Sejarah Berdirinya Pabrik Gula Colomadu

commit to user 39 sekitar yang memanfaatkan lahan di depan pabrik untuk berdagang. Sampai saat ini pedagang yang berada di sekitar PG Colomadu berjumlah 25 orang. Mereka memanfaatkan emperan pabrik untuk berdagang makanan setiap malam wawancara dengan Joko 30 Mei 2011.

B. Sejarah Berdirinya Pabrik Gula Colomadu

Pabrik gula Colomadu didirikan pada tanggal 8 desember 1861, oleh KGPAA Mangkunegoro IV 1853-1881. Pada tahun 1861 Mngkunegoro IV mengajukan rencana mengenai berdirinya sebuah pabrik gula pada Residen Nieuwenhuysen. Sejak beberapa waktu sebelumnya beliau telah memilih tempat yang tepat di desa Malangjiwan, suatu tempat yang baik, karena adanya tanah- tanah yang baik, air mengalir dan hutan-hutan. Tempat tersebut dianggap beliau paling cocok untuk perkebunan tebu. Peletakan batu pertama untuk pabrik gula Colomadu pada tanggal 8 Desember 1861. Pembangunan dan pelaksanaan industri di bawah pimpinan seorang ahli dari Eropa, yang bernama R. Kamp. Pertama kali pabrik bekerja dengan menggunakan mesin uap. Mesin-mesin tersebut dipesan dari Eropa. Mangkunegara IV mendapatkan pinjaman dari pemerintah Hindia Belanda dan dibantu Be Biau Coan, mayor dari kaum Cina di Semarang untuk mendirikan pabrik gula Colomadu H. R Soetono, 2000:19 . Perusahaan gula tersebut ternyata dapat memenuhi semua persyaratan yang diajukan untuk pengelolaan sebuah pabrik gula yang baik pada masa itu. Pada tahun 1863, tahun panen yang pertama, 95 ha lahan perkebunan tebu menghasilkan 3700 kuintal gula, yang jatuhnya pada produksi 39 kuintal per hektar, untuk masa itu dapat dikatakan sangat memuaskan, walaupun cuaca tidak begitu menguntungkan. Seluruh panen dijual dengan perantara firma Cores de Vries dengan harga sekitar 32 per kuintal. Karena merupakan perusahaan pribadi, pengelolaan perusahaan berada di tangan seorang administrator yang berada di bawah kendali Mangkunegoro IV H .R Soetono, 2000:19. Berdirinya industri gula sangat membantu penghasilan Praja Mangkunegaran untuk melengkapi sumber pendapatan tradisional dari pajak tanah. Keuntungan yang diperoleh dari pabrik gula sebagian digunakan raja untuk commit to user 40 membayar gaji para bangsawan, dan pepanci bagi para kerabat dekatnya, serta sebagian lagi digunakan untuk menebus tanah lungguh yang belum selesai ditarik kembali. Beberapa tahun setelah Mangkunegoro IV wafat, usahanya untuk membentuk dasar-dasar ekonomi kerajaan mengalami guncangan yang hebat. Guncangan ini disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar adalah terjadinya krisis ekonomi dunia dan hama penyakit tebu. Faktor dalam adalah kesalahan manajemen keuangan dari Mangkunegoro V Wasino, 2008:51-54. Kedua faktor itu telah memukul industri gula Mangkunegaran yang berakibat turunnya pendapatan sebesar 100.000 seratus ribu gulden setiap tahun. Faktor salah langkah dalam manajemen juga turut mengakibatkan makin terpuruknya industri gula Mangkunegaran. Untuk mengatasi krisis yang terjadi di perusahaan Mangkunegaran, Mangkunegara mencari pinjaman kepada pihak swasta di Semarang, dengan menggadaikan harta miliknya yang memiliki nilai verponding sebesar 519.000. Selain itu Mangkunegoro V mendapat pinjaman sebanyak 200.000 dari Faktorij dengan cara menggadaikan 290 saham de Javache Bank dan 100 saham Nederlandsche Handelmaatschappinj NHM, warisan ayahnya. Ternyata langkah yang dilakukan oleh Mangkunegoro V justru mempersulit pemenuhan defisit keuangan Mangkunegaran. Untuk itu, Pemerintah Kolonial mengambil alih segala urusan keuangan Mangkunegaran, termasuk pengelolaan perusahaan-perusahaan Wasino 2008: 55-59. Setelah pergantian pimpinan Mangkunegoro V diganti oleh Mangkunegoro VI kinerja pabrik gula berangsur-angsur membaik, hal ini tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dalam penghematan pengeluaran keuangan Praja Mangkunegaran. Penghematan yang dilakukan adalah tentang gaji pegawai dan pengeluaran pekerjaan umum pemeliharaan jalan dan sarana pengairan. Raja berusaha mengurangi pengeluaran biaya yang sekiranya masih bisa ditekan, misalnya: 1 penghapusan prajurit Margayuda penjaga pintu, Subamanggala, masing-masing 100 orang, juga prajurit Brahmantaka. 2 pesta perkawinan dan khitanan keluarga diadakan bersama, 3 pertunjukkan wayang kulit hanya dipentaskan pada peristiwa-peristiwa besar, 4 larangan keras bermain judi dan adu ayam Ari Emawati, 2011:107. commit to user 41 Selain itu gaji bulanan para bangsawan dikurangi, termasuk Mangkunegara VI sendiri dikurangi 40. Tanah lungguh diganti dengan gaji, tanah tambak Terboyo dijual untuk menebus kembali rumah-rumah di Pendrikan Semarang yang pernah digadaikan. Menurutnya sewa rumah lebih menguntungkan dibandingkan tanah yang kurang member hasil. Akibatnya pada tahun 1899 atas permintaan Mangkunegoro VI pabrik gula Mangkunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak Mangkunegaran. Dampak dari pengembalian pabrik gula membuat komando pengelolaan di bawah Praja Mangkunegaran, meskipun dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran pihak Praja Mangkunegaran masih diwajibkan untuk menggunakan seorang ahli berkebangsaan Belanda sebagai Superintendent Wasino, 2008:75-76. Pada saat pendirian sampai tahun 1942, pabrik gula Colomadu tidak pernah mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah, tenaga kerja, dan pemasaran produksinya. Mansfeld, 1939:35. Pada masa pendudukan Jepang pabrik gula Colomadu mengalami kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja, maupun areal untuk ditanami tebu. Kesulitan tersebut disebabkan pada masa pendudukan Jepang banyak pabrik gula beralih fungsi . Pengalihan fungsi dilakukan Pemerintah Jepang untuk memfokuskan tanaman pangan daripada tanaman tebu. Banyak lahan pertanian yang dijadikan areal tanaman pangan, karena pada masa Jepang komuditas pangan yang penting adalah beras. Selain itu pabrik gula banyak yang dipakai sebagai pabrik semen, amunisi, dan butanol sehingga berdampak kepada penurunan produksi gula Aiko Kurasawa, 1993:44-49. Pada tahun 1946 pemerintahan Swapraja Mangkunegaran dihapus. Berakhirnya status pemerintahan Mangkunegaran membuat pabrik gula Colomadu diambil-alih pengelolaannya oleh pemerintahan RI atau dinasionalisasi. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1947 yang memuat tentang Peraturan Perkebunan Republik Indonesia. Adanya peraturan ini membuat pengelolaan pabrik gula Colomadu diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia PPRI. Selama masa pengambil alihan commit to user 42 pengelolaan PG, tidak menimbulkan pengaruh terhadap produksi gula maupun tenaga kerja di Pabrik Gula Colomadu. Pertengahan tahun 1950 organisasi buruh dan Barisan Tani Indonesia BTI menuntut peningkatan uang sewa tanah yang lebih besar kepada pabrik gula Colomadu. Para petani beranggapan bahwa peraturan sewa yang dijalankan oleh pabrik gula selama ini tidak jelas, sehingga petani menginginkan adanya perbedaan tentang sistem sewa yang dipakai. Untuk meredam konflik, pemerintah menetapkan secara jelas harga sewa tanah pada tiap lahan tebu yang dibedakan antara lahan tebu biasa, tebu tunas dan tebu bibit. Dengan adanya aturan ini aksi boikot para petani di pabrik gula Colomadu berhenti Wasino, 2004:10-11. Untuk memaksimalkan produksi pabrik gula pada tahun 1963 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1963 tentang pembentukan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Negara Perkebunan Gula BPU-PPNG. Tujuan badan ini untuk meningkatkan produksi gula. Usaha yang dilakukan oleh BPU-PPNG dalam meningkatan produksi gula ditempuh dengan sistem bagi hasil. Sistem ini para petani menerima 25 persen dari hasil menyewakan tanahnya kepada pabrik gula atau 60 persen bagi petani jika petani mengusahakan dan memelihara tebu di tanah mereka sendiri sehingga PG hanya memproduksi gula saja Abdurachman S, 1975:13. Kenyataannya sistem ini tidak memberikan keuntungan yang diharapkan para petani, karena adanya inflasi sehingga kenaikan harga pada waktu itu menyebabkan besarnya uang sewa tanah yang ditetapkan pada awal tahun selalu ketinggalan dengan laju kenaikan harga tersebut. Dengan demikian nilai riil uang sewa yang diterima petani sangat merosot. Perkembangan selanjutnya sistem bagi hasil tidak berjalan dengan baik karena petani banyak mengalami kerugian. Pembiayaan yang disediakan oleh KUD tidak dapat memenuhi perawatan tebu sehingga pada tahun 1967 sistem ini dihentikan. Ketidakberhasilan sistem bagi hasil ini mendorong dikeluarkannya SK Gubernur Jawa Tengah No.Produk G81968: 236, tertanggal 11 Maret 1968 Tentang Pembekuan Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil di Pabrik Gula Mojo Sragen commit to user 43 dan Pabrik Gula Colomadu. Dengan adanya SK ini membuat sistem sewa tanah berlaku kembali di kedua pabrik gula tersebut. Pada tahun 1968 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 13 tentang pembubaran BPU-PPNG. Pembubaran badan ini karena pola manajemen, PG hanya menekankan pelaksana teknis produksi gula saja. Selain itu sentralisasi manajemen membuat keputusan tidak tepat sasaran dan tidak tepat waktu. Akibatnya ketidaklengkapan informasi yang diperoleh BPU-PPNG dalam pengambilan keputusan berpengaruh buruk terhadap efisiensi industri gula Mubyarto, 1984:49. Keadaan ini mendorong pemerintah mengubah kebijakan pergulaan secara fundamental. Dahulu kebijakan pergulaan yang diarahkan untuk mendorong ekspor, maka sejak tahun 1967 kebijakan pergulaan lebih banyak di arahkan untuk stabilisasi harga dalam negeri dan untuk mengurangi volume impor. Agar tujuan dari pemerintah dapat tercapai, maka pemerintah menunjuk Bulog sebagai agen tunggal pemasaran gula Mubyarto, 1984:50. Bersama pembubaran BPU-PPNG, pemerintah membentuk 8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula PPNG yang masing-masing mengelola 4 7 PG. Sesuai dengan pembentukan 8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula, maka PG Colomadu masuk ke dalam wilayah PNP XVI yang berpusat di Surakarta. Untuk mengadakan reorganisasi perusahaan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1981 tentang pembubaran PNP XVI dan penggabungan ke dalam Perusahaan Persero Persero digabung menjadi satu dengan PNP XV dengan nama PT Perkebunan XV-XVI Persero yang berkedudukan di Surakarta SDM pabrik gula Colomadu tentang Perpu No 11 Tahun1981. PG Colomadu termasuk wilayah PTP XV-XVI Persero. Setiap kegiatannya PG Colomadu bertanggung jawab kepada Direksi PTP XV-XVI Persero. Perkembangnya PT Perkebunan XV-XVI Persero mengalami peleburan dengan PT Perkebunan XVIII Persero berdasarkan Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1996 menjadi PT Perkebunan Nusantara IX Persero hal ini dilakukan pemerintah pada tanggal 14 Februari 1996 SDM pabrik gula Colomadu tentang Perpu No 14 Tahun 1996. Pembentukkan 8 PPNG ini tidak commit to user 44 memberikan pengaruh terhadap produksi dan tenaga kerja yang bekerja di masing-masing PG. PT Perkebunan Nusantara IX Persero terbagi ke dalam dua divisi, yaitu pertama divisi tanaman tahunan yang meliputi tanaman kopi, kakoa, karet dan teh sedangkan divisi kedua adalah tanaman semusim yaitu, tanaman tebu. Dengan alasan itu PG Colomadu masuk ke dalam divisi kedua. PG Colomadu diakhir tahun 1997 mengalami kesulitan bahan baku. Hal ini membuat PT Perkebunan Nusantara IX Persero melakukan penutupan Wawancara dengan Marwanto, 20 April 2011.

C. Perkembangan Pabrik Gula Colomadu Tahun 1990-1998