Menurut teologi ini Islam yang paling ideal adalah Islam yang ada pada masa awal Islam, yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat
terutama yang empat Khulafâ’ al-Râsyidîn.
93
Gejala repurifikasi Islam inilah yang diyakini dapat memunculkan ajaran fundamentalisme Islam hal yang terkait
dengan kekerasan atas nama agama.
94
2. Teologi Rasional
Dari sisi historis, aliran rasionalis di dunia Islam ditemukan pada kelompok teologi Mu‘tazilah.
95
Dikatakan sebagai teologi rasionalis karena penganut aliran teologi ini mengganggap akal atau nalar manusia akan sampai
pada pengetahuan tentang Tuhan, walaupun wahyu belum diturunkan.
96
Bagi mereka kebaikan dan kejahatan bukanlah hasil-samping dari irrasionalitas dan
buta dari keimanan sebagaimana yang diterapkan oleh sebagian teodisi deterministik. Sebaliknya manusia memiliki kehendak bebas, dapat menguraikan
gambaran rasional tentang kebaikan dan kejahatan dan manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Nalar manusia menurut aliran Mu‘tazilah selaras dengan
wahyu.
97
93
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 32
94
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h.15.
95
Aliran teologi Mu‘tazilah muncul pada abad ke-2 Hijriah di kota Bashrah atau sama pada tahun yang disebut sebagai zaman Islam klasik, yang didirikan oleh Wâshil ibn ‘Athâ.
Ajaran pokok yang dibahas dalam teologi Mu‘tazilah adalah tawhîd, al-‘Adl, al-Wa‘d wa al-wa‘îd janji dan ancaman, al-manzilah bayna manzilatayn tempat di antara dua tempat, Amr ma‘rûf
nahy munkar , Ahmad Hanafi, Teologi Islam Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2001, cet. I.,
h. 43-46.
96
Ada empat permasalahan yang dibahas dalam teologi terkait dengan masalah akal. Pertama masalah apakah akal mampu mengetahui Tuhan. Kedua, bersyukur kepada Tuhan. Ketiga,
mengetahui baik dan buruk. Keempat, berkewajiban menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 79-94.
97
Parviz Morewedge, “Teologi,” h. 16.
Teologi rasional menemukan titik awal perkembangan yang cukup signifikan di Indonesia bersamaan dengan gerakan pembaharuan dalam Islam di
Indonesia sekitar tahun 1970.
98
Meskipun gerakan pembaharuan Islam kontemporer di mulai sejak awal abad ke-20, namun para peneliti keagamaan
memandang bahwa pengusung aliran teologi rasional di Indonesia adalah Harun Nasution.
99
Pemikiran Harun Nasution sendiri juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tokoh pembaharu Islam di Mesir, yakni Muhammad ‘Abduh.
100
Para tokoh pembaharu ini, termasuk juga ‘Abduh mendorong umat Islam untuk
melakukan penelaahan ulang serta menjelaskan kembali doktrin-doktrin Islam dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh pikiran-pikiran modern.
Menurut para tokoh ini, Islam merupakan satu-satunya agama yang meletakkan akal pada posisi cukup baik dan menganjurkan penerapan temuan-temuan
ilmiah.
101
Semangat pembaharuan pemikiran Islam sangat mendapatkan perhatian dari ummat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, menurut
Fachry Ali, masyarakat perkotaan, terutama yang berlatar belakang pendidikan
98
Baca Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350.
99
Beberapa buku secara eksplisit menyebutkan bahwa pemikiran Harun Nasution merupakan pemikiran Islam yang berhaluan rasional, seperti dalam buku Abdul Halim, ed.,
Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution Jakarta:
Ciputat Press, 2005. Pada judul buku lain, disebutkan Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
Saiful Mujani, ed., Bandung: Mizan, 1995. Harun menurut Jamhari memang terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah di Indonesia. Menurut Harun, ada
kesesuaian beberapa aspek aliran teologi Mu‘tazilah dengan usaha manusia Indonesia dalam mengembangkan masyarakatnya, baca Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350.
100
Dalam bukunya, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah Jakarta: UI Press, 1987, Harun menilai bahwa pembaharuan pemikiran Islam yang digagas Muhammad
‘Abduh sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran di Indonesia, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah
, Jakarta: UI Press,1987, h. 1. Muhammad ‘Abduh menurut Harun adalah penganut teologi rasional Mu‘tazilah yang berpandangan jalan
untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu semata, tetapi juga akal. Akal manusia sangat selaras dengan wahyu dalam mengenal Tuhan, Harun Nasution, Muhammad ‘Abduh, h. 43.
101
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 63.
sarjana lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar. Kelompok pembaharu ini diidentifikasi oleh Fachry Ali sebagai kelompok modernisme dalam Islam.
102
Kemunculan teologi rasional di Indonesia merupakan respon terhadap kejumudan kemandekan berpikir ummat Islam kebanyakan, di mana mereka
terperosok ke dalam kehidupan mistisisme berlebihan
103
dan terpenjara oleh paradigma tradisional fatalisme dan fiqh oriented.
104
Untuk meningkatkan produktivitas masyarakat Indonesia, menurut Harun, ummat Islam harus
mengadopsi teologi sunnatullah
105
yang bersifat rasional, filosofis dan ilmiah. Teologi rasionalis ini bersifat terbuka terhadap segala perubahan dan
cenderung melihat Islam sebagai agama yang dinamis dan sejalan dengan akal, dengan demikian al-Qur’ân ditafsir berdasarkan kontekstualisasi terhadap kondisi
dan permasalahan yang dihadapi. Menurut Harun Nasution, al-Qur’ân diwahyukan dalam bentuk yang sangat umum tanpa penjelasan terperinci tentang
pelaksanaannya. Karena al-Qur’ân bersifat umum dan tidak memberi panduan terperinci, maka penafsiran isinya merupakan keharusan.
106
Ijtihad harus digalakkan dalam setiap wacana keislaman. Pemikiran yang menegaskan bahwa pintu ijtihad telah ditutup itu tidak dibenarkan. Maka tawaran
yang diajukan adalah kontekstualisasi ajaran Islam sebagai cara untuk
102
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 63.
103
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 62.
104
Moeslim Abdurrahman, Islam Transfomatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. Ke- 3., h. 62.
105
Teologi sunnatullah berkembang pada zaman Islam klasik 650-1250 Masehi. Teologi ini memiliki ciri mendudukkan akal pada posisi yang tinggi, kebebasan manusia dalam kemauan
dan perbuatan, kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’ân dan Hadîst yang sedikit sekali jumlahnya, percaya akan keberadaan sunnatullah dan kausalitas,
megambil arti metaforis dari teks wahyu dan adanya dinamika dalam sikap dan berpikir, baca Harun Nasution, Islam Rasional, h. 112.
106
Jamhari, “Teologi,” h. 350.
menyelesaikan permasalahan zaman yang dihadapi ummat Islam dalam segala aspek, seperti sosiol ekonomi, politik dan budaya.
Dalam paham tentang al-kasb perbuatan, teologi rasional memiliki pandangan berbeda dengan teologi tradisional yang menganut paham fatalisme.
Teologi rasional menganut paham Qadariyyah, yakni dalam menentukan kehendak berbuat apapun, manusia dengan kemampuan akalnya dapat memilih.
Petunjuk Tuhan hanya dapat diperoleh setelah manusia melakukan usaha yang maksimal, tanpa usaha apapun, petunjuk Tuhan tidak akan pernah diberikan.
107
Manusia dalam paham teologi ini dipandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kebebasan dalam melakukan aktifitasnya. Dengan kebebasannya itu
manusia bertanggung jawab terhadap Tuhan.
3. Teologi Neo-Modernisme