Teologi Tradisional Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia

menjelaskan ciri-ciri dan isi pandangan tentang Tuhan dan manusia dari masing- masing teologi tersebut.

D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia

1. Teologi Tradisional

Teologi tradisional menurut Harun Nasution adalah nama lain dari teologi Asy‘ariyyah 80 atau Sunnî klasik di Indonesia 81 yang menurut sejarahnya telah ada sejak kedatangan Islam di Indonesia sejak abad ke-12. Namun menurut Fachry Ali istilah tradisional tetap dapat digunakan tidak hanya untuk mengidentifikasi teologi Asy‘ariyyah di Indonesia tetapi juga kelompok-kelompok Islam yang masih terikat kuat dengan pemahaman keagamaan pada abad ke-7 dan 13 yang diyakini sebagai sesuatu yang murni dan sesuai dengan tuntunan Islam yang benar. 82 Teologi tradisional ini banyak dianut oleh masyarakat pedesaan, di mana kehidupan, tingkah laku dan cara berpikir masyarakatnya masih sangat sederhana. Di Indonesia, yang menjadi basis perkembangan dan juga pendukung paham ini umumnya adalah kelompok kiai yang mendirikan pesantren. 83 80 Teologi Asy‘ariyyah, lahir pada tahun yang disebut oleh Harun Nasution sebagai zaman Islam klasik 650-1250, baca Harun Nasution, Islam Rasional, h. 115. Teologi Asy’ariyyah merupakan aliran tandingan dari teologi Mu‘tazilah yang didirikan oleh orang yang awalnya penganut Mu’tazilah, yakni Abû al-Hasan al- Asy‘arî. Al-Asy‘arî menilai bahwa pandangan keagamaan teologi Mu‘tazilah tidak lagi sesuai dengan ajaran yang sebenarnya dalam Islam, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 66. 81 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 52. Aliran ini didirikan oleh Abû Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Sebelum mendirikan Asy‘ariyyah, ia adalah seorang penganut teologi Mu‘tazilah. Tanpa sebab yang jelas, ia menyatakan keluar dan membentuk aliran teologi baru, yang kemudian dinamakan Asy‘ariyyah, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 67. Seperti telah dijelaskan di atas, teologi ini menganut paham predestinasi dan fatalistis. 82 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 83 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. Dalam metode pengambilan keputusan yang terkait dengan soal pemahaman keagamaan, mereka masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran ulama tawhîd, fiqh, tafsir dan Hadîst yang hidup antara abad ke-7 hingga 13. 84 Wahyu al-Qur’ân bagi aliran teologi ini merupakan dogma yang harus diterima apa adanya dan mereka menolak keras usaha-usaha penafsiran yang dilakukan oleh sebagian ummat Muslim. Dengan istilah lain mereka adalah kelompok skripturalis. 85 Paham keagamaan ini cenderung mengabsolutkan teks tanpa memahami masalah yang menjadi latar belakang munculnya teks tersebut asbâb al-nuzûl dalam al-Qur’ân, dan asbâb al-wurûd dalam al-Hadîst, baik yang bersifat sosio- kultural dan psikologis. 86 Umumnya aliran teologi tradisional memandang akal manusia tidak bisa mengetahui baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik. Hal itu hanya dapat diketahui lewat wahyu Tuhan. Teologi ini sangat bergantung kepada wahyu dan banyak berpegang pada arti lafzhi atau harfiah membaca yang tersurat. 87 Oleh karenanya, menurut Harun Nasution mereka sangat sulit dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan modern. 88 Dalam paham tentang al-kasb perbuatan, teologi ini lebih dekat kepada paham Jabbâriyyah atau fatalisme paham kekuasan mutlak pada Tuhan. Faham fatalisme dalam teologi tradisional, menurut Harun Nasution didasari oleh firman 84 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 85 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, cet. 2., h.29. 86 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normatif atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. vi. 87 Harun Nasution, Islam Ditinjua dari Segala Aspeknya Jilid 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, h.42. 88 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Saiful Mujani, ed., Bandung: Mizan, 1995, h. 9 Tuhan yang artinya, “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam kitab sebelum ia Kami wujudkan QS: 57:22.” 89 Al-Qur’ân sendiri, Harun menandaskan memang sebenarnya mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalisme atau Jabbâriyyah maupun Qadariyyah free act yang dapat dijadikan sandaran bagi keyakinan ummat Islam. 90 Tuhan bagi teologi fatalis ini adalah pemilik kekuasaan mutlak pada mahkluk manusia. Tidak ada kekuasaan pada manusia dan semua tindakan manusia telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan. Manusia hanya berkewajiban taat dan tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditentukan Tuhan. Tidak ada daya kreatifitas manusia untuk menentukan arah hidupnya, karena Tuhan telah menentukan nasib bagi hamba-hamba-Nya. Dengan demikian manusia tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya, ia terpenjara dalam takdir Tuhan. 91 Dalam dunia modern, misi yang paling bisa dilihat dari kelompok ini adalah repurifikasi Islam. Individu Muslim yang setuju atas misi ini menilai bahwa akomodasi baru Islam atas kenyataan sosial-budaya dianggap tidak terlalu banyak berhasil. Perumusan akomadasi modernisme atas agama dinilai hanya berpengaruh pada sebagian kaum elit dan urban. Hal itu pada gilirannya membawa sebagian cendekiawan Muslim untuk kembali kepada doktrin Islam yang diyakini sebagai respon yang lebih tepat atas perubahan zaman ini. 92 89 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 112 90 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 111 91 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Segala Aspeknya, h. 40. 92 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 14-15. Menurut teologi ini Islam yang paling ideal adalah Islam yang ada pada masa awal Islam, yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat terutama yang empat Khulafâ’ al-Râsyidîn. 93 Gejala repurifikasi Islam inilah yang diyakini dapat memunculkan ajaran fundamentalisme Islam hal yang terkait dengan kekerasan atas nama agama. 94

2. Teologi Rasional