Cipta, 1998.

Usman, Basyiruddin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Widjaja, H. A. W, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet. Ke-3.


(6)

………, Ilmu KomunikasiPengantar Studi, Jakarta: Rine Cipta, 2000, Cet, Ke-2.

Yusuf, Pawit M, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, Jakarta: Jakarta Press, 2002, Cet, Ke-1.