Sistematika Penulisan Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi 16 . Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana Kedudukan Hukum dalam Sistem kelembagaan Negara dan Tugas dan Wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun penulis berdasarkan buku petunjuk “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ” dengan Sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun sistematikanya sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah; Batasan dan Rumusan Masalah; Tinjauan Review Kajian Terdahulu; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan. BAB II : KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN Bab ini Menjelaskan Mengenai Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan; Konsep Checks and Balances Dalam Sistem 16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II, h. 393. Ketatanegaraan Indonesia; dan Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik. BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA Pada bab ini akan diuraikan mengenai sejarah berdirinya Ombudsman; yang terdiri atas pengertian, sejarah singkat sifat, asas dan tujuan, falsafah, visi dan misi, kemudian struktur organisasi; serta fungsi tugas dan wewenang lembaga Ombudsman. BAB IV: OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA Dalam bab ini menjelaskan tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran terhadap penyelengaraan pelayanan publik. BAB V : PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya. 16 BAB II KEKUASAN LEMBAGA INDEPENDEN

A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan

Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraaan kekuasaaaan Negara. Meskipun kedua istilah rechstsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. 17 Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa barat sebagai antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad pertengahan, yaitu antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18, lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk menarik kekuasaan membuat peraturan dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri 17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 281. sendiri. Begitu pula pada akhir abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman telah diserahkan kepada suatu badan perwakilan. 18 Istilah “Pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. 19 Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah “Trias Politica”. Istilah trias politica awalnya oleh Emmanuel Kant, begitu pula secara substansi pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dan ditulis oleh Aristoteles. 1. Teori Pemisahan Kekuasaan John Locke John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya adalah seorang tuan tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir Locke. 20 18 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1990, h. 2. 19 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 285. 20 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, h. 13. John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak terbatas. 21 Memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama ajarannya tentang negara dan hukum. John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang terbit Tahun 1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga bidang: pertama, kekuasaan membentuk Undang-Undang legislatif, kedua, kekuasaan eksekutif, dan ketiga, kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang mencakup juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif. 22 2. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara ahli- ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari perancis. Nama lengkapnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. Dia adalah seorang sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu 21 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980, h. 106. 22 Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988, h. 140. seorang yang dengan pemikiran dan tenaganya sendiri telah memperoleh kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan. 23 Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti Undang- Undang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang menyebabkan berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah perbedaan yang terdapat dalam situasi bangsa masing-masing, sifat kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain. 24 Montesquieu membangun suatu ajaran atau teori pemisahan kekuasaan yang mengilhami teori John Locke. Hal itu tergambar dengan jelas dalam bukunya “De L’esprit Des Lois” yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut dirumuskan “The Doctrine Of Separation Of Power States That The Legislative, Executive, And Judicial Functions Of Government Should Be Independent ”. doktrin pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 3. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu i fungsi regeling pengaturan; ii fungsi bestuur 23 Soehino, Ilmu Negara, h. 116. 24 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Ilmu Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 159. penyelenggaraan pemerintahan; iii fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan iv fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. 25 Catur praja yang pertama adalah regeling pengaturan yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu, Bestuur yang identik fungsi pemerintahan eksekutif, rechtspraak peradilan dan politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat social order dan peri kehidupan bernegara. 26 Dari 3 teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke dengan Montesquieu 27 kemudian perbedaan pendapat dengan C. van Vollenhoven Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang mendasar antara Locke dan Montesquieu. Bagi John Locke, berpendapat bahwa kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan oleh John Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai pelaksanaan Undang-undang. Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan dua- duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari, 25 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, h. 34. 26 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 284. 27 Nama lengkap Montesquieu yang sebenarnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak. Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut Van Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-undang saja tugasnya, karena dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah mempertahankan hukum secara preventif preventive rechtszorg, mengadili menyelesaikan perselisihan dan membuat peraturan regeling. 28 Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah : i fungsi pembuatan kebijakan policy making function; dan ii fungsi pelaksanaan kebijakan policy executing function. 29 Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara- negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila 28 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988, h.147. 29 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 284. diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. 30 Istil ah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga- lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop organisasi non-pemerintah atau NGO non-governmental organization. Lembaga negara bantu sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, 31 membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. 32 Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam 30 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Konstitusi Press, 2006 . h. 8. 31 31 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 11. 32 Ibid., h. 9 ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp : 33 “Regulatory and monitoring bodies are a new type autonomous administration which has been most widely develoved in the United States where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the government. It takes the form of what are generally known as Independent Regulatory Commisions” Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. 33 Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3 rd edition, Oxford: Oxford University Press, 1998, h. 281. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: 1 Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan 2 Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah; 34 Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut. 35 1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik. 2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik. 34 John Alder, Constitutional and Administrative Law, London: The Macmillan Press LTD, 1989, h. 232-233. 35 Ibid., h. 225. 3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum. 4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis. 5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan alternative dispute resolution alternatif penyelesaian sengketa. Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga negara. Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok. 36 Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah 36 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca AmandemenUUD 1945, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2010, h. 184 UUD Negara RI Tahun 1945 constitutionally entrusted power. Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang legislatively entrusted power. Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden. 37 Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga- lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia. 38 Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang mengakar dan sulit diberantas 37 Jimly Asshidiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”. makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004, h. 7 38 T.M. Lutfhi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004, h. 2. 2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. 3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal. 4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan, baik yang disebut sebagai state auxiliary institutionsorgansagencies maupun institutional watchdog lembaga pengawas, yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki. 5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju demokratisasi. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya. Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada dibawah kendali presiden. Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukan kemampuan berdiri sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau ketidaktergantungan dengan suatu lembaga kepada lembaga lainnya. Menurut Jimly Asshidiqie bahwa independensi lembaga-lembaga Negara sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga sekarang ini menikmati kedudukan independen, diantaranya pada tingkatan pertama, yaitu Organisasi Tentara Nasional Indonesia TNI, Kepolisian Republik Indonesia POLRI, dan Bank Indonesia sebagai Bank Central. Pada tingkatan kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM, Komisi Pemilihan Umum KPU, Komisi Ombudsman Nasional sekarang Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR, dan Komisi peniyaran Indonesia KPI. Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD seringkali disebut lembaga negara tambahan ekstra auxiliary atau lembaga negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang regulatory body. Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan masyarakat dewasa ini dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman Republik Indonesia. Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang- undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, KabupatenKota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki kekuatan memaksa subpoena power, rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam menangani laporan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, menjamin hak-hak warga negara, dan memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan kemerdekaan. 39

B. Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia