Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan kemerdekaan. 39

B. Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative legislative power, kekuasaan eksekutif executive power, dan kekuasaan federatif federative power. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk undang- undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga, aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing. Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya, kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan 39 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2009, h. 31. eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman. Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam. Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah dikembangkan teori checks and balances. Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya. 40 Judicial review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan, demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and balances. 40 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 63. Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan. 41 Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem politik yang executive heavy 42 karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang 41 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, cet. Ke- 2 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, h. 67. 42 Executive heavy, adalah kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden hak prerogatif dan kekuasaan legislatif. melalui http:www.siputro.com201209sejarah-amandemen-uud-1945, diakses pada tanggal 14 Januari 2014. dikenal sebagai judicial review atau constitutional review seperti sekarang. Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden. 43 Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN. Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenannya. Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD 1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan 43 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, cet. Ke- 2 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, h. 68. lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR, maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam waktu 30 hari sejak disahkan oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat 1 dan ayat 5 UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi uji materi saja, tetapi juga pengujian prosedur uji formal. Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap perundang- undangan yang diatasnya. 44 44 Ibid.

C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan