commit to user 24
Berdasar hasil uji lanjut Duncan didapatkan MK berbeda nyata dengan TI dan BS, tetapi pada TI dan BS berbeda tidak nyata. Secara lebih jelas dapat
dilihat pada gambar 1.
200 400
600 800
1000
MK TI
BS
Konsumsi protein kasar gramekorhari
Gambar 1. Grafik Rata-Rata Konsumsi Protein Sapi PO Betina Berfistula Perlakuan MK menunjukkan konsumsi protein kasar yang paling
tinggi. Hal ini dikarenakan kandungan protein kasar pada perlakuan MK paling tinggi serta dapat dilihat bahwa konsumsi bahan kering pada perlakuan
MK memiliki kecenderungan lebih tinggi sehingga nilai konsumsi protein kasar pada perlakuan MK meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kamal 1994 bahwa banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi besarnya nutrien lain yang dikonsumsi, sehingga semakin banyak pakan yang
dikonsumsi akan meningkatkan konsumsi nutrien lainya. Sedangkan perbedaan yang tidak nyata dari perlakuan TI dan BS dikarenakan kandungan
protein kasar pada tiap bahan pakan masih relatif sama.
D. Kecernaan Bahan Kering
Berdasarkan hasil analisis kecernaan bahan kering maka didapatkan tabel 7 yang menunjukkan kecernaan bahan kering sapi PO betina berfistula.
Tabel 7. Data Kecernaan Bahan Kering Sapi PO Betina Berfistula Periode
Perlakuan TI
MK BS
I 47,85
62,16 66,80
II 57,24
54,97 49,43
III 55,89
60,71 50,44
Rata-rata 53,66
59,28 55,56
a b
b
commit to user 25
Rata-rata kecernaan bahan kering pada perlakuan TI, MK, BS masing- masing adalah 53,66; 59,28; 55,56 . Hasil analisis variansi menunjukkan
kecernaan bahan kering dari ketiga perlakuan berbeda tidak nyata P ≥ 0,05.
Kecernaan bahan kering pada perlakuan penggunaan tepung ikan, menir kedelai dan bungkil sawit terproteksi berbeda tidak nyata disebabkan karena
konsumsi bahan kering masing-masing perlakuan juga berbeda tidak nyata. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wiryawan
et al.,
2007 yang menunjukkan tidak ada pengaruh negatif dari penggunaan formaldehida
di dalam ransum terhadap konsumsi, kecernaan bahan kering dan pertambahan bobot hidup harian.
Tillman
et al.,
1991 mengemukakan pendapat bahwa salah satu yang mempengaruhi tingkat kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi.
Menurut Anggorodi 1990, bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering diantaranya bentuk fisik bahan pakan, komposisi
ransum, suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat pakan lainnya.
Kecernaan bahan kering menunjukkan nilai nutrisi bahan pakan. Akan tetapi dalam penelitian ini belum berdampak pada kecernaan bahan kering
meskipun bahan pakan yang digunakan memiliki kandungan nutrien yang berbeda. Proporsi pemberian pakan konsentrat dalam penelitian ini lebih besar
dibandingkan hijauannya sehingga dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan pertumbuhan mikroba. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal
1994, macam bahan pakan berpengaruh terhadap jumlah mikroba rumen yang berkembang. Makin banyak proporsi pakan konsentrat dan karbohidrat
yang mudah larut maka akan semakin baik pertumbuhan mikroba sehingga jumlah mikroba akan semakin banyak. Peningkatan jumlah mikroba rumen
memungkinkan mikroba rumen bekerja lebih efektif untuk mendegradasi secara fermentatif komponen serat kasar pakan sehingga meningkatkan
kecernaan bahan kering pakan yang dikonsumsi. Selain itu rerata pH cairan rumen dari ketiga perlakuan pakan TI, MK dan BS yaitu sebesar 6,49 ; 6,33
dan 6,5 Lampiran 12. Kisaran tersebut masih dalam kondisi normal sehingga
commit to user 26
mikroba rumen beraktivitas secara optimal dan dapat meningkatkan proses fermentasi di dalam rumen secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kamal 1994, kondisi normal pH isi rumen dipertahankan antara 5,5-6,5 untuk mempertahankan mikroorganisme yang tidak tahan terhadap pH rendah.
Selain itu ditambahkan Erdman 1988
cit
Erwanto 1995 bahwa kisaran pH cairan rumen yang ideal untuk pencernaan selulosa adalah 6,4-6,8. pH rumen
yang lebih kecil dari 6,2 maka kecernaan serat mulai akan terganggu.
E. Kecernaan Bahan Organik