35
sendiri lah yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga “Tionghoa akan tetap Tionghoa”.
2.4 Etnis Cina Di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya
Keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke- 5. Hal itu di tunjukkan oleh kunjungan Fa-Hsien,1 seorang pendeta Budha ke
Indonesia pada abad awal tarikh masehi Kwartanada, 1996: 24; Djie, 1995: 20 dalam Siburian,2009. Dengan adanya fakta yang demikian, berarti etnis Cina sudah
hadir kurang lebih 15 abad, jauh sebelum bangsa Belanda menjajah di Indonesia.Mencermati keberadaan etnis Cina yang sudah beberapa generasi tinggal
di bumi Indonesia, seharusnya keberadaan mereka tidak perlu lagi dipermasalahkan.Hanya karena kebetulan mereka itu etnis Cina, namun sudah
banyak di antara etnis Cina itu tidak lagi mengetahui letak tanah leluhurnya.Beberapa di antara mereka pun sudah banyak yang tidak mengerti bahasa
leluhurnya. Berdasarkan fakta itu, proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa juga melibatkan etnis Cina, sehingga dalam perkembangannya pun
etnis Cina merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah Indonesia. Proses pengakuan etnis Cina sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah dimulai
sejak masa penjajahan dahulu, tampaknya keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia belum berjalan mulus, atau etnis Cina belum diterima oleh etnis
asli penghuni negeri ini secara optimal. Perlakuan terhadap etnis Cina sangat berbeda dengan perlakuan terhadap orang India ataupun orang Arab yang ada di
Indonesia ini.Hal itu ditandai oleh kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi
Universitas Sumatera Utara
36
mewarnai hubungan etnik di Indonesia ini, di mana etnis Cina tidak pernah luput dari sasaran.Adanya konflik antaretnis yang selalu membawa korban pada etnis
Cina memberi indikasi bahwa hubungan antaretnis khususnya antara etnis Cina dengan etnis asli Indonesia tidak harmonis.Sering dianalogkan bahwa etnis Cina
di Indonesia ibarat kerupuk yang ditaruh dalam kaleng yang selalu digoyang untuk menemukan posisinya yang tepat. Sepanjang posisi itu belum tepat, etnis Cina akan
selalu digoyang. Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnis Cina sebagai etnis yang sejajar dengan etnis asli tentu ada yang
melatarbelakanginya.Salah satunya adalah faktor kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah anak emas sekaligus anak
tiri bangsa Indonesia. Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina
dipersulit dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan etnis Cina-siapa pun dia itu-dengan berbagai aturan.Pendiskriminasian etnis Cina ini
sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda sejak permulaan
abad ke-19 membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing Cina, Arab dan lain lain, dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil
sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur di bawah kekuasaan kolonial Ong Hok Ham, dalam Siburian,2009.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, etnis Cina ini seperti dianakemaskan oleh Belanda.Kegiatan mereka di bidang perdagangan sangat
dihargai. Hal itu disebabkan oleh semangat dagang dan usaha yang dimiliki oleh imigran Cina itu, termasuk kesediannya menerima tamu, kecenderungannya
Universitas Sumatera Utara
37
mengadakan jamuan makan dan ramah dalam pergaulan Liem Twan Djie, dalam Siburian,2009. Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutip
oleh LiemTwan Djie dalam Siburian,2009 bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta mereka tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan
demi memperoleh uang. Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang perdagangan. Tertutupnya akses
etnis Cina berusaha di bidang lain disebabkan oleh hambatan-hambatan perundang- undangan yang merintangi mereka. Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina
digolongkan sebagai bangsa asing, didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11 April 1942.Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang
hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi.Berbagai pungutan--baik resmi ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha
Tionghoa, sebagai uang keamanan mengingat status mereka sebagai minoritas yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI, yang
berfungsi sebagai surat sakti untuk berbagai keperluan, seperti untuk masuk sekolahkuliah Kwartanada, dalam Siburian,2009.
Kendati etnis Cina sudah lama berdiam di bumi Indonesia, mereka masih orang asing bagi masyarakat pribumi.Keterasingan etnis Cina di mata pribumi
adalah akibat kurang bersosialisasinya etnis Cina dengan masyarakat pribumi.Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Cina hanya dipasar.Pasar
dalam hal ini merupakan suatu fenomena yang menunjukkan adanya jual-beli antara pihak pembeli dan penjual, baik barang ataupun jasa.Dengan demikian, interaksi
yang terjadi antara warga pribumi dan non-pribumi etnis Cina itu adalah kaitannya dengan perdagangan saja.Interaksi yang demikian tentu sangat terbatas, sebab yang
Universitas Sumatera Utara
38
terjadi adalah hubungan jual-beli semata. Interaksi yang hanya berlangsung dalam arena pasar atau jual beli saja tidak akan mampu untuk memahami satu sama lain
secara mendalam. Oleh karena etnis Cina dikenal di pasar, maka mereka ini tak lebih dari sekedar binatang ekonomi economic animal. Akibatnya adalah
muncullah stereotype tentang Cina mindring, Cina Klontong atau Cina yang mata duitan Kwartanada, dalam Siburian,2009. Tampilnya dominasi etnis Cina di sektor
perdagangan khususnya di Indonesia dimaksudkan sebagai strategi untuk bertahan hidup sebagai etnis minoritas dan warga perantau.Sebab, etnis Cina tidak
mempunyai lahan pertanian yang dapat memberi mereka jaminan hidup.Untuk hidup dari sector pertanian dibutuhkan lahan yang tidak sedikit.Berbeda dengan
sektor perdagangan, lahan yang luas tidak begitu penting, tetapi yang terutama adalah lokasi yang strategis agar pembeli dapat dengan mudah menjangkaunya.Oleh
karena itu, tidak jarang tempat etnis Cina berdagang hanya di atas tanah dengan luas 9 meter persegi.Tanah yang relatif sempit itu dapat memberi penghidupan kepada
seluruh anggota keluarga.Selain itu adalah kebijakan pemerintah yang membatasi gerakan kelompok etnis Cina ini baik yang tertulis maupun tidak.Misalnya, bidang
kemiliteran tertutup bagi orang Cina.Demikian juga akses untuk menjadi pegawai negeri sipil relatif kecil. Bahkan sesuatu yang tidak mudah bagi seorang etnis Cina
WNI untuk bisa memasuki sekolah atau perguruan tinggi negeri, mengingat adanya konsensus tentang kuota etnis Cina yang dapat diterima dengan kisaran antara 5 - 10
Kwartanada, dalam Siburian,2009. Pembatasan itu terkait dengan Instruksi Presidium Kabinet No. 37UIN61967 tentang tempat-tempat yang disediakan
untuk anakanak Warga Negara Asing Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40 , dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid
Universitas Sumatera Utara
39
WNA Cina. Pemilihan kegiatan di sektor perdagangan ini dapat membuat etnis Cina unggul dan mendominasi kegiatan perekonomian di Indonesia.Dengan adanya
dominasi seperti itu mengakibatkan kegiatan perekonomian Indonesia sangat tergantung kepada etnis Cina ini. Keunggulan dalam bidang perdagangan atau bisnis
ini terletak pada sikap kewirausahaan serta sikap tanggap terhadap peluang komersial perantauan Supriatma, dalam Siburian, 2009. Sikap kewirausahaan etnis
Cina disemangati oleh ajaran konfusionisme Sudiarji, dalam Siburian, 2009 dan nilai hopeng, hong sui, dan hokie. Hopeng adalah salah satu nilai penentu perilaku
bisnis golongan Cina, yang berarti cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis. Bisnis tidak seluruhnya rasional sehingga hubungan dengan relasi sangat
penting. Tanpa hubungan yang baik dengan relasi maka dipastikan sebuah usaha tidak akan berkembang. Hong sui adalah menyangkut kepercayaan, yaitu
kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia. Hong suimemberi petunjuk tentang bidang-bidang atau wilayah yang
sesuai dengan keberuntungan baik dalam hidup sehari-hari maupun dalam peruntungan perdagangan. Hokie adalah nilai yang menyangkut peruntungan dan
nasib baik.Dalam hal ini, hokie lebih dipersepsikan bagaimana menyiasati nasib agar selalu mendapat nasib baik Handoko, dalam Siburian, 2009.Kewirausahaan
yang ditampilkan itu telah membuat etnis Cina mampu membangun jaringan yang luas dan potensial untuk mengembangkan bisnis.Jaringan bisnis etnis Cina tidak saja
dalam bidang distribusi tetapi juga jaringan untuk masuk pada sumber-sumber permodalan.Hal ini dimungkinkan karena yang menjadi pemilik sumber-sumber
permodalan itu adalah etnis Cina sendiri.Sementara bagi pribumi, mereka relatifsulit untuk memperoleh kucuran kredit, sebab orang Cina-lah yang memonopoli jaringan
Universitas Sumatera Utara
40
ke sumber-sumber perkreditan tersebut. Orang Cina akan senang berbisnis dengan sesamanya, sedangkan warga pribumi tidak mereka percayai. Ketimpangan dalam
jaringan bisnis dan pemberian kredit itu mengakibatkan ekonomi etnis Cina jauh lebih maju ketimbang warga pribumi, karena usaha golongan Cina ini ditopang oleh
permodalan yang cukup sehingga lebih mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional.Menurut warga pribumi, perlakuan yang demikian merupakan
bentuk ketidakadilan yang berakibat pada ketimpangan ekonomi yang berujung pada terciptanya kecemburuan, yang kemudian mengkristal menjadi sikap anti
Cina. Akibat dari ketimpangan tersebut menimbulkan stratifikasi di bidang pendapatan.Etnis Cina dilihat dari status ekonomi berada pada tingkat yang
lebih tinggi ketimbang warga pribumi.7 Status ekonomi yang berbeda tersebut terbawa pada kehidupan sosial yang terkotak-kotak.Dalam hal ini, etnis Cina
hanya bergaul dengan sesamanya, demikian halnya dengan warga pribumi.Etnis Cina hidup dalam dunia atau lingkungan yang eksklusif.Hal ini ditunjukkan
dengan tampilan pagar rumah yang cenderung tinggi-tinggi melebihi pagar warga pribumi yang tinggal di sebelahnya.Penampilan yang
demikian seakan memperlihatkan batasan yang jelas antara warga etnis Cina dan warga
pribumi. Sebenarnya tujuan membangun pagar yang tinggi itu adalah untuk mengantisipasi adanya pencurian ataupun perampokan.Akan tetapi kesan
yang ditampilkan dengan penampilan pagar seperti itu merupakan penunjukan bahwa; saya adalah orang Cina dan anda orang pribumi.Selain itu, pencuri yang
diantisipasi oleh etnis Cina itu yang jelas adalah warga pribumi dan tidak mungkin dilakukan oleh etnis Cina sendiri. Artinya bahwa yang dijaga ataupun
diantisipasi oleh pagar yang tinggi itu adalah warga asli dengan indikasi bahwa
Universitas Sumatera Utara
41
warga asli tidak bisa dipercaya. Kekurangpercayaan pada warga asli dan lingkungannya ini secara implisit sebenarnya membangun jarak antara etnis Cina
dengan warga asli itu sendiri. Akibat selanjutnya mengakibatkan pembauran tidak terjadi.Kalaupun ada pembauran, hal itu tidak berjalan secara optimal. Sebab, secara
logika sulit membangun komunitas untuk saling berbaur apabila satu sama lain sudah saling curiga atau saling tidak percaya. Akibatnya adalah orang Cina
dilingkungan warga pribumi selalu menjadi orang asing.Dari segi agama pun, mereka yang berasal dari etnis Cina berbeda dengan agama yang dianut oleh
mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam.Agama yang dianut oleh etnis Cina di Indonesia juga bervariasi, seperti Protestan, Katolik, Budha dan sedikit saja
yang beragama Islam.Selain itu, di antara mereka pun masih banyak yang menganut aliran kepercayaan yang berasal dari negeri Cina, yaitu Khonghucu. Selama
pemerintahan Orde Baru, aliran Khonghucu tidak memperoleh status hukum sebagai sebuah agama, walaupun pada masa pemerintahan Orde Lama berdasarkan
Penetapan Presiden Penpres No.1 1965 mengakui bahwa Khonghucu merupakan salah satu dari enam agama resmi di Indonesia. Pengakuan itu semakin dipertegas
lagi dengan Penpres No.51969. Oleh karena Khonghucu tidak diakui sebagai sebuah agama, maka kegiatan keagamaan Khonghucu dilaksanakan secara
sembunyi-sembunyi oleh para penganutnya. Padahal, oleh pemerintah Orde Baru, peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Lama tersebut tidak
pernah dinyatakan dicabut. Memasuki era reformasi ini tampaknya seluruh simbol- simbol yang berbauetnis Cina sudah dapat dipertontonkan kepada khayalak
ramai.Pertunjukkan barongsai yang tidak mungkin dinikmati oleh masyarakat Indonesia selama rezim Orde Baru, kini secara bebas sudah dapat disaksikan oleh
Universitas Sumatera Utara
42
seluruh lapisan masyarakat, karena pemerintah tidak lagi melarangnya.Bahkan, hari perayaan tahun baru Imlek mulai tahun 2003 dinyatakan oleh Presiden Megawati
sebagai hari libur nasional. Kecuali etnis Cina yang menganut agama Islam, tampaknya agama lain yang dianut oleh orang etnis Cina lain merupakan salah satu
faktor yang membuat pembauran mereka dengan etnis asli menjadi tertutup. Sebab, di antara sesama etnis pribumi Indonesia sendiri tetapi berbeda latar
belakang agama masih sering terjadi pergesekan,8 apalagi dengan etnis Cina yang berbeda secara sosiokultural. Sebenarnya mereka yang hidup secara eksklusif ini
tidak seluruh etnis Cina. Sebab masih ada warga etnis Cina yang mampu memperlihatkan sikap pembauran yang tinggi.Akan tetapi jumlahnya tidak terlalu
banyak dan mereka ini dapat dikategorikan kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi.Kelompok yang bersedia membaurkan diri dengan warga asli ini adalah
untuk mencari jaminan sosial social security dari warga asli. Sebab, kelompok etnis Cina yang mampu secara ekonomi ini tampaknya kurang cocok berbaur
dengan etnis Cina lain yang sukses secara ekonomi, akibat di antara mereka pun sebenarnya ada juga kesenjangan ekonomi.
2.5 Definisi Konsep