b. Pandangan Agama
Masalah konsepsi seksualitas selalu berbenturan dengan norma-norma agama dan adat istiadat di Indonesia yang mengagungkan keperawanan. Konsepsi seksualitas yang
menduaambigu tersebut dimenangkan oleh agama, maka agama dan negara berhak memaknai bahwa pelacuran yang bersifat promiskuitas, homoseksualitas serta perilaku
seks bebas yang bersifat nonprokreasi akan dianggap sebagai perbuatan tak bermoral, berdosa, aib, patut dikucilkan, serta kelak pelakunya akan masuk neraka Ronggeng
Dukuh Paruk , Halaman 23.
Seksualitas yang semula begitu terbuka, alamiah, sudah semakin terbelenggu oleh aturan-aturan, moral , etika, agama, dan hukum-hukum. Seperti kita ketahui 6 agama
yang diakui di Indonesia Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu serta ratusan suku dengan adat istiadat yang berbeda-beda menolak akan hubungan seksualitas
tanpa diikat oleh lembaga pernikahan. Perempuan harus perawan ketika menikah , dan apabila perempuan tersebut tidak perawan lagi ketika dia menikah, suaminya dan
keluarganya menjadikannya sebagai dasar untuk mengakhiri pernikahan tersebut. Seperti yang terjadi pada tahun 1997 ketika Farid Hardja, seorang penyanyi terkenal
menanyakan keperawanan istrinya , yang kemudian menjadi perdebatan publik dan sangat banyak diberitakan di media.
Keperawanan diperlakukan sebagai simbol yang memberikan kebanggaan bagi suami sebagai laki-laki pertama yang memecahkan perawan si istri. Maka keperawanan
dijadikan bukti kesucian seorang perempuan. Sehingga jika seorang perempuan yang belum menikah tetapi tidak perawan maka ia dicap sebagai perempuan yang tidak baik
Universitas Sumatera Utara
dan cap itu akan terus bertengger di diri perempuan dan seolah dunia ikut menghakimi mereka.
Pandangan masyarakat Indonesia yang mengharuskan perempuan menjaga keperawanannya yang dianggap sebagai sebuah nilai baku keberhasilan seorang
perempuan yang tidak diperuntukkan bagi perempuan itu sendiri karena pada akhirnya keperawanan itu dipersembahkan kepada laki-laki. Secara sepihak perempuan dibebani
oleh kewajiban tersebut dan dianggap gagal jika ia tidak bisa menjaganya, dihitung dari rusaknya selaput dara yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak ternilai-hanya untuk
membuat perempuan tidak terlalu menyeluruh menjelajahi tubuhnya sendiri karena akan membahayakan sistem patriarkhi yang memberikan kenyamanan bagi laki-laki. Hanafi,
dkk., 2004: ii.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Tentara Jepang dan Jugun Ianfu 2.3.1 Tentara Jepang di Indonesia