commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Orde Baru bisa dikatakan masa keemasan pertanian Indonesia. Hal itu terbukti ketika tahun 1985, Indonesia mampu menjadi Negara swasembada
beras. Berkaca dari keberhasilan tersebut maka pemerintah mencoba keberhasilan lain dalam bidang perkebunan. Salah satunya perkebunan tebu yang merupakan
salah satu bahan utama dalam pembuatan gula pasir. Program itu dilakukan dalam rangka untuk mencapai kembali swasembada gula seperti tahun 1930.
Dalam upaya mendorong petani agar mau menanam tebu pemerintah melakukan berbagai cara seperti, program Tebu Rakyat Intensifikasi TRI. Cara
ini merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah Orde Baru. Untuk kebijakan agraria pemerintah selalu menekankan dua segi, 1 memfokuskan kepada
peningkatan produksi dari penataan struktur agraria. Hal ini dilakukan karena pemerintah Orde Baru lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi sebagai strategi pembangunan, 2 penekanan stabilitas politik dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi dipandang sebagai persyaratan bagi
terlaksananya program kebijakan pemerintah. Sikap pemerintah yang memberikan dukungan kepada pemilik modal dalam
membangun perkebunan-perkebunan besar dengan tanah-tanah yang luas. Akibatnya jumlah petani yang tidak bertanah semakin besar. Selain itu secara
tidak sadar kebijakan yang dipilih ini telah meminggirkan petani. TRI dipandang sebagai solusi bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi gula
secara cepat. Ide ini timbul karena pada dekade tahun 1960-an terjadi pergeseran dalam konsumsi gula nasional yang terus meningkat sedangkan produksi gula
mengalami penurunan. Kebijakan agraria diarahkan dengan membuka peluang seluas-luasnya
bagi pemodal besar dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini mendorong pihak swasta agar berperan lebih besar dalam upaya
pengembangan ekonomi dengan menggunakan teknologi yang maju dan efisien.
commit to user
2
Salah satu cara yang ditempuh adalah penggunaan lahan yang beralih dari penanaman sumber pangan untuk kelangsungan hidup petani menjadi sumber
penumpukan kapital untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Perjalanan dari sistem TRI pada kenyataannya adalah paksaan kepada
petani untuk ikut serta dalam program dengan jalan menanam tebu di tanah mereka. Paksaan ini bertujuan untuk pencapaian target yang ditetapkan setiap
tahunnya, baik dalam luas lahan areal maupun jumlah produksi. Selain itu paksaan ini mendorong pemimpin daerah agar mampu mencapai target yang telah
produksi seringkali cara-cara yang bersifat memaksa digunakan agar petani terlibat dalam penanaman tebu. Cara tersebut biasanya berupa pemangilan kepada
petani yang lahannya tidak mau atau menolak ditanami tebu untuk bertemu Kepala Desa atau Pamong Desa yang di sertai pegawai Kecamatan. Cara ini
efektif karena petani merasa enggan atau takut berurusan dengan aparat Desa. Industri gula adalah salah satu industri tua yang pernah ada di dalam
negeri. Terlepas dari masih kurangnya produksi gula, industri ini telah menempuh perjalanan panjang sejak masa kolonial Belanda. Setidaknya hingga kini pabrik-
pabrik produsen gula yang beroperasi adalah peninggalan masa lalu yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Barangkali tak ada yang memasukkan pabrik gula
PG ini sebagai bangunan cagar budaya. Namun tak ada salahnya memandang pabrik yang sebagian masih berproduksi ini sebagai saksi sejarah. Di Soloraya ada
beberapa pabrik gula yang sama-sama peninggalan masa kolonial. Dua di antaranya pernah dimiliki penguasa Mangkunegaran dengan Mangkunagoro IV
sebagai pendirinya, yaitu PG Colomadu dan PG Tasikmadu. Pabrik Gula Colomadu yang terletak di daerah Desa Malangjiwan,
Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini merupakan salah satu peninggalan kejayaan Mangkunegaran pada abad ke-19. Pabrik ini
merupakan saksi bisu zaman keemasan agroindustri di masa kolonial. Pada perkembangannya Pabrik Gula Colomadu memberikan banyak
kontribusi terhadap masyarakat di sekitar Pabrik Gula Colomadu. Ratusan hingga ribuan orang, mulai mekanik mesin, masinis lokomotif tebu, sopir truk, hingga
commit to user
3
pembabat tebu adalah serpihan faktor produksi sebuah PG yang menggantungkan hidupnya di situ. Mengepulnya asap dapur, di samping keberlanjutan ekonomi
daerah, mau tak mau turut dipengaruhi oleh Pabrik Gula Colomadu. Awal pelaksanaan program TRI di Colomadu dapat berjalan dengan baik
karena hubungan patronase yang kuat antara petani dan elit desa. Hubungan ini dapat berjalan dengan baik karena elite desa yang ditunjuk oleh pemerintah selalu
memberikan tauladan kepada petani. Tauladan yang diberikan kepada petani adalah pemberikan penyuluhan tentang menanam tebu yang baik dan benar.
Usaha yang dilakukan oleh elite desa ini telah mendorong petani memperluas lahan penanaman tebu di Colomadu.
Kebijakan dalam program TRI membuat petani merasa kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertanian sendiri. Petani lebih memilih
menanam padi daripada menanam tebu, karena akan lebih banyak memberi penghasilan bagi para petani. Keengganan petani menanam tebu karena sebelum
masa panen tiba petani sudah punya utang kepada Pabrik Gula. Utang itu meliputi, penjagaan lahan pertanian, pupuk, bibit, dan obat-obatan yang harus
dibayar setelah panen. Sementara ongkos giling dan ongkos angkutan masih juga dibebankan kepada petani. Alasan yang dikemukakan di atas membuat perjalanan
sistem TRI di Pabrik Gula Colomadu tidak berhasil. Ketidakberhasilan ini terlihat dari Pabrik Gula Colomadu dalam mendapatkan bahan baku merasa kesulitan.
Pada dekade tahun 1990-an di Pabrik Gula Colomadu sudah mulai kekurangan bahan baku dalam proses pembuatan gula. Hal ini terjadi karena
petani di daerah ini sudah enggan menanam tebu. Keenggan para petani di daerah Pabrik Gula Colomadu karena mulai berkembangnya daerah Colomadu ke arah
lingkungan perkotaan, sehingga tanah atau lahan di sekitar Pabrik Gula Colomadu banyak yang beralih fungsi dari sawah menjadi daerah pemukiman perumahan
dan tempat usaha seperti misalnya rumah makan. Pengalihan fungsi lahan membuat para petani enggan tanahnya ditanami tebu. Hal ini bisa terjadi karena
Program TRI sudah tidak bisa mengikat petani. Menurut Petani program TRI membuat terjadi disintegrasi dalam
penguasaan proses produksi gula. Proses produksi tebu dilakukan oleh petani
commit to user
4
sedangkan proses pengolahan dilakukan oleh PG. Sementara penyediaan sarana produksi pertanian dilakukan oleh KUD, dan pembiayaan kegiatan produksi tebu
disediakan pemerintah melalui paket kredit bersubsidi. Konsekuensi dari pemisahan tersebut adalah terjadinya berbagai hambatan manajemen produksi dan
penurunan standar penerapan budidaya tebu dan teknologi prosesing, sehingga berakibat pada rendahnya hasil panen tebu Mubyarto, 1968:57.
Pengalihan lahan pertanian yang semula digunakan untuk penanaman tebu sebagai bahan baku utama pembuatan gula dialihkan para petani untuk menanam
palawija atau padi. Selain itu, berkembangnya Kecamatan Colomadu yang lebih dinamis akibat dari perubahan Kota Solo yang semakin berkembang. Perubahan
tersebut berdampak pada tingkat interaksi yang semakin intens. Mengingat bahwa letak Kecamatan Colomadu berdekatan dengan Kota Solo. Itu merupakan masalah
perkembangan kota yang mempuyai aspek menyangkut perubahan perubahan yang dikehendaki dan dialami oleh warga kota.
Perubahan yang dikehendaki adalah pemenuhan kebutuhan prasarana dan fasilitas hidup di kota. Akibat dari itu membuat Colomadu berkembang menjadi
daerah pinggiran kota. Hal ini mendorong lahan di Colomadu menjadi sasaran dari pemenuhan kebutuhan masyarakat kota. Pemenuhan ini dapat dilihat dari
semakin berkembangnya daerah Colomadu menjadi daerah investasi baru yang semakin berubah sesuai dengan perkembangan Kota Solo yang dinamis.
Akibatnya Pabrik Gula Colomadu ditutup oleh PTPN IX pada pertengahan tahun 1998 tepatnya tanggal 1 Mei. Keputusan ini tentu sangat pahit, bagi para
karyawan Pabrik Gula Colomadu. Karyawan tetap yang sudah bekerja di atas 20 tahun dipercepat pensiunnya dan mereka diberi pesangon tergantung pada tingkat
pangkatnya. Sebagian yang lain dipindahkan ke pabrik gula Tasikmadu Karanganyar, termasuk mesin-mesinnya.
Dalam penulisan ini nantinya akan diakhiri tahun 1998, sebab pada saat itu Pabrik Gula Colomadu ditutup oleh PT PN IX. Perkembangan Pabrik Gula
Colomadu tahun 1990-1998 memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar pabrik Gula Colomadu. Pengaruh tersebut tidak
hanya dalam bidang sosial saja tetapi juga dalam bidang ekonomi.
commit to user
5
Berdasarkan latar belakang di depan maka untuk menulis masalah tumbuh kembangnya industri gula Colomadu sangat menarik dikaji dalam judul
omi Masyarakat Tahun 1990-
B. Rumusan Masalah