Pengertian Teologi secara Umum

BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA

A. Pengertian Teologi secara Umum

Istilah teologi 28 di dunia Islam lebih dikenal dengan ‘ilm al-kalâm, 29 yang secara harfiah adalah pembicaraan yang membahas kredo Muslim yang sangat prinsip seperti ketauhidan, kenabian dan eskatologis. 30 Menurut Ahmad Hanafi penggunaan istilah ‘ilm al-kalâm adalah untuk membahas kredo dasar Islam, karena pertama, persoalan terpenting yang menjadi fokus pembahasan adalah firman Tuhan kalâm Allah. Kedua dasar ‘ilm al-kalâm adalah dalil-dalil pikiran yang dijelaskan melalui pembicaraan-pembicaraan, dan ketiga untuk membedakan antara logika dalam filsafat. 31 Sedikit berbeda dengan Ahmad Hanafi, menurut Harun Nasution, teologi adalah ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Dalam istilah Arab teologi memiliki banyak sebutan, yakni ushûl al-dîn ilmu yang mempelajari dasar-dasar agama, ‘aqâ’îd keyakinan dasar, ‘ilm al-tawhîd keesaan atau monoteisme dan terakhir adalah ‘ilm al-kalâm. 28 Secara etimologis teologi berasal dari kata Yunani, theo berarti Tuhan dan logos berarti akal, pikiran, ucapan dan pembicaraan. Dari konteks itu teologi mempunyai pengertian ilmu atau pembahasan tentang Tuhan, Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam Yogyakarta: LKPSM NU, 1989, h. 114. Istilah teologi yang dipakai sekarang sebenarnya telah lama ada. Istilah ini digunakan oleh para pemikir intelektual keagamaan di Yunani untuk menjelaskan soal- soal keagamaan Tuhan dan dewa-dewa. Istilah teologi bisa juga bisa digunakan untuk menguraikan tradisi masyarakat yang tidak bertuhan ateistik ataupun kepada tradisi non-theistik, seperti Hindu, Budha dan Tao, baca David Tracy, “Theology: Comparative Theology,” dalam Mircea Eliade, et.al., The Encyclopedi of Religion, vol. 13., New York: Macmillan Library refference, 1993, print number 10, h. 446. 29 Terminologi ‘ilm al-kalâm kali pertama digunakan pada masa pemerintahan rezim ‘Abbâsiyyah, tepatnya ketika khalifah al-Makmûn menjabat. Sebelumnya, pembahasan masalah kepercayaan dalam Islam menggunakan istilah, antara lain al-fiqh fî al-dîn dan al-fiqh al-Akbar, baca Ahmad Hanafi, Teologi Islam Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2001, cet. 12., h. 4 30 Parviz Morewegde, “Teologi” dalam John L. Espositto ed., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern , jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., Bandung: Mizan, 2001, h.14. 31 Ahmad Hanafi, Teologi Islam Ilmu Kalam, h. 5 ‘Ilm al-kalâm , kata Harun Nasution, memiliki dua pengertian, yaitu bila kata kalâm yang dimaksud merujuk kepada sabda Tuhan, maka pengertian teologi dalam Islam adalah persoalan sabda Tuhan al-Qur’ân, namun jika istilah al- kalâm merujuk kepada kata-kata manusia, maka pembahasan ‘ilm al-kalâm adalah pendapat atau jalan pikiran dari manusia yang berpendapat itu. 32 Harun Nasution juga menyatakan teologi adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang fundamental dalam setiap agama, terutama masalah Tuhan. Teologi akan memberikan keyakinan yang kuat pada sesorang tentang ajaran agama yang dianutnya, dengan tujuan agar keyakinanya tidak mengalami ambiguitas dan skeptis atas tantangan dan perubahan Zaman. 33 Secara umum teologi mengandung, “Pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, bukti ontologis dan kosmologis keberadaan Tuhan; ketiga, kosmologis hubungan antara Tuhan dan dunia; keempat, etika teodisi perintah Tuhan dalam kaitan dengan kehendak bebas, determinisme, nasib, kebaikan, keburukan, hukuman dan ganjaran; kelima aspek pragmatis dari bahasa agama dan fungsi khusus dari fakultas imajinasi yang secara istimewa terdapat pada para nabi, mistikus dan para pewaris nabi; keenam hubungan antara penalaran dan wahyu; dan ketujuh aspek politik dari penarapan hukum Tuhan ilahi dalam masyarakat. 34 32 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Press, 1972, cet. II., h. ix. 33 Harun Nasution, Teologi Islam, h iv 34 Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14. Di dalam Islam, persoalan teologi lahir 35 karena politik, terutama perdebatan mengenai siapakah yang berhak menjadi pemimpin ummat Islam terutama sesudah ‘Umar ibn Khaththâb wafat. Di sini terdapat beberapa kubu yang berambisi menduduki rezim kekuasan Islam, yaitu antara lain kubu ‘Ustmân ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abû Thâlib serta tidak ketinggalan beberapa kubu lainnya yang juga mengklaim lebih berhak untuk menduduki rezim pemerintahan, seperti kubu ‘Â’isyah. 36 35 Kelahiran teologi Islam memang telah disepakati banyak intelektual adalah karena alasan politik, namun demikian, ada beberapa tokoh yang tidak mengamini secara eksplisit bahwa politiklah faktor pemicu dominan bagi kelahiran teologi. Seperti Nurcholish Majdid atau yang biasa disapa Cak Nur, menegaskan persoalan kelahiran teologi karena sebab skisme perpecahan di dalam tubuh ummat Islam yang berpuncak pada tewasnya ‘Ustmân ibn ‘Affân, dan bukan menyatakannya langsung dengan istilah sebab politis. Justru karena sebab skisme dalam Islam inilah yang kemudian menumbuhkembangkan ummat Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan keagamaan. ‘Ilm al-kalâm, yang oleh Cak Nur didefinisikan sebagai pembicaraan nalar yang menggunakan logika, pada awalnya adalah untuk keperluan penalaran logis bagi orang-orang yang mendukung dan melakukan pembunuhan terhadap ‘Ustmân ibn ‘Affân, menurut para pendukung dan pelaku pembunuhan, mengapa ‘Ustmân layak dibunuh karena ia telah berbuat dosa besar dengan menjalani pemerintahan dengan tidak adil, sedankan dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran adalah perbuatan menentang Tuhan, maka ‘Ustmân wajib dibunuh, baca Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernenan Jakarta: Paramadina, 1992, cet. 2., h. 203. Sementara itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, kelahiran teologi yang berfungsi untuk menunjang kepercayaan- kepercayaan prinsipil di dalam Islam secara tradisional adalah oleh ‘Alî ibn Abû Thâlib. Karya ‘Alî, al-Nahj al-Balâghah, kata Nasr adalah karya pertama yang dapat membuktikan keesaan Tuhan yang mengikuti di belakang al-Qur’ân dan Hadîst, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial Depok: Perenial Press, 2001, cet. 2., h. 18. Berbeda dengan Cak Nur dan Nasr, Fazlur Rahman, meskipun secara samar ia tetap mengakui bahwa persoalan politik merupakan pemicu bagi kelahiran teologi Islam, namun persoalan politis, kata Rahman tidak bisa dijadikan sebagai faktor pemicu yang dominan bagi kelahiran teologi Islam. Kata dia, kelahiran teologi juga dimunculkan oleh sebab pergolakan- pergolakan pemahaman ummat Islam terhadap al-Qur’ân dan Hadîst pada masa ‘Ustmân dan ‘Alî. Pergolakan pemahaman atas kedua sumber hukum Islam itu bertambah dalam dan luas ketika daulat Umayyah berkuasa. Pergolakan pemahaman atas al-Qur’ân dan Hadîst dipicu oleh pertanyaan “apakah seorang Muslim dapat disebut sebagai Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Atau, apakah iman dalam hati saja sudah cukup atau haruskan ia dinyatakan dalam perbuatan.” Hal ini yang kemudian, menurut Rahman, bisa disebut sebagai salah satu pemicu utama kelahiran teologi Islam, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad Bandung; Pustaka, 1994, cet. 2., h.117. + Dari persoalan politis di kalangan ummat Islam yang tidak bisa didamaikan, lahirlah aliran-aliran yang awalnya memperdebatkan mekanisme arbitrase antara kubu ‘Alî dan Mu‘awiyah 37 yang menurut sebagian mereka tidak sah, karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan al-Qur’ân. Perdebatan ini kemudian mengalir ke ranah siapa yang kafir dan yang mukmin serta siapa yang berdosa dan tidak. Saling menuduh kesalahan kafir-dosa dan saling mengklaim kebenaran mukmin-pahala antar golongan Muslim, membuat masing-masing kubu yang bertikai membentuk aliran-aliran teologi yang masing-masing memiliki isi pandangan yang berbeda tentang persoalan-persoalan keyakinan dasar keislaman yang kemudian dijadikan dasar pijakan oleh mereka dalam menjalankan aktivitas keseharian politik, ibadah, ekonomi dan lain sebagainya. , - + . - 1 2 3 + - - - 1 - + + - 3 + , Menurut catatan sejarah, terdapat aliran-aliran teologi penting di dalam Islam yang mempengaruhi pola pikir keberagamaan individu Muslim. Aliran itu adalah Khawârij, 38 Murji‘ah, 39 Mu‘tazilah, 40 Asy‘ariyyah 41 dan Mâtûrîdiyah. 42 Hingga kini hanya Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah yang keduanya biasa disebut 4 - 0 - 0 2 3 5 6 - 0 + 74 - . + 7 7 . + 0 + 89 : . - 0 1 3 ; 3 + + + 8 84 9 = 5 8 + 3 89 = + 0 6 ? 7 = - = = - 0 + 3 8 3 - - - A = - ? 7: 8 3 3 3 B - - C = 6 784 sebagai Islam Sunnî atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah 43 yang masih memiliki wujud. Namun, seiring masuknya paham rasionalisme ke dunia Islam melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran Mu‘tazilah yang bersifat rasional mulai timbul kembali, terutama di kalangan cerdik-cendekia Muslim yang berpendidikan Barat. 44

B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia