COLLABORATIVE GOVERNANCE KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAMKASUS HIV AIDS DI KOTA SURAKARTA

(1)

commit to user

COLLABORATIVE GOVERNANCEKOMISI PENANGGULANGAN AIDS

DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAM KASUS HIV/AIDS DI KOTA SURAKARTA

Disusun Oleh : Asri Swastini

D0106036

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Politik

Jurusan Ilmu Administrasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pembimbing

Drs. Sudarmo, M.A. Ph.D NIP 196311011990031002


(3)

commit to user

HALAMAN PENGESAHAN

Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : Senin

Tanggal : 20 Desember 2010

Panitia Ujian Skripsi

1. Drs. Sonhaji, M.Si (Ketua) NIP. 195912061988031004

2. Drs. Muchtar Hadi, M.Si (Sekretaris) NIP. 195303201985031002

3. Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D (Penguji) NIP. 196311011990031002

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Drs. H Supriyadi SN, SU NIP 195301281981031001


(4)

commit to user

iv

MOTTO

“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. IA membaringkan aku di padang yang berumput hijau, IA membimbing aku ke air yang tenang; IA menyegarkan jiwaku.

IA menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-NYA Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab ENGKAU besertaku; gadaMU dan tongkatMU, itulah yang menghibur aku.

ENGKAU menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; ENGKAU mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.

Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”


(5)

commit to user

PERSEMBAHAN

Special Thanks for :

Sahabatku yang begitu setia, tak pernah meninggalkanku,

Memberi aku kekuatan yang memampukanku untuk tetap berjuang,

Terima kasih Tuhan Yesus buat semua penyertaanMu yang sangat luar biasa di hidupku…

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

- Ibuku terkasih, atas segala cintanya yang begitu tulus dan terima kasih sudah

menjadi ibu sekaligus bapak yang hebat bagiku

- Semua mas dan mbakku yang kukasihi

- Ketujuh keponakan kecilku (Lintang, Jovan, Carissa, Deo, Kyla, Melody, dan Grace)

yang selalu berhasil membuatku bersemangat kembali


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati senantiasa penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul “COLLABORATIVE GOVERNANCE KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAM KASUS HIV/AIDS DI KOTA SURAKARTA”.

Berbagai hambatan dan pengalaman menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis sebagai bagian dari proses penyelesaian studi di kampus. Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihaklah akhirnya skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, atas segala bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan masukan dan arahan yang sangat bermanfaat.

2. Bapak Drs. Harsojo Soepodo, SH, MM selaku sekretaris penuh waktu KPA Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di KPA Surakarta.

3. Bapak Drs. Prawoto Mujiyono selaku pengelola program KPA Surakarta atas segala kebaikan hati, keramahan, informasi, kesediaan waktu dan keterbukaan selama penelitian di KPA.

4. Ibu Hariyanti, A.Md selaku pengelola administrasi KPA yang telah sangat membantu dalam kelancaran penelitian.


(7)

commit to user

5. Semua manajer program dan staf LSM-LSM Peduli Aids Kota Surakarta : LSM Kakak, LSM SpekHam, LSM Gessang, LSM Mitra Alam, dan LSM Graha Mitra atas segala kerja sama dan keterbukaan informasi yang diberikan.

6. Keluarga besar AN’06 atas pertemanan yang mengesankan. 7. Semua sahabat OSPAMA yang selalu memberi dukungan.

8. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak bisa disebut satu persatu

Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi ini karena adanya keterbatasan teknik dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua yang membacanya.

Surakarta, Desember 2010 Penulis


(8)

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ...iv

PERSEMBAHAN...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR TABEL ...xi

ABSTRAKSI... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah……….. 1

B.Rumusan Masalah……….. 7

C.Tujuan Penelitian……… 8

D.Manfaat Penelitian……….. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kolaborasi……… 9

1. Pendahuluan……… 9

2. PengertianCollaborative Governance……… 12

3. Alasan Kolaborasi……… 18

4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi……….. 28


(9)

commit to user

B.Kolaborasi Pemerintah dalam Upaya Penurunan Angka HIV/AIDS… 43

C.Kerangka Berpikir……….. 43

BAB III METODE PENELITIAN A.Lokasi Penelitian……… 46

B.Jenis Penelitian……… 48

C.Sumber Data……… 49

D.Teknik Pengumpulan Data……….. 50

E.Metode Penarikan Sampel……… 52

F. Teknik Analisis Data……… 53

G.Validitas Data……….. 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HasilPenelitian………. 58

B.Pembahasan………. 75

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan……… 97

B.Saran……… 100 DAFTAR PUSTAKA


(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1……… 45


(11)

commit to user

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1……… 3


(12)

commit to user

xii

ABSTRAKSI

ASRI SWASTINI. D0106036. Collaborative Governance Komisi

Penanggulangan Aids dan Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal dalam Kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta, Skripsi. Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Komisi Penanggulangan Aids Surakarta (KPA) berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat lokal (LSM) peduli Aids melakukan secara aktif tugas mereka untuk menurunkan angka penderita Aids. Dalam proses kolaborasi diantara mereka KPA tidak bekerja secara efektif tetapi bergantung pada LSM lokal peduli Aids dalam pencarian data dan penjangkauan kelompok sasaran. KPA tidak mendukung dalam pendanaan terhadap LSM lokal tetapi pihak LSM dalam operasionalnya dapat bertahan melalui bantuan dana dari lembaga donor internasional. Pihak LSM lokal merasa KPA tidak bekerja signifikan dalam penurunan angka penderita Aids.

Penelitian ini menggunakan metode etnografi trianggulasi yang terdiri dari beberapa metode kualitatif meliputi observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Teknik pengambilan sampel menggabungkan purposive and snowball sampling. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kolaborasi antara KPA dengan LSM lokal peduli Aids tidak berjalan efektif.


(13)

commit to user

ABSTRACT

ASRI SWASTINI. D0106036. Collaborative Governance of The Aids Prevention Commission and The Local Non-Government Organizations in Cases HIV/AIDS in Surakarta, Bachelor Thesis. The Department of Public Administration. Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta. 2010

The Aids Prevention Commission called Komisi Penanggulangan Aids (KPA) in collaboration with any other local Non-Government Organizations (NGO’s) caring on Aids in Surakarta have activily conducted their tasks to alleviate the number of people suffering from Aids. In the process of collaboration among them, the KPA could not work effectivily but it is highly dependent on the local NGO’s in particaly in collecting data and reaching the targeted group. The KPA itself did not provide any financial support to the local NGO’s that in fact their survival is highly dependent on the overseas funding agencies. The local NGO’s themselves felt that the KPA did not significat work in alleviateing the number of people with Aids. This research used triangulation ethnography methods, consisting of some qualitative methods including observation, in-depth interview, and documentation. It used combined purposive and snow-ball samplings in the data collection. The research concludes that collaboration between the KPA and the local NGO’scaring on Aids worked ineffectively.


(14)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Penyakit HIV/AIDS bukanlah jenis penyakit baru dalam dunia kesehatan. Penyakit ini telah dikenal cukup lama dimana saat ini keberadaannya semakin meluas dan dapat menyerang siapapun. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia.

Sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung. (www.rri.co.id/2009/06/05)

Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang. (www.rri.co.id/2009/06/05)

Berdasarkan hal ini, maka permasalahan HIV/AIDS merupakan permasalahan serius yang harus diatasi. Selanjutnya permasalahan ini ditangani


(15)

oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan memiliki Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan tersebut dengan layanan pengobatan dan perawatan. (www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/06)

Diantara 8 provinsi yang diprioritaskan tersebut salah satunya adalah provinsi Jawa Tengah. Dalam konteks provinsi Jawa Tengah perkembangan penyebaran HIV dan AIDS semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat dan kelangsungan hidup manusia. Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyebab Acquired Immuno deficiency Syndromeatau Acquired Immune Deficiency Syndrome(AIDS) adalah virus perusak sistem kekebalan tubuh manusia yang proses penularannya sulit dipantau, meningkat secara signifikan dan tidak mengenal batas wilayah, pekerjaan, usia, status sosial, dan jenis kelamin. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/06).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Surakarta sangat terlihat bahwa HIV/AIDS dapat terjadi pada siapapun. Kota Surakarta sendiri sebagai salah satu kota yang ada di provinsi Jawa Tengah menempati posisi nomor dua setelah kabupaten Banyumas untuk urusan jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di Jawa Tengah sejak bulan Maret 2010. Menurut


(16)

Manajer Program The Global Fund-AIDS Tuberculosis Malaria District Implementing Surakarta Titiek Kadarsih, hal itu harus dipandang dari sisi positif bahwa gunung es penderita HIV/AIDS di Kota Surakarta semakin terungkap. "Kami menargetkan pada 2015 bisa terungkap semua gunung es, mencapai 860 penderita HIV/AIDS. Jika jumlahnya lebih banyak dari itu, berarti program yang kami kerjakan saat ini tidak tepat. Kami justru ingin menemukan sebanyak-banyaknya penderita agar bisa diobati untuk mencegah penularan lebih besar," kata Titiek. Sejak Oktober 2005-Maret 2010, di Surakarta ditemukan 365 kasus HIV/AIDS dengan 106 di antaranya meninggal. Dari jumlah penderita HIV/AIDS, persentase terbesar ditempati wanita pekerja seksual (WPS) sebanyak 149 orang dan ibu rumah tangga sebanyak 74 orang. (http://www.cetak.kompas.com)

Tabel 1.1 Hasil Pemetaan Data Populasi Kunci KPA Maret 2010 Kel Risiko Estimasi Data Lap Dijangkau Gap ODHA Penasun (Idus) 270 1.309 753 556 69 WPS langsung 1.310 4.307 2.863 1.444 39 Pelanggan WPS 24.350 40.474 38.675 1.799 149

Waria 80 103 103 11 6

MSM/LSL 2.510 1.168 900 268 27

Ibu RT/Anak 74

PLHIV/ODHA 860 331 156 104 364 Sumber : Data Cakupan Maret 2010, KPA Kota Surakarta

Dari tabel tersebut dapat dilihat perkembangan kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta. Sampai bulan Maret 2010 ini masih terus ditemukan kasus-kasus HIV/AIDS baru yang berasal dari beberapa kelompok resiko, yaitu mulai dari


(17)

pengguna narkoba suntik, WPS atau wanita pekerja seks, pelanggan WPS, waria, LSL atau laki-laki seks dengan laki-laki, sampai ibu-ibu rumah tangga dan atau anaknya. Dari hasil pemetaan data populasi kunci yang dilakukan oleh KPA kota Surakarta, masih terjadi gap antara estimasi, data lapangan, dan yang telah berhasil dijangkau oleh KPA maupun LSM-LSM peduli Aids yang ada di kota Surakarta. Gap atau selisih jumlah inilah yang menguatkan asumsi bahwa masih banyak kasus-kasus HIV/AIDS yang belum tersentuh oleh pemerintah ataupun institusi sosial lainnya.

Selain itu, klien HIV/AIDS kota Surakarta juga terus meningkat bahkan dengan cukup cepat dan berkali lipat. Masih berdasarkan data cakupan Maret 2010 KPA kota Surakarta, pada bulan Oktober 2005 jumlah penderita HIV yang tercatat hanya 2 orang saja dan terus meningkat dari waktu ke waktu sekitar 15 kali lipat hingga berjumlah 30 orang pada tahun 2009, dan sudah ada 8 penderita HIV baru yang tercatat sampai bulan Maret 2010 ini. Sedangkan untuk penderita AIDS peningkatannya jauh lebih cepat. Pada Oktober 2005, hanya tercatat 2 orang penderita dan terus meningkat sampai pada tahun 2009 ditemukan ada 73 penderita AIDS. Itu berarti terjadi pelipatgandaan sampai lebih dari 36 kali, dan telah ditemukan 11 kasus penderita AIDS baru di bulan Maret 2010. (Sumber : Data Cakupan Maret 2010, KPA Kota Surakarta)

Semakin tingginya angka HIV/AIDS di Kota Surakarta disinyalir karena masih rendahnya kesadaran masing-masing stakeholders untuk giat melakukan sosialisasi pada wilayah kerja mereka, dan rendahnya kesadaran dari masyarakat Surakarta sendiri terkait bahaya HIV/AIDS yang dapat menyerang siapapun.


(18)

Selama ini, HIV/AIDS memang masih kalah populer dibanding kasus demam berdarah meskipun sama-sama fatal akibatnya.

Untuk tahun 2010 ini anggaran yang diberikan dari APBD Surakarta untuk program penanggulangan HIV/AIDS hanya sebesar 75 juta saja. Hal ini sangat kecil dibanding dengan dana LSM yang berasal dari lembaga donor luar negeri, bisa mencapai 1 miliar satu tahun untuk 5 kabupaten/kota.

Di tingkatan pusat, pemerintah memiliki Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang yang berfokus pada upaya penanganan HIV/AIDS di seluruh Indonesia, selanjutnya KPA Nasional ini memiliki cabang-cabang baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. KPA Surakarta merupakan instansi independen yang bertugas sebagai koordinator penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta. Semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Surakarta menjadi anggota KPA, meliputi semua dinas yang ada di Kota Surakarta, organisasi profesi seperti IDI, Persatuan Perawat, Organda, Apindo, dan lain-lain, dan LSM peduli AIDS yang ada di Kota Surakarta yaitu Mitra Alam (Injeksi Drug User), SpekHam (WPS dan pelanggan), Graha Mitra (Waria), Gessang (Gay), dan Yayasan Kakak (Anak yang Dilacurkan) sehingga diharapkan semua komponen ini bisa mengkomunikasikan dan menginformasikan tentang bahaya HIV/AIDS. Berdasarkan hal ini, maka KPA merupakan koordinator utama upaya penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta dimana selanjutnya KPA Surakarta bekerjasama dengan stakeholders lain dengan tujuan penanggulangan HIV/AIDS dapat jauh lebih efektif. Tugas KPA hanya sebagai koordinator. Hal ini diperkuat melalui pernyataan Drs. Prawoto Mujiyono, selaku pengelola program KPA Surakarta :


(19)

“KPA itu tugasnya adalah untuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang ada di daerah ini yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan sehingga akan terwujud penurunan angka HIV. Koordinator supaya upaya kegiatan itu berjalan lancar. KPA kan bukan lembaga implementer tapi koordinator.”

Program yang dimiliki KPA selama ini antara lain sosialisasi kepada masyarakat maupun kelompok-kelompok beresiko melalui berbagai media, penjangkauan pada kelompok-kelompok beresiko untuk mau memeriksakan kesehatannya baik ke klinik IMS (inveksi menular seksual) yang ada di puskesmas Manahan dan Sangkrah maupun ke klinik VCT (voluntary counseling and testing) yang ada di RS. Dr. Moewardi dan RS. Dr. Oen, training PE (peer educator) atau kelompok dampingan sebaya yang akan mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS di kelompok mereka masing-masing dan training PO (peer outreach) atau petugas penjangkau yang bertugas mengarahkan teman sebaya untuk mau periksa ke IMS dan VCT. Perkembangan kondisi terbaru kasus-kasus HIV/AIDS di Surakarta dapat selalu dipantau oleh KPA karena KPA sebagai koordinator, mengkoordinasi klinik-klinik dan LSM-LSM peduli Aids yang ada di Surakarta untuk memberikan laporan bulanan kepada KPA yang selanjutnya akan dilaporkan kepada walikota.

Kerjasama yang terjalin antara KPA dengan stakeholders lain selama ini masih hanya sebatas kesepakatan bersama, sehingga terkadangstakeholdersyang lain merasa tidak terlalu menganggap penting untuk ikut berperan aktif menurunkan angka HIV/AIDS di Kota Surakarta atau setidaknya aktif dan sungguh-sungguh dalam upaya sosialisasi bahaya HIV/AIDS di wilayah kerja


(20)

berperan menjangkau kelompok-kelompok beresiko tinggi terkena HIV/AIDS dan sosialisasi kepada masyarakat.

Berdasar hal inilah, maka penelitian ini menekankan pada kolaborasi antar institusi dalam upaya penurunan HIV/AIDS dan tidak memfokuskan pada penurunan HIV/AIDS melainkan hanya menekankan pada kolaborasi antar insitusi itu saja. Institusi yang dimaksud disini adalah KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang selama ini dianggap paling berperan dalam proses penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Dengan demikian, hasil penelitian nantinya akan berfokus pada masalah kolaborasi antar institusi yang selama ini berjalan, yaitu antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids mengenai sejauh mana efektivitas kolaborasi tersebut dan tidak menitikberatkan pada hasil penurunan angka HIV/AIDS di Kota Surakarta.

A. Rumusan Masalah

Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada perumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimana KPA menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya dalam

upaya penanganan kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta ?

2. Bagaimana kolaborasi yang dibangun KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids yang ada di Kota Surakarta untuk penanganan kasus HIV/AIDS dan seberapa efektif kolaborasi tersebut ?


(21)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui program-program yang selama ini dilakukan oleh pihak KPA dan LSM-LSM peduli Aids dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta.

2. Mengetahui efektivitas kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM peduli Aids dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta. 3. Memberikan rekomendasi tentang kebijakan penanggulangan HIV/AIDS

di Kota Surakarta.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan masukan dalam upaya perbaikan kinerja kebijakan dan peningkatan kolaborasi antar instansi melalui rekomendasi kebijakan. 2. Memperluas pengetahuan dan wacana baru bagi pembaca mengenai

keadaan dan kondisi terkini HIV/AIDS di Kota Surakarta dan kolaborasi yang terjalin selama ini.

3. Meningkatkan kompetensi penulis sebagai mahasiswa ilmu administrasi dalam mengkaji permasalahan sosial dalam masyarakat.


(22)

commit to user

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kolaborasi

1. Pendahuluan

Teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini banyak mengambil dari karya-karya penelitian Sudarmo, hal ini dikarenakan teori-teori yang ada sangat relevan dan tepat untuk diterapkan dalam penelitian skripsi ini.

Sebuah masalah yang dirasakan orang atau kelompok orang, mungkin tidak dirasakan oleh kelompok lainnya. Namun sangat mungkin persoalan yang terjadi di kelompok tertentu, akan berdampak bagi kelompok lainnya, demikian seterusnya sehingga kelompok yang pertama merasakan bahwa kemungkinan mereka akan semakin merasakan banyak beban ketika masalah dari pihak lainnya menimpa padanya. Dalam menangani, mengelola dan menata suatu masalah publik, sering tidak cukup hanya dilakukan oleh unit-unit institusi-institusi pemerintah setempat baik secara terpadu atau terkait, melainkan tidak jarang memerlukan keterlibatan institusi non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga swadaya lokal (LSML) sesuai dengan pusat perhatian yang mereka masing-masing. Ketika cara mengelola, menata dan memenej suatu urusan adalah dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau kelompok, maka disinilah konsepcollaborative governance antar institusi, termasuk institusi pemerintah maupun non pemerintah, penting digunakan untuk menganalisis sistem pengelolaan secara bersama.


(23)

Ketika sebuah isu menegaskan adanya kolaborasi antara institusi maka dalam perspektif administrasi publik, seharusnya didalamnya telah tercakup konsep collaborative governance karena paradigma administrasi publik yang menekankan nilai-nilaicitizenship dan atau demokrasi secara tidak langsung (dengan sendirinya) mempraktekan governance, meskipun dimungkinkan jugastakeholdertertentu tidak dilibatkan secara fisik tetapi kepentingan mereka seoptimal mungkin diupayakan untuk diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks inistakeholderbisa didefinisikan sebagai pihak (atau orang atau kelompok) yang terpengaruh atau terkena dampak dari sebuah tindakan, program atau kebijakan atau pihak yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan suatu pemecahan suatu persoalan bersama.

Kolaborasi antar institusi menjadi isu penting dalam administrasi publik mengingat banyak persoalan publik yang memiliki implikasi luas yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika hanya mengandalkan pada satu institusi pemerintah saja. Melalui kolaborasi ini diharapkan persoalan atau masalah publik yang dihadapi bisa atasi atau paling tidak bisa diminimalisir secara signifikan.

Collaborative governance muncul dan dikembangkan secara adaptif untuk merespon adanya kompleksitas dan konflik-konflik bernuansa politik atau persolan-persoalan yang menuntut diadopsinya nilai-nilai demokrasi, namun konsep tersebut tidak atau belum diinspirasikan oleh filosofi politis atau teori tertentu. Dengan kata lain ada


(24)

kecenderungan bahwa dilakukannya collaborative governance didorong oleh adanya upaya pragmatisme dalam menyelesaikan masalah yang selama ini tidak kunjung teratasi melalui penerapan teori-teori konvensional yang selama ini dipercaya mampu mengatasi masalah (Sudarmo, 2010).

2. PengertianCollaborative Governance

Pengertian kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti proses, dan (2) kolaborasi dalam arti normative (Sudarmo, 2010). Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur/mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi, pemerintah maupun non pemerintah (termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat setempat/atau [LSM] lokal dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing) ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari institusi-institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja; atau bisa juga mencakup institusi yang berafilisasi ke pemerintah berkolaborasi dengan LSM-LSM setempat yang didanai oleh pihak swasta/LSM/penyandang dana dari luar negeri. Namun dalam kolaborasi ini institusi-institusi yang terlibat secara interaktif melakukan governance bersama.Adapun porsi keterlibatanya tidak selalu sama bobotnya, mungkin saja mereka hanya terlibat dalam hal penyediaan data-data tentang angka riil penderita


(25)

HIV/AIDS oleh LSM ke institusi pemerintah, sedangkan operasi lapangan dalam memberikan penyuluhan dilakukan langsung oleh LSM-LSM tersebut yang secara intensiif didanai oleh pihak asing, atau didukung oleh pihak pemerintah dalam hal penyediaan kondom dan alat kontrasepsi lainnya.

Sedangkan kolaborasi dalam pengertian normative merupakan aspirasi, atau tujuan-tujuan fisolofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan para partner atau mitranya. Memang collaborative governance bisa merupakan bukan institusi formal tetapi juga bisa merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi non-pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan ke dalam manajemen publik pada suatu periode (Sudarmo, 2010). Dalam hal ini kolaborasi antara KPA Surakarta dan para LSM lokal Surakarta yang berkepentingan dalam penurunan angka HIV/AIDS bisa juga dikategorikan ke dalam kolaborasi dalam konteks normatif sepanjang sama-sama memiliki aspirasi atau tujuan-tujuan yang serupa untuk menurunkan penyebaran HIV/AIDS, walaupun masing-masing LSM tersebut bekerja secara-sendiri-sendiri sesuai dengan ketentuan yang mereka sepakati bersama penyandang dana masing-masing bagi LSM tersebut. Namun demikian, jika peneliti lebih berkepentingan untuk menganalisis atau meneliti pada kolaborasi antar institusi dalam penurunan angka HIV/AIDS maka sifat kolaborasi ini lebih menekankan pada proses; dan sebaliknya jika peneliti atau analis lebih concern pada motif atau


(26)

tujuan untuk menurunkan angka HIV/AIDS maka kolaborasi antara KPA dan LSM peduli HIV/AIDS bisa dikategorikan sebagai kolaborasi dalam arti normatif.

Dengan mengacu pada dua pengertian ini maka seorang peneliti atau analis bisa memilih apakah dia akan memfokuskan kolaborasi dalam arti proses atau dalam arti normatif. Dalam konteks hubungan kerjasama KPA dan para LSM lokal di Surakarta yang peduli atau berkecimpung terhadap isu tentang penderita HIV/AIDS, bisa dikategorikan sebagai collaborative governance dalam arti proses, terutama ketika peneliti atau analis tidak ada ketertarikan untuk melihat lebh jauh hasil akhir dari kolaborasi tersebut dalam penurunan angka HIV/AIDS. Bisa disebut demikian karena KPA secara berkolaborasi bersama LSM-LSM peduli AIDS ikut mengelola bagaimana berupaya menurunkan angka HIV/AIDS di Surakarta walaupun hasil akhirnya kurang diperhitungkan, apakah dari kolaborasi tersebut angka tersebut akan menurun atau bahkan akan meningkat mengingat banyak faktor dari para individu rentan penyakit menular itu sendiri yang justru ikut berkontribusi bagi peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS.

Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal yang biasa dirasakan atau sulit terdeteksi karena ketertutupannya,


(27)

kapasitas pemerintah daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas sedangkan institusi-institusi di luar pemerintah meningkat, dan inisiatif spontan masyarakat semakin meluas dan kritis. Ketika pergeseran-pergeseran tersebut terjadi, maka hal ini bisa dirasakan bahwa pemerintah memiliki pilihan terbatas atau kecil dan bahkan seakan dipaksa untuk mengikuti untuk segera menyelesaikan atau mengatasi apa yang tengah menjadi isu tersebut; namun demikian pemerintah tetap harus menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan lingkungan yang tengah bergejolak atau berubah. Kolaborasi dalam konteks ini merupakan cara merespon terhadap perubahan sehingga pemerintah tetap aktif dan harus tetap efektif dalam suatu lingkungan manajemen publik yang kompleks dengan tetap melibatkan para institusi-institusi lain yang relevan dengan tujuan yang diinginkan.

Lebih dari itu, collaboration dipandang sebagai gambaran tentang cara menangani sesuatu isu atau persoalan tertentu yang sifatnya kabur dan tidak jelas yang memiliki implikasi bahwa ukuran-ukuran (standar-standar) dan relevansi dari wilayah isu yang satu ke wilayah isu lainnya secara berbeda-beda. Dengan demikian, siapa/stakeholder mana saja yang dilibatkan atau harus dilibatkan dalam kolaborasi, dan bentuk dan proses kolaborasi dimungkinkan akan berbeda-beda dari sebuah wilayah isu tertentu ke isu lain dan dari satu sektor ke sektor lain. Ini untuk menggaris bawahi bahwa kolaborasi antara institusi dalam penurunan angka penularan HIV atau pedagang kaki lima misalnya, tentu berbeda dengan


(28)

stakeholder mana saja yang terlibat atau dilibatkan, bentuk dan proses kolaborasi nya dalam isu-isu kesejahteraan petani padi, perdagangan anak, pelacuran, dan isu tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri.

Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak dilakukan namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini terutama ketika disadari bahwa single otoritas sering tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan kapasitas yang dimilikinya di era pelayanan publik seiring dengan pergeseran paradigma pelayanan dalam administrasi publik. Namun tentu saja setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang konsepsi kolaborasi ini, sesuai dengan perspektif displin ilmu yang mereka gunakan.

Terkait dengan konsepsi kolaborasi, sejumlah pemerhati mengemukakan pandangannya bahwa pemerintah sejak lama sudah melakukan kolaborasi, yakni dalam bentuk mencari diluar batas-batas wilayah pemerintah untuk medapatkan saran-saran atau nasehat, ahli, dan mitra kerja yang potensial. Sebagian lainnya mengatakan bahwa kolaborasi yang sifatnya non-hirarkhis dan non birokratis pada dasarnya berkebalikan dari apa yang secara tradisional (hirarkis dan birokratis) telah diperlihatkan pemerintah, dan cenderung bersifat top-down terhadap mitranya.


(29)

Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut harus mengadopsi kesepakatangovernanceyang cepat agar efektif namun bisa diterima semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, seperti pedagang kaki lima, mereka yang terjangkit HIV atau penyakit AIDS (kaum ODHA), kaum homoseksual, misalnya, maka melakukan kolaborasi dengaan kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi penolakan hasil keputusan tersebut oleh mereka. Atau, pemerintah dan atau lembaga-lembaga yang berafiliasi ke pemerintah, perlu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga swadaya yang memfokuskan pada persoalan-persoalan kaum marginal tersebut agar mampu memahami, mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut secara efektif.(Sudarmo, 2010)


(30)

3. Alasan Melakukan Kolaborasi

Secara umumcollaborative governancemuncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut: (1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, dan (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik (Sudarmo, 2010). Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang sangat besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative governance dalam pemecahan masalah, konflik antar kelompok sulit untuk diatasi. Juga, ketka berbagai upaya telah dlakukan dan belum membuahkan hasil, maka kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan masalah yang memiliki legitimasi kuat karena melibatkan berbagai kelompok kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dn mengambil keputusan secara bersama-sama untuk bisa disetujui secara bersama-sama. (Sudarmo, 2010).

Terdapat banyak argumen tentang berkembangnya pentingnya melakukan collaborative governance, antara lain adalah karena: (1) kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan, (2) ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan


(31)

regim-regim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan, (3) mobilisasi kelompok kepentingan, dan (4) tingginya biaya dan politisasi regulasi (Sudarmo, 2010).

Disamping empat alasan tersebut diatas, terdapat dua alasan lain atas kemunculan dan dikembangkannya collaborative governance, yakni: (1) pemikiran-pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok kepentingan, dan (2) adanya kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama manajemen ilmiah yang semakin dipolitisasi) dan kegagalan implementasinya (Sudarmo, 2010).

Demikian pula, kecenderungan dilakukannya collaborative governace adalah dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan tumbuhnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi seiring dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari lingkungan selama organisasi tersebut bekerja dalam rentang waktu tertentu (Sudarmo, 2010). Ketika pengetahuan semakin terspesialisasi dan terdistribusi dan ketika infrastruktur institusi bagi pemecahan masalah dan deliberasi menjadi semakin berkembang, kompleks dan padat, maka tuntutan dan permintaan kolaborasi antar bagian atau institusi meningkat pula mengingat sebuah masalah sering merdampak bagi semua bagian atau sejumlah institusi atau masalah sejenis menjadi fokus perhatian dari berbagai institusi yang memiliki kepentingan sejenis sedangkan mereka memiliki keahlian berbeda-beda yang mungkin bersifat komplementer; dengan demikian pemecahan masalah secara kolaborasi antara institusi menjadi hal yang


(32)

lebih direkomendasikan atau justru merupakan sebuah kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang.

Justru karena collaborative governance kemunculannya dan perkembangannya sifatnya adaptif (sengaja diciptakan) terhadap suatu persoalan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka dimungkinkan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance akan bervariasi dan mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal manajemen, kebijakan komunitas, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder yang harus terlibat secara normatif. Juga dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan batas-batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal (1) tingkat formalitasnya, (2) tingkat durasinya, (3) tingkat fokusnya, (4) tingkat institutional diversitynya, (4) tingkat “valence” nya, (5) tingkat stabilityatauvolatility nya, (6) tingkat inisiatifnya, dan (7) tingkat pencetusan masalah, apakah sifatnyaprobel-drivenatauopportunity-driven (Sudarmo, 2010). Ke tujuh elemen inilah yang kemudian ikut berkontribusi dalam mendefinisikan collaborative governance.

Terkait dengan sifat kolaborasi, hubungan collabotarive governance bisa berjalan secara terlembaga melalui kontrak-kontrak formal atau juga collaborative relationships bisa berjalan melalui kesepakatan informal. Memang sekarang telah banyak hubungan kolaboratif melalui kontrak atau kesepakatan formal sehingga mudah


(33)

menjelaskan, mendeskripsikan para partisipannya, mudah menggambarkan atau menjelaskan prosedurnya, dan mudah menjelaskan tujuanya. Namun demikian, sebaliknya jika hubungan kolaboratif dilakukan melalui kespakatan informal maka cenderung lebih sulit untuk menganalisis meskipun tetap bisa dilakukan. Hubungan kelompok marginal dan Pemerintah kadang bisa formal kadang bisa informal. Namun demikian, jika telah menyangkut persoalan keuangan atau tanggung jawab keuangan yang harus disetorkan pedagang kaki lima (PKL) misalnya, ke pihak-pihak tertentu termasuk pihak swasta atau perusahaan tertentu, maka hubungan kolaborasi lebih menekankan pada kesepakatan atau kontrak formal agar jelas garis tanggung jawabnya. Juga hubungan formal bisa terjadi terutama antara pihak LSM kepada pihak penyandang dana; dan hubungan semi formal bisa terjadi antara LSM dan lembaga pemerintah yang sama-sama memfokuskan pada isu penurunan angka HIV di Surakarta.

Durasi kolaborasi bisa bersifat permanen atau sementara. Kolaborasi yang bersifat permanen antara kelompok marginal dan pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua stakeholder. Contohnya, KPA yang pada prakteknya memerlukan kolaborasi dengan LSM-LSM lokal yang memiliki kepentingan serupa dalam hal penurunan angka HIV, berkewajiban melaporkan hasil kerjanya kepada Walikota Surakarta. Namun demikian, apakah kolaborasi itu akan berjalan secara permanen atau sementara belum bisa diprediksikan mengingat kesinambungan kehidupan LSM peduli AIDS di Surakarta


(34)

sangat tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Sebaliknya KPA yang seharusnya ikut mendukung secara finansial kepada LSM-LSM lokal peduli AIDS, institusi pemerintah tersebut belum memberikan kontribusi finansial secara signifikan. (Sudarmo, 2010)

Fokus collaborative governnace juga bervariasi, ada yang cukup luas ada yang spesifik. Ada kecenderungan semakin spesifik fokus kolaborasi maka semakin memudahkan dalam analisis karena unsur-unsur yang akan dianalisis sifatnya khusus dan spesifik dan terfokus. Sebaliknya jika fokus kolaborasi terlalu luas maka akan mempersulit analisis karena terlalu banyak bagian yang harus dianalisis sehingga menuntut kejelian yang amat tinggi untuk mendapatkan hasil analisis yang tajam, dalam dan komperehensif. Collaborative governace terhadap kaum marginal pada dasarnya cukup spsesifik, namun analisis bisa meluas tergantung pada seberapa kompleks hubungan mereka dan stakeholder lainnya dalam governance. Untuk kepentingan penelitian, peneliti atau analis bisa memfokuskan pada kolaborasi antara institusi pemerintah dengan LSM lokal setempat peduli AIDS; atau kolaborasi antara institusi pemerintah dengan kaum marginal lainnya.

Collaborative governance memerlukan sejumlah institusi (kelompok beserta para pemukanya) yang berpartisipasi dalamgovernance (penataan, penertiban, pembinaan, pemberdayaan atau pengelolaaan kelompok marginal) yang semuanya ikut dianalisis terkait dengan peranannya dan kontribusinya masing-masing dalam menangani persoalan


(35)

terkait dengan masalah yang dihadapistakeholder lainnya terutama pihak pemerintah setempat (Sudarmo, 2009a). Demikian pula ketika akan menganalisis isu penurunan angka HIV maka perlu dilihat pula stakeholder yang terlibat termasuk KPA dan LSM-LSM peduli AIDS se-Surakarta, serta institusi-institusi atau individu-individu tertentu yang terlibat.

Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence” yaitu para pelaku atau pemain yang secara jelas berhubungan bersama-sama dalam kolaborasi dan jumlah hubungan diantara mereka. Dalam konteks collaborative governance kaum marginal maka ada beberapa pelaku yang berhubungan dengan mereka termasuk pihak pemerintah dan sejumlah pihak swasta, dan bahkan mungkin saja partai politik tertentu Walaupun analisis perlu membatasi, tetapi tidak mudah karena tidak menutup kemungkinan stakeholder yang kurang diperhitungkan justru merupakan unsur penting bagicollaborative governance, misalnya, dalam hal penurunan angka HIV, analis/peneliti perlu membatasi institusi-institusi mana saja yang benar-benar terlibat secara kolaboratif, namun peneliti/analis perlu waspada pihak-pihak mana saja yang perlu dijadikan informan mengingat tidak jarang sejumlah informan jauh dari perhatian dan jangkauan peneliti/analis yang mengakibatkan data kurang akurat. (Sudarmo, 2010)

Collaborative governance juga mungkin sifatnya stabil sampai dengat batas tertentu berkaitan dengan “rasa berbagi diantara para


(36)

anggota”seperti pada kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM se Surakarta yang peduli AIDS mungkin bersifat lama atau permanen atau bisa saja tak tentu tergantung seberapa mampu lembaga-lembaga ini mampu beroperasi dengan topangan dana tertentu mengingat dana amat penting peranannya bagi kesinambungan operasi mereka. Sebuah LSM bisa saja berhenti beroperasi ketika penyandang dana tidak lagi secara berkesinambungan mendanai aktivitasnya. Banyak LSM di Surakarta hidupnya masih tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Ini berarti bahwa kondisi keuangan yang minimal bisa mengancam kesinambungan kolaborasi dengan KPA terutama ketika LSM tersebut berhenti beroperasi. Semakin kurang stabil sebuah kolaborasi maka semakin besar energi yang harus mereka curahkan melalui rasa berbagi bersama guna memelihara dan mempertahankan kolaborasi itu sendiri. (Sudarmo, 2010)

Collaborative governance juga mencakup pengertian keterlibatan institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa insiatif dari masing-masing institusi (stakeholder) dalam menentukan/mendefinisikan tujuan, menilai hasil, menyebabkan perubahan, dan sebagainya. Dengan kata lain siapa yang mempengaruhi (atau mengajak) kepada yang lain. Maka dalam hal ini, siapa yang memulai melakukan inistaitif bisa dilihat dari tiga aspek.Pertama,inisiatif pasti bermula dari pemain/pelaku yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Dalam masyarakat yang sudah sangat demokratis dan berjalan secara optimal tingkat


(37)

demokrasinya, semua pencapaian tujuan yang diperoleh dalam proses kolaborasi tentunya bisa dinilai. Namun demikian, dalam keadaan demokrasi sangat lemah atau pemerintahnya itu sendiri tidak demokratis (misalnya tidak bersih, korup) atau bahkan tidak ada pemerintah, maka menilai hasil kolaborasi sangat tidak masuk akal dan bahkan dalam secara umum bisa kontroversial karena persyaratan yang diperlukan (yaitu pemerintah yang demokratis) tidak dipenuhi.

Kedua, masing-masing stakeholder atau institusi yang berkolaborasi harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan kolaborasi. Jika ternyata instutusi lain hanya sekedar berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku dominan (atau pelaku utama, katakanlah menjalankan agenda pemerintah atau agenda dari swasta besar) maka hubungan yang tercipta pasti bukan hubungan collaborative governance (Sudarmo, 2010), tetapi bentuk hubungan yang lain yang bisa berupa kooptasi, dominasi dan mungkin saja divide and rule yang bertentangan dengan democratic collaborative governance(Sudarmo, 2008)

Ketiga, Hubungan diantara institusi-institusi yang terlibat harus bersifatstrategic, artinya bahwa setiap institusi dalam melakukan tindakan selalu bisa dilihat secara transparan oleh institusi lainnya yang merupakan bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi bahwa institusi lain akan memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan dari institusi tersebut, sehingga saling memperlihatkan transparansi dalam bertindak dan


(38)

antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalam collaborative gobernancemerupakan sebuah kelaziman yang harus terjadi (Sudarmo, 2010).

Dalam collaborative governance, apakah kolaborasi itu ditujukan untuk mempertahankan staus quo dari pihak-pihak tertentu yang ingin tetap mempertahankan keadaan yang selama ini memberikan keuntungan dan atau mempertahankan kekuasaannya atau dominasinya sehingga bersifat “defensive”, ataukah kolaborasi itu bertujuan untuk memperbaiki situasi staus quo (sesuatu yang ingin dirubah dari situasi sekarang yang selama ini dipandang tidak membawa kebaikan bagi banyak/semua pihak). Jika kolaborasi ini dilakukan untuk memperbaiki situasi yang masih bersifatstatus quo, maka gayacollaboravetersebut merupakan kolaborasi yang sifatnya “offensive. Collaborative governance bisa mengambil dua bentuk ini, bisa berupa salah satu atau campuran keduanya. Demikian pula kolaborasi antara KPA dan LSM peduli AIDS bisa mengambil bentuk-bentuk seperti itu. Namun untuk kedepan kolaborasi yang bersifat defensive kurang mendukung bagi terselenggaranya pelayanan penderita AIDS atau bahkan penurunan angka AIDS sekalipun jika KPA dijadikan sebagai institusi dominan yang menangani AIDS karena dalam tataran praktis keberadaan lembaga ini juga masih menggantungkan kapasitas masing-masing LSM peduli AIDS di Surakarta. Dengan demikian, kedepan, KPA perlu menjalankan gaya kolaborasi yang offensif , yakni melakukan perubahan-perubahan atau perbaikan dalam mendukung kinerja


(39)

masing-masing LSM peduli AIDS terutama dalam hal dukungan pendanaan, bukan sekedar sebagai alat kepanjangan tangan KPA saja dan meminta belas kasihan dari mereka agar kolaborasi ini menjadi lebih optimal. (Sudarmo, 2010)

4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi

Provan dan Milward (dalam Sudarmo, 2010) mengajukan penilaian efektivitas kolaborasi secara komprehensif mencakup kolaborasi pada tatatan komunitas, tataran network dan tataran hubungan antar institusi atau partisipasi institusi dengan dimensi untuk masing-masing ukuran yang sangat luas dan komples. Namun penilaian ini terlalu luas sehingga memerlukan waktu dan biaya yang tentu tidak sedikit. Ukuran lain yang dipandang lebih relevan dengan situasi karena lingkupnya jelas dan terukur dan sejalan dengan kepentingan penelitian ini adalah ukuran efektivitas kolaborasi yang dikemukakan oleh DeSeve. DeSeve (dalam Sudarmo, 2010) menyebutkan bahwa terdapat delapan item penting yang bisa dijadikan untuk mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi dalam governance, yang meliputi: (1)networked strucuture, (2)commitment to a common purpose, (3) trust among the participants, (4) governance (termasuk: a) adanya saling percaya diantara para pelaku, b) ada batas-batas siapa yang boleh terlibat dan siapa yang tidak boleh terlibat, c) aturan main yang jelas yang disepakati bersama, dan d) kebebasan menentukan bagaimana kolaborasi dijalankan); (5)access to authority, (6)


(40)

distributive accountability/responsibility,(7) information sharing, dan (8) access to resources.

Networked structure (struktur jaringan) menjelaskan tentang deskripsi konseptual suatu keterkaitan antara elemen yang satu dengan elemen yang lain yang menyatu secara bersama-sama yang mencerminkan unsur-unsur fisik dari jaringan yang ditangani. Ada banyak bentuk networked structure, seperti hub dan spokes, bintang, dan cluster (kumpulan terangkai dan terhubung) yang bisa digunakan (Sudarmo, 2010). Milward dan Provan (dalam Sudarmo, 2010) mengkategorikan bentuk struktur jaringan ke dalam tiga bentuk: self governance, lead organizationdanNetwork administrative organization(NAO). Dari kedua macam pengkategorian, model hub dan spoke bisa disamakan denganlead organisasi; bentuk lintang bisa disamakan dengan self governance; sedangkan model cluster lebih dekat ke model network administrative organization karena yang sebenarnya model ini merupakan campuran antaraself governancedanlead organization.

Model self governence ditandai dengan struktur dimana tidak terdapat entitas administratif namun demikian masing-masing stakeholder berpartisipasi dalam network, dan manajemen dilakukan oleh semua anggota (stakeholderyang terlibat). Kelebihan dari modelself-governance adalah bahwa semua stakeholder yang terlibat dalam network ikut berpartisipasi aktif, dan mereka memiliki komitmen dan mereka mudah membentuk jaringan tersebut. Namun, kelemahan dari model ini adalah


(41)

tidak efisien mengingat biasanya terlalu seringnya mengadakan pertemuan sedangkan pembuatan keputusan sangat terdesentralisir sehingga sulit mencapai konsesnsus Juga disyaratkan agar bisa efektif, parastakeholder yang terlibat sebaiknya sedikit saja sehingga memudahkan saling komunikasi dan saling memantau masing-masing secara intensif (Sudarmo, 2010).

Model lead organization ditandai dengan adanya entitas administratif (dan juga manajer yang melakukan jaringan) sebagai anggota network/atau penyedia pelayanan. Model ini sifatnya lebih tersentralisir dibandingkan dengan model self govenance. Kelebihanya, model ini bisa efisien dan arah jaringannya jelas. Namun masalah yang dihadapi dalam model ini adalah adanya dominasi oleh lead organization, dan kurang adanya komitmen dari para anggota (stakeholder) yang tergabung dalam network. Disarankan juga agarnetworklebih optimal, para anggota dalam networksebaiknya cukup banyak (Sudarmo, 2010). Hal ini bisa dipahami mengapa anggota yang banyak dipandang efektif karena model ini mengandalkan juga dukungan daristakeholderatau anggota lainnya dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga semakin banyak dukungan semakin efektif sebuah kolaborasi yang mnegadopsi model lead organization. Namun demikian jaringan tidak boleh membentuk hirarki karena justru tidak akan efektif, dan struktur jaringan harus bersifat organis dengan struktur organisasi jaringan yang se-flat mungkin, yakni tidak ada hirarki kekuasaan, dominasi dan monopoli; semuanya setara baik dalam hal hak,


(42)

kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk aksesibilitas (Sudarmo, 2010).

Modelnetwork administrative organizationditandai dengan adanya entitas administrative secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola network, bukan sebagai “service provider” (penyedia layanan) –dan manajernya di gaji. Model ini merupakan campuran model self-governancedan modellead organization

Commitment to common purpose mengacu pada alasan mengapa sebuahnetwork atau jaringan harus ada. Alasan mengapa sebuahnetwork harus ada adalah karena perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan positif. Tujuan-tujuan-tujuan ini biasanya terartikulasikan di dalam misi umum suatu organisasi pemerintah. Demikian pula, penurunan angka HIV/AIDS juga memerlukan komitmen dari masing-masing institusi yang berkolaborasi untuk mencapai tujuan tersebut. Namun komitmen LSM-LSM tidak selalu tertuju untuk institusi pemerintah mengingat mereka lebih merasa bertanggung jawab pada lembaga donor yang membiayai aktivitasnya, seperti lembaga luar negeri yang pada umumnya menjadi tempat bernaung bagi LSM-LSM lokal yang ada di Surakarta maupun tempat lain di Indonesia. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang dicanangkan insitusi pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan angka HIV/AIDS bisa dipandang sebagai perwujudan rendahnya efektivitas kolaborasi.


(43)

Trust among the participants (kepercayaan diantara para partisipan), didasarkan pada hubungan professional atau sosial; keyakinan bahwa para partisipan mempercayakan pada informasi-informasi atau usaha-usaha daristakeholderlainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Bagi lembaga-lembaga pemerintah, unsur ini sangat esensial karena harus yakin bahwa mereka memenuhi mandat legislatif atau regulatori dan bahwa mereka bisa “percaya” terhadap partener-partner (rekan kerja dalam jaringan) lainnya yang ada di dalam sebuah pemerintahan (bagian-bagian, dinas-dinas, kantor-kantor, badan-badan dalam satu pemerintahan daerah, misalnya) dan partner-partner di luar pemerintah untuk menjalankan aktitas-aktivitas yang telah disetujuai bersama. Jika sudah saling curiga dan bahkan saling memfitnah, bukti bahwa kolaborasi telah berada di ambang titik akhir. Demikian juga, dengan mengacu pada kemungkinan adanya kolaborasi antara KPA dan para LSM lokal peduli AIDS, KPA harus bisa percaya bahwa para informasi atau data yang disediakan LSM ini akurat, atau ketika KPA ini kesulitan mencari data akurat tentang jumlah penderita HIV/AIDS karena keterbatasan kapasitasnya maka institusi ini harus yakin bahwa para LSM lokal peduli AIDS ini mampu memberikan data-data dan segala informasi yang diperlukannya untuk kepentingan KPA sendiri sebagai salah satu institusi formal yang bekerja untuk pemerintah kota Surakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.


(44)

Adanya kepastian Governance atau kejelasan dalam tata kelola, termasuk (a) boundary dan exlusivity, yang menegaskan siapa yang termasuk anggota dan siapa yang bukan termasuk anggota. Ini berarti bahwa jika sebuah kolaborasi dilakukan, harus ada kejelasan siapa saja yang termasuk dalam jaringan dan siapa yang ada diluar jaringan; (b)rules (aturan-aturan) yang menegaskan sejumlah pembatasan-pembatasan perilaku anggota komunitas dengan ancaman bahwa mereka akan dikeluarkan jika perilaku mereka menyimpang (tidak sesuai atau bertentangan dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama); dengan demikian ada aturan main yang jelas tentang apa yang seharusnya dilakukan, apa yang seharusnya tidak dilakukan, ada ketegasan apa yang dinilai menyimpang dan apa yang dipandang masih dalam batas-batas kesepakatan; Ini menegaskan bahwa dalam kolaborasi ada aturan main yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholder yang menjadi anggota dari jaringan tersebut; hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan hal-hal apa saja yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan aturan main yang disepakati; (c) self determination, yakni kebebasan untuk menentukan bagaimana network akan dijalankan dan siapa saja yang diijinkan untuk menjalankannya; Ini berarti bahwa model kolaborasi yang dibentuk akan menentukan bagaimana cara kolaborasi ini berjalan. Dengan kata lain, cara kerja sebuah kolaborasi ikut ditentukan oleh model kolaborasi yang diadopsi; dan (d) nework management yakni berkenaan dengan resolusi penolakan/tantangan, alokasi sumberdaya, kontrol kualitas, dan


(45)

pemeliharaan organisasi. Ini untuk menegaskan bahwa ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota network tanpa konflik dan pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan yang diperlukan dan ketersediaan sumber keuangan/kondisi finansial secara memadai dan berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap masing-masing anggota yang berkolaborasi, dan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing anggota organisasi untuk tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri.

Access to authority (akses terhadap otoritas), yakni tersedianya standar-standar (ukuran-ukuran) ketentuan prosedur-prosedur yang jelas yang diterima secara luas. Bagi kebanyakan network, network-network tersebut harus memberi kesan kepada salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna mengimplementasikan keputusan-keputusan atau menjalankan pekerjaannya (Sudarmo, 2010). Ini menegaskan, jika KPA melakukan kolaborasi dengan para LSM lokal peduli AIDS, maka ia perlu memberikan otoritas tertentu dan jelas lingkupnya kepada LSM yang dimaksud untuk menjalankan keputusan-keputusan KPA.

Distributive accountability/responsibility (pembagian akuntabilitas/responsibilitas), yakni berbagi governance (penataan, pengelolaan, manajemen secara bersama-sama dengan stakeholder lainya)


(46)

dan berbagi sejumlah pembuatan keputusan kepada seluruh anggota jaringan; dan dengan demikian berbagi tanggung jawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam menentukan tujuannetworkdan tidak berkeinginan membawa sumber daya dan otoritas ke dalam network, maka kemungkinan network itu akan gagal mencapai tujuan. Dalam isu AIDS, KPA perlu mengajak serta LSM-LSM lokal sebagai mitra kerjanya dalam pengambilan keputusan terkait upaya penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta sesuai dengan porsi dan fokus kepedulian mereka masing-masing sehingga mereka merasa sama-sama memiliki rasa tangung jawab bersama sesuai dengan porsi dan lingkup fokusnya.

Information sharing (berbagi informasi) yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privacy (kerahasiaan identitas pribadi seseorang), dan keterbatasan akses bagi yang bukan anggota sepanjang bisa diterima oleh semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencakup sistem, software dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi. Dalam konteks kolaborasi KPA bersama LSM-LSM lokal di Surakarta, mereka perlu berbagi informasi maupun data yang berguna bagi mereka, terlebih KPA yang sangat memerlukan bantuan dari LSM-LSM lokal dalam hal penyediaan data/informasi sangat memerlukan kesediaan LSM-LSM tersebut dalam penyediaan data/informasi tersebut; demikian pula KPA perlu pula terbuka terhadap LSM setempat yang menjadi mitra kolaborasinya dalam hal informasi apapun yang memiliki keterkaitan


(47)

dengan upaya pencapaian tujuan KPA dalam hal penanggulangan HIV/AIDS.

Access to resources (akses sumberdaya), yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia dan sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk mencapai tujuan network. Dalam isu kolaborasi antar stakeholder dalam penurunan angka HIV/AIDS, pemerintah perlu mendukung LSM-LSM lokal peduli AIDS dalam hal pendanaan sehingga kesinambungan kegiatan mereka yang sebenarnya keberadaannya amat diperlukan oleh KPA, tidak tergantung pada kekuatan keuangan pihak luar negri. Lemahnya kemampuan finansial dan langkanya akses sumberdaya keuangan di dalam negeri sendiri baik ke pihak swasta maupun ke pihak pemerintah, memperlihatkan lemahnya efektivitas kolaborasi betapapun sumberdaya manusia dan teknis tersedia secara memadai mengingat penanganan AIDS memerlukan dana yang amat besar, yang biasanya tak dipunyai oleh LSM secara mandiri. (Sudarmo, 2010)

Collaborative governance memerlukan para pemimpin yang memiliki sejumlah ketrampilan (skills) tertentu: kemampuan untuk memfasilitasi pertemuan, mengusulkan dan mengontrol diskusi; mengorganisasi ide-ide; menengahi dan mengurangi konflik; menciptakan bidang permainan yang netral; mempertahankan agar partisipan tetap terinformasi dan terlibat; menjaga agar diskusi tetap relevan; mendorong kemajuan kolektif (bersama) menuju ke sebuah resolusi (pemecahan masalah). Sering bukan ketrampilan yang diperlukan bagi kepemimpinan


(48)

sebuah organisasi tunggal, dan kadang bisa antipati terhadap para pemimpin organisasi (Sudarmo, 2010). Ini menggarisbawahi bahwa kolaborasi yang efektif dapat dilihat dari kemampuan KPA merealisasikan sejumlah unsur-unsur yang diusulkan tersebut.

5. Hambatan Kolaborasi

Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan gagalnya suatu kolaborasi termasuk partsipasi aktif dari berbagai stakeholder. Studi di Canada mengenai terhambatnya jalanya suatu kolaborasi (dan juga partisipasi) adalah karena disebabkan oleh banyak faktor, terutama faktor-faktor budaya, faktor-faktor-faktor-faktor institusi-institusi, dan faktor-faktor-faktor-faktor politik (Sudarmo, 2010).

Budaya. Untuk terciptanya kolaborasi yang efektif mensyaratkan para pelayan publik (dan dengan demikian para pemimpinnya) untuk memiliki skills (ketrampilan) dan kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara pragmatik, yakni berorientasi pada hasil. Memang memungkinkan mengabaikan konvensi dan menjadikan segala sesuatu dilakukan dalam sebuah kolaborasi, namun melakukan hal seperti ini dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia mengambil resiko tidak mungkin akan menjadikan kolaborasi sebuah kenyataan. Ketergantungan terhadap prosedur secara berlebihan justru akan menghambat kolaborasi dan tidak menimbulkan kemajuan bagi peningkatan kualitas kolaborasi.


(49)

Dengan kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani mengambil resiko merupakaan salah satu hambatan bagi terselenggaranya efektivitas kolaborasi (Sudarmo, 2010).

Dalam pelayanan publik, “risk-reward calculus” (perhitungan imbalan beresiko) tidak berlaku sebab pegawai (juga pemimpin) yang berinovasi dan mereka yang beresiko gagal melalui kolaborasi dalam rangka mencapai hasil yang lebih baik, jarang dihargai ketika mencapai keberhasilan, dan sering harus menanggung resiko sendiri ketika inovasinya gagal. Lingkungan seperti ini justru menciptakan penolakan untuk melakukan pengorganisasian/penyusunan cara-cara kerja yang fleksibel dan praktis yang sebenarnya bisa dilakukan melalui kolaborasi, namun dalam kenyataannya justru menimbulkan ketergantungan terhadap pihak lain. Sebaliknya, sebuah budaya yang mencakup kegagalan sebagai bagian dari “pembelajaran organisasi” secara inovatif, justru sangat tepat bagi usaha-usaha kolaborasi (Sudarmo, 2010).

Disamping itu, mengapa kolaborasi gagal adalah masih dipertahankanya pendekatan “top down” oleh pihak pemerintah ketika menjalin kolaborasi dengan pihak lain, masih adanya dominasi dari pihak pemerintah dan tidak menjalankan kesepakatan berdasarkan mentalitas kerjasama dan egalitarian sebagaimana yang dipersyaratkan bagi berjalannya sebuah kolaborasi (Sudarmo, 2010); juga kolaborasi gagal karena partisipasi dari kelompok kepentingan atau stakeholder lainnya selama ini sering kali masih dipandang bukan hal utama dan tidak


(50)

diperlukan, tidak penting dan didominasi oleh kelompok dominan/pihak pemerintah melalui pendekatan top down (Sudarmo, 2009). Kolaborasi juga bisa gagal karena kooptasi dan strategi pecah belah dengan cara mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok yang pro kebijakan pemerintah dan mengabaikan kelompok yang anti kebijakan pemerintah (Sudarmo, 2008).

Institusi-institusi. Institusi-intsitusi yang masih terlalu ketat mengadopsi struktur vertical, yang dengan demikian akuntabilitas institusi dan arah kebijakannya juga bersifat vertical, tidak cocok untuk kolaborasi karena kolaborasi mensyaratkan cara-cara kerja atau pengorganisasian secara horizontal antara pemerintah dan non-pemerintah. Bahkan betapapun sebuah pemerintahan mengadopsi sistem pemerintahaan demokrasi yang biasanya bersifat “representative democracy” belum tentu cocok bagi kolaborasi karena demokrasi mensyaratkan tingkat proses dan derajat formalisme yang begitu besar dibanding dengan kemitraaan horisontal. Dengan kata lain, kolaborasi yang cenderung memiliki sifat spontanitas (yang kadang tidak memerlukan aturan ketat secara formal dan kadang juga tidak perlu mengikuti proses tradisional yang biasa dilakukan dalam keseharian atau sesuai standard operating procedure yang biasa terjadi dalam organisasi public yang mekanistik), tidak bisa menggantikan tujuan-tujuan yang ditentukan secara terpusat dan kebutuhan-kebutuhan negara demokratis pada umumnya (Sudarmo, 2010).


(51)

Akuntabilitas institusi-institusi publik (organisasi-organisasi milik pemerintah) cenderung kaku, yakni hanya mengacu pada akuntabilitas pada organisasi atau atasan saja, atau aturan yang berlaku saja, sehingga akuntabilitas dalam konteks ini lebih menekankan pada responsibilitas. Padahal isu akuntabilitas sangat kompleks. Pada era dimana peran media semakin meningkat dan pengawasan dari publik semakin gencar dan muncul bersama-sama dari berbagai pihak, sulit dibayangkan para pembuat kebijakan hanya akan menghadapi sedikit persyaratan dalam hal pengkatalogan, arah, dan rasionalisasi belanja-belanja publik. Padalah kolaborasi menghendaki persyaratan flesibilitas ketika sampai pada penggunaan/belanja sumberdaya milik bersama/publik.

Hambatan lainnya bagi kolaborasi adalah terjadinya dan kakunya “batasan definisi” dan “kondisi” yang ditentukan pihak pemerintah. Sering terjadi bahwa dalam organisasi-organisasi pemerintah (public), rencana-rencana dan inisiatif-inisiatif terikat oleh harapan, prosedur, ketersediaan dan sumbardaya yang melimpah dan duplikatif, sehingga sulit dibayangkan menyelenggarakan bentuk kolaborasi dengan para aktor di luar organisasi untuk memperoleh pemahaman yang sama (Sudarmo, 2010).

Disamping itu, masih ada kemungkinan hambatan lainnya adalah tidak terlihatnya atau belum dikembangkannya strategi-strategi inovatif; dan kalaupun ada inovasi-inovasi yang dilakukan, tidak mencerminkan investasi dana publik secara substansial; bahkan dana-dana tersebut


(52)

kemungkinan ada di luar pengamatan, terutama jika dana-dana tersebut membuahkan hasil-hasil positif. Bahkan segera setelah program semakin besar atau menjadi bagian dari filosofi yang lebih luas yang memandu semua jenis rencana, atau jika proyek-proyek kolaborasi memburuk (gagal), pemerintah kemungkinan akan mengintervensi dan mengatur inisitif diluar yang kita ketahui. Proses seperti itu mungkin dikuti dengan ukuran-ukuran akuntabilitas yang sangat ketat dan kaku, dan pada akhirnya meninjau kembali budaya resiko dan kegagalan yang muncul dari kolaborasi.

Politik. Kepemimpinan yang inovatif (forward-looking) adalah pemimpin yang bisa memperkenalkan berbagai macam nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang bisa menjadikan sebagai inti pemerintahan yang kolaboratif, dan memberikaan inspirasi terhadap agenda yang ditentukan di atas tetapi bisa mengarahkan pada pencapaian hasil-hasil positif melalui kemitraaan (Sudarmo, 2010). Ini untuk menggarisbahwahi bahwa kolaborasi bisa saja terhambat, jika para pemimpin dari kelompok-kelompok yang berkolaborasi kurang atau tidak inovatif.

Demikian pula, kolaborasi bisa gagal karena adanya perubahan kesepakatan yang telah disetujui diawal kesepakatan kerjasama dan munculnya kepentingan baru yang berbeda-beda diantara stakeholder termasuk para pemimpin masing-masing kelompok (Sudarmo, 2009a).


(53)

B. Kolaborasi Pemerintah daerah Surakarta dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS

Dari seluruh penjelasan diatas, keberhasilan pemerintah daerah Surakarta dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS adalah hasil kerja tim dari seluruh stakeholders yang terlibat dalam kolaborasi yang bertujuan untuk mencapai hasil yang lebih optimal dan memuaskan terkait dengan penurunan angka penularan HIV/AIDS di kota Surakarta. Tetapi pada realitanya, stakeholders yang selama ini tergabung dalam kolaborasi ini belum memiliki kepekaan dan tanggungjawab yang tinggi untuk terlibat secara maksimal, maka untuk keperluan penelitian ini, penulis memfokuskan penelitiannya pada kolaborasi antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang ada di kota Surakarta karena merupakan pelaku paling dominant yang concern terhadap penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta.

C. Kerangka Berpikir

Kerangka pemikiran digunakan sebagai dasar atau landasan dalam pengembangan berbagai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian serta hubungannya dengan perumusan masalah. Mengacu pada konsep dan teori yang telah disebutkan diatas, maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Mengacu pada konsep kolaborasi, bahwa kolaborasi adalah suatu upaya untuk menggabungkan semua sektor baik pemerintah maupun


(54)

non-guna mencapai hasil yang lebih efektif dan efisien. Kolaborasi terus berkembang dalam pemerintahan karena adanya kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, dimana penanganan suatu masalah publik sangat sulit untuk dilakukan oleh satu institusi pemerintah, maka sangat diperlukan kolaborasi agar masalah publik tersebut dapat teratasi dengan jauh lebih baik.

Kolaborasi juga mencakup pengertian keterlibatan institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa inisiatif dari masing-masing institusi (stakeholders) dalam menentukan atau mendefinisikan tujuan, menilai hasil, menyebabkan perubahan, dan sebagainya. Dalam melakukan kolaborasi, tidak bisa berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Setiap aktor yang terlibat dalam kolaborasi tersebut harus menyadari peran masing-masing demi tercapainya tujuan kolaborasi.

Inisiatif berkolaborasi pasti muncul dari pihak yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Masing-masing stakeholders atau institusi yang berkolaborasi harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan kolaborasi. Jika ternyata institusi lain hanya sekedar berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku dominan (atau pelaku utama, katakanlah menjalankan agenda pemerintah atau agenda dari swasta besar) maka hubungan yang tercipta pasti bukan collaborative governance (Donahue dalam Sudarmo, 2010), tetapi hubungan lain yang bisa berupa


(55)

kooptasi, dominasi, dan mungkin saja divide and rule yang bertentangan dengandemocratic collaborative governance.Hubungan diantara institusi-institusi yang terlibat harus bersifatstrategic, artinya bahwa setiap institusi dalam melakukan tindakan selalu bisa dilihat secara transparan oleh institusi lainnya yang merupakan bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi bahwa institusi lain akan memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan dari institusi tersebut, sehingga saling memperlihatkan transparansi dalam bertindak dan antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalamcollaborative governance.

Dari penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini akan diuraikan tentang kolaborasi pemerintah kota Surakarta dengan institusi terkait dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS yang diharapkan dapat memperjelas sejauh mana keberhasilan kolaborasi yang telah berjalan selama ini.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir LSM

Mitra Alam

KPA LSM

Kakak

LSM Gessang

LSM

Spekham

LSM Graha


(56)

commit to user

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Komisi Penanggulangan Aids Daerah Surakarta, Kompleks Kantor Balai Kota Surakarta di jalan Jend Sudirman, dan di 5 LSM peduli Aids yang ada di Surakarta, 5 LSM tersebut yaitu :

1. LSM SpekHam

LSM SpekHam (Solidaritas perempuan untuk kemanusiaan dan hak asasi manusia) merupakan LSM yang fokus kepada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan bagaimana perempuan yang termarginalkan dan dieksploitasi selama ini dapat diminimalisir. Program utamanya adalah selain melakukan pendampingan untuk upaya prefentif juga melakukan advokasi kepada pemerintah.

2. LSM Kakak

Yayasan Kakak merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan dan perwujudan hak-hak anak terutama hak anak sebagai konsumen dan anak korban eksploitasi serta kekerasan seksual.

3. LSM Graha Mitra

LSM Graha Mitra merupakan LSM yang khusus menaungi para waria, yang berpusat di Semarang. LSM Graha Mitra berdiri sejak tahun


(57)

2004, merupakan lembaga yang didalamnya ada sekelompok orang yang peduli tentang HIV/AIDS khususnya yang ada di Jawa Tengah tetapi dengan sasaran kaum waria. Lebih lanjut, LSM Graha Mitra merupakan satu-satunya LSM di Jawa Tengah yang menaungi kaum waria. LSM Graha Mitra yang ada di kota Surakarta sendiri selama ini berfokus pada isu-isu yang semuanya berhubungan dengan para waria, mulai dari kesehatan, bantuan hukum sampai dengan menyatukan mereka dalam persatuan waria yang dikenal sebagai HIWASO (Himpunan Waria Solo). LSM Graha Mitra berawal dari kepedulian sesama kaum waria yang selama ini dianggap orang-orang minoritas dan terpinggirkan, sehingga dengan keberadaan LSM ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat kaum waria. Dengan adanya LSM ini kaum waria memiliki rasa percaya diri yang semakin kuat karena merasa dihargai hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia oleh kelompok masyarakat lainnya.

4. LSM Gessang

LSM Gessang selama ini fokus pada penanggulangan HIV/AIDS pada komunitas MSM (Man who have sex with Man) atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, entah dari komunitas homo seksual atau biseksual.

5. LSM Mitra Alam

LSM Mitra Alam berfokus pada penanganan kasus HIV/AIDS pada pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, dan


(58)

warga binaan Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan LSM Mitra Alam yaitu adanya perubahan perilaku pada pengguna narkoba suntik dan pasangan narkoba suntik terkait dengan resiko penularan baik dari penyuntikan maupun dari seksual.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk memberikan gambaran mengenai berbagai hal yang ada menjadi bahan penelitian dengan cara menggali, mendalami, menemukan fakta-fakta dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi untuk kemudian dipaparkan melalui penafsiran dan dianalisa menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan pendekatan kualitatif berorientasi pada orientasi teoritis, teori dibatasi pada pengertian bahwa suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data yang diuji. Teori juga mambantu menghubungkan dasar orientasinya dengan data dan dapat dimanfaatkan dalam pengumpulan dan analisis data.

Penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif sebab penulis ingin menggambarkan/ mendeskripsikan bagaimana kolaborasi pemerintah daerah Surakarta dengan institusi terkait dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Surakarta.


(59)

C. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah : 1. Narasumber

Dalam penelitian ini, penulis memperoleh data secara langsung dari para informan melalui wawancara dengan pihak yang berkompeten. Adapun para informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Ketua atau manajer program Komisi Penanggulangan Aids Daerah Surakarta

b) Manajer program atau koordinator lapangan setiap LSM peduli Aids

Penulis memilih narasumber sebagaimana dengan berbagai pertimbangan, pertimbangan tersebut adalah: (1) Ketua atau manajer program KPA Surakarta, merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan program-program penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta. (2) Manajer program atau koordinator lapangan LSM-LSM peduli Aids, merupakan pihak yang sangat mengerti dan memahami setiap program dari LSM yang berhubungan dengan upaya penurunan angka HIV/AIDS.

2. Dokumen

Didalam penelitian ini, penulis juga menjadikan dokumen-dokumen sebagai sumber data dalam penelitian. Adapun dokumen-dokumen yang mempertajam penelitian ini adalah dokumen Peraturan Daerah


(60)

Provinsi Jawa Tengah nomor 5 tahun 2009 tentang penanggulangan HIV dan AIDS, dokumen cakupan hasil KPA Surakarta dari bulan Oktober 2005 sampai Maret 2010, Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28-A/1/2010 tentang pembentukan komisi, kelompok kerja (Pokja) dan sekretariat penanggulangan Aids Kota Surakarta, dan masih banyak data yang lain seperti data yang diperoleh dari artikel yang bersangkutan, buku-buku kepustakaan untuk pencarian informasi dan pemahaman teoritis dalam upaya pemecahan masalah.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Menurut Lexi J Moleong (2009: 186) wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu

Tehnik wawancara sangat tepat untuk melengkapi data yang bersumber dari narasumber atau informan. yang dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai kegiatan bertanya lebih terarah.

Penulis memnilih menggunakan tehnik pengumpulan data dengan wawancara sebab peneliti ingin menggali informasi dari para


(1)

commit to user

93

LSM punya program yang bagus dan punya dana. Jadi mereka terlena dengan LSM yang sudah bekerja dan mendapat dana dari asing. Mudah-mudahan saja lembaga donor dari asing masih membiayai LSM, tapi entah sampai kapan.”

Ungkapan senada juga dikatakan oleh Ligik Triyogo selaku manajer program LSM Mitra Alam :

“Tapi ada faktor pembatas kolaborasi itu yaitu ketika misalkan kita itu tidak lagi didanai donor, maka selesailah kolaborasi. Sedangkan pemerintah tergantung sekali pada LSM sedangkan LSM tergantung dengan lembaga donor. Katakanlah nanti kita sampai desember besok gak diperpanjang, habis. Padahal pemerintah punya layanan tapi gak ada yang mendorong kesana, gak laku. Nanti puskesmasnya sepi, VCTnya sepi dan masalah yang besar yang akan timbul adalah penyebaran virus HIV/AIDS yang terus meluas dan tidak bisa tertangani.”

Berdasarkan hal ini, maka kekhawatiran terbesar adalah keberlangsungan kolaborasi KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang akan sulit berjalan dengan optimal jika pemerintah tidak segera turun tangan terkait dengan besarnya dana yang dibutuhkan untuk program penaggulangan HIV/AIDS di Surakarta karena tidak bisa selamanya LSM akan menggantungkan hidup pada kebaikan lembaga donor internasional.


(2)

commit to user

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kualitas dan efektivitas kolaborasi yang dilakukan KPA dengan LSM-LSM peduli Aids di Surakarta sangatlah bervariasi. Berdasarkan analisa delapan faktor pengukur keberhasilan kolaborasi dalam

governanceoleh DeSeve, peneliti menyimpulkan sebagai berikut :

1. Faktor networked structure, masih terdapat hirarki kekuasaan yang mana hal ini ditunjukkan dengan KPA sebagai lembaga koordinator dan LSM-LSM peduli Aids sebagai penjangkau kelompok sasaran. Selama ini yang terjadi adalah pihak LSM yang terjun sampai tingkat bawah sedangkan KPA tinggal menerima laporan bulanan dari masing-masing LSM tentang hasil jangkauan terhadap kelompok sasaran. Berdasar hal ini, pihak LSM mengeluhkan beban tanggung jawab yang harus mereka kerjakan.

2. Faktorcommitment to a common purpose, sudah ada kesepakatan dan tujuan yang sama antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yaitu semakin tingginya angka HIV/AIDS di Surakarta sehingga diperlukan kerjasama yang menyeluruh untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Tujuan kerjasama ini adalah penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta. Tetapi pada kenyataannya, visi dan misi ini belum bulat. Hal ini dibuktikan dengan pihak LSM yang lebih bertanggung jawab


(3)

commit to user

95

pada lembaga donor yang selama ini membiayai mereka, sehingga komitmen mereka bersama KPA masih sangat kurang.

3. Faktor trust among the participants, cukup baik. Ini dibuktikan dengan KPA selalu mempercayai semua data yang masuk dari setiap LSM untuk menjadi bahan laporan kepada Walikota. Tetapi kelompok sasaran yang berhasil dijangkau baru sekitar 40%, ini berarti kepercayaan mereka terhadap KPA maupun LSM masih kurang. 4. Faktorgovernance, cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan sudah ada

aturan yang jelas melalui Keputusan Walikota siapa saja yang masuk sebagai anggota KPA dan berkolaborasi untuk penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta. Namun masih terdapat konflik-konflik mengenai kurang aktifnya pelaku-pelaku kolaborasi yang lain yang mengakibatkan beban penanganan HIV/AIDS seolah-olah menjadi milik KPA dengan pihak LSM semata. Selain itu, sumber daya manusia dan dana juga perlu ditingkatkan.

5. Faktoraccess to authority, cukup baik. Selama ini, sudah ada prosedur yang jelas bahwa KPA sebagai lembaga koordinator dan LSM sebagai penjangkau kelompok sasaran walaupun pada kenyataannya pihak LSM terbeban dengan prosedur ini.

6. Faktor distributive accountability/responsibility, sangat kurang baik. Tanggung jawab penanggulangan HIV/AIDS selama ini tidak dibagi secara merata, karena hanya pihak KPA dan LSM saja yang bekerja maksimal.


(4)

7. Faktor information sharing, sudah baik. Hal ini dibuktikan dengan kerahasiaan klien HIV/AIDS yang dijaga dengan baik, adanya sharing informasi keadaan lapangan oleh pihak LSM kepada KPA dan pemberian informasi dari KPA tentang training atau program terkait penanggulangan Aids kepada pihak LSM.

8. Faktor access to resources, belum maksimal. KPA sudah berusaha menyediakan training-training lengkap dengan trainernya, tetapi dalam segi penyediaan sumber daya dana LSM tidak didukung sama sekali. Semua dana operasional LSM berasal dari lembaga donor internasional. Padahal dana internasional ini juga tidak bisa selamanya mengalir ke LSM, sehingga pemerintah perlu segera mengambil langkah besar demi menjaga kelangsungan kolaborasi KPA dengan LSM.

Berdasarkan delapan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa Pemerintah Kota Surakarta hanya setengah hati dalam mengupayakan penanganan kasus HIV/AIDS, hal ini dapat dibuktikan dengan struktur KPA yang sangat lebar dan hanya formalitas belaka. Dengan adanya Keputusan Walikota tentang keanggotaan KPA, Pemerintah Kota Surakarta merasa sudah mengambil peran dalam penanganan HIV/AIDS padahal hal ini hanya tertulis dalam kertas belaka tetapi tidak terealiasasi dalam tataran implementasinya. Sekalipun terdapat banyak anggota baik yang berasal dari institusi pemerintah maupun swasta tetapi dalam prakteknya di lapangan hanya sekretariat KPA dan


(5)

LSM-commit to user

97

LSM peduli Aids saja yang aktif dalam penanganan HIV/AIDS di Surakarta. Sebagai bukti yang lain yaitu, APBD yang disediakan oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk program penanganan HIV/AIDS hanya sebesar 75 juta setahun. Jumlah ini sangat jauh dari cukup jika dibandingkan dengan dana yang diterima oleh setiap LSM dari lembaga donor luar negeri mereka, yaitu 1 miliar setahun untuk 5 kabupaten/kota. Upaya penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta oleh KPA dan LSM-LSM peduli Aids memang telah berjalan namun tidak efektif, masih perlu banyak peningkatan demi tercapainya kualitas dan efektivitas kolaborasi.

Demikian kesimpulan yang bisa disampaikan peneliti, dalam penelitianCollaborative Governance KPA dengan LSM-LSM peduli Aids di Kota Surakarta.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti baik di KPA maupun di 5 LSM peduli Aids di Kota Surakarta, mengenai efektivitas kolaborasi dalam penanggulangan HIV/AIDS. Peneliti memberikan rekomendasi, sebagai berikut :

1. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, yang menjadi kesalahan dalam proses kolaborasi ini adalah kelemahan di awal pembentukan struktur keanggotaan KPA. Pemerintah Kota Surakarta harus meninjau ulang struktur keanggotaan yang ada saat ini karena begitu


(6)

lebar dan inefisien. Pemerintah perlu mengadakan perampingan struktur keanggotaan, dengan cara memilih institusi-institusi (pemerintah dan swasta) yang benar-benar relevan dan fokus dengan penanganan HIV/AIDS sehingga dapat bekerja secara optimal dan profesional demi terwujudnya penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta.

2. Pemerintah Kota Surakarta harus meningkatkan anggaran untuk program penanganan HIV/AIDS supaya pihak LSM tidak tergantung lagi terhadap lembaga donor luar negeri sehingga akan tercipta akuntabilitas dan keterikatan terhadap pemerintah untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi.

3. Pemerintah Kota Surakarta perlu memperbaharui kesepakatan yang telah ada selama ini, kolaborasi akan dapat jauh lebih efektif jika terdapat kesepakatan tertulis yang mengikat dan memiliki sanksi yang jelas dan tegas serta berlaku adil bagi seluruh anggota KPA. Sehingga akan tercipta distribusi akuntabilitas yang merata diantara semua anggota KPA.

Demikian saran yang disampaikan peneliti kepada KPA Kota Surakarta, agar menjadi pertimbangan, dan diharapkan dapat mengatasi kesulitan kolaborasi yang terjadi selama ini.