31
lainnya dan memperoleh kepercayaan para pebisnis lainnya. Dari ciri khas pebisnis Cina yang telah dijelaskan diatas memperlihatkan kinerja dan pola perilaku yang
sangat umum dilakukan oleh etnis Cina dalam menjalankan bisnis, walaupun tidak semua orang Cina berwirausaha dan juga tidak semua menjadi sukses dalam
menjalankan bisnis namun ikatan dalam jaringan sebagai sesama etnis Cina atau Tionghoa tetap ada dan dipertahankan dalam hubungan sosial.
2.3 ‘Masalah Cina’ di Indonesia
Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya
bagi identitas etnis Tionghoa di Indonesia.Sejak masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, kebijakan-kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai
diberlakukan.Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali disikapi acuh tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan
diekspresikan secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi orang-orang etnis ini.Dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis
Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut.Pendeknya, terdapat suatu sikap yang tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan
Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini.Melihat masalah Tionghoa
sebagai bagian dari kenyataan kebhinekaan masyarakat Indonesia ini, mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang lebih mendalam
mengenai sejarah dan peranan golongan minoritas dalam masyarakat luas.Untuk itu kemudian muncul kesimpulan bahwa walaupun jumlah orang etnis Tionghoa
Universitas Sumatera Utara
32
di Indonesia relatif sedikit, mereka merupakan kelompok minoritas yang berarti. Dengan kata lain, meskipun dari segi ekonomi etnis Tionghoa lebih menonjol
dari Pribumi, kemungkinan terjadinya benturan benturan diperbesar dengan adanya segi-segi sosial, budaya, dan politik, dan dasar-dasarnya terbentuk sejak
pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan ‘devide et impera’nya, yang secara sistematis memisahkan berbagai golongan penduduk dengan golongan
lainnya termasuk golongan etnis Tionghoa. sejak zaman pemerintahan Hindia- Belanda politik ‘pemisahan’ golongan antar etnis telah diberlakukan,termasuk
etnis Tionghoa. Keterbatasan akses dan keterbatasan berdemokrasi untuk menempatkan sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin dikebiri
oleh Negara, bahkan oleh masyarakatnya. Stereotip yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan
etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan ‘minoritas’, bahkan di Tanah Airnya sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga Negara
Indonesia. Pembatasan-pembatasan tersebut menjadi awal mula terbentuknya ‘benteng’ antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi.Insecurity terhadap
Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya etnis Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya.Eksklusifitas ini
yang kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan budaya bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri.Seperti
misalnya ketika kita melihat banyak dari golongan etnis Tionghoa menengah keatas yang menjadi sangat eksklusif dibanding dengan orang-orang etnis
Tionghoa lainnya.Misal, jika kita melihat orang-orang etnis Tionghoa yang tersebar di Ibukota Jakarta.Etnis Tionghoa tersebut kemudian menyebar, dan
Universitas Sumatera Utara
33
beraglomerasi pada daerah daerah tertentu yang menunjukkan identitas mereka masing-masing. Etnis Tionghoa peranakan, yang berasimilasi dengan orang
Indonesia, dan kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, bertempat tinggal di sekitaran Glodok dan jalan Gajah Mada, yang kemudian
orang bilang sebagai ‘Cina Benteng’. Sebutan Cina Benteng muncul karena ada pembedaan latar belakang financial dengan orang Tionghoa ‘Totok’ lainnya,
yang beraglomerasi di sekitaran daerah Kelapa Gading dan Pluit, Jakarta Utara.Orang-orang Tionghoa ini dikenal sebagai pengusaha, golongan
menengah keatas, yang cukup menguasai pusat perekonomian dan bisnis, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah.Etnis Tionghoa membangun in-group yang
tanpa mereka sadari semakin menjauhkan etnis mereka dengan budaya demokrasi dengan masyarakat Indonesia yang pluralis.
Insecurity juga disebut-sebut sebagai faktor yang dijadikan alasan pilihan anak-anak Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta, terlebih berbasis
Yayasan. Perlu diingat bahwasanya pilihan tersebut merupakan hasil dari luka lama yang dirasakan pada pemerintahan masa Orde Baru, dimana kebijakan
Soeharto yang mengimbau anak-anak berkebangsaan asing yang tinggal di Indonesia untuk masuk sekolah Negeri dan swasta yang mengajarkan kurikulum
nasional. Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut berdampak pada mind-set dan rational-choice etnis Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat
‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan kebiasaan lama sekolah mereka. Dimana mereka dapat merasakan keamanan dan kelestarian budaya Tionghoa
hanya dengan lingkungan yang berisikan orang-orang Tionghoa juga.
Universitas Sumatera Utara
34
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dipahami bahwasanya pemikiran tentang identitas Indonesia Tionghoa merupakan konsep yang sukar
ditangkap dan melibatkan banyak penyebab yang saling berkaitan, terutama sejarah masa lampau etnis Tionghoa di Indonesia. Penyebab yang saling terkait
ini dan dapat meliputi teritorialitas, afiliasi agama, pengaruh keluarga, sikap hubungan antara Pribumi dengan Tionghoa, kelas, patriarki, dan pencarian
jodoh, semuanya memberi andil kepada corak sistem representasi yang mendasari pola interaksi dan identifikasi diantara orang Indonesia Tionghoa.
Dan seiring berjalannya waktu, sejarah etnis Tionghoa dari zaman kolonial Belanda, Orde Baru, Reformasi sampai pada saat ini kemudian semakin
mengalami proses pergeseran. Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan bahkan eksklusif.Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini
memegang kekuatan pada beberapa sektor vital Negara, seperti perekonomian.Pribumi tidak lagi memandang mereka sebagai orang-orang
minoritas yang tidak memiliki hak dan akses terhadap Negara dan lingkungan seperti perspektif terdahulu.Namun, justru keadaan berbalik.Kini kebanyakan
etnis Tionghoa yang lebih memegang kendali daripada orang-orang Pribumi dan bahkan oleh Negara. Mereka seakan terpisah dari Negara dan masyarakat
lainnya, membentuk suatu ‘komunitas’ atau in-groupatas dasar kultur subjektifnya, dengan kekuatan finansial, terlebih di dukung dengan
perkembangan stereotip masyarakat akan kehidupan sosial etnis Tionghoa di Indonesia, mereka bertransformasi menjadi etnis yang superior dan
eksklusif. Namun tanpa disadari, dengan kebudayaan dan life style etnis mereka
Universitas Sumatera Utara
35
sendiri lah yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga “Tionghoa akan tetap Tionghoa”.
2.4 Etnis Cina Di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya