yang bersangkutan kepadanya: bahwa selain Tuhan yang Esa tidak ada yang tidak bisa disentuh lewat pemikiran manusia.
119
Ini sangat relevan dengan sebuah kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam adalah ajaran kemanusiaan yang
universal. Pada konteks manusia teologi neo-modernisme berpandangan bahwa
manusia sebagai yang diciptakan dalam keadaan fitrah suci dan benar. Manusia senantiasa merindukan kebenaran, karena manusia diciptakan dalam fitrah yang
tidak bisa berubah. Dalam diri manusia ada sesuatu yang bersifat perenial abadi, yakni kerinduan pada kebenaran abadi yang tidak lain adalah agama yang lurus.
Dari kesadaran itu timbul, bahwa semua manusia yang ada di muka bumi ini terlepas dari beragama apapun, pada hakikatnya ia adalah terlahir secara suci dan
benar. Dengan sifat primordial manusia yang demikian universal ini maka terlahir sikap yang inklusif terhadap realitas kehidupan.
120
4. Teologi Substansialis
Genderang perubahan pemikiran keislaman yang ditabuh oleh para pemikir arus utama mainstream pada tahun 1970-an tidak hanya berpengaruh
kepada masyarakat di kalangan tertentu saja, tetapi juga turut menjadi stimulan kepada masyarakat umum dalam merespon setiap perubahan paradigma
119
Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan, 1999, cet. xii, h. 23.
120
Nurcholish Madjid “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001, h. xiii-xiv.
keislaman teologis yang banyak dipengaruhi konteks situasi dan kondisi historis tertentu yang dihadapi kaum Muslim Indonesia.
Pada gilirannya stimulasi itu mendorong masyarakat umum, yang dalam hal ini adalah para pemikir, cendekiawan untuk memberikan respon-respon
tertentu yang kelihatannya tidak selaras dengan keyakinan dan pemikiran yang mereka anut selama ini.
Mereka adalah kelompok yang tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian keislaman yang oleh William Liddle digolongkan sebagai
kelompok substansialis. Berbeda dengan kelompok neo-modernisme yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang
terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional
keislaman, seperti pesantren. Mereka hanya terdidik lewat keilmuan sekular.
121
Greg Barton berpandangan tidaklah tepat untuk menempatkan neo- modernisme sebagai bagian dari substansialis. Lebih tepat, kata Barton,
substansialisme maupun neo-modernisme adalah dua cara pendekatan dalam menggambarkan kelompok yang sama.
122
Kelompok yang berorientasi teologis substansialis ini memiliki gagasan- gagasan kunci dalam melahirkan gagasan teologisnya, seperti yang diutarakan
Greg Barton dengan mengutip Fachry Ali:
“Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik adalah lebih penting daripada bentuk. Kedua pesan al-Qur’ân dan Hadîst walau
abadi esensinya dan universal artinya dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi Muslim sesuai dengan situasi masanya. Ketiga karena mustahil bagi siapapun
untuk mendapat kepastian dalam memahami kehendak dan suruhan Tuhan. Ummat Muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-Muslim,
121
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34-35.
122
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 35
terakhir, Muslim substansialis menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari negara bangsa Indonesia,”
123
Paradigma pemahaman keislaman teologis yang dianut oleh kelompok substansialis lebih mementingkan substansi atau isi ketimbang label atau simbol-
simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam bidang kemasyarakatan mereka cenderung concern pada pengembangan dan penerapan
nilai-nilai Islam secara implisit saja.
124
Dalam kesehariannya individu-invididu yang tergolong kepada kelompok berorientasi teologis substansialis adalah mereka yang langsung terjun ke dalam
masyarakat lewat organisasi kemasyarakatan, baik itu seni dan budaya, hukum, politik dan lain sebagainya. Salah satu tokoh yang digolongkan ke dalam
kelompok teologi substansialisme adalah Dawam Rahardjo.
125
Hasil pemikiran keislaman mereka yang acapkali diterima dengan sinisme oleh para agamawan dan masyarakat kebanyakan, seperti dalam kasus HB.
Jassin,
126
menjadikan pemikiran keislaman mereka menjadi termarjinalkan.
123
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34.
124
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 9
125
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 33-35 dan Jamhari, “Teologi,” h. 352
.
126
Sebagai seorang sastrawan yang hanya mengandalkan pendidikan sekular sastra, dua karya monumental HB Jassin, yakni Al-Qur’ân Bacaan Mulia ABM dan Al-Qur’ân Berwajah
Puisi ABP tidak mendapatkan apresiasi yang positif di sebagian besar agamawan, intelektual dan
masyarakat umum ketika itu tahun 1993. Oleh Majelis Ulama Indonesia MUI ketika itu, karya yang ditelurkan oleh HB. Jassin dianggap lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dan
oleh menteri agama pada saat itu, Munawir Sjadzali, karya Jassin dianggap menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam, sehingga menteri agama harus menarik dukungannya
terhadap usaha Jassin untuk menerbitkan karyanya itu, baca Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer,” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru
Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia
, h. 61-62.
Dalam konteks itu, mereka bisa dimasukkan sebagai Muslim subaltren
127
atau pinggiran periphery.
Dalam konteks diskursus keislaman, jika sebuah penafsiran tentang al- Qur’ân telah melewati batas-batas yang telah disepakati, seperti tidak melalui
Hadîst maupun hasil ijmâ’ ulama, maka penafsiran kelompok ini sering disebut dengan pemahaman agama yang splinter.
128
Dalam konteks ini, splinter dapat dimaknai sebagai suatu pemahaman keislaman teologis yang tidak dilahirkan
melalui metode normatif-tradisional, melainkan dengan latarbelakang keilmuan sekular atau berdasarkan pengalaman empiris. Dalam melahirkan gagasan,
mereka cenderung terpengaruh oleh situasi historis dan kondisi tertentu mental, psikologis, dan intelektual.
Sesuai dengan ciri latarbelakang dan metode dalam merumuskan pemikiran keislaman, RPD, tokoh yang akan penulis bahas dalam penulisan ini,
adalah tokoh yang termasuk ke dalam kelompok Muslim subaltern. Karena pemikiran keislaman RPD tidak didasari metode normatif-tradisional yang
dipadu dengan ilmu keislaman modern, maka dalam konteks keislaman, pemahaman keislaman RPD dapat cenderung kuat dikategorikan sebagai
127
Pengertian subaltern pada awalnya berasal dari kajian tentang Muslim-Muslim yang tertindas dan termarjinalkan karena pemikiran keagamaan mereka dianggap bertentangan dengan
pemikiran arus utama atau yang masih memegang doktrinal Islam secara utuh, dalam hal ini adalah institusi agama yang diakui oleh negara. Mereka kerap mendapatkan perlakuan represif
oleh kelompok mainstream yang menggandeng kekuasaan politik ketika itu, baca Azyumardi Azra “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern” Gatra 6 Desember 2003, h. 8. Penulis menggolongkan
para Muslim yang tidak terdidik ilmu-ilmu tradisional Islam dan hanya berpendidikan sekular ke dalam subaltern yang termarjinalkan. Muslim-Muslim yang tidak memiliki latarbelakang
keilmuan tradisional Islam dan kemodernan Barat, tidak akan pernah mendapatkan tempat utama dalam pemikiran keislaman mereka. Malahan pemikiran kelompok subaltern yang juga disebut
sebagai Muslim pinggiran ini kerap dipandang menyimpang dengan berbagai alasan. Menurut Azyumardi Azra, “kaum splinter dan pinggiran dalam agama manapun hampir tidak mendapatkan
tempat dalam sejarah,” baca Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” h. 8.
128
Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” Gatra 6 Desember 2006, h. 8.
pemahaman splinter. Lebih dalam tentang RPD dan pemikirannya, penulis akan membahasnya pada bab 3 dan 4.
BAB III BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA