Pemanfaatan Modal Sosial Nelayan Etnis Tionghoa (Studi Pada : Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir, Riau)

(1)

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL NELAYAN ETNIS

TIONGHOA

(Studi Pada : Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten

Rokan Hilir, Riau)

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

S K R I P S I Diajukan oleh :

100901076 Feni Sisca Octaviani

Departemen Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

MEDAN

2015


(2)

ABSTRAK

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki beragam etnis dan kebudayaan. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim kerena Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari pada wilayah daratan. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Riau yang merupakan daerah penghasil ikan yang terbesar, dimana pada tahun 2011 jumlah produksi ikan tercatat sebanyak 77.789 ton. Dari jumlah tersebut sebesar 96% berasal dari usaha penangkapan ikan di perairan laut. Bagansiapiapi merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa, dimana sejak awal kedatangannya Etnis Tionghoa ini memilih bekerja sabagai nelayan karena hasil laut di perairan ini yang sangat banyak. Modal sosial merupakan suatu bentuk hubungan yang lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan antar seseorang dengan orang lain, maupun antar organisasi dengan organisasi yang lainnya. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk kepercayaan, jaringan, nilai dan norma. Berawal dari hubungan kekerabatan yaitu kesamaan marga, para nelayan Etnis Tionghoa mampu membuat sebuah jaringan kerja dalam melaut yang sangat berguna dalam mendapatkan hasil tangkapan, selain itu para nelayan juga dapat saling bertukar informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut serta dapat saling membangun jaringan dalam penjualan hasil tangkapan melaut.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memilih bekerja sebagai nelayan dikarenakan beberapa hal, yaitu karena merupakan pekerjaan warisan dari kakek dan orang tua mereka, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan Etnis Tionghoa, dan tidak fasihnya nelayan Etnis Tionghoa ini dalam berbahasa Indonesia yang menyulitkan mereka untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang bukan Etnis Tionghoa. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki modal sosial dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan. Bentuk modal sosial yang mereka miliki adalah kepercayaan (Trust) yang memudahkan mereka dalam melaut dan mencari tauke serta anggota untuk bekerjasama dalam melaut, kemudian adanya jaringan yang membantu nelayan Etnis Tionghoa salah satunya dalam penjualan hasil tangkapan, dan yang terakhir adanya nilai dan norma yang mengatur nelayan Etnis Tionghoa dalam melaut.


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Modal Sosial Nelayan Etnis Tionghoa (Studi Pada : Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, Kabuapten Rokan Hilir, Riau)” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, do’a, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Basron dan Ibunda Nurhayati Hasibuan yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh cinta, kasih sayang dan kesabaran.

Dalam penulisan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan sekaligus dosen pembimbing penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, pemikiran dan


(4)

ide-idenya dalam membimbing penulis dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus dosen penguji penulis pada ujian proposal yang telah memberikan kritik, saran dan masukan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang memberikan segenap ilmu dan pengetahuannya semasa perkuliahan.

4. Bapak Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, M.si, selaku dosen penasehat akademik penulis yang telah banyak memberikan ilmu semasa perkuliahan, dan membantu penulis dalam pemilihan judul skripsi.

5. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, Kak Betty dan Kak Adek yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah membesarkan penulis dengan mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya yang tiada terhingga dan tiada batasnya kepada penulis, selalu memberikan doa’ dan nasehat, selalu mengingatkan, dan selalu mendidik penulis serta dukungan moril maupun materil kepada penulis.


(5)

7. Abangnda penulis satu-satunya Bayu Haryadi,ST yang telah memberikan semangat, dukungan, motivasi, dan wejangan kepada penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Kawan-kawan sosiologi Fisip USU angkatan 2010, kawan-kawan IMASI periode 2013-2014 yang sudah memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan skripsi ini dan ketika bersama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

9. Para informannelayan Etnis Tionghoa, translator penulis Meicia yang ada di Bagansiapiapi, serta pemerintahan Kabupaten Rokan Hilir yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi terhadap penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini.Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Medan, Januari 2015

NIM. 100901076 FENI SISCA OCTAVIANI


(6)

DAFTAR ISI

Hal. LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Defenisi Konsep ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pada Nelayan ... 13

2.2 Modal Sosial dalam Persfektif Sosiologi ... 15

2.3 Bentuk-Bentuk Modal Sosial ... 17

2.4 Modal Sosial Nelayan Tionghoa ... 22


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Lokasi Penelitian ... 27

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 27

3.3.1 Unit Analisis ... 27

3.3.2 Informan ... 27

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.5 Interpretasi Data ... 30

3.6 Jadwal Kegiatan ... 30

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 31

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian ... 32

4.1.1 Sejarah Kota Bagansiapiapi ... 32

4.1.2 Keadaan Geografis Wilayah ... 37

4.1.3 Perhubungan, Sarana dan Prasarana Transportasi ... 38

4.1.4 Kependudukan ... 40

4.1.5 Pendidikan ... 45

4.1.6 Perikanan ... 46

4.2 Profil Informan... 47

4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nelayan Etnis Tionghoa Bekerja Sebagai Nelayan ... 55


(8)

4.3.2 Tingkat Pendidikan yang Rendah ... 60

4.3.3 Kurang Fasihnya Berbahasa Indonesia ... 63

4.4 Modal Sosial Pada Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi ... 66

4.4.1 Kepercayaan (Trust) ... 67

4.4.1.1 Kepercayaan Terhadap Sesama Nelayan ... 68

4.4.1.2 Kepercayaan dengan Masyarakat yang Bukan Nelayan 75 4.4.1.3 Kepercayaan dengan Bangliau (TPI) ... 74

4.4.2 Jaringan ... 80

4.4.2.1 Jaringan dengan Sesama Nelayan ... 83

4.4.2.2 Jaringan dengan Masyarakat yang Bukan Nelayan . ... 87

4.4.2.3 Jaringan dengan Bangliau (TPI) ... 89

4.4.3 Nilai dan Norma yang Dimiliki Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ... 92

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

TABEL Hal.

4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Menurut

Jenis Kelamin Tahun 2013 ... 41 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Kelompok

Umur Tahun 2013 ... 42 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Agama

Tahun 2013 ... 44 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2013 ... 45 4.5 Banyaknya Sekolah di Lingkungan Dinas Pendidikan

Nasional Menurut Jenis Sekolah Tahun 2011/2012 ... 46 4.6 Produksi Perikanan Kecamatan Bangko Tahun 2012 (Ton) ... 47


(10)

ABSTRAK

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki beragam etnis dan kebudayaan. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim kerena Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari pada wilayah daratan. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Riau yang merupakan daerah penghasil ikan yang terbesar, dimana pada tahun 2011 jumlah produksi ikan tercatat sebanyak 77.789 ton. Dari jumlah tersebut sebesar 96% berasal dari usaha penangkapan ikan di perairan laut. Bagansiapiapi merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa, dimana sejak awal kedatangannya Etnis Tionghoa ini memilih bekerja sabagai nelayan karena hasil laut di perairan ini yang sangat banyak. Modal sosial merupakan suatu bentuk hubungan yang lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan antar seseorang dengan orang lain, maupun antar organisasi dengan organisasi yang lainnya. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk kepercayaan, jaringan, nilai dan norma. Berawal dari hubungan kekerabatan yaitu kesamaan marga, para nelayan Etnis Tionghoa mampu membuat sebuah jaringan kerja dalam melaut yang sangat berguna dalam mendapatkan hasil tangkapan, selain itu para nelayan juga dapat saling bertukar informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut serta dapat saling membangun jaringan dalam penjualan hasil tangkapan melaut.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memilih bekerja sebagai nelayan dikarenakan beberapa hal, yaitu karena merupakan pekerjaan warisan dari kakek dan orang tua mereka, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan Etnis Tionghoa, dan tidak fasihnya nelayan Etnis Tionghoa ini dalam berbahasa Indonesia yang menyulitkan mereka untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang bukan Etnis Tionghoa. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki modal sosial dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan. Bentuk modal sosial yang mereka miliki adalah kepercayaan (Trust) yang memudahkan mereka dalam melaut dan mencari tauke serta anggota untuk bekerjasama dalam melaut, kemudian adanya jaringan yang membantu nelayan Etnis Tionghoa salah satunya dalam penjualan hasil tangkapan, dan yang terakhir adanya nilai dan norma yang mengatur nelayan Etnis Tionghoa dalam melaut.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki beragam etnis dan kebudayaan. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak keempat didunia. Indonesia adalah negara dengan masyarakatnya yang majemuk. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim kerena Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari pada wilayah daratan.

Menurut Suparlan (2003) bahwa masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak hanya beranekaragam corak dan kebudayaan suku bangsanya secara horizontal. Mereka juga secara vertikal berjenjang dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya, banyak orang Indonesia tidak menyadari bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas. Hal itu terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan dalam berbagai interaksi, baik interaksi individual maupun kategorial. Dilain pihak, baik tingkat nasional seperti posisi Orang Cina (Tionghoa) yang minoritas dibandingkan dengan pribumi maupun pada tingkat masyarakat lokal seperti posisi Orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi Orang Melayu yang dominan di Riau.


(12)

Menurut Yuspardianto, Bukhari, dan Helpi (2003) Provinsi Riau adalah salah satu daerah perikanan di Indonesia yang terdiri dari daratan dan kepulauan yang memiliki 3.214 pulau dengan luas 329.867,61 Km2. Dari luas tersebut hanya 94.561,61 Km2 (28,67%) terdapat daratan selebihnya 235.206 Km2 (71,33%) merupakan kawasan lautan. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Riau yang merupakan daerah penghasil ikan yang terbesar, dimana pada tahun 2011 jumlah produksi ikan tercatat sebanyak 77.789 ton. Dari jumlah tersebut sebesar 96% berasal dari usaha penangkapan ikan di perairan laut. Besarnya produksi ikan diperairan laut ini erat kaitannya dengan letak geografis dimana wilayah Kabupaten Rokan Hilir terletak di tepi selat malaka dan selat-selat lainnya dengan kondisi perairan yang relatif subur.

Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Rokan Hilir mencapai 595.695 jiwa. Bagansiapiapi merupakan salah satu daerah yang ada di Indonesia, tepatnya berada di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Di kota ini, penduduk aslinya ialah Suku Melayu namun mayoritas penduduknya adalah Orang Cina atau Etnis Tionghoa. Masuknya Etnis Tionghoa di kota ini bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi. Sekelompok orang Tionghoa dari Provinsi Fujian-Cina, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu patungnya ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan hingga akhirnya mereka melihat ada cahaya seperti api yang rupanya adalah cahaya dari kunang-kunang yang ada di hutan bakau di sekitar pantai bagan. Mereka yang


(13)

merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-famili dari Negeri Tirai bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak 28 Januari 2014 19.10 Wib).

Masih terkait sumber di atas, kedatangan para pendatang Tionghoa yang memulai kehidupan bisnis kelautan di Bagansiapiapi dan kemudian berkembang hingga mendirikan pabrik karet alam, tidaklah heran bila di kota yang kecil ini berkembang sebuah komunitas Tionghoa yang budayanya begitu kuat. Kekuatan budaya inilah yang saat ini menjadikan Kota Bagansiapiapi semakin unik di Indonesia, sehingga beberapa pihak mulai menggarap sektor pariwisata Bagansiapiapi dari sisi budaya Tionghoa dan keindahan alam. Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi juga terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan lebih mengedepankan hubungan kerja (Sudarno, 2006 : xi).

Menurut M.Yafiz dan kawan-kawan (2009), disamping sebagai pusat pemerintahan, Bagansiapiapi juga merupakan pusat kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau. Beberapa kota kecil yang banyak didiami nelayan di Kabupaten Rokan Hilir seperti Panipahan, Pulah Halang dan Sinaboi merupakan penghasil ikan laut penting dan menjadi pemasok utama ke Bagansiapiapi sebelum diekspor dan memenuhi kebutuhan lokal Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Utara. Sebagaian besar hasil perikanan tersebut diekspor ke


(14)

Malaysia dan Singapura. Produk utama perikanan Rokan Hilir adalah ikan segar, ikan kering, ikan asin, udang terasi, dan lain-lain.

Menurut Randy Agustian dan Yoserizal (2013) pola hidup masyarakat Tionghoa dalam bidang ekonomi memang lebih menonjol dan memegang peranan penting. Untuk mempertahankan sikap hidup tradisi itu mereka berusaha agar dalam keadaan dimana saja, harus melebihi tingkat kehidupan kaum pribumi dimana mereka berdomisili. Oleh karena itu, walaupun pada waktu datang mengembara mereka tidak mempunyai apa-apa akan tetapi dengan kerja keras, tekun dan sabar serta hemat dalam pengeluaran, akhirnya mereka dapat menonjol dalam tingkat kehidupan ekonomi. Mata pencaharian penduduk perkotaan Bagansiapiapi sama halnya dengan penduduk perkotaan lain yang sangat beragam, dari berdagang, menjadi pegawai negeri, buruh, nelayan sampai tukang becak dan tukan ojek.

Berbicara mengenai nelayan, secara geografis masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009). Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2005), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laiut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggiran pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya


(15)

Adapun jenis usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dapat dikelompokkan menurut jenis alat tangkap yang digunakan yaitu : payang, bubu, pengumpul kerang jaring ingsang hanyut, jaring insang lingkar, hand line pukat udang dan pukat pantai. Pukat payang mempunyai bentuk terdiri dari sayap, badan dan kantong, dua buah sayap yang terletak di seberang kanan dan kiri badan payang, setiap sayap berukuran panjang 100-200 meter, bagian bdan jaring sepanjang 36-65 meter dan bagian kantong terletak di belakang bagian badan payang yang merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan ikan adalah sepanjang 10-20 meter. Jaring insang hanyut yang digunakan harus mempunyai spesifikasi yang terdiri dari lima faktor utama, yaitu daya apung jaring harus lebih besar dari pada daya tenggelamnya, warna jaring yang baik adalah warna hijau sampai biru muda, benang yang digunakan adalah nylon benang ganda atau tunggal. Besar mata jaring adalah 2,5-3,0 inci yang dipasang pada tali ris atas dengan keofisien pengikatan 30-40%

Menurut Yuspardianto (2003), bubu tiang termasuk alat tangkap yang stasis dan pengoperasiannya dipengaruhi oleh arus dengan mulut kantong menghadap arus surut. Menurut Dahril (1982), agar mulut jaring terbuka dengan baik dan kantong tidak terbelit-belit maka diperlukan adanya arus, semakin kuat arus, operasi penangkapan akan semakin baik. Selanjutnya dengan membukanya mulut jaring maka lebih banyak menampung massa air laut yang mengalir. Mulut jaring


(16)

berfungsi sebagai penyaring ikan yang terbawa arus, sehingga ikan tersebut berkumpul dalam kantong.

Sedangkan pukat udang adalah jaring berbentuk kantong dengan sasaran tangkapnya udang, jaring dilengkapi sepasang papan pembuka mulut jaring dan Turtle Exchuder Device/TED (alat pemisah/untuk meloloskan penyu), tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar, dengan cara menyapu dasar perairan dan hanya boleh ditarik oleh kapal. Hand Line adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terdiri dari bambu sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan mata pancing yang tidak terkait. Penggunaan mata pancing yang tidak berkait dimaksudkan agar ikan dapat mudah

lepas.

Di Baganiapiapi sendiri, mayoritas penduduknya adalah Etnis Tionghoa, maka tidak heran jika kantor-kantor pemerintahan hingga masyarakat yang bekerja sebagai nelayan juga terdapat orang-orang Etnis Tionghoa. Sebagaimana kita ketahui, Etnis Tionghoa selalu menjalin suatu keakraban dengan sesama mereka yang merupakan suatu konsep modal sosial berupa kepercayaan. Hal tersebut mereka lakukan tak lain untuk mempertahankan kelangsungan hidup serta menjaga kekerabatan mereka. Biasanya Etnis Tionghoa bekerja sebagai pedagang ataupun pengusaha yang mana kedudukan ekonomi mereka harusnya lebih tinggi daripada orang pribumi. Namun hal ini tidak berlaku di Bagansiapiaapi, karena disinilah kita dapat menemui Etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai nelayan, baik dalam


(17)

penangkapan ikan dan udang maupun pengelolaan ikan dan udang serta hasil laut lainnya. Masuknya nelayan Tionghoa ke Bagansiapiapi ini bermula dari sekelompok Etnis Tionghoa yang terdampar di pantai bagan, dimana kemudian mereka melihat potensi laut yang menjanjikan di daerah ini hingga akhirnya mereka menetap dan bekerja sebagai nelayan di Bagansiapiapi hingga sampai saat ini.

Modal sosial merupakan suatu bentuk hubungan yang lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan antar seseorang dengan orang lain maupun antar organisasi dengan organisasi yang lainnya. Nilai-nilai tersebut merupakan suatu modal dalam membentuk masyarakat yang kuat dan berkepribadian, dimana saat ini sangat penting karena ketika menghadapi suatu masalah akan cepat dalam proses penyelesaiannya tanpa merugikan orang lain. Menurut Putra Agus Yogi Pradnyana, Putnam (dalam Sutoro Eko,2003) mengartikan modal sosial sebagai perekat sosial bagi setiap individu dalam bentuk norma, kepercayaan, dan jaringan kerja sehingga didalamnya akan terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mendapatkan tujuan bersama. Konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk jaringan, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai saling berkaitan satu dengan lainnya.

Dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan, secara tidak langsung nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk kepercayaan, jaringan, nilai dan norma. Ketiga elemen atau unsur-unsur pembentuk modal sosial tersebut sangat penting dan saling berhubungan satu sama lainnya dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan. Berawal dari


(18)

hubungan kekerabatan yaitu kesamaan marga, para nelayan Etnis Tionghoa mampu membuat sebuah jaringan kerja dalam melaut yang sangat berguna dalam mendapatkan hasil tangkapan, selain itu para nelayan juga dapat saling bertukar informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut serta dapat saling membangun jaringan dalam penjualan hasil tangkapan melaut.

Masyarakat Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi dikenal memiliki kepercayaan yang kuat kepada anggota keluarganya, orang lain yang sama etnisnya dengan mereka, bahkan orang lain yang berbeda etnis dengan mereka. Hal ini dapat dilihat dari saling kerjasama mereka pada saat melaut, membuat jaring serta dalam pengelolaan hasil tangkapan ikan dan udang. Hal ini tentunya menjadi suatu hal yang berbeda dari biasanya, dimana suatu kota terdapat sekelompok Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan. Kepercayaan, jaringan sosial, nilai dan norma yang dimiliki Etnis Tionghoa ini menjadi salah satu alasan mereka tetap bekerja sebagai nelayan walaupun kini Bagansiapiapi tidak lagi menjadi daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Dengan menjalankan konsep modal sosial yang ada dalam bekerja, diharapkan para nelayan Tionghoa ini dapat terus mempertahankan dan menghidupi keluarganya.

Untuk diketahui, Bagansiapiapi pernah menjadi wilayah degan penghasil ikan terbanyak di Indonesia bahkan di dunia. Namun menurut salah satu portal berita online, saat ini Kabupaten Banyuwangi yang merupakan penghasil ikan terbesar nomor dua di Indonesia sekarang sudah mengambil alih posisi Bagansiapiapi dalam produksi perikanan. Artinya, Kabupaten Banyuwangi kini menjadi daerah penghasil


(19)

ikan terbesar di Indonesi

1.2Perumusan Masalah

Rumusan masalah adalah suatu rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengeksplorasii dan atau memotret situasi sosial yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam (Sugiyono, 2009 : 209).

Dari uraian latar belakang di atas adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Etnis Tionghoamemilih bekerja sebagai nelayan?

2. Bagaimana pemanfaatan modal sosial nelayan Tionghoa dalam mempertahankan kehidupan sosial ekonominya?

1.3Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Etnis Tionghoa bekerja sebagai nelayan.

2. Untuk mengetahui pemanfaatan modal sosial nelayan Tionghoa dalam mempertahankan kehidupan sosial dan ekonomi.

1.4Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan dari penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :


(20)

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ni diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu media informasi dan bahan rujukan bagi penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini atau bidang sosiologi ekonomi, dan bagi peneliti serta semua pihak yang berkaitan dengan kajian modal sosial pada Etnis Tionghoa.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintahan dan masyarakat setempat dalam menjawab semua fenomena yang terjadi dalam masyarakat serta dapat digunakan sebagai bahan masukan dan rujukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan untuk terus mempertahankan modal sosial yang dimiliki oleh nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi.

1.5 Defenisi Konsep

Defenisi konsep merupakan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian harus didefinisikan dengan jelas sehingga dapat dipahami apa yang ingin diteliti. Konsep-konsep tersebut perlu didefenisiskan dengan jelas sesuai dengan konteks penelitian karena konsep-konsep dalam ilmu sosial masih relatif abstrak dan seringkali memiliki makna yang berbeda. Defenisi konsep dibuat oleh peneliti dengan memacu kepada beberapa konsep yang diperoleh dari bahan bacaan (literature), meskipun tidak harus sama dengan yang diperoleh dari literature (Damanik, 2009:101).


(21)

a. Modal sosial

Modal sosial merupakan suatu cara atau konsep seseorang dalam menjalin hubungan dan menumbuhkan rasa saling percaya dengan sesamanya yang memiliki tujuan dan nilai hidup yang sama sehingga dapat membentuk suatu jaringan sosial. Putnam (dalam Herman, 2006 : 433) mengatakan bahwasanya modal sosial adalah suatu keuatan yang mewujudkan komunitas humanistik dan demokratis untuk peduli dengan kepentingan bersama, hubungan horizontal diantara individu secara face to face yang didorong oleh trust. Modal sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan ataupun cara yang dimiliki oleh nelayan Tionghoa untuk dapat saling saling percaya, berlaku jujur dalam melaut ataupun menjual hasil dari melaut, egaliter, memiliki rasa belas kasihan kepada sesama nelayan Tionghoa dan nelayan pribumi yang pada akhirnya dapat membangun ataupun membentuk sebuah jaringan dengan nelayan Tionghoa maupun nelayan lainnya yang bukan etnis Tionghoa.

b. Etnis Tionghoa

Tionghoa adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut Orang Cina karena, kebanyakan Orang Tionghoa merasa terhina dan tersindir jika dipanggil dengan sebutan Cina. Dalam konsep ini, Etnis Tionghoa adalah sekelompok orang yang berasal dari Cina yang merantau dan akhirnya terdampar di Pantai Bagan. Karena mereka merasa telah menemukan tempat yang nyaman untuk melangsungkan hidupnya maka mereka mulai mengajak sanak keluarga untuk


(22)

merantau ke daerah yang sekarang ini disebut Kota Bagan Siapiapi, oleh sebab itulah sebagian besar penduduk di Bagansiapiapi ini adalah Orang Tionghoa.

c. Nelayan Tionghoa

Nelayan Tionghoa adalah sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari Cina yang kemudian merantau dan menetap di daerah perairan yang pekerjaan sehari-harinya adalah menangkap ikan dan biota laut lainnya. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini adalah perairan tawar, payau dan laut.

d. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi merupakan suatu status ataupun kedudukan seseorang dalam masyarakat yang dapat dilihat dari keadaan ekonomi dan penghasilan yang dimiliki nelayan Tionghoa, tingkat pendidikan, hubungan sosialnya dengan orang lain serta solidaritas yang dimiliki oleh nelayan Tionghoa.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Pada Nelayan

Nelayan merupakan sebutan untuk sekelompok orang yang tinggal di daerah pesisir atau perairan yang bekerja menangkap dan mengolah hasil laut guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Persebaran nelayan di Indonesia sebenarnya sangat luas, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan sebuah negara maritim.Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia memang sudah identik sebagai pelaut atau nelayan, apalagi orang Indonesia percaya dengan istilah “nenek moyangku adalah seorang pelaut”. Tentunya nenek moyang pelaut ini juga dikenal sebagai orang yang gemar melaut untuk mencari ikan, berdagang, dan berinteraksi dengan orang-orang di negara lain. Oleh sebab itu tentunya tidak heran jika Indoensia memiliki banyak nelayan dari berbagai suku dan etnis yang tersebar di seluruh Indonesia.

Potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya, melihat potensi yang ada seharusnya masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang makmur dan sejahtera, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka masih jauh dari kata sejahtera. Sumber daya alam tersebut belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan. Masalah yang paling mendasar adalah mengapa masyarakat nelayan atau msyarakat


(24)

pesisir miskin atau setidaknya dianggap miskin, sementara sumber daya laut melimpah. Melihat besarnya sumber daya laut yang tersedia, sulit dimengerti bahwa kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat nelayan merupakan kemiskinan alamiah.

Di Bagansiapiapi setiap tahunnya pada tanggal 15 dan 16 bulan kelima penanggalan cina setelah imlek masyarakat etnis Tionghoa melakukan ritual bakar tongkang, yaitu suatu tradisi budaya membakar kapal (tongkang) yang merupakan ucapan syukur masyarakat etnis Tionghoa kepada dewa atas kemakmuran, keselamatan dan rejeki yang mereka dapatkan, sekaligus untuk melihat rejeki di tahun berikutnya. Ritual bakar tongkat ini sudah berlangsung cukup lama dan kini juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata Bagansiapiapi. Hal ini tentunya membawa dampak baik kepada nelayan di Bagansiapiapi, karena pada saat ritual bakar tongkang ini banyak wisatawan yang datang ke Bagansiapiapi, baik itu etnis Tionghoa maupun non Tionghoa yang berasal dari dalam ataupun luar negeri. Wisatawan-wisatawan ini memberikan keuntungan pada nelayan karene pastinya mereka akan memborong makannan-makanan laut hasil tangkapan para nelayan yang sudah terkenal kelezatannya.

Pemerintahan Bagansiapiapi juga telah melakukan berbagai upaya pembangunan pada masyarakat nelayan, salah satunya adalah membuat kampung nelayan di tepian sungai dengan membangun 50 rumah pada tahap pertama yang nantinya rumah ini kana diberikan kepada nelayan secara gratis agar setiap sehabis melaut nelayan dapa menyandarkan perahunya di tepi sungai yang tidak jauh dari rumah. Hal ini tentunya juga dapat menguatkan jaringan sosial yang ada pada


(25)

nelayan serta menumbuhkan rasa percaya pada pemerintah yang akan terus membantu nelayan. Salah satu alasan dibangunnya kampung nelayan ini adalah kerena sebagaimana diketahui kehidupan ekonomi nelayan tergolong rendah yang membuat banyak nelayan memiliki rumah yang kurang layak untuk ditempati dan juga tempat tinggal mereka tidak terfokus di satu tempat. Selain itu juga saat ini pemerintah sedang merencanakan untuk membangun sekolah-sekolah bagi masyarakat pinggiran dan perbatasan daerah untuk meningkatkan sumber daya yang ada serta menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting bagi kemajuan suatu daerah.

2.2 Modal Sosial dalam Persfektif Sosiologi

Menurut Loury (dalam Coleman 2008 : 368) modal sosial adalah kumpulan sumber yang melekat dalam relasi keluarga dan dalam organisaisi sosial komunitas dan yang bermanfaat untuk perkembangan kognitif dan sosial anak-anak atau pemuda. Sumber-sumber ini berbeda untuk orang yang berbeda dan dapat memberikan keuntungan penting untuk perkembangan modal manusia, anak-anak dan orang dewasa. Loury memasukkan konsep modal sosial ke dalam bidang ekonomi untuk memperkenalkan sumber-sumber sosial yang bermanfaat untuk perkembangan modal manusia.

Modal sosial bukan entitas tunggal tapi bermacam-macam entitas berbeda yang memiliki dua karakteristik umum : Mereka semua terdiri atas beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memudahkan beberapa tindakan individu-individu yang ada dalam struktur tersebut. Seperti bentuk modal sosial lainnya, modal sosial


(26)

berdifat produktif, yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannya. Seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak sepenuhnya dapat ditukar, tetapi dapat ditukar terkait dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Bentuk modal sosial tertentu yang bernilai untuk memudahkan beberapa tindakan bisa jadi tidak berguna atau merugikan orang lain. Tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat pada struktur relasi diantara orang dan di kalangan orang. Letak modal sosial bukan pada individu ataupun alat produksi fisik.

Defenisi modal secara sederhana menurut Fukuyama (2001 : 1) adalah “an instantiated informal norm that promotes co-operation between two or more individuals. By this defenition, trust, networks, civil society, and the like, which have been associated with sosial capital, are all epiphenominal, arising as a result of social capital but not constituting social capital it self”. Modal sosial memiliki peran yang sangat penting pada beberapa kelompok masyarakat dalam berbagai aktivitas. Namun Fukuyama juga mengatakan bahwa tidak semua norma, nilai dan budaya secara bersama-sama dapat saling melengkapi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sama seperti halnya modal fisik dan modal finansial, modal sosial juga bisa menimbulkan dampak negatif. Fukuyama (2001) mengatakan bahwa modal sosial dibangun oleh kepercayaan-kepercayaan antar individu. Rasa saling percaya dibentuk dalam waktu yang tidak sebentar serta memerlukan proses-proses sosial yang berli


(27)

sosial-sebagai-modal-dasar-dalam-pemberdayaan-masyarakat/, diakses pada tanggal 29 Januari 2014 Pukul 17.20 Wib).

2.3 Bentuk-Bentuk Modal Sosial

Fungsi yang diidentifikasi dengan konsep “modal sosial” adalah nilai aspek-aspek struktur sosial bagi para pelaku, sebagai sumber yang dapat digunakan oleh para pelaku untuk merealisasikan kepentingannya. Dengan mengidentifikasi fungsi beberapa aspek struktur sosial ini, konsep modal sosial membantu menjelaskan hasil-hasil berbeda di tingkat pelaku individual dan melakukan transisi mikro ke makro tanpa memperluas detail-detail struktur sosial yang melangsungkan transisi tersebut.

Bentuk-bentuk modal sosial menurut Coleman (2008 : 375) adalah :

1. Kewajiban dan ekspektasi

Struktur kewajiban (obligations), ekspektasi dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk modal sosial tergantung dari dua elemen kunci : kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Dari perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan saling kepecayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi sebaliknya.

2. Potensi Informasi

Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan. Tetapi harus disadari bahwa informai itu mahal, tidak gratis. Pada level yang paling minimum dimana ini


(28)

perlu mendapatkan perhatian, informsi selalu terbatas. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi demikian pula sebaliknya.

3. Norma dan Sanksi Efektif

Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh prestasi (ashievement) tentu saja bisa digolongkan sebagi bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda, mempunyai potensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.

Berdasarkan fakta dilapangan, dapat kita kenali beberapa modal sosial. Tiga bentuk modal sosial diantaranya yang paling dominan, yaitu :

a. Jaringan

Jaringan menurut M.Z.Lawang (dalam Damsar, 2009 : 157) merupakan terjemahan dari network, yang berasal dari dua suku kata yaitu net dan work. Net diterjemahkan kedalam bahasa sebagai jaring, yaitu tenunan sepereti jala, terdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling berhubungan antar satu sama lain. Sedangkan kata work bermakna sebagai kerja. Gabungan kata net dan work sehingga menjadi network yang penekannya terletak pada kerja bukan pada jaring.

Sedangkan sosial dimengerti sebagai sesuatu yang dikaitkan atau dihubungkan dengan orang lain atau menunjukkan pada makna subjektif yang mempertimbangkan perilaku atau tindakan orang lain yang berkaitan dengan pemaknaan tersebut. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa studi jaringan


(29)

sosial melihat hubungan antara individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan.

Suatu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (wellman dan Wortley, 1990), tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan (Baker,1990; Clawson, Neustadlt, dan Bearden, 1968; Mizruchi dan Koenig, 1986) dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi ditingkat struktur sosial skala luas maupun ditingkat yang lebih mikroskopik (Ritzer, 2008 : 383).

b. Norma

Norma dapat didefenisikan sebagai patokan berperilaku dalam kelompok atau masyarakat tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya akan dinilai oleh orang lain, sekaligus merupakan kriteria bagi pihak lain untuk mendukung atau menolak suatu perilaku.

Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok msyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya norma disusun agar hubungan diantara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. (Himpunan Materi Kuliah Sosiologi, 2010 : 49).


(30)

Dalam terminologi sosiologi, konsep kepercayaan dikenal dengan trust. Menurut Giddens (dalam Damsar : 185) kepercayaan pada dasarnya terikat, bukan kepada resiko, namun kepada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu mengandung konotasi keyakinan ditengah-tengah berbagai akibat yang serba mungkin, apakah dia berhubungan dengan tindakan individu atau dengan beroperasinya sistem.

Defenisi kepercayaan yang tidak dikaitkan dengan risiko, juga dikemukakan oleh Zucker (1985) (dalam Damsar : 186). Zucker memberi batasan kepercayaan sebagai “seperangkat haapan yang dimiliki bersama – sama oleh semua yang berada dalam pertukaran”. Defenisi Zucker tersebut dekat dengan batasan yang diberikan oleh Lawang. Menurut Lawang (2004 : 36) (dalam Damsar : 186) kepercayaan merupakan “hubungan antara dua belah pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial”. Selanjutnya Lawang (2004) (dalam Damsar : 187) menyimpulkan inti konsep kepercayan sebagai berikut : (i) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertia ini diwakili orang. (ii) Harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak. (iii) interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan itu berwujud.

Tradisi juga dapat menjadi lingkungan bagi perkembangan kepercayaan masyarakat. Tradisi merupakan sarana untuk mengaitkan masa kini dengan masa depan, berorientasi kepada masa lalu dan waktu yang dapat berulang. Tradisi adalah


(31)

rutinitas. Namun dia adalah rutinitas yang penuh makna secara intrinsik ketimbang hanya sekedar perilaku kosong yang hanya berorientasi kepada kebiasaan semata.

Dalam usaha bisnis di kalangan Cina, kepercayaaan (Bahasa Cina : Xinyong) diletakkan atas keempat dasar, yaitu hubungan kekerabatan, komunitas masyarakat lokal, kosmologi religius, dan tradisi. Hubungan kekeluargaan dan hubungan sosial. Hubungan kekeluargaan memberikan basis kepercayaan antar individu dalam melakukan hubungan bisnis. Kemudian basis kepercayaan keluarga tersebut diperluas menjadi hubungan kekerabatan fiktif, yaitu memasukkan orang luar menjadi anggota keluarga kerabat karena kepercayaan mereka telah teruji terhadap keluarga mereka. Kerabat fiktif tersebut diberi gelar atau panggilan kekerabatan paman, abang, adik atau kakak. Selanjutnya, basis kepercayaan keluarga bisa juga diperluas dengan ikatan semarga. Para migran orang Cina awal memakai nama maraga atau klan yang sama untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu leluhur yang sama. Melalui perasaan kesamaan leluhur, mereka membangun kepercayaan agar bisa saling membantu. Selain itu, kepercayaan juga dapat diperluas dengan ikatan alumni sekolah atau perguruan tinggi.

Kosmologis religius masyarakat Cina dalam bentuk konfusionisme menguatkan basis kepercayaan yang telah dimiliki sebelumnya seperti hubungan kekerabatan dan komunitas masyarakat lokal. Dalam konteks ini, keluarga Cina lebih kohesif dibandingkan dengan keluarga dari etnis lainnya. Basis kepercayaan yang seperti inilah yang dimiliki oleh masyarakat Cina perantauan dalam menjalin jaringan diantara sesama.


(32)

Kepercayaan yang didasarkan berbagai hubungan tersebut, dikenal dalam masyarakat Cina sebagai Guanxi, yaitu hubungan yang dipersonalisasikan dengan orang-orang yang dapat dipercaya dan oleh dia orang lain akan dipercaya melalui pengkombinasian elemen – elemen instrumentalisme dan resiprositas, merupakan saluran untuk memperoleh kredit dan kemudahan lain dalam berbisnis. Sedangkan di luar dari hubungan tersebut, kepercayaan dibangun atas hubungan sosial yang dibina melalui interaksi sosial (Damsar, 2011 : 186).

2.4 Modal Sosial Nelayan Tionghoa

Modal sosial merupakan isu yang menarik yan banyak dibicarakan dan dikaji belakangan ini. Menurut Syahputra (2007) modal sosial barulah bernilai ekonomis jika dapat membanttu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi.

Lebih jauh dikemukakan bahwa modal sosial yang nantinya akan membentuk suatu jaringan sosial dan kepercayaan yang bernilai ekonomis, antara lain karena memberikan manfaat untuk memperoleh peluang uasaha. Selain itu juga bermanfaat dalam memperoleh bantuan ataupun pinjaman yang bersifat informal.

Jika dikaitkan dengan konteks penelitian yang dilakukan terhadap nelayan Etnis Tionghoa dirasakan sangat relevan, karena manfaat jaringan dan kepercayaan yang dibentuk melalui pemanfaatan modal sosial diharapkan bersifat ekonomis yakni bisa membantu dalam penjualan hasil tangkapan dan saling bekerja sama dalam melaut.


(33)

Menurut Gidden (Damsar, 2009 : 187) dalam masyarakat pramodern ditemukan empat lingkungan yang menumbuh kembangkan kepercayaan dalam sebuah niali yaitu :

1. Hubungan kekerabatan yang menyediakan suatu mata rantai hubungan sosial yang dapat diandalkan yang secara prinsip dan umum dilakukan, membentuk media pengorganisasian relasi kepercayaan, seperti sistem kekerabatan matrilineal yang bermula dari hubungan semade, seperut, senenk, seninik, sekaum dan sesuku telah menjadi perekat hubungan sesama satu kerabat dan sebagai jembatan yang menghubungi kelompk, terutama kelompok luar. Hubungan kekerabatan Minangkabau yang menjadi perekat dan jembatan relasional tersebut pada gilirannya, menerbitkan bibit kepercayaan, baik antara sesama kerabat maupun dengan kelompok luar.

2. Komunitas masyarakat lokal memberikan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya kepercayaan di masyarakat pra modern. Mmenurut Gidden komunitas lokal tidak dikaitkan dengan romantisme budaya, tetapi lebih kepada arti penting dari relasi lokal yang diatur dalam konteks tempat, dimana tempat belum ditransformasikan oleh relasi ruang waktu yang berjarak. Oleh karenanya, komunitas lokal sebagai tempat yang menyediakan suatu milieu yang bersahabat. Kembali pada contoh masyarakat pada Minangkabau selain jaringan kekerabatan matrilineal juga jaringan komunitas lokal yang dapat konteks bagi tumbuh kembang kepercayaan seperti jaringan sedusun, sekampung, sejorong senagari, selunak dan Minangkabau merupakan jatingan komunikasi masyarakat lokal yang ditarik dari komunitas terkecil sampai terbesar pada setting masyarakat Minangkabau.


(34)

3. Kosmologi religius merupakan bentuk kepercayaan dan praktik ritual yang meneydiakan interpretasi providential atas kehidupan dan alam. Kosmologi religius menyediakan interpretasi moral dan praktik bagi keidupan sosial dan kehidupan pribadi dan bagi dunia alam. Yang menginterpretasikan lingkungan yang aman bagi pemeluknya.

4. Tradisi, juga dapat memberikan lingkungan bagi perkembangan kepercayaan masyarakat. Tradisi merupakan sarana untuk mengaitkan masa kini dengan masa depan, berorientasi kepada masa lalu dan waktu dapat berulang. Tradisi adalah utinitas, namun dia adalah rutinitas yang penuh makna secra intrinsik, ketimbang hanya sekedar perilaku kosongyang hanya berorientasi kepada kebiasaan semata. Makna aktivitas rutin berada di dalam penghormatan atau pemujaan yang melekat dalam tardisi dan dalam kaitan antara tradisi dan ritual.

Pada Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, terdapat beberapa kepercayaan sebagai nilai dan norma yang membuat nelayan Etnis Tionghoatidak akan melaut pada hari-hari tertentu. Salah satu contohnya adalah pada saat adanyaa acara ritual bakar tongkang, yang mana pada ritual ini mereka membakar kapal yang terbuat dari kertas dan melihat kemana arah jatuhnya kapal tersebut dan kemudian menjadikan hal tersebut sebagai panduan ataupun petunjuk untuk mereka melaut ataupun melakukan pekerjaan lainnya.

2.5 Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Tionghoa

Indonesia merupakan negara maritim yang tentunya memiliki hasil laut yang melimpah namun, masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pesiair pantai atau


(35)

yang lebih dikenal dengan masyarakat pesisir sangat dekat dengan kemiskinan. Kemiskinan dan keterbelakangan pada masyarakat nelayan seperti telah menjadi suatu stigma di masyarakat Indonesia. Hal ini hampir terjadi pada seluruh nelayan di Indonesia tak terkecualu nelayan Tionghoa yang berada di Bagansiapiapi. Tak ada bedanya dengan nelayan pribumi lainnya, nelayan Tionghoa juga memiliki masalah dan kendala dalam perekonomiannya.

Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumber daya alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. Kehidupan sosial nelayan Tionghoa tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Bagansiapiapi maupun di Indonesia. Salah satu contohnya adalah rendahnya pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usha, kurangnya sarana penunjang dan lain-lain yang nengakibatkan pendapatan masyarakat nelayan menjadi tak menentu.

Saat ini, Bagansiapiapi tak lagi menjadi penghasil ikan dan hasil tangkapan laut lainnya terbesra di Indonesia karena posisi itu sudah diambil oleh Banyuwangi. Hal ini semakin menjadikan kehidupan ekonomi masyarakat nelayan dan nelayan Tionghoa semakin terdesak, apalagi ditambah dengan adanya beberapa nelayan dari Sumatera Utara dengan kelengkapan melaut yang lebih modern masuk ke wilayah perairan Riau untuk menangkap ikan, hal ini tentunya sangat merugikan nelayan pribumi dan nelayan Tionghoa yang hanya menggunakan alat penangkap ikan yang masih tradisional.


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan nilai-nilai secra holistic dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2006 : 6). Penelitian kualitatif digunakan untuk melihat secara utuh serta berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi, maka dengan metode kualitatif peneliti akan mendapatkan data dan informasi yang jelas, mendalam serta terperinci mengenai faktor apa yang menyebabkan Etnis Tionghoa menjadi nelayan serta bagaimana pemanfaatan modal sosial nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Sedangkan pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia, benda, atau peristiwa. Pada dasarnya, deskriptif kualitatif melibatkan proses


(37)

konseptualisasi dan menghasilkan pembentukan skema-skema klasifikasi (Ulber, 2009 : 27).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Adapun yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian di lokasi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagansiapiapi merupakan darah pesisir dengan hasil laut yang banyak dan pernah menjadi daerah penghasil ikan terbanyak di Indonesia.

2. Bagansiapiapi merupakan daerah yang mayoritasnya adalah Etnis Tionghoa dan disini pula terdapat sekelompok Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subyek penelitian atau unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007 : 76). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan yang bertempat tinggal di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam melakukan penelitian. Informasi penelitian adalah subyek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007 :76). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini


(38)

adalah masyarakat nelayan etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Riau dengan kriteria sebagai berikut :

1. Nelayan Etnis Tionghoa yang sudah bekerja sebagai nelayan selama minimal 1 tahun. Alasannya karena nelayan yang sudah bekerja lebih dari satu tahun telah menjadikan nelayan sebagai pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun jumlah informan yang diwawancari adalah delapan orang.

2. Nelayan Etnis Tionghoa dengan kriteria usia diatas 25 tahun. Alasannya karena pada usia ini, mereka sudah dewasa dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarga serta sudah mengerti cara bekerjasama dan menjalin hubungan saling percaya dengan orang lain ataupun nelayan lainnya.Adapun jumlah informan yang diwawancari adalah delapan orang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian, teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :

A. Teknik Pengumpulan Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari lapangan oleh peneliti. Adapun cara memperoleh data primer adalah :

1. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam. Wawancara terhadap informan yang sifatnya terbuka dan dalam konteks yang formal, hal ini dimaksudkan agar informan dapat menjawab dengan terbuka. Wawancara ditujukan untuk memperoleh data dan informan yang


(39)

jelas dan lengkap mengenai pemanfaatan modal sosial yang ada pada Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi.

Dalam wawancara mendalam ini peneliti ingin melohat dan mengetahui faktor apa yang menyebabkan beberapa Etnis Tionghoa memilih menjadi nelayan serta bagaimana pemanfaatan modal sosial yang mereka bangun untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka yang dilihat dari aspek ekonomi dan sosial budaya.

2. Observasi

Observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan tetapi, observasi atau pengamatan diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Irawan, 2004 : 69).

Dengan teknik informasi ini peneliti dapat melihat bagaimana keseharian nelayan Etnis Tionghoa dalam mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk melaut serta melihat kehidupan ekonomi, sosial danbudaya di kalangan nelayan Etnis Tionghoa dari adanya pemanfaatan modal sosial yang mereka miliki.

B. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data, jurnal, dan mengambil bahan dari situs-situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.


(40)

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data adalah analisis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam lalu menyaring data-data penting dengan pembuatan inti dari data yang diperoleh lalu disajikan kembali membentuk data yang sederhana. Data-data yang terkumpul dan telah disederanakan tadi dikembangkan dengan dukungan-dukungan konsep-konsep dalam kajian pustaka dan kemudian akan disajikan sebagai laporan dari penlitian tersebut.

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian

4 Seminar proposal Penelitian

5 Revisi Seminar Penelitian

6 Penelitian ke Lapangan

7 Pengumpulan dan Analisis Data

8 Penulisan Laporan Akhir

9 Sidang Meja Hijau


(41)

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman yang dimiliki peneliti. Selain itu terkait dengan kelemahan instrumen wawancara mendalam. Kendala lain adalah keterbatasan waktu saat wawancara dengan informan, hal ini disebabkan karena informan yang banyak pergi melaut behari-hari. Peneliti juga harus melakukan wawancara dengan menggunakan bantuan translator karena ada beberapa informan yang tidak lancar berbahasa Indonesia dan kesulitan dalam menerjemahkan kedalam bahasa Indonesia agar lebih ilmiah.


(42)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN

4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian 4.1.1 Sejarah Kota Bagansiapiapi

Bagansiapiapi merupakan Ibu Kota dari Kabupaten Rokan Hilir, Riau yang terletak di muar merupakan tempat yang strategis karena berdekatan deng merupakan lalu lintas perdagangan internasional. Selain sebagai Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga merupakan Ibu Kota terlepas dari sejarah Rokan Hilir.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi digabungkan ke dalam wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari da sebagai sebuah Kabupaten baru di tahun 1999 dengan ibukota sebagai ibu kota sementara.


(43)

Namun karena kondisi infrastruktur di sebuah desa di sebagai sebuah ibu kota Kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999

disahkan sebagai.

Kabupaten Rokan Hilir merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, sesuai dengan Undang-Undang nomor 53 tahun 1999. Wilayah Kabupaten Rokan Hilir terletak pada bagian pesisir timur Pulau Sumatera antara 1°14’ - 2°30’ LU dan 100°16’ - 101°21’ BT. Luas wilayah Kabupaten Rokan Hilir adalah 8.881,59 Km2, dimana Kecamatan Tanah Putih merupakan Kecamatan terluas yaitu 1.915,23 Km2 dan Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan dengan luas wilayah 198,39 Km2.

Kabupaten Rokan Hilir memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara : Provinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka


(44)

Sebelah Selatan : Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hulu Sebelah Timur : Kota Dumai

Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten Rokan Hilir terdiri dari lima belas Kecamatan, yaitu : Kubu, Bangko, Tanah Putih, Rimba Melintang, Bagan Sinembah, Pasir Limau Kapas, Sinaboi, Pujud, Tanah Putih Tanjung Melawan, Bangko Pusako, Simpang Kanan, Batu Hampar, Rantau Kopar, Pekaitan, dan Kubu Babussalam. Dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir terdapat 16 sungai yang dapat dilayari oleh kapal pompong, sampan dan perahu sampai jauh ke daerah hulu sungai. Diantara sungai-sungai tersebut yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam perekonomian penduduk adalah Sungai Rokan dengan panjang 350 km.

Penduduk Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2012 adalah 595,695 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000 – 2010 adalah sebesar 4,58% per tahun. Sedangkan sex rationya adalah 106,25 yang artinya dari setiap 100 penduduk perempuan rata- rata terdapat 107 penduduk laki-laki.

Sejarah Kota Bagansiapaipai sendiri bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian - Cina merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan


(45)

berpikiran dimana ada api disitulah ada daratan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan selat melaka.Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur Bagansiapiapi.

Ke-esokannya, mereka mendapatkan di sungai tersebut terdapat sangat banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah tersebut.Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-family dari Negeri Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yg terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut diekspor ke berbagai benua lain hingga kemudian menjadi sangat terkenal dan bahkan di-klaim sebagai penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.

Perdagangan di Selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan tersebut adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi, tapi ada juga hasil karet alam yang juga sangat terkenal. Dimasa perang dunia ke-1 dan


(46)

perang dunia ke-2, Bagansiapiapi disebut sebagai salah 1 daerah penghasil karet berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.

Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia ke-2 selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa Touke menutup pabrik karet tersebut. Dan kini banyak orang telah melupakan prestasi besar karet Bagansiapiapi yang dulu sangat terkenal di Asia.

Dari sisi kebudayaan, terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah berumur ratusan tahun. Ditempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan. Dewa Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng tersebut adalah bentuk utuh/asli saat leluhur Bagansiapiapi pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.Beberapa versi menyebutkan asal usul kata Bagansiapiapi. Ada yang menyebutnya karena oleh asal petunjuk api yang secara mistis diberikan oleh Dewa Kie Ong Ya saat para leluhur meminta petunjuk. Versi lain mengatakan : cahaya terang yang dilihat orang para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Dulu masih mudah menemukan kunang-kunang di kota Bagansiapiapi, namun kini agak sulit untuk melihat kunang-kunang di Bagansiapiapi.

Namun ada versi yang jarang dibicarakan orang yaitu : Bagan adalah istilah tempat/alat penangkapan ikan model kuno, dan kata "api" sendiri adalah nama


(47)

sejenis pohon di rawa-rawa yang biasanya disebut : pohon api-api. Dimana saat itu perairan Bagansiapiapi terdapat banyak sekali tempat/alat penangkapan ikan dan rawa-rawa yang tumbuh oleh pohon api-api.

4.1.2 Keadaan Geografis Wilayah

Selain menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga menjadi ibu kota dari Kecamatan Bangko. Secara geografis, Bagansiapiapi terletak di 2,1578° Lintang Utara (2° 9' 28.08" N) dan 100,8163° Bujur Timur (100° 48' 58.68" E).Secara administratif, Bagansiapiapi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sinaboi

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batu Hampar

• Sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Kapur (Kota Dumai)

• Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Malaka.

Bagansiapiapi atau Kecamatan Bangko memiliki luas wilayah 475.26 km2 dan memiliki 5 Kelurahan dan 10 Desa, yaitu :

Kelurahan : Bagan Kota, Bagan Hulu, Bagan Barat, Bagan Punak dan Bagan Timur.

Desa : Labuhan Tangga Besar, Labuhan Tangga Kecil, Bagan Jawa, Parit Aman, Labuhan Tangga Baru, Bagan Jawa Pesisir, Serusa, Labuhan Tangga Hilir, Bagan Punak Meranti dan Bagan Punak Pesisir.


(48)

Bagansiapiapi termasuk mm/tahun dan temperatur udaranya berkisar pada 24º-32 °C. biasanya terjadi pada bul

4.1.3 Perhubungan, Sarana dan Prasarana Transportasi

Bagansiapiapi dapat diakses dengan mudah dari berbagai kota dengan menggunakan beragam moda transportasi, baik darat maupun laut. Dari ibu kota +/- 350 km. Sementara dari ibu kota 10-12 jam perjalanan darat melalui dibutuhkan waktu tempuh 2-3 jam melalui jalan darat.

Pembangunan yang menjadi urat nadi jalan lintas Bagansiapiapi tonggak terbukanya akses jalan darat menuju Bagansiapiapi sekaligus membebaskan Bagansiapiapi dari keterisoliran pada masa lalu yang hanya bisa diakses melalui jalur laut. Bayangkan untuk mencapai Bagansiapiapi harus menumpang kapal ke (sekitar 12 jam). Begitu juga jika akan bepergian ke dulu selama satu malam juga k

jembatan kembar yang akan menghubungkan daerah pesisir Bagansiapiapi dengan pesisir


(49)

Kubudan tengahnya yait bagi Bagansiapiapi dan daerah sekitarnya karena akan memperpendek jarak tempuh ke berbagai daerah di bagian Utara Rokan Hilir, seperti waktu sekitar 10-12 jam, akan dapat dipersingkat menjadi kurang dari 10 jam.Dengan demikian, Jembatan Pedamaran diharapkan akan membuka isolasi sejumlah daerah di pesisir Barat Laut Rokan Hilir. Proyek ini akan menghubungkan kota Panipahan sampai ke Dumai melalui Bagansiapiapi.

Pembangunan Jalan Lintas Bagansiapiapi-Sinaboi sampai sekarang ini terus dibenahi dan ditingkatkan. Selain itu, jika rencana pembangunan jalan lintas Sinaboi-Dumai selesai dikerjakan, maka akan menjadi jalur alternatif Jalan Lintas Bagansiapiapi-Dumai. Jalan Lintas Sinaboi-Dumai nantinya bisa mempersingkat jarak tempuh, di mana dari Bagansiapiapi-Sinaboi hingga masuk ke Dumai hanya sekitar 78 km. Diharapkan pembangunan jalan lintas pesisir Timur Kabupaten Rokan Hilir-Kota Dumai mulai dari Bagansiapiapi-Sinaboi-Dumai akan mampu meningkatkan perekonomian, karena jalan lintas ini memiliki peranan yang cukup strategis yang menjadikan Dumai bisa diakses dari berbagai isi.

Sedangkan melalui jalur laut, rute yang dilayani dewasa ini adalah Bagansiapiapi-Panipahan dan Bagansiapiapi Bagansiapiapi tidak tersedia lagi sejak dibukanya akses jalan darat. Pelabuhan laut yang akan


(50)

digunakan untuk terminal kargo dan penumpang juga akan dibangun di pesisir Sungai Rokan di kawasan perkantoran Batu Enam Bagansiapiapi. Pembangunan pelabuhan laut ini diharapkan dapat merangsang masuknya investor ke Kabupaten Rokan Hilir untuk menanamkan modalnya di daerah yang kaya akan migas, ikan, hasil pertanian serta perkebunan setelah melihat tersedianya berbagai sarana dan prasarana di Kabupaten yang berjuluk "Negeri Seribu Kubah" ini.

4.1.4 Kependudukan

Penduduk merupakan subjek dan objek dalam pembangunan suatu daerah serta berperan penting dalam mengelola unsur-unsur alam yang tersedia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kependudukan, diketahui bahwa pada tahun 2013 Kecamatan Bangko memiliki jumlah penduduk sebanyak 94.823 jiwa yang terdiri dari penduduk berjenis kelamin laki-laki sejumlah 49.780 jiwa dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sejumlah 45.043. Dari segi etnisitas, dewasa ini penduduk kota Bagansiapiapi/Kecamatan Bangko sebagian besar merupakan s cukup signifikan adalah s


(51)

Tabel 4.1 JumlahPenduduk Kecamatan Bangko Menurut Jenis Kelamin

Sumber : Kantor Dinas Kependudukan Rohil, Tahun 2013 Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 49.780 52,50

Perempuan 45. 043 47,50


(52)

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2013

Umur Jumlah Persentase (%)

0-4 Tahun 5.225 Jiwa 5,51

5-9 Tahun 8.857 Jiwa 9,3

10-14 Tahun 9.107 Jiwa 9,6

15-19 Tahun 8.538 Jiwa 9,1

20-24 Tahun 9.212 Jiwa 9,71

25-29 Tahun 9.775 Jiwa 10,3

30-34 Tahun 9.760 Jiwa 10,3

35-39 Tahun 7.624 Jiwa 8,04

40-44 Tahun 5.998 Jiwa 6.32

45-49 Tahun 5.024 Jiwa 5,3

50-54 Tahun 4.648 Jiwa 4,9

55-59 Tahun 3.743 Jiwa 3,94

60-64 Tahun 2.831 Jiwa 2,98

65-69 Tahun 1.751 Jiwa 1,84

70-74 Tahun 1.234 Jiwa 1,3

 74 Tahun 1.457 Jiwa 1,53

Jumlah 94.823 Jiwa 100


(53)

Menurut agama yang dianut masyarakat Bagansiapiapi agama mayoritas yang terutama dipeluk oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau dan Bugis. Suku Tionghoa mayoritas memeluk agama Buddha dan ada beberapa yang memeluk agama Konghucu, sementara yang menganut agam Nias pada umumnya menganut agam

Tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Bagansiapiapi di antaranya adal Bagi umat Buddha terdapat Vihara Buddha Kirti, Vihara umat Katolik terdapa umat Kristen terdapat Gereja


(54)

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Agama Tahun 2013

Sumber : Kantor Dinas Kependudukan Rohil, Tahun 2013

Berdasarkan mata pencaharian, penduduk Kecamatan Bangko dapat dibagi menjadi beberapa kelompok seperti yang terlihat pada tabel 4.4 di bawah ini

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Sumber : Kantor Dinas Kependudukan Rohil, Tahun 2013

Agama Jumlah Penganut Persentase (%)

Islam 75.795 Jiwa 79,93

Kristen 2.230 Jiwa 2.35

Katolik 289 Jiwa 0,30

Hindu 25 Jiwa 0,02

Buddha 16.446 Jiwa 17,34

Konghucu 31 Jiwa 0,03

Jumlah 94.823 Jiwa 100

Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

PNS 2755 2,90

Nelayan 1567 1,65

Buruh Nelayan 583 0,61

TNI 39 0,04


(55)

4.1.5 Pendidikan

Berhasil atau tidaknya membangun suatu derah sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang dimilikinya. Semakin maju pendidikan akan meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki oleh daerah tersebut. Demikianlah pentingnya peranan pendidikan, maka sudah sewajarnyalah pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat memberikan perhatian yang besar pada bidang ini.

Tabel 4.5 Banyaknya Sekolah di Lingkungan Dinas Pendidikan Nasional Menurut Jenis Sekolah Tahun 2011/2012

No Jenis Sekolah Negeri Swasta Jumlah

1. Taman Kanak-Kanak

- 20 20

2. SD 29 11 40

3. SMP 5 11 16

4. SMA 5 9 14

Total 39 51 90

Sumber : Dinas Pendidikan Rohil, Tahun 2012

4.1.6 Perikanan

Produksi perikanan di Kabupaten Rohil sebagian berasal dari perikanan laut. Pada tahun 2012, produksi perikanan tercatat sebanyak 47.511,81 ton, dimana


(56)

sebanyak 46.781 ton atau 98,46% merupakan hasil perikanan laut dan perairan umum dan hanya 730,81 ton (1,54%) hasil dari perikanan budidaya. Bila dibandingkan dengan total produksi ikan pada tahun sebelumnya yang berjumlah 57.850 ton berarti produksi perikanan mengalami penurunan sebesar 17,87 ton. Sedangkan untuk Kecamatan bangko, produksi perikanannya tercatat sebanyak 7,486.55 ton yang merupakan total dari perikanan tangkap dan budidaya dan menempati posisi ketiga dengan jumlah hasil perikanan terbanyak di Rokan Hilir.

Tabel 4.6 Produksi Perikanan Kecamatan Bangko Tahun 2012 (Ton)

No Perikanan Tangkap Budi Daya Jumlah

1. Perikanan Laut

Perikanan Umum

Kolam Keramba

7.486,55

7.430 43 13,55 -

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Rohil, Tahun 2012

4.2 Profil Informan

1. Nama : Efandi (Hok-lua) Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 48 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan


(57)

Bapak Efandi adalah salah satu nelayan Etnis Tionghoa yang sudah bekerja menjadi nelayan selama lebih dari 30 tahun dimana, beliau telah menjadi nelayan sejak masih bujang (lajang). Bapak Efandi menjadi nelayan karena sewaktu kecil sering ikut orang tuanya melaut. Pak Efandi hanyalah tamatan Sekolah Dasar, setiap hari Pak Efandi pergi melaut bersama 3 orang rekannya menggunakan kapal miliknya. Pak Efandi pergi melaut 3 kali dalam seminggu dan menginap 2 malam di laut. Tak ada cara khusus untuk melihat cuaca baik atau buruk untuk pergi melaut, biasanya para nelayan hanya melihat dari tingginya air pasang dan kencangnya angin yang berhembus. Sedangkan untuk harga jual hasil tangkapan berbeda tiap jenisnya dan para nelayan biasa bertukar informasi mengenai harga jual yang didapat dari penampung hasil tangkapan. Kekompakan para nelayan ini juga dapat dilihat dari seringnya mereka membantu sesama nelayan Tionghoa apabila ada yang terkena musibah walaupun keadaan mereka juga tidak ataupun kurang baik.

Pak Efandi juga menjalin hubungan sosial yang baik dengan sesama nelayan Tionghoa maupun nelayan pribumi. Sedangkan untuk modalnya pergi kelaut Pak Efandi menggunakan uangnya sendiri yang ia tabung dari hasil melaut. Sedangkan untuk menjual hasil tangkapannya, Pak Efandi tidak pernah menjual ke tempat lain selain ke bangliau, terkecuali jika ada tetangganya yang memesan ikan ataupun udang. Pak Efandi juga menjalin hubungan yang baik dengan para tengkulak atau pemilik bangliau. Untuk peraturan dalam melaut Pak Efandi mengaku tidak ada peraturan yang terlalu mengikat, siapa saja boleh menangkap ikan, udang, kepiting dan biota laut lainnya di mana saja selagi itu masih dalam kawasan perairan Riau. Sedangkan dari pemerintah hanya ada larangan tidak boleh menangkap ikan atau


(58)

hewan laut yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu. Pak Efandi dan nelayan Etnis Tionghoa lainnya hanya tidak akan pergi melaut pada saat perayaan hari besar agamanya, seperti perayaan tahun baru cina yaitu imlek, beliau akan libur 3 hari, perayaan Cap Go Meh beliau libur 1 hari dan ritual bakar tongkang libur 1 hari.

2. Nama : Lamde

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 44 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

Bapak Lamde sudah lebih dari setengah umurnya melakoni pekerjaan sebagai nelayan. Pak Lamde juga memiliki usaha burung walet di rumahnya untuk menambah penghasilan. Tidak tamatnya beliau dari sekolah dasar menyebabkan sampai sekarang beliau susah untuk berkomunikasi dengan orang lain yang bukan etnis Tionghoa dikarenakan kurang pandai dan tidak lancar berbahasa Indonesia. Selain beliau, kerabat keluarganya yang juga menjadi nelayan Tionghoa ada 3 orang namun mereka tidak satu kapal dan terkadang berbeda waktu melautnya.

Pak Lamde menjual hasil tangkapannya melaut kepada bangliau yang nantinya hasil tangkapan yang beliau dan teman-temannya peroleh akan di sortir untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri seperti Malaysia dan Hongkong. Pak Lamde juga terkadang menerima pesanan ikan, udang ataupun kepiting dari tetangga dan temannya yang bukan nelayan walaupun jumlahnya tidak banyak.


(59)

Dalam melaut Pak Lamde mengaku tidak mengenal hari baik ataupun buruk, biasanya beliau akan libur lima hari saat Imlek, dan libur satu hari saat perayaan Cap Go Meh dan ritual bakar tongkang.

3. Nama : Joni (A Pom) Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 39 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : Tidak Sekolah

Pak Joni atau yang biasa disapa A Pom ini sudah dari kecil menjadi nelayan, Pak A Pom melaut tidak setiap hari, dalam sebulan beliau pergi melaut hanya dua kali seminggu. Penghasilan beliau dalam satu bulan tidak tetap, jika untung beliau bisa memperoleh gaji sebesar Rp 1.000.000 dan bila sedang kurang beruntung beliau hanya memperoleh gaji sebesar Rp 500.000. Pak A Pom pergi melaut bersama dengan temannya, 3 diantaranya beretnis Tionghoa sama seperti beliau dan satu lagi Orang Melayu. Selain Pak A Pom, ada beberapa orang dari kerabat keluarganya yang juga menjadi nelayan.

Biasanya hasil tangkapan yang diperoleh Pak A Pom dan rekan-rekannya di jual ke bangliau yang dekat dengan dermaga pelabuhan tempat kapal taukehnya biasa bersandar. Pak A Pom mengaku tidak ada peratutan khusus yang dibuat sesama nelayan dalam melaut. Sedangkan dari pemerintah, ada larangan yang menyatakan bahwa nelayan tidak boleh menangkap ikan lumba-lumba yang


(60)

merupakan hewan laut yang dilindungi. Pak A Pom akan libur melaut pada hari besar agamanya yaitu Imlek, Cap Go Meh dan ritual bakar tongkang.

4. Nama : Awi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 40 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

Pak Awi sudah 15 tahun ini menjadi nelayan yang mempunyai kapal sendiri dan memiliki 4 orang anak buah. Dalam sekali melaut saja Pak Awi mampu memperoleh penghasilan sebesar Rp 1.000.000 sampai dengan Rp 4.000.000. Pak Awi melaut dua minggu sekali ketika pasang besar, untuk mengetahui informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut Pak Awi hanya melihat ketika air pasang besar. Pak Awi akan menjual hasil tangkapannya bersama anak buahnya ke gudang ekspor atau bangliau.

Sesama nelayan baik nelayan Tionghoa maupun nelayan pribumi tidak pernah ada kesepakatan mengenai peraturan dalam melaut, sedangkan dari pemerintah ada larangan untuk tidak boleh menangkap ikan lumba-lumba dan penyu. Tapi apabila tertangkap dalam arti kata tidak sengaja menangkap ikan lumba-lumba dan keadaannya sudah mati biasanya para nelayan akan membawanya, jika tertangkap masih dalam keadaan hidup maka akan dilepaskan


(61)

kembali. Karena akan ada sangsi dari pemerintah jika ketahuan membawa pulang ikan lumba-lumba ataupun penyu yang jelas sudah dilarang.

5. Nama : A Hok

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 41 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : Tidak Sekolah

Pak A Hok adalah nelayan Tionghoa yang sudah bekerja selama 34 tahun, selain menjadi nelayan, Pak A Hok tidak mempunyai pekerjaan lain yang berarti nelayan merupakan pekerjaan utamanya. Menurut Pak A Hok, pendapatannya perhari yang Rp 150.000 sudah mencukupi kebutuhannya sehari-hari karena saat ini beliau hanya hidup sendiri. Pak A Hok pergi melaut pada pagi hari dan pulang pulang siang hari, kadang-kadang beliau juga diajak oleh taukehnya untuk melaut selama beberapa hari (menginap di laut). Untuk mengetahui informasi mengenai hal dilaut tidak ada cara yang pasti lihat saja dari matahari, cuaca dan angin, jika matahari cerah dan angin tidak terlalu kencang itu merupakan tanda yang bagus untuk melaut.

Tak hanya sesama nelayan saja Pak A Hok menjalin hubungan yang baik, dengan masyarakat yang bukan nelayan pun beliau dekat. Pak A Hok tak begitu paham dengan peraturan dalam melaut karena memang tak ada peraturan yang


(62)

dibuat sesama nelayan dalam hal melaut kecuali dari pemerintah, yaitu adanya larangan tidak boleh menangkap ikan lumba-lumba dan penyu.

6. Nama : Bumbing

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 38 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

Baru setahun belakang ini Pak Bumbing menjadi nelayan yang memiliki kapal sendiri dan anak buah, sebelumnya selama 19 tahun Pak Bumbing melaut ikut dengan orang lain. Setelah memiliki kapal sendiri beliau bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 1.000.000 perhari yang berarti dalam sekali melaut selama lima hari minimal Pak Bumbing bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 5.000.000.

Selain saling tolong menolong Pak Bumbing dan nelayan lainnya yang tidak harus beretnis Tionghoa juga saling tukar ataupun saling pinjam alat tangkap seperti jaring. Selain itu, Pak Bumbing ataupun nelayan lainnya juga sering saling meminjam modal apalabila ada yang kekurangan modal untuk melaut. Pak Bumbing biasa menjual hasil tangkapannya ke bangliau. Menurut pak Bumbing dalam melaut selama ini tidak pernah ada peraturan yang beliau buat dengan sesama nelayan lainnya baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi, namun kalau dari pemerintah memang ada peraturan, yaitu tidak boleh dengan sengaja menangkap


(63)

ikan lumba-lumba dan penyu. Untuk hari baik atau buruk dalam melaut Pak Bumbing tidak pernah mengenal hal tersebut karena setiap hari pasti memiliki rejekinya sendiri, palingan Pak Bumbing tidak akan pergi melaut selama 3 sampai 5 hari pada saat perayaan Imlek, dan 2 hari pada saat perayaan Cap Go Meh dan perayaan ritual bakar tongkang.

7. Nama : Anto (Cuanna) Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 36 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD) Pendidikan : Tidak Sekolah

Pak Anto, berikut sapaan akrabnya yang merupakan nelayan Tionghoa yang sudah bekerja selama 20 tahun. Menurut Pak Anto, pendapatannya perhari sebesar Rp 120.000 setidaknya sudah mencukupi kebutuhannya dengan 2 anak dan istrinya walaupun itu sangat pas-pasan. Pak Anto pergi melaut pada saat air naik pasang yaitu subuh hari dan pulang pada siang hari saat pasang juga, kadang-kadang beliau juga diajak oleh taukehnya untuk melaut selama beberapa hari (menginap di laut).

Untuk mengetahui informasi mengenai hal dilaut tidak ada cara yang khusus dan pasti menurut Pak Anto, cukup lihat saja dari matahari dan angin. Setiap harinya, Pak Anto menjual hasil tangkapannya ke bangliau yang menjadi langganan taukehnya. Menurut Pak Anto tak pernah ada peraturan khusus yang dibuat sesama


(64)

nelayan dalam melaut, hanya setau Pak Anto dari pemerintah memang melarang nelayan untuk menangkap ikan lumba-lumba dan penyu. Pak Anto melaut setiap hari tanpa perlu hari baik ataupun buruk, beliau hanya libur melaut selama 3-5 hari saat perayaan imlek, dan libur 2 hari pada perayaan Cap Go Meh dan ritual bakar tongkang.

8. Nama : Cingkiong Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 50 Tahun Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : Tidak Sekolah

Pak Cingkiong merupakan salah satu nelayan yang sudah menjadi nelayan selama 30 tahun dikarenakan tidak ada pilihan pekerjaan lain dan pak Cingkiong menjadikan nelayan ini sebagai pekerjaan utamanya. Untuk mengetahui cuaca baik atau buruk saat melaut Pak Cingkiong hanya melihat dari tingginya air laut, jika air laut tinggi (pasang) maka pergilah beliau melaut. Dalam sebulan Pak Cingkiong 3 kali melaut dan sekali melaut itu lamanya satu minggu. Dalam sekali melaut selama satu minggu Pak Cingkiong dapat memperoleh pendapatan sebesar Rp 4.000.000 sampai dengan Rp 6.000.000. Pak Cingkiong menjual hasil tangkapannya ke bangliau yang kemudian untuk dikirim keluar kota seperti Sumatera Utara dan diekspor keluar negeri seperti ke Malaysia.


(65)

Pak Cingkiong dan nelayan lainnya, baik itu nelayan Tionghoa ataupun bukan mereka tetap menjalin ikatan kekeluargaan dan saling tolong menolong apabila salah satu diantara mereka ada yang terkena musibah. Dalam melaut menurut Pak Cingkiong, tidak ada peraturan khusus yang disepakati oleh para nelayan, hanya ada peraturan dari pemerintah yaitu melarang tidak boleh menangkap ikan lumba-lumba dan penyu karena hewan tersebut dilindungi oleh negara dan ada hukum serta Undang-Undang yang mengaturnya. Pak Cingkiong akan libur dan tidak pergi melaut hanya pada saat perayaan besar agama yaitu Imlek mereka libur 3 hari, dan akan libur 1 hari saat Cap Go Meh dan perayaan ritual bakar tongkang.

4.3 Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Nelayan Etnis Tionghoa dalam Bekerja Sebagai Nelayan

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia memerlukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ada banyak alasan manusia dalam memilih pekerjaan, begitu pula dalam memilih memilih pekerjaan sebagai nelayan. Jarang kita temui Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan, namun tidak disalah satu kabupaten di Riau. Tepatnya di Kabaupaten Rokan Hilir, di Kota Bagansiapiapi atau yang dikenal juga dengan Kecamatan Bangko, di kota ini terdapat beberapa Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan.

Seperti yang dikatakan oleh Shanty (2008) dalam skripsinya bahwa orang-orang Cina yang pertama datang ke Bagansiapiapi adalah sejumlah bajak laut pada tahun 1875. Karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan, mereka memutuskan untuk menjadi nelayan dan membuka pemukinam Cina pertama di


(1)

Ganarsih, Rahmi. 2011. Peran Modal Sosial DalamPemberdayaan Perempuan Pada Sektor Informal (Studi Kasus Pada Pedagang Warung Nasi Di Pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok). Skripsi Program Studi Sosiologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Handayani, Niken. 2007. Modal Sosial Dan Keberlangsungan Usaha (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Keterkaitan Hubungan Modal Sosial Dengan Keberlangsungan Usaha Pengusaha Batik Di Kampung Kauman, Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta). Skripsi Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Nopianti, Heni dan Nia Elvina. Modal Sosial pada Komunitas Nelayan di Pulau Baai (Studi Pada Nelayan di Kelurahan Sumber Jaya Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu). Jurnal Program Studi Sosiologi Universitas Negeri

Bengkulu.

wib.

M.Yafiz, dkk. 2009. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan dalam Model Perbaikan Kesejahteraan Nelayan di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.

Jurnal Perikanan dan Kelautan.

Pradnyana, Putra Agus Yogi.Pemanfaatan konsep modal sosial dalam pengelolaanObyek wisata pantai kedungu, desa belalang KabupatenTabanan(studi kasus: obyek wisata pantai kedungu, desa belalang KabupatenTabanan). Jurnal Program Studi Administrasi Negara Universitas Udayana Bali.

Pratama, Ichsan. 2013. Modal Sosial Pedagang Kaki Lima Di Jalan Gambir Tanjung Pinang (Studi PKL Sayur-sayuran). Naskah Publikasi Program Studi Sosiologi Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Randy Agustian dan Yoserizal. 2013. Etnosentrisme komunitas Tionghoa di Kota Bagan Siapi-api Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir

09.10 wib.

Saragih, Viana Rofinita. 2011. Analisis Penggunaan Peluang Modal Sosial dalam Pemeliharaan Prasarana Jalan. [Skripsi] Departemen Sosiologi, Universitas Sumatera Utara.

Setiawaty, Shanty. 2008. Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936. Tesis Program Studi Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.


(2)

HA.pdf&ei=UM21VNLsIcmGuASRnoCYBg&usg=AFQjCNHQ3bbkeTfgh 3xsfLEcKMMPW2LJyg&sig2=kYh8HpgCDJSjsn4LEIQJow&bvm=bv.836 40239,d.c2E, diakses pada tanggal 10 September 2014 Pukul 10:52 Wib). Suparlan, parsudi. 2003. Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dlam Masyarakat

Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi.

diakses 15 April 2014 / 19.15 wib).

Syahputra, Doni. 2007. Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Penjualan Kendaraan Bermotr (Studi Kasus Terhadap Wiraniaga di Auto 2000, Jl. Sisingamangaraja No. 8 Medan ). [Skripsi]Medan : Departemen Sosiologi, Universitas Sumatera Utara.

Syukur, Herman, dkk. 2006. Modal Sosial dan Pengembangan Civil Society.

Yuspardianto, Bukhari dan Helpi Syaputra. 2003. Pengaruh Waktu Operasional Terhadap hasil Tangkapan Bubu Tiang Dasar di Perairan bagan Siapiapi

Kabupaten Rokan Hilir, Provisnsi Riau.

Sumber Lainnya :

19.10 wib.

http://fieyanh.wordpress.com/minapolitan/klasifikasi-jenis-alat-tangkap-ikan-besar-di-indonesia diakses 21 juni 2014 / 22.00 wib.

diakses pada 23 Juni 2014 / 21.00 wib

htttp://weru-paciran.blogspot.com/2010/01/pwnangkapan-ikan-laut-dan-dan-jenis-alat.html diakses pada tanggal 23 Juni 2014 / 21.00 wib.

07.00 wib.


(3)

LAMPIRAN

Gambar 1.

Bangliau atau yang biasa disebut dengan Tempat Penampungan Ikan.

Gambar 2

Dermaga yang bersebelahan dengan bangliau tempat nelayan Tionghoa biasa menyandarkan perahunya.


(4)

.

Gambar 3.

Ikan asin yang dibuat oleh salah satu nelayan Tionghoa

Gambar 4.


(5)

Gambar 5.

Bapak Efandi salah satu informan yang merupakan nelayan Etnis Tionghoa

Gambar 6.

Proses pembuatan jaring untuk melaut oleh istri nelayan Etnis Tionghoa dan dibantu oleh Nelayan Etnis Tionghoa


(6)

Gambar 7.

Rumah milik nelayan Etnis Tionghoa

Gambar 8.

Bapak Ahok, salah satu informan nelayan Etnis Tionghoa yang tidak pandai berbahasa Indonesia.


Dokumen yang terkait

Tradisi Rantangan Sebagai Modal Sosial di Kalangan Suku Jawa (Studi Kasus di Desa Urung Pane, Kabupaten Asahan)

2 76 89

Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

1 66 120

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa Dan Pribumi Di Komplek Puri Katelia Indah Di Kecamatan Medan Johor Kota Medan

10 119 99

Perbedaan Self-Efficacy Antara Siswa Etnis Tionghoa Dan Non Tionghoa Di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa (Studi Kasus SMA Sutomo 1 Medan)

0 97 73

Motif Etnis Tionghoa Bekerja sebagai Pegawai Negeri Studi Kasus pada PNS dan Polisi di Sumatera Utara)

1 45 135

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Ekonomi Lemah (Studi Deskriptif Penggunaan Dana Badan Amil Zakat, Infaq, Sedekah Lembaga Pos Keadilan Peduli Umat di Kota Medan)

1 86 63

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Eksistensi Bisnis Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis China Penjual Spare part Sepeda Motor di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun)

0 56 88

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96