BAB II JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA
2.1 Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Jepang
Seksualitas merupakan suatu proses sosial yang menciptakan, mengatur dan mengekspresiakan serta mengarahkan hasrat seksual, dapat juga dikatakan kecendrungan
sosial. Seksual adalah mengarah pada hubungan seks dan seks itu sendiri merujuk pada keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan
Humm 2002: 432,dalam Ikhwanudin . Ruth Benedict 19421979 dalam Situmorang 2008, mengatakan bahwa
masyarakat Jepang adalah masyarakat berkebudayaan rasa malu. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Ruth Benedict membedakan
dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Jadi dia
membedakan dua jenis sistem nilai, yang satu didasarkan pada penilaian masyarakat luas, dan yang satu lagi adalah nilai yang didasarkan pada benar atau salah menurut Tuhan.
Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menganut kepercayaan politheis dan juga Shinkretik, dan juga masyarakat yang tidak mengenal konsep dosa. Dalam bahasa
Jepang ada istilah Tsumi tetapi artinya adalah kesalahan, berbeda dengan konsep dosa dalam pengertian agama Monotheis. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi bukan rasa
takut akan Dewa, tetapi adalah rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya. Rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain
Universitas Sumatera Utara
atau prinsip keterutangan terutama terutang budi. Oleh karena itu seluruh aktivitas mereka difokuskan kepada penghindaran rasa malu.
Penampilan kultural bangsa Jepang dengan banyaknya festival keagamaan memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat
kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaan hari raya Benedict, 1982:97 Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat
yang matang dari segi budaya Singer,1990:94. Hal ini dapat dilihat pada kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas
Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu Earhart, 1984:22.
Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara
keseluruhan. Menurut Fukuzawa Yukichi 1985:220 agama dan religi merupakan sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Jepang. Bila dikatakan bahwa agama lazimnya
akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat Brede Krentensen dalam Musa Asy’ari dkk, 1993:56. Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh
jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab,
meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya
lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan
dianjurkan dalam religi yang lain. Kegiatan ritual yang bernilai dalam religi tertentu
Universitas Sumatera Utara
mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain. Dalam masyarakat Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan jalin-
menjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat Inazo Nitobe, 1900:7- 10 maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan
moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada perempuan terkait masalah seksualitas . Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul
dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi 1997:58 menengarai bahwa aspek dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya
adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya
kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan moralitas masyarakat religius itu sendiri.
Agama Shinto sebagai agama mayoritas masyarakat Jepang memandang bahwa seks bukan suatu hal yang tabu, melainkan suci. Agama bukan faktor dalam regulasi
seksualitas di Jepang. Agama hanya terbatas untuk mengorganisir proses pemakaman dan pernikahan. Begitu juga dalam agama Buddha Jepang yang menganggap melakukan
hubungan seksual itu tidak melanggar moral. Seperti disebutkan oleh Onkou 1718-1804, seorang pendeta Budha sekte Shingon, “ dotoku to wa ningen no shizen no honsei ni
shitagau koto da” , Artinya, “yang disebut dengan moral adalah sesuatu yang mengikuti tabiat alami manusia”. Oleh karena itu, terhadap beberapa kebiasaan seperti: meminum
minuman keras, memakan daging, melakukan hubungan seksual dan perbuatanperbuatan lainnya yang di dalam agama Budha di India maupun di Cina dilarang, namun di dalam
agama Budha Jepang tidak secara tegas dipermasalahkan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam agama Budha di India dan Cina, dunia nafsu dengan dunia agama dibedakan secara tegas. Sebaliknya, kedua dunia yang berlawanan ini di Jepang menjadi sousoku,
yang secara harafiah berarti sama dengan. Dalam pandangan agama Buddha Jepang, di antara dunia nafsu dengan dunia agama sulit untuk dibedakan “mana yang sebab” dan
“mana yang akibat,” karena kaitan kedua dunia tersebut sangat erat. Tampaknya merupakan suatu yang dibenarkan oleh pandangan orang Jepang, bahwa di antara cinta
dan nafsu seksual dengan yang bersifat keagamaan, bukanlah merupakan suatu paradoks.
Pada tahun 1715, pemuka agama Shinto, Masuho Zanko menulis sebuah buku yang berjudul A Comprehensive Mirror on the Way of Love ”Sebuah Cermin
Komprehensif di Jalan Cinta. Zanko berpendapat bahwa seks adalah suci.
Sexual activity between couples is part of yin and yang harmony, which is the primordial and sustaining energy of the cosmos. Moreover, Man and woman make a pair; there are no grades of
high and low. Sex is sacred. Lovers re-enact the divine creativity of Izanagi and Izanami.”
Budaya seksualitas telah menjadi bagian tradisional dari kebudayaan Jepang. Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta kesenian, secara
sugestif dan implisit, telah memasukkan ikon-ikon dan representasi seksual tanpa malu- malu dan tanpa merasa berdosa. Di Barat, perasaan berdosa seringkali diasosiasikan
dengan seks. Secara tradisional, pandangan Jepang yang seperti ini sesuai dengan tema- tema atau budaya konfusian yang mengusulkan memperkuat solidaritas keluarga dengan
beranak pinak, pentingnya untuk memberikan pendidikan seks yang layak pada anak, serta sebagai cara untuk menikmati “kehidupan yang baik”.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan ini umumnya tetap bertahan di kalangan masyarakat Jepang bahkan setelah modernisasi Jepang yang dimulai tahun 1868 melalui Restorasi Meiji.
Pemerintahan di era Meiji, dalam rangka mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Barat, mulai merubah pandangan Jepang terhadap seks dengan mengadopsi nilai-nilai
Barat yang lebih penuh aturan dan konservatif. Sebagai contoh, pemandian umum campur yang sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum dilarang untuk diteruskan oleh
pemerintah Dore, 1958. Peraturan ini sebenarnya diterapkan terutama di kota-kota besar, sementara di luar itu penegakannya dilakukan secara acak. Namun, ini hanyalah bagian
kecil dari rencana pemerintahan Meiji yang disebut wakonyoosai semangat Jepang dan teknologi Barat; yaitu sebuah rencana untuk mengembangkan dan memperkuat bangsa
dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi barat dengan semangat dan budaya Jepang Hijirida Yoshikawa, 1987.
Gbr: Festival kelamin di Jepang membuktikan bahwa Negara Jepang menganggap seks tidak tabu
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Indonesia