b. Sistem
Menurut Tanaka Yuki dalam bukunya Japan’s comfort Women Sexual Slavery and Prostitution During World War II and The US Occupation, terdapat rantai kekuasaan
dalam pembentukan praktik jugun ianfu. Adapun rantai kekuasaan tersebut, yaitu: Sistem jugun ianfu yang berpusat pada kekaisaran Jepang, lalu turun ke Kementrian Perang dan
Kepala Umum Staf Tentara Jepang. Selanjutnya kekuasaan tersebut diturunkan kepada Staf tentara di wilayah pendudukan Jepang seperti Korea, Taiwan dan Indonesia. Staf
tentara di wilayah pendudukan biasanya memiliki agen khusus untuk merekrut para perempuan untuk dijadikan jugun ianfu. Para perempuan tersebut dikumpulkan di suatu
tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi Jepang lalu di tempatkan
ke sebuah tempat hiburan.
Digaris depan terutama di Negara dimana orang yang bertindak sebagai agen jarang tersedia, militer secara langsung menunjuk pemimipin lokal untuk menyediakan
atau memasok perempuan untuk keperluan rumah hiburan. Di bawah tekanan kondisi perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara
Jepang 250.000 tentara Jepang; sebagai tanggapan dari permasalahan tersebut, maka tentara Jepang meminta atau merampok persediaan daerah setempat.
Perempuan yang direkrut militer Jepang sebagi jugun ianfu umumnya dikumpulkan di suatu tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi
militer Jepang. Setelah itu mereka ditempatkan dalam satu rumah hiburan atau ianjo. Pada umumnya ianjo dibagi menjadi 3 atau 4 kategori yang tergantung dari lamanya
pelayanan, yaitu perempuan baru yang tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Selanjutnya bila perempuan tersebut terkena penyakit
Universitas Sumatera Utara
kelamin maka diturunkan kategorinya. Ketika mereka sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi maka mereka diabaikan dan diterlantarkan begitu saja. Banyak para korban
melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh dari ribuan lelakii dalam waktu beberapa tahun bisa dibayangkan penderitaan mereka meladeni 250.000
tentara Jepang dalam waktu 3 tahun. Sistem yang diterapkan para tentara Jepang pada awalnya merupakan sistem yang
legal dan direstui oleh Tenno Hirohito. Namun kemudian sistem ini berubah menjadi sebuah bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan-perempuan di wilayah
pendudukan Jepang dieksploitasi sedemikian rupa untuk memuaskan tentara Jepang. Perempuan-perempuan tersebut diperlakukan tidak adil dan secara paksa dijadikan
perempuan penghibur tentara Jepang. Pada awal pembentukan sistem jugun ianfu, pemerintah Jepang berharap dengan
adanya hiburan yang layak bagi parra tentara dapat meningkatkan moral dan kinerja serta menghindari penyakit kelamin tentaranya.untuk menunjang rencana itu,
dibangunlah tempat-tempat hiburan ianjo bagi tentara di garis depan. Di ianjo inilah para jugun ianfu di tempatkan untuk memuaskan nafsu tentara Jepang.
Sistem jugun ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang. Seperti kesaksian Taira Tezo, bekas tentara Dai Nippon yang telah menjadi warga negara
Indonesia dan tellah berganti nama menjadi Nyoman Buleleng, “Perempuan-perempuan penghibur itu memang benar-benar ada. Saya merasakan sendiri. Jepang rupanya sadar
akan kebutuhan biologis tentara tidak bisa dimatikan meskipun dalam keadaan perang. Sehingga saya melihat betapa terorganisirnya perempuan-perempuan itu. Di semua
daerah yang telah diduduki Jepang, otomatis didirikan rumah khusus untuk itu. Di rumah
Universitas Sumatera Utara
biasa itu sampai ada 20 kamar yang dikelilingi tembok bambu yang tinggi. Penghuni rumah bambu macam-macam. Ada yang khusus perempuan Jepang, ada juga yang
menyediakan perempuan campuran Cina dan Indonesia. Yang disebut perempuan Jepang itu sebetulnya banyak juga wanita keturunan Cina, Korea atau Filipina”.
Universitas Sumatera Utara
BAB III ANALISIS REALITA JUGUN IANFU DI TELAWANG KALIMANTAN
SELATAN
3.1 Telawang