Pengertian Collaborative Governance Kolaborasi

commit to user kecenderungan bahwa dilakukannya collaborative governance didorong oleh adanya upaya pragmatisme dalam menyelesaikan masalah yang selama ini tidak kunjung teratasi melalui penerapan teori-teori konvensional yang selama ini dipercaya mampu mengatasi masalah Sudarmo, 2010.

2. Pengertian Collaborative Governance

Pengertian kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam dua pengertian: 1 kolaborasi dalam arti proses, dan 2 kolaborasi dalam arti normative Sudarmo, 2010. Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengaturmengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi, pemerintah maupun non pemerintah termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat setempatatau [LSM] lokal dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari institusi-institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja; atau bisa juga mencakup institusi yang berafilisasi ke pemerintah berkolaborasi dengan LSM-LSM setempat yang didanai oleh pihak swastaLSMpenyandang dana dari luar negeri. Namun dalam kolaborasi ini institusi-institusi yang terlibat secara interaktif melakukan governance bersama.Adapun porsi keterlibatanya tidak selalu sama bobotnya, mungkin saja mereka hanya terlibat dalam hal penyediaan data-data tentang angka riil penderita commit to user HIVAIDS oleh LSM ke institusi pemerintah, sedangkan operasi lapangan dalam memberikan penyuluhan dilakukan langsung oleh LSM-LSM tersebut yang secara intensiif didanai oleh pihak asing, atau didukung oleh pihak pemerintah dalam hal penyediaan kondom dan alat kontrasepsi lainnya. Sedangkan kolaborasi dalam pengertian normative merupakan aspirasi, atau tujuan-tujuan fisolofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan para partner atau mitranya. Memang collaborative governance bisa merupakan bukan institusi formal tetapi juga bisa merupakan a way of behaving cara berperilakubersikap institusi non-pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan ke dalam manajemen publik pada suatu periode Sudarmo, 2010. Dalam hal ini kolaborasi antara KPA Surakarta dan para LSM lokal Surakarta yang berkepentingan dalam penurunan angka HIVAIDS bisa juga dikategorikan ke dalam kolaborasi dalam konteks normatif sepanjang sama-sama memiliki aspirasi atau tujuan-tujuan yang serupa untuk menurunkan penyebaran HIVAIDS, walaupun masing-masing LSM tersebut bekerja secara-sendiri-sendiri sesuai dengan ketentuan yang mereka sepakati bersama penyandang dana masing-masing bagi LSM tersebut. Namun demikian, jika peneliti lebih berkepentingan untuk menganalisis atau meneliti pada kolaborasi antar institusi dalam penurunan angka HIVAIDS maka sifat kolaborasi ini lebih menekankan pada proses; dan sebaliknya jika peneliti atau analis lebih concern pada motif atau commit to user tujuan untuk menurunkan angka HIVAIDS maka kolaborasi antara KPA dan LSM peduli HIVAIDS bisa dikategorikan sebagai kolaborasi dalam arti normatif. Dengan mengacu pada dua pengertian ini maka seorang peneliti atau analis bisa memilih apakah dia akan memfokuskan kolaborasi dalam arti proses atau dalam arti normatif. Dalam konteks hubungan kerjasama KPA dan para LSM lokal di Surakarta yang peduli atau berkecimpung terhadap isu tentang penderita HIVAIDS, bisa dikategorikan sebagai collaborative governance dalam arti proses, terutama ketika peneliti atau analis tidak ada ketertarikan untuk melihat lebh jauh hasil akhir dari kolaborasi tersebut dalam penurunan angka HIVAIDS. Bisa disebut demikian karena KPA secara berkolaborasi bersama LSM-LSM peduli AIDS ikut mengelola bagaimana berupaya menurunkan angka HIVAIDS di Surakarta walaupun hasil akhirnya kurang diperhitungkan, apakah dari kolaborasi tersebut angka tersebut akan menurun atau bahkan akan meningkat mengingat banyak faktor dari para individu rentan penyakit menular itu sendiri yang justru ikut berkontribusi bagi peningkatan jumlah penderita HIVAIDS. Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal yang biasa dirasakan atau sulit terdeteksi karena ketertutupannya, commit to user kapasitas pemerintah daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas sedangkan institusi-institusi di luar pemerintah meningkat, dan inisiatif spontan masyarakat semakin meluas dan kritis. Ketika pergeseran- pergeseran tersebut terjadi, maka hal ini bisa dirasakan bahwa pemerintah memiliki pilihan terbatas atau kecil dan bahkan seakan dipaksa untuk mengikuti untuk segera menyelesaikan atau mengatasi apa yang tengah menjadi isu tersebut; namun demikian pemerintah tetap harus menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan lingkungan yang tengah bergejolak atau berubah. Kolaborasi dalam konteks ini merupakan cara merespon terhadap perubahan sehingga pemerintah tetap aktif dan harus tetap efektif dalam suatu lingkungan manajemen publik yang kompleks dengan tetap melibatkan para institusi-institusi lain yang relevan dengan tujuan yang diinginkan. Lebih dari itu, collaboration dipandang sebagai gambaran tentang cara menangani sesuatu isu atau persoalan tertentu yang sifatnya kabur dan tidak jelas yang memiliki implikasi bahwa ukuran-ukuran standar- standar dan relevansi dari wilayah isu yang satu ke wilayah isu lainnya secara berbeda-beda. Dengan demikian, siapastakeholder mana saja yang dilibatkan atau harus dilibatkan dalam kolaborasi, dan bentuk dan proses kolaborasi dimungkinkan akan berbeda-beda dari sebuah wilayah isu tertentu ke isu lain dan dari satu sektor ke sektor lain. Ini untuk menggaris bawahi bahwa kolaborasi antara institusi dalam penurunan angka penularan HIV atau pedagang kaki lima misalnya, tentu berbeda dengan commit to user stakeholder mana saja yang terlibat atau dilibatkan, bentuk dan proses kolaborasi nya dalam isu-isu kesejahteraan petani padi, perdagangan anak, pelacuran, dan isu tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri. Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak dilakukan namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini terutama ketika disadari bahwa single otoritas sering tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan kapasitas yang dimilikinya di era pelayanan publik seiring dengan pergeseran paradigma pelayanan dalam administrasi publik. Namun tentu saja setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang konsepsi kolaborasi ini, sesuai dengan perspektif displin ilmu yang mereka gunakan. Terkait dengan konsepsi kolaborasi, sejumlah pemerhati mengemukakan pandangannya bahwa pemerintah sejak lama sudah melakukan kolaborasi, yakni dalam bentuk mencari diluar batas-batas wilayah pemerintah untuk medapatkan saran-saran atau nasehat, ahli, dan mitra kerja yang potensial. Sebagian lainnya mengatakan bahwa kolaborasi yang sifatnya non-hirarkhis dan non birokratis pada dasarnya berkebalikan dari apa yang secara tradisional hirarkis dan birokratis telah diperlihatkan pemerintah, dan cenderung bersifat top-down terhadap mitranya. commit to user Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut harus mengadopsi kesepakatan governance yang cepat agar efektif namun bisa diterima semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, seperti pedagang kaki lima, mereka yang terjangkit HIV atau penyakit AIDS kaum ODHA, kaum homoseksual, misalnya, maka melakukan kolaborasi dengaan kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi penolakan hasil keputusan tersebut oleh mereka. Atau, pemerintah dan atau lembaga-lembaga yang berafiliasi ke pemerintah, perlu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga swadaya yang memfokuskan pada persoalan- persoalan kaum marginal tersebut agar mampu memahami, mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut secara efektif.Sudarmo, 2010 commit to user

3. Alasan Melakukan Kolaborasi