commit to user
3. Alasan Melakukan Kolaborasi
Secara umum collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai
berikut: 1 kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, 2 konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam,
dan 3 upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik Sudarmo, 2010. Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang
sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan interdependensi. Konflik antar
kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang
sangat besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative governance dalam pemecahan masalah, konflik antar kelompok sulit untuk diatasi. Juga,
ketka berbagai upaya telah dlakukan dan belum membuahkan hasil, maka kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan masalah yang
memiliki legitimasi kuat karena melibatkan berbagai kelompok
kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dn mengambil keputusan secara bersama-sama untuk bisa disetujui secara bersama-sama. Sudarmo,
2010. Terdapat banyak argumen tentang berkembangnya pentingnya
melakukan collaborative governance, antara lain adalah karena: 1 kegagalan
implementasi kebijakan
di tataran
lapangan, 2
ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan regim-
commit to user
regim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan, 3 mobilisasi kelompok kepentingan, dan 4
tingginya biaya dan politisasi regulasi Sudarmo, 2010. Disamping empat alasan tersebut diatas, terdapat dua alasan lain
atas kemunculan dan dikembangkannya collaborative governance, yakni: 1 pemikiran-pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok
kepentingan, dan 2 adanya kegagalan akuntabilitas manajerialisme terutama manajemen ilmiah yang semakin dipolitisasi dan kegagalan
implementasinya Sudarmo, 2010. Demikian pula, kecenderungan dilakukannya
collaborative governace adalah dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan
tumbuhnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi seiring dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari lingkungan selama
organisasi tersebut bekerja dalam rentang waktu tertentu Sudarmo, 2010. Ketika pengetahuan semakin terspesialisasi dan terdistribusi dan ketika
infrastruktur institusi bagi pemecahan masalah dan deliberasi menjadi semakin berkembang, kompleks dan padat, maka tuntutan dan permintaan
kolaborasi antar bagian atau institusi meningkat pula mengingat sebuah masalah sering merdampak bagi semua bagian atau sejumlah institusi atau
masalah sejenis menjadi fokus perhatian dari berbagai institusi yang memiliki kepentingan sejenis sedangkan mereka memiliki keahlian
berbeda-beda yang mungkin bersifat komplementer; dengan demikian pemecahan masalah secara kolaborasi antara institusi menjadi hal yang
commit to user
lebih direkomendasikan atau justru merupakan sebuah kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang.
Justru karena collaborative governance kemunculannya dan perkembangannya sifatnya adaptif sengaja diciptakan terhadap suatu
persoalan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka dimungkinkan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance akan
bervariasi dan mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal manajemen, kebijakan komunitas, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi
regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder yang harus terlibat secara normatif. Juga
dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan batas-batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal 1 tingkat formalitasnya,
2 tingkat durasinya, 3 tingkat fokusnya, 4 tingkat institutional diversity nya, 4 tingkat “valence” nya, 5 tingkat stability atau volatility
nya, 6 tingkat inisiatifnya, dan 7 tingkat pencetusan masalah, apakah sifatnya probel-driven atau opportunity-driven Sudarmo, 2010. Ke tujuh
elemen inilah yang kemudian ikut berkontribusi dalam mendefinisikan collaborative governance.
Terkait dengan
sifat kolaborasi,
hubungan collabotarive
governance bisa berjalan secara terlembaga melalui kontrak-kontrak formal atau juga collaborative relationships bisa berjalan melalui
kesepakatan informal. Memang sekarang telah banyak hubungan kolaboratif melalui kontrak atau kesepakatan formal sehingga mudah
commit to user
menjelaskan, mendeskripsikan para partisipannya, mudah menggambarkan atau menjelaskan prosedurnya, dan mudah menjelaskan tujuanya. Namun
demikian, sebaliknya jika hubungan kolaboratif dilakukan melalui kespakatan informal maka cenderung lebih sulit untuk menganalisis
meskipun tetap bisa dilakukan. Hubungan kelompok marginal dan Pemerintah kadang bisa formal kadang bisa informal. Namun demikian,
jika telah menyangkut persoalan keuangan atau tanggung jawab keuangan yang harus disetorkan pedagang kaki lima PKL misalnya, ke pihak-pihak
tertentu termasuk pihak swasta atau perusahaan tertentu, maka hubungan kolaborasi lebih menekankan pada kesepakatan atau kontrak formal agar
jelas garis tanggung jawabnya. Juga hubungan formal bisa terjadi terutama antara pihak LSM kepada pihak penyandang dana; dan hubungan semi
formal bisa terjadi antara LSM dan lembaga pemerintah yang sama-sama memfokuskan pada isu penurunan angka HIV di Surakarta.
Durasi kolaborasi bisa bersifat permanen atau sementara. Kolaborasi yang bersifat permanen antara kelompok marginal dan
pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua stakeholder. Contohnya, KPA yang pada prakteknya memerlukan
kolaborasi dengan LSM-LSM lokal yang memiliki kepentingan serupa dalam hal penurunan angka HIV, berkewajiban melaporkan hasil kerjanya
kepada Walikota Surakarta. Namun demikian, apakah kolaborasi itu akan berjalan secara permanen atau sementara belum bisa diprediksikan
mengingat kesinambungan kehidupan LSM peduli AIDS di Surakarta
commit to user
sangat tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Sebaliknya KPA yang seharusnya ikut mendukung secara finansial kepada LSM-LSM lokal
peduli AIDS, institusi pemerintah tersebut belum memberikan kontribusi finansial secara signifikan. Sudarmo, 2010
Fokus collaborative governnace juga bervariasi, ada yang cukup luas ada yang spesifik. Ada kecenderungan semakin spesifik fokus
kolaborasi maka semakin memudahkan dalam analisis karena unsur-unsur yang akan dianalisis sifatnya khusus dan spesifik dan terfokus. Sebaliknya
jika fokus kolaborasi terlalu luas maka akan mempersulit analisis karena terlalu banyak bagian yang harus dianalisis sehingga menuntut kejelian
yang amat tinggi untuk mendapatkan hasil analisis yang tajam, dalam dan komperehensif. Collaborative governace terhadap kaum marginal pada
dasarnya cukup spsesifik, namun analisis bisa meluas tergantung pada seberapa kompleks hubungan mereka dan stakeholder lainnya dalam
governance. Untuk kepentingan penelitian, peneliti atau analis bisa memfokuskan pada kolaborasi antara institusi pemerintah dengan LSM
lokal setempat peduli AIDS; atau kolaborasi antara institusi pemerintah dengan kaum marginal lainnya.
Collaborative governance
memerlukan sejumlah
institusi kelompok beserta para pemukanya yang berpartisipasi dalam governance
penataan, penertiban, pembinaan, pemberdayaan atau pengelolaaan kelompok marginal yang semuanya ikut dianalisis terkait dengan
peranannya dan kontribusinya masing-masing dalam menangani persoalan
commit to user
terkait dengan masalah yang dihadapi stakeholder lainnya terutama pihak pemerintah setempat Sudarmo, 2009a. Demikian pula ketika akan
menganalisis isu penurunan angka HIV maka perlu dilihat pula stakeholder yang terlibat termasuk KPA dan LSM-LSM peduli AIDS se-
Surakarta, serta institusi-institusi atau individu-individu tertentu yang terlibat.
Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence” yaitu para pelaku atau pemain yang secara jelas berhubungan bersama-
sama dalam kolaborasi dan jumlah hubungan diantara mereka. Dalam konteks collaborative governance kaum marginal maka ada beberapa
pelaku yang berhubungan dengan mereka termasuk pihak pemerintah dan sejumlah pihak swasta, dan bahkan mungkin saja partai politik tertentu
Walaupun analisis perlu membatasi, tetapi tidak mudah karena tidak menutup kemungkinan stakeholder yang kurang diperhitungkan justru
merupakan unsur penting bagi collaborative governance, misalnya, dalam hal penurunan angka HIV, analispeneliti perlu membatasi institusi-
institusi mana saja yang benar-benar terlibat secara kolaboratif, namun penelitianalis perlu waspada pihak-pihak mana saja yang perlu dijadikan
informan mengingat tidak jarang sejumlah informan jauh dari perhatian dan jangkauan penelitianalis yang mengakibatkan data kurang akurat.
Sudarmo, 2010 Collaborative governance juga mungkin sifatnya stabil sampai
dengat batas tertentu berkaitan dengan “rasa berbagi diantara para
commit to user
anggota” seperti pada kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM se Surakarta yang peduli AIDS mungkin bersifat lama atau permanen atau bisa saja tak
tentu tergantung seberapa mampu lembaga-lembaga ini mampu beroperasi dengan topangan dana tertentu mengingat dana amat penting peranannya
bagi kesinambungan operasi mereka. Sebuah LSM bisa saja berhenti beroperasi ketika penyandang dana tidak lagi secara berkesinambungan
mendanai aktivitasnya. Banyak LSM di Surakarta hidupnya masih tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Ini berarti bahwa
kondisi keuangan yang minimal bisa mengancam kesinambungan kolaborasi dengan KPA terutama ketika LSM tersebut berhenti beroperasi.
Semakin kurang stabil sebuah kolaborasi maka semakin besar energi yang harus mereka curahkan melalui rasa berbagi bersama guna memelihara dan
mempertahankan kolaborasi itu sendiri. Sudarmo, 2010 Collaborative governance juga mencakup pengertian keterlibatan
institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa
insiatif dari
masing-masing institusi
stakeholder dalam
menentukanmendefinisikan tujuan,
menilai hasil,
menyebabkan perubahan, dan sebagainya. Dengan kata lain siapa yang mempengaruhi
atau mengajak kepada yang lain. Maka dalam hal ini, siapa yang memulai melakukan inistaitif bisa dilihat dari tiga aspek. Pertama, inisiatif
pasti bermula dari pemainpelaku yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Dalam masyarakat
yang sudah sangat demokratis dan berjalan secara optimal tingkat
commit to user
demokrasinya, semua pencapaian tujuan yang diperoleh dalam proses kolaborasi tentunya bisa dinilai. Namun demikian, dalam keadaan
demokrasi sangat lemah atau pemerintahnya itu sendiri tidak demokratis misalnya tidak bersih, korup atau bahkan tidak ada pemerintah, maka
menilai hasil kolaborasi sangat tidak masuk akal dan bahkan dalam secara umum bisa kontroversial karena persyaratan yang diperlukan yaitu
pemerintah yang demokratis tidak dipenuhi. Kedua,
masing-masing stakeholder
atau institusi
yang berkolaborasi harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan
kolaborasi. Jika ternyata instutusi lain hanya sekedar berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku
dominan atau pelaku utama, katakanlah menjalankan agenda pemerintah atau agenda dari swasta besar maka hubungan yang tercipta pasti bukan
hubungan collaborative governance Sudarmo, 2010, tetapi bentuk hubungan yang lain yang bisa berupa kooptasi, dominasi dan mungkin saja
divide and rule yang bertentangan dengan democratic collaborative governance Sudarmo, 2008
Ketiga, Hubungan diantara institusi-institusi yang terlibat harus bersifat strategic, artinya bahwa setiap institusi dalam melakukan tindakan
selalu bisa dilihat secara transparan oleh institusi lainnya yang merupakan bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi bahwa institusi lain akan
memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan dari institusi tersebut, sehingga saling memperlihatkan transparansi dalam bertindak dan
commit to user
antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalam collaborative gobernance merupakan sebuah kelaziman yang harus terjadi
Sudarmo, 2010. Dalam collaborative governance, apakah kolaborasi itu ditujukan
untuk mempertahankan staus quo dari pihak-pihak tertentu yang ingin tetap mempertahankan keadaan yang selama ini memberikan keuntungan
dan atau mempertahankan kekuasaannya atau dominasinya sehingga bersifat “defensive”, ataukah kolaborasi itu bertujuan untuk memperbaiki
situasi staus quo sesuatu yang ingin dirubah dari situasi sekarang yang selama ini dipandang tidak membawa kebaikan bagi banyaksemua pihak.
Jika kolaborasi ini dilakukan untuk memperbaiki situasi yang masih bersifat status quo, maka gaya collaborave tersebut merupakan kolaborasi
yang sifatnya “offensive”. Collaborative governance bisa mengambil dua bentuk ini, bisa berupa salah satu atau campuran keduanya. Demikian pula
kolaborasi antara KPA dan LSM peduli AIDS bisa mengambil bentuk- bentuk seperti itu. Namun untuk kedepan kolaborasi yang bersifat
defensive kurang mendukung bagi terselenggaranya pelayanan penderita AIDS atau bahkan penurunan angka AIDS sekalipun jika KPA dijadikan
sebagai institusi dominan yang menangani AIDS karena dalam tataran praktis keberadaan lembaga ini juga masih menggantungkan kapasitas
masing-masing LSM peduli AIDS di Surakarta. Dengan demikian, kedepan, KPA perlu menjalankan gaya kolaborasi yang offensif , yakni
melakukan perubahan-perubahan atau perbaikan dalam mendukung kinerja
commit to user
masing-masing LSM peduli AIDS terutama dalam hal dukungan pendanaan, bukan sekedar sebagai alat kepanjangan tangan KPA saja dan
meminta belas kasihan dari mereka agar kolaborasi ini menjadi lebih optimal. Sudarmo, 2010
4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi