BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal abad ke-20 pemahaman masyarakat Muslim Indonesia terhadap agamanya telah mengalami transformasi secara massif. Kebanyakan
ummat Islam terutama sarjana Muslim terdidik Barat secara berani dan bertanggung jawab kembali menelaah dan mempertanyakan pemahaman dan
keyakinan beragama yang mereka anut selama ini, yang dalam hal ini terkait dengan doktrinal Islam yang prinsipil, seperti tawhîd, Kitab Suci dan kenabian.
1
Dalam produk pemahaman yang baru masyarakat Muslim terdidik Barat itu tidak mau asal menerima dan menggunakan dogma-dogma agama tradisional
konservatif tanpa proses penelahaan kritis. Dan telaah kritis mereka dilakukan dengan menggerakkan berbagai disiplin keilmuan multidisipliner secara
komprehensif. Penelahaan kritis tersebut dilakukan sebagai penegasan bahwa tidak ada pertentangan antara keyakinan agama yang dianut dengan proses
kehidupan yang tengah mereka jalani di era modern.
2
Sehingga ummat Islam dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya yang bisa
berdampak kepada kemajuan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Gagasan-gagasan pembaharuan yang disuarakan oleh sarjana keislaman
itu, secara perlahan-lahan mengikis hegemoni dan dominasi pemahaman tradisional atas keyakinan agama yang pada umumnya bersandar kepada pendapat
aliran dalam madzhab fiqh ditambah sikap taqlid buta atas setiap fatwa-fatwa
1
Baca Prof Howard M Federspiel dalam Kata Pengantar pada buku, Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX
, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004, h. 5-9.
2
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, h. 7.
yang disuarakan oleh para agamawan. Paradigma kebanyakan individu Muslim yang terpenjara oleh pemahaman-pemahaman tradisional seperti itu dinilai
sebagai pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia.
3
Dari persoalan kebuntuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia yang kemudian memunculkan usaha-usaha pembaharuan dalam bidang
teologis sebagai persoalan dasar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, lahirlah beragam corak atau bentuk-bentuk
berteologi Islam di Indonesia. Kemunculan beragam corak atau bentuk berteologi di Indonesia tersebut
adalah sebagai respon atas situasi dan kondisi kebekuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam dalam banyak bidang antara lain ekonomi, sains dan
teknologi, politik dan kebudayaan. Namun demikian, kelahiran teologi-teologi yang dianggap sebagai pembaharuan itu tidak otomatis menghilangkan corak
teologi tradisional-klasik Asy‘ariyyah atau dalam istilah kontemporer dinamakan dengan teologi formalis-normatif-tradisional.
4
Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia hingga sekarang masih banyak menganut aliran
teologi tersebut. Bentuk teologi pembaharuan di Indonesia pada umumnya didasari atau
dipengaruhi oleh dua teologi besar, yaitu teologi rasional yang diusung oleh Harun Nasution dan teologi neo-modernisme yang disuarakan oleh Nurcholish
Madjid Cak Nur.
5
Kendati demikian, ada juga corak teologi yang selama ini
3
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. 3., h. 62-65.
4
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru
, Bandung: Mizan, 1986, h. 48-49.
5
Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 27-28.
kurang terdengar, namun memiliki pengaruh besar secara diam-diam yakni teologi kultural yang salah satunya digerakkan oleh Abdurahman Wahid Gusdur.
6
Lebih menarik lagi, dalam fenomena masyarakat Muslim kekinian, pemikiran tentang pembaharuan teologis yang berkembang di Indonesia tidak
hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir arus utama mainstream, yang dalam kategori ini adalah para sarjana Muslim
didikan Barat yang dulu pernah mengecap pendidikan tradisional Islam pesantren atau madrasah yang mengajarkan bahasa Arab, fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân dan ‘ulûm
al-Hadîst atau mereka yang pernah hidup di seputar lingkungan dan kalangan
pesantren, melainkan juga oleh mereka kalangan masyarakat perkotaan, sekular- rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional
7
sarjana Muslim sekular. Dengan demikian mereka diyakini tidak begitu menguasai ilmu-ilmu
tradisional Islam. Oleh William Liddle, individu-individu tersebut diberi nama
6
Penamaan berbagai corak teologi Islam di Indonesia sangat beragam sekali tetapi setiap satu istilah tidak begitu ketat dan mengikat, dan terkadang dipertukarkan maka penamaan istilah
tersebut tidak baku atau mutlak. Dalam berbagai literatur dapat ditemukan istilah dari bentuk- bentuk teologi, antara lain teologi transformatif, teologi rasional, teologi pembangunan, teologi
kultural dan teologi substansialis. Untuk mengetahui istilah dari bentuk-bentuk teologi, baca antara lain buku Teologi Pembangunan, ed. M. Masyhur Amin Yogyakarta: LKPSM NU, 1989, Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia
, ed. Mark R Woodward, terj. Yuliani Lipoto Bandung: Mizan, 1998 Azyumardi Azra Konteks Berteologi Islam di Indonesia:
Pengalaman Islam Jakarta: Paramadina, 1999 dan buku Greg Barton, Gagasan Islam Liberal:
Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid,
terj. Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999. Dalam penulisan ini penulis hanya akan menggunakan beberapa bentuk teologi yang banyak mendominasi atau
berpengaruh dan telah banyak dikaji oleh kalangan akademisi, yaitu teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-modernisme dan teologi substansialis.
7
Islam di Indonesia dianut oleh dua lapisan struktur masyarakat, yaitu masyarakat pedesaan yang dikenal dengan rakyat jelata dan orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang
berada pada posisi sosial-ekomoni yang lebih baik. Baca: Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru
Bandung: Mizan, 1986, h. 39-40. Menurut penulis, pemahaman atas kedua lapisan masyarakat terhadap
agama tidak sama. Masyarakat pedesaan tradisional pada umumnya masih menganut sistem hierarkis keagamaan di mana mereka sangat loyal terhadap para pemuka agamanya. Sedangkan
masyarakat perkotaan dan terdidik lebih independen dalam metode memahami agamanya.
dengan sebutan Islam substansialis.
8
Sedangkan bila menggunakan kerangka teori Azyumardi Azra, kelompok ini bisa dikategorikan sebagai Muslim subaltern
9
. Kebanyakan mereka adalah individu-individu yang menggeluti satu bidang
tertentu, misalnya politik, kesenian, sastra, ekonomi, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Mereka tidak mau bidang-bidang tersebut
tergerus hancur oleh sebab persoalan doktrinal Islam teologis. Para Muslim substansialis subaltern ini meyakini persoalan teologis dalam
Islam yang pada umumnya masih bersandar kepada paradigma tradisional- normatif dan dianggap dapat membuntukan ruang gerak atau bidang yang mereka
geluti politik, ekonomi, seni dan budaya di mana di ruang atau bidang itulah mereka bisa mencurahkan segala potensi kemanusiaan yang telah diberikan
Tuhan. Namun di sisi lain mereka juga cenderung menolak para pemikir arus utama yang beraliran moderat-liberal sarjana Islam berpendidikan Barat, karena
mereka dianggap belum mampu menyentuh akar persoalan yang dihadapi oleh golongan Muslim subaltern ini terkait dengan bidang yang mereka geluti.
Untuk mencegah terjadinya kemunduran dan pereduksian makna terhadap bidang-bidang yang mereka geluti, tidak sedikit yang kemudian para individu
8
Kelompok substansialis tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian keislaman, seperti Muhammadiyah, Sunnî dan non-Sunnî. Berbeda dengan kelompok pemikir arus
utama yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak
memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren, baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neomodernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi,
Abdurrahman Wahidan dan Ahmad Wahib,
terj. Nanang Tahqiq Jakarta, Paramadina, 1999, h. 34-35. Tentang kelompok substansialis secara lebih dalam akan dibahas pada bab 2.
9
Berasal dari kata Latin subalternus. Sub berarti di bawah dan altern berarti yang lain. Dalam perkembangannya teori-teori tentang subaltern memunculkan sejumlah literatur historis
tentang pengalaman orang-orang yang termarjinalkan, yang dalam konteks ini oleh pemikiran yang menjadi mainstream ulama, cendekiawan Islam dan lain sebagainya, baca Azyumardi Azra,
Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern, Gatra 6 Desember 2003, h. 8, Dawam Rahardjo, “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembaharuan:
Paradigma Baru Pemikiran Islam
, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989, h. 105-113 dan Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group,” dalam M. Masyhur Amin, ed. Teologi
Pembaharuan, h. 114-132.
tersebut melakukan usaha-usaha yang antara lain mengeluarkan gagasan-gagasan personal-alternatif keislaman yang lebih kontekstual sebagai landasan berpijak
mereka dalam menjalankan aktivitas mereka. Tidak seperti kebanyakan pemikir arus utama yang menggunakan metode kombinasi modern-tradisional dalam
memahami dan menafsir Islam, mereka para Muslim substansialis subaltern memahami Islam dengan metode empiris ditambah dengan menggunakan
latarbelakang keilmuan yang sekular.
10
Dari konteks inilah besar keinginan penulis untuk menempatkan paradigma keberislaman Radhar Panca Dahana selanjutnya disingkat RPD
dalam objek kajian keislaman di mana penulis akan menempatkan RPD sebagai Muslim subaltern
11
yang memiliki cara pandang alternatif keislaman, dalam hal
10
Kasus seperti ini terjadi di Indonesia di mana HB Jassin, seorang sastrawan Indonesia, yang hanya memiliki latar belakang pendidikan sekular kesusasteraan di Barat Belanda dan
Amerika mampu menelurkan sebuah karya yang dianggap monumental, yaitu Al-Qur`an Bacaan Mulia
ABM sebagai karya terjemahan dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi ABP sebagai penemuan model penyusunan mushhaf al-Qur`ân. Dalam penerjemahan ABM, Jassin hanya mempelajari
bahasa Arab ketika mengajar sekaligus menjadi Mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, baca Abdul Hafid, “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB.
Jassin Memahami al-Qur`ân,” Skripsi Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: 2005, h. 3. Alasan Jassin melahirkan karya
ABM dan ABP adalah, antara lain, karena terjemahan al-Qur’ân yang ada sekarang cenderung ditulis dalam bahasa prosa yang lebih mengutamakan kandungannya saja yang pada akhirnya
cenderung kaku, baca Abdul Hafidh, “Estetika Puitis al-Qur’ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB Jassin Memahami al-Qur`an,” h. 3
11
Peta pemikiran Islam di Indonesia tidak selalu monolitik dan tunggal, dalam arti hanya didominasi oleh kalangan sarjana keislaman atau para agamawan yang kemudian menjadi arus
utama pemikiran dalam Islam. Dalam realitasnya ditemukan beragam corak pemikiran dari orang- orang atau kelompok yang tidak menggunakan metode normatif-tradisional Hadîst, ‘ulûm al-
Qur’ân, ‘ulûm al-Hadîst, fiqh dan lain sebagainya dalam memahami Islam al-Qur’ân sebagai
agama yang dianutnya. Melainkan dengan, misalnya, ijtihâd personal yang bukan tidak sering dipengaruhi konteks sosio-historis dan kultural tertentu, baca Azyumardi Azra, Komunitas
Tersisih,” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Penulis dalam konteks ini menempatkan RPD sebagai kategori Muslim subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus
utama mainstream dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga dikategorikan sebagai Muslim pinggiran, baca Azyumardi Azra, Komunitas Tersisih” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Bahwa
selama ini yang bisa menjadi arus utama pemikiran dalam keilmuan Islam adalah pandangan mereka yang menguasai bahan dasar Islam yaitu bahasa Arab, serta mendalami ilmu-ilmu
keislaman secara formal dan berkesinambungan. Sedangkan mereka, yang tergolong masyarakat tidak berpendidikan Islam tradisional, tetapi berpendidikan sekular Barat dianggap sebagai
Muslim pinggiran termarjinalkan yang pemikiran dan pemahaman keagamaan mereka dipandang telah menyimpang dan sesat serta tidak layak untuk dimunculkan sebagai objek penelitian untuk
ini adalah tentang Tuhan dan manusia, dan ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia, untuk mengetahui bentuk berteologi macam apa pemikiran yang
digagas RPD tersebut. RPD adalah seorang pemikir,
12
yang berlatarbelakang sebagai seorang sastrawan,
13
dan seniman
14
Muslim yang pernah mengenyam pendidikan Barat.
15
Sesuai dengan latarbelakangnya, sebagai seorang sastrawan, seniman kemudian ditambah sekolah di jurusan sosiologi di Barat, banyak hal yang disorot RPD
studi keislaman. Padahal bukan tidak mungkin kritik konstruktif atas pemahaman agama yang telah mapan bisa muncul dari pandangan mereka. Selain itu, wacana keilmuan sekular yang
digunakan
RPD dalam memahami agama Islam setidaknya bisa memberikan pandangan dan saluran alternatif bagi seorang Muslim dalam merespon dan memperlakukan peradaban modern demi sebuah
kemajuan Islam. Dengan mengkaji paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim subaltern, skrispsi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari subaltern studies yang mengekplorasi dan mengetengahkan tema keagamaan
dari seseorang tokoh yang memiliki pemahaman splinter orang yang berbeda dengan pemikiran arus utama atas agama yang dianutnya. Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam
menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan pesantren dan perguruan tinggi Islam. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa
selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya al-Qur’ân tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada hasil pemikiran pemikir-pemikir agama yang
telah ada dan atau menggunakan disiplin keilmuan sekular antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain yang dimilikinya. Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah
tunggal dan monolitik.” Penulis tidak menggunakan teori Clifford Geertz, untuk memetakan RPD masuk ke dalam kelompok Muslim Abangan dan tidak juga sebagai Muslim sekular. Karena teori Abangan sudah tidak
tepat untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan agama, karena klasifikasi tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Abuddin Nata
menegaskan, “Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyai adalah suatu penggolongan sosial,” baca Abuddin Nata,
Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia
Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001, h. 183-184. Selain itu, istilah Abangan cenderung denotatif yang isinya merendahkan derajat bagi mereka yang tidak taat dalam
menjalankan ibadah, baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia, h. 184. Dalam hal ini RPD adalah Muslim taat beribadah, tetapi tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional.
Sedangkan, kenapa penulis tidak menggunakan Muslim sekular adalah untuk menghindari anggapan bahwa
RPD adalah orang menutup diri dari agama serta menafikan perannya dalam kehidupan ini. RPD tetap berpandangan bahwa fungsi dan peran sangat vital dalam kehidupan agama, meskipun hanya
sebatas peran spiritualisme, baca RadharPanca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007, h.106.
12
Fokus terbesar dalam hidupnya adalah antara lain dicurahkan untuk bidang pemikiran. Ada tiga bidang yang menjadi sorotan RPD, yaitu sosio-kultural dalam hal ini termasuk agama, kesenian dan sastra.
Penulis dalam hal ini hanya akan mengelompokan dan memfokuskan kepada pemikiran RPD dalam bidang keagamaan Islam yang meliputi pandangannya tentang Tuhan dan manusia.
13
Sebagai sastrawan RPD banyak menelurkan karya-karya dalam bentuk cerpen, puisi dan prosa yang tema-temanya sangat aktual dengan situasi kekinian dan problema yang dialami manusia modern.
Kumpulan puisinya yang berjudul Lalu Batu dan Lalu Waktu dinilai oleh berbagai kalangan penikmat sastra sebagai karya fenomenal. RPD juga telah menulis sebuah buku sastra dengan judul Kebenaran dan Dusta
dalam Sastra Yogyakarta: Lkis, 2004.
14
RPD juga seorang pekerja seni. Sejak duduk di SMP RPD telah menggeluti dunia seni teater di berbagai paguyuban teater baik sebagai pemain, penulis naskah dan sutradara. Pementasan teater yang ia
bawakan selalu aktual dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia modern, seperti tema pencaharian identitas individu di tengah dunia yang materialis dan modern.
15
Ia adalah seorang sarjana strata dua S-2 jurusan Sosiologi lulusan EHESS Ecole des hautes ettuedes en Sciences Prancis. Dalam jurusan sosiologi yang dijalani ini ia juga mengkaji agama, tentu
dengan menggunakan pendekatan yang bukan normatif-tradisional.
dalam pemikiran, namun dalam skripsi ini penulis hanya akan menggali pemikiran RPD yang termuat dalam karya-karya tulisannya dalam bidang keagamaan Islam
dengan fokus menggali pandangannya seputar Tuhan dan manusia. RPD memiliki ciri khas dalam melahirkan gagasan-gagasan dalam bidang
keagamaan. Meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Barat, ia tidak otomatis berpihak kepada paradigma Barat, yang menurut RPD terlalu
mengeliminir metabolisme spiritual yang ada di dalam jiwa manusia, dalam menilai agama.
Dalam masalah keyakinan dan paham keagamaan, bagi RPD, setiap manusia tidak boleh terikat dan bergantung pada suatu monopoli dan otoritas
kebenaran ilmu pengetahun, peradaban dan dogma-dogma agama yang menghegemonik sebagai pilihan hidup,
16
lebih-lebih mengikuti satu paham dan keyakinan seseorang, yang dilihatnya sebagai suatu hasil penafsiran atau
interpretasi terhadap segala sesuatu. Setiap Muslim, bagi RPD harus mampu dan berhak menafsir sekaligus membentuk keyakinan Islamnya dan tauhidnya masing-
masing sesuai dengan kapasitas intelektual, psikologis dan mental. Dalam konteks agama Islam di Indonesia, RPD berusaha mengubah
wacana hegemoni paradigmatik intelektual global yang telah masuk dan membentuk nalar kritis intelektual Muslim Indonesia, yakni dengan cara
melakukan perubahan paradigmatik-ideologis.
17
Usaha-usaha dasar untuk melakukan perubahan paradigmatik-ideologis yang ditawarkan oleh RPD antara lain adalah dengan mengubah cara pandang
16
Wawancara penulis dengan RPD pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00 WIB di kediaman RPD di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten.
17
Radhar Panca Dahana, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia, Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004, cet. I., h. viii.
persepsi individu-individu Muslim terhadap dogma agama fatwa atau tafsir agamawan atau ulama. Bagi sebagian masyarakat Muslim apa yang berasal dari
tafsiran seorang agamawan atau ulama adalah sesuatu yang juga dianggap berasal dari Tuhan yang absolut dan maha sempurna.
Sedangkan menurut RPD dogma agama Islam yang berasal dari agamawan dan ulama tersebut adalah ajaran yang belum tentu murni berasal dari
Tuhan, bisa saja tafsiran atas dogma itu adalah kesepakatan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan budaya lokalnya yang berlangsung
ketika dogma itu dirumuskan.
18
Dalam kasus Islam ditemukan seorang ulama berijtihad dalam menentukan sebuah hukum fiqh, tidak terlepas dari pengalaman
empiris ulama tersebut terhadap realitas sosial-kultural-geografis yang ada di sekitarnya.
19
Dogma yang ilahiah menurut RPD adalah dogma yang tidak menutup potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya
justru akan memberikan ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepada manusia.
20
Antara lain atas dasar hal-hal di atas, RPD berpandangan bahwa ajaran- ajaran Tuhan dalam setiap agama sebenarnya adalah ajaran kemanusiaan. Dalam
artian, keterlibatan manusia di dalam hukum-hukum Tuhan dalam hal memahami dan menafsir adalah sebuah keniscayaan. Ini tercermin dari konsep Tuhan dalam
18
“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan
Tuhan, Tapi…’”
http:islamlib.comidindex.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
19
Dengan perbedaan budaya yang dihadapi oleh para imam madzhab fiqh, serta mempertimbangkan faktor sosial budaya, maka ditemukan perbedaan-perbedaan bentuk hukum
yang ada pada mereka, meski itu dalam satu kasus. Bahkan seorang imam bisa berubah istilah atau metode yang dipakai dalam menentukan produk hukum tatkala ia pindah dari satu daerah ke
daerah lain. Baca, Azyumardi azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, cet. I., h. 12.
20
“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan
Tuhan, Tapi…’”
http:islamlib.comidindex.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
Islam yang menurut RPD diwakili oleh 99 atau yang biasa disebut asmâ’ al- husnâ
. Kenapa 99? Karena Islam bukan dan tidak akan menjadi agama yang telah mencapai kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam
tafsiran RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah
manusia. Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak
perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X 10 yang
artinya Xristos atau sempurna.
21
Dalam pandangannya tentang manusia, RPD menilai bahwa manusia dalam pergumulannya dengan peradaban modern kian terseret keluar dari pusat
lingkaran eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga
dunia menjelaskan dirinya sendiri”
22
Problem eksistensial itu akan melahirkan kerinduan manusia untuk mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya yang paling amat purba: yaitu
mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia. Dalam penjelasannya yang lebih lanjut, RPD menyimpulkan bahwa sebenarnya sudah
menjadi kodrat bahwa sebenarnya manusia adalah homo-religius. Dari penjelasan-penjelasan tersebut penulis ingin menguraikan satu bentuk
penulisan tentang paradigma keberislaman RPD yang dalam hal ini mengkaji pandangannya tentang Tuhan dan manusia yang ditinjau dari bentuk berteologi
21
Radhar Panca Dahana, “2008” Gatra 7 Januari 2008, h. 106
22
Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2003, h. 55.
Islam di Indonesia ke dalam satu penulisan skripsi dengan judul Paradigma Keberislaman Radhar Panca Dahana Ditinjau dari Bentuk Berteologi di
Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Keberislaman RPD adalah hal masih sangat umum sekali. Untuk itu
penulis membatasi pembahasan masalah hanya pada seputar pandangan RPD tentang Tuhan dalam Islam dan manusia. Untuk menyamakan variabel penelitian
dengan paradigma keberislaman RPD, dalam pembahasan bentuk berteologi pun penulis hanya akan membahas seputar pandangan Tuhan dan manusia menurut
masing-masing aliran teologi tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penulisan skrispsi ini
adalah isi pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta mencari bentuk paradigma keberislaman RPD yang ditinjau dari konteks berteologi di Indonesia.
C. Tujuan penulisan