Pengertian Teologi Islam di Indonesia Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indonesia

sebagai Islam Sunnî atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah 43 yang masih memiliki wujud. Namun, seiring masuknya paham rasionalisme ke dunia Islam melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran Mu‘tazilah yang bersifat rasional mulai timbul kembali, terutama di kalangan cerdik-cendekia Muslim yang berpendidikan Barat. 44

B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia

Sebenarnya pengertian teologi Islam di Indonesia adalah sama dengan pengertian teologi secara umum, yaitu membahas tentang konsep Tuhan, kenabian, perintah Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak bebas, nasib, kebaikan, keburukan, wahyu dan nalar, Hari Akhir dan lain sebagainya. 45 Namun, pengertian teologi Islam di Indonesia lebih dimaknai sebagai sebuah gerakan pembaruan pemikiran dalam rangka merespon perubahan zaman yang umumnya dilakukan oleh intelektual muda berpendidikan modern baik di dunia Timur atau Barat. Para intelektual muda tersebut mencoba merumuskan landasan teologis, yang selama ini dianggap formalis, legalistis dan normatif, untuk membuat penyesuaian antara Islam dan realitas sosial-budaya Indonesia. 46 Pengertian teologi di Indonesia terutama yang disuarakan oleh gerakan pembaharuan Islam adalah persoalan yang terkait dengan pembaharuan pemikiran 1 3 - D 3 3 D + + 3 D + 44 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 11. 45 Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14. 46 Jamhari, Islam di Indonesia, dalam Taufiq Abdullah dkk., ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , vol. , Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, h. 346. Islam yaitu pandangan seputar pandangan bagaimana keislaman dan keindonesiaan dapat bersinergi. 47 Namun perumusan pandangan berteologi di Indonesia tidak selalu merujuk kepada kalâm Tuhan al-Qur’ân sebagai fokus perbincangan, tetapi juga pemikiran ijtihâd dari para agamawan dan intelektual Muslim baik yang klasik maupun kontemporer. Secara spesifik, dalam kajian Islam modern di Indonesia, persoalan pemikiran pembaharuan Islam teologis dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam. Mengenai latar belakang kemunculan bentuk atau corak teologi di Indonesia akan didalami pada pembahasan berikutnya.

C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indonesia

Kemunculan aliran teologi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Persia dan Arab pada sekitar abad ke-12 atau 13 di Nusantara ini. 48 Namun, di sisi lain faktor eksternal berupa pengaruh kondisi sosio-historis dan kultural tertentu 49 juga merupakan faktor penting dalam kemunculan corak berteologi di Indonesia. Secara historis aliran teologi yang kali pertama muncul di Indonesia sejak awal abad ke-12 adalah teologi Asy‘ariyyah. Ini terlihat dari para pedagang 47 Jamhari, Islam di Indonesia, h. 347. 48 Tidak ada yang dapat memastikan kedatangan Islam ke Nusantara untuk kali pertama, namun abad ke-12 dan 13 adalah abad yang cenderung dipilih oleh para sejarahwan bagi kedatangan Islam ke Nusantara ini. Selain itu, para ahli sejarah juga berdebat dalam kesimpulan tentang cara bagaimana Islam datang ke negeri ini. Sebagian ahli sejarah menegaskan bahwa Islam tiba di Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari benua India. Namun, para ahli sejarah yang lain menyatakan bahwa Islam datang di Nusantara ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi langsung dari Arabia. Untuk kajian lebih lanjut tentang kedatangan Islam ke Nusantara dan melalui medium apa Islam datang, dapat dibaca di Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Prenada, 2005, edisi revisi, cet. Ke-2., h. 2-19. 49 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltren,” Gatra 6 Desember 2003, h. 8. Muslim, baik itu dari benua India maupun Arabia yang masuk ke Indonesia kebanyakan beraliran madzhab Syâfi‘î dan sebagian lagi adalah Hanafî 50 . Menurut Harun Nasution, teologi Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah umumnya banyak dianut oleh individu Muslim yang menganut Madzhab Syâfi‘î dan Hanafî. 51 Sejak abad ke-12 di bumi Nusantara ini sudah terjadi gerakan Islamisasi di Nusantara yang dilakukan oleh gerakan teologi Asy‘ariyyah. 52 Namun gerakan ini tidak sepenuhnya berhasil. Ini dikarenakan, meskipun sebagian masyarakat Nusantara khususnya Jawa telah menganut Islam pada abad ke-14, 53 mereka telah menganut teologi yang dinamakan oleh Fauzan Saleh, sebagai teologi pra-Islam. Teologi ini sangat dipengaruhi oleh orientasi mistik keyakinan Jawa kuno. Berbeda dengan teologi Asy‘ariyyah yang meyakini Tuhan adalah transenden, teologi pra-Islam berkeyakinan bahwa Tuhan adalah imanen. 54 Meskipun mendapatkan ganjalan dari keberadaan teologi pra-Islam dalam penyebarannya, sejak saat itu teologi yang mengusung pemurnian Islam ini semakin berkembang luas di Indonesia. Dan kemudian menemukan titik awal perkembangan yang pesat sejak abad ke-17, atau tepatnya ketika sebagian muslim Indonesia yang belajar dari Timur Tengah, terutama Arab Makkah dan Madînah pulang ke Indonesia. 55 Pada abad ke-18 terkait dengan datangnya kolonialisme Belanda, muncul teologi jihad yang diprakarsai oleh gerakan tasawuf yang dalam hal ini dipelopori oleh Syekh Abd al-Shamad al-Palembani. Gerakan teologi jihad mencapai 50 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 4. 51 Harun Nasution, Teologi Islam, h.13 52 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, cet. 1., h. 45. 53 Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004, h. 63-64. 54 Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 66-67 55 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 47. puncaknya pada tahun 1888 ketika dua aliran tarekat yakni Naqsybandiyyah dan Qâdiriyyah melakukan pemberontakan di Cilegon, Banten melawan Belanda. Sekitar abad ke-19 teologi jihad juga terlihat pada gerakan Pangeran Diponegoro di Jawa dan di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum Padri. Teologi jihad paska penjajahan Belanda, pada akhirnya diarahkan sasarannya kepada ummat Islam sendiri. Teologi tersebut diyakini berafiliasi dengan gerakan Wahhâbî di Arab Saudi yang mengusung pemurnian kembali repurifikasi Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. 56 Proses repurifikasi Islam pada abad ke-19 yang dilakukan oleh gerakan teologi jihad dan sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama di Makkah dan Madînah, lebih menekankan aspek formal-ritual ketimbang hakikat Islam. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak abad ke-12 teologi Asy‘ariyyah telah mendominasi paradigma keislaman kebanyakan ummat Islam Nusantara dan memulai titik perkembangan yang amat pesat sejak abad ke-17. Dominasi teologi Asy‘ariyyah yang dikategorikan sebagai aliran tradisionalisme 57 yang menganut paham predestinasi 58 terus berlanjut hingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagian dari kalangan penganut teologi tradisionalisme ini mulai masuk ke ranah politik-kenegaraan. Tujuannya 56 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 44-49. Teologi Asy‘ariyyah kemudian mendapat kritik dari kalangan ummat Islam Indonesi karena sifatnya yang cenderung mengikuti bentuk teologi Jabâriyyah dalam masalah takdir predestination. Teologi Asy‘ariyyah dianggap bertanggung jawab atas lemahnya etos sosial ekonomi ummat Islam Indonesia yang cenderung menyandarkan segala bentuk kehidupan pada kekuasaan Tuhan. Manusia tidak lebih berperan sebagai wayang yang diatur oleh dalangnya. Pergeseran cara pandang ummat Islam Indonesia terhadap teologi Asy‘ariyyah ini terlihat sejak abad ke-18. 57 Penggunaan kata tradisionalisme atas teologi Asy‘ariyyah, dikarenakan kebanyakan dari mereka adalah masih terikat kuat dengan pemikiran ulama ahli tawhîd, fiqh, Hadîst, tasawuf dan tafsîr yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13, Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru , Bandung: Mizan, 1986, h. 48-49. 58 Penganut paham ini meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berkuasa dan tidak mampu berkehendak atas sesuatu apapun, melainkan atas kuasa dan kehendak Tuhan, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107. adalah agar Indonesia dijadikan sebagai negara Islam yang berazaskan kepada al- Qur‘ân dan Hadist, 59 salah satu alasannya adalah karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Selanjutnya oleh kalangan intelektual, mereka diidentifikasi menjadi golongan teologi formalis-legalistis, teologi normatif dan teologi ortodoks. 60 Dalam peta pemikiran Islam kekinian, nama teologi Asy‘ariyyah memang telah hampir redup dalam perbincangan akademis. Kini oleh sebagian intelektual Muslim, golongan yang menyerupai teologi Asy‘ariyyah, karena memiliki paham seperti predestinasi, teosentris, 61 fatalistis, skriptualis dan fiqh oriented, 62 dikategorikan sebagai aliran teologi tradisionalisme, formalistis-legalistis, 63 normatif, 64 ortodoks 65 bahkan konservatisme. 66 Selanjutnya untuk 59 Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. 60 Teologi yang mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyariatkan di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 25. 61 Paham yang meyakini bahwa segala sesuatu kejadian atau perubahan hanya berpusat pada Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak apapun untuk mengubah diri dan keadaannya, baca Zamakhsyari Dhofier, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989, h. 42. 62 Pemahaman keagamaan yang hanya bersandar kepada fatwa-fatwa yang terdapat di dalam empat madzhab fiqh. Pemahaman keagamaan ini diyakini sebagai salah satu pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia, Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. 3., h. 62-65. 63 Golongan ini juga memfokuskan diri pada perjuangan untuk menjadi Islam sebagai ideologi negara, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. Penekanan paham keagamaan ini juga terletak pada ketaatan formal dan hukum agama. Dan setiap ekspresi keagaman harus diwujudkan secara eksplisit, seperti pembentukan bank-bank Islam, asuransi Islam dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka cenderung mengadopsi tradisi-tradisi Arab yang dianggap sebagai warisan Nabi Muhammad, seperti memelihara jenggot dan lain-lain, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia , h. 9. 64 Paham Islam yang berangkat dari teks yang tertulis di dalam kitab suci. Paham ini sangat meyakini bahwa keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia dapat ditemukan solusinya di dalam kitab suci dan Hadîst. Mereka sangat menolak usaha penafsiran yang dilakukan oleh kalangan Muslim liberal, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9-10. 65 Istilah ortodoks sendiri merupakan pinjaman dari istilah dalam lembaga keagamaan dalam tradisi Kristen yang berwenang untuk merumuskan suatu doktrin sebagai kebenaran resmi. Secara umum pengertian tentang ortodoks adalah keyakinan yang benar dan keimanan yang murni sesuai dengan ajaran dan arahan dari pemilik kewenangan mutlak, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan , h. 77-78. Aliran teologi ortodoks ini mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyari‘atkan di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak mengidentifikasi teologi yang identik dengan paham ajaran Asy‘ariyyah penulis akan menggunakan istilah yang telah dipakai oleh Harun Nasution dan Fachry Ali, yaitu dengan teologi tradisional. 67 Azyumardi Azra menilai tidak tepat jika ada anggapan yang berpendapat bahwa teologi Asy‘ariyyah tidak mendorong terjadinya dinamika perubahan dalam masyarakat Islam Indonesia dan justru mendorongnya ke arah kemunduran. Meskipun bila dilihat secara teoritis, tuduhan itu sangat mendasar sekali dikarenakan adanya peningkatan aktivisme yang cukup menonjol di kalangan Muslim, baik dalam bidang politik, ritual keagamaan, budaya dan ekonomi yang landasan aktivitasnya belum tentu berafiliasi ke dalam teologi Asy‘ariyyah. 68 Sebagian kalangan, terutama masyarakat Muslim terdidik modern, mulai resah dengan dominasi dan hegemoni teologi tradisional yang telah mendarah daging dalam keyakinan dan pemikiran ummat Islam kebanyakan, sehingga membuat ummat Islam Indonesia mengalami kebuntuan dan kemunduran dalam berbagai bidang. Pernyataan mereka didasari oleh sebuah pandangan bahwa persoalan teologis dalam masyarakat Islam merupakan soal yang sangat amat sensitif, karena meyangkut masalah keyakinan beragama, dan juga faktor determinan dalam progresifitas ummat Islam Indonesia, karena pendirian teologis merupakan upaya untuk mencetak pola perilaku dan struktur keyakinan, selain, tentunya keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama. Oleh sebagian peneliti keagamaan, sebutan ortodoksi Indonesia bisa melekat pada kelompok yang digolongkan tradisionalis maupun modernis, yang dalam hal ini oleh M. Howard Federspiel adalah kelompok Muhammadiyah dan Persatuan Islam Persis, Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 24-25. 66 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 67 Istilah tradisionalisme berasal dari kata tradisi yang berarti segala sesuatu, baik itu kepercayaan, kebiasaan, ajaran yang turun-temurun dari nenek moyang, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1982, h. 1088. 68 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 46. sebagai rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan-tindakan sosial dan program pembangunan yang telah direncanakan. 69 Kalangan sarjana Muslim menilai dengan pemahaman beragama yang masih didominasi dan dihegemoni oleh pemahaman tradisionalisme akan membuntukan jalan pembangunan Indonesia, yang mengakibatkan keterbelakangan ummat Islam dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik serta sains dan teknologi. Dalam abad modern ini, ummat Islam Indonesia dihadapi oleh dua problem besar, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam. 70 Teologi tradisional yang masih menganut paham tradisionalisme-teosentris-skripturalis diyakini tidak akan mampu menemukan kesesuaian di antara dua problem besar itu. Sebab mereka masih terkunci oleh pemahaman sempit bahwa modernisasi di Indonesia akan meminggirkan peran agama dan merusak nilai-nilai yang ada di dalamnya. 71 Dengan kerangka tersebut beberapa pemikir Muslim Indonesia mulai berbicara untuk merumuskan sebuah teologi baru yang kondusif dan dapat menopang modernisasi dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Dalam ide mereka, para pemikir itu mengharapkan adanya teologi yang lebih kontekstual dengan perkembangan situasi modern. 72 Meskipun gerakan pembaharuan Islam Indonesia telah muncul sejak awal abad ke-20, namun awal 1970 adalah periode penting bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Greg Barton, Indonesia mengalami 69 Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia , terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996, h. 84. 70 Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru,” h. 74. 71 Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 347. 72 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 46. kebangkitan yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan dalam pemikiran keagamaan. Dikatakannya, bahwa kebangkitan ini juga bukan petanda bahwa Islam akan kembali ke zaman 1950 di mana kelompok Islam tertentu menginginkan azas Islam sebagai ideologi negara. Islam yang bangkit pada tahun 1970 adalah Islam kontekstual dan substansial, yang memiliki ciri moderat, liberal dan progresif. 73 Gerakan yang dimotori oleh para intelektual menyerukan tentang pembaharuan pemikiran Islam itu oleh Barton diidentifikasi sebagai gerakan neo- modernisme. Mereka yang dikategorikan masuk ke dalam gerakan ini adalah pemikir-pemikir yang memiliki pengaruh kuat atas setiap gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang keluar dari masyarakat Islam Indonesia. Mereka adalah Nurcholish Madjid Cak Nur, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib. Menurut Barton, sebenarnya banyak tokoh-tokoh Islam, selain yang telah disebutkan di atas, dapat digolongkan ke dalam komunitas pemikir neo- modernisme, seperti, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F. Mas’udi. Tetapi mereka ini lebih memilih untuk tidak menggunakan istilah neo- modernisme, yang awalnya dipopulerkan oleh media massa di luar keinginan mereka sendiri. 74 Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan Barton, ada tokoh Islam lainnya yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hal pemikiran di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, yakni Harun Nasution. Karena dalam karyanya, ia banyak 73 Greg Bartoh, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nucholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid , terj. Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999, h. 3-4. 74 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 8-11. memaparkan teologi Mu‘tazilah dan tokoh-tokoh kontemporer yang beraliran Mu‘tazilah, seperti Muhammad ‘Abduh, 75 maka Harun oleh sebagian intelektual Islam kerap digolongkan sebagai Muslim berteologi rasional. 76 Berbeda dengan kelompok rasional yang oleh Fachry Ali digolongkan ke dalam kelompok modernisme Islam yang cenderung terfokus ke dalam perdebatan sektarian, seperti Muhammadiah, Persatuan Islam, Sunnî dan non- Sunnî, gerakan neo-modernisme lebih bersifat kultural, karenanya gerakan neo-modernisme disebut sebagai gerakan yang bersifat moderat, karena ia mampu memadukan antara paham modernisme Islam dengan tradisionalisme. Azyumardi Azra berpandangan bahwa penggolongan terhadap bentuk- bentuk teologi ini adalah penyederhanaan dari berbagai corak berteologi di Indonesia, yang masih sangat mungkin sekali belum pernah tercatat dalam kajian sejarah. Penggolongan ini hanya mencoba menangkap pandangan teologis terkuat di dalam penggolongan itu. Dalam artian, dalam setiap bentuk itu sangat mungkin terdapat unsur-unsur bentuk teologi yang lain yang dapat digolongkan kembali. 77 Perlu penulis tekankan juga bahwa mengapa penggolongan ini turut menyertakan terma teologi karena pemikiran-pemikiran yang akan diuraikan dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir para tokoh Islam terhadap realitas kehidupan dengan menggunakan perspektif ketuhanan. 75 Dalam dua bukunya, seperti Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986 dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah Jakarta: UI Press, 1987 yang hingga kini masih dicetak ulang, Harun terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah yang lebih rasional untuk masyarakat muslim Indonesia, yang menurut peninjauan Harun masih terpenjara oleh paham teologi Asy‘ariyyah yang mengusung paham fatalistis. Dan paham ini menurut Harun tidak sesuai dengan iklim perubahan maupun pembangunan di negara Indonesia, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350. 76 Fauzan Saleh memetakan diskursus teologi Islam mutakhir Indonesia tetap dipengaruhi oleh dua pemikiran besar, yaitu pemikiran Harun Nasution yang dikenal dengan teologi rasional Mu‘tazilah dan Nurcholish Madjid dengan neomodernisme, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 260-384. 77 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h.51. Gerakan pembaharuan teologis yang terjadi di Indonesia sudah barang tentu berpengaruh terhadap pola pikir kebanyakan Muslim Indonesia, baik yang berpendidikan tradisional Islam sekaligus sekular maupun Muslim yang hanya berlatarbelakang berpendidikan sekular saja. Fenomena pembaharuan ini juga menjadi pembenaran bagi setiap Muslim untuk mengembangkan agama yang tidak normatif dan legalistik, tetapi lebih pada aspek substantif sehingga instrumen yang digunakan untuk memahami Islam menjadi terbuka. 78 Oleh karenanya tidak mengherankan, bila ada fenomena dalam masyarakat Muslim kekinian bahwa ide-ide keislaman teologis yang berkembang di Indonesia tidak hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir arus utama mainstream yang bila dalam konteks penulisan ini adalah yang dikategorikan oleh Greg Barton sebagai pengusung gerakan neo- Modernisme, yaitu Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid dan lain sebagainya, melainkan juga oleh kalangan masyarakat sekular-rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu tradisional Islam Muslim atau sarjana sekuler. Oleh William Liddle, kelompok ini diberi nama dengan sebutan Islam substansialis, meskipun kelompok ini tetap bisa digolongkan ke dalam gerakan neo-modernisme. Namun karena mereka memiliki ciri khas tersendiri dari kelompok neo-modernisme, maka dipilihkan istilah lain untuk menggolongkan kelompok tersebut. 79 Berdasarkan uraian di atas, bentuk-bentuk teologi yang akan penulis bahas pada penjelasan berikut adalah teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo- modernisme dan teologi substansialis. Dalam penulisan berikut, penulis akan 78 Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 354. 79 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 33-34 menjelaskan ciri-ciri dan isi pandangan tentang Tuhan dan manusia dari masing- masing teologi tersebut.

D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia