57
BAB V UPAYA PENANGANAN PELACURAN DAN PENYAKIT KELAMIN
5.1 Penanganan Pelacuran
Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, masalah pelacuran mulai mendapat penanganan serius sejak munculnya citra buruk terhadap perkebunan di
wilayah Deli pada tahun 1875. Akan tetapi, upaya tersebut masih gagal meski telah dibuat suatu peraturan dan lembaga masyarakat yang mewajibkan kepada perempuan
untuk mendaftar kepada pihak kepolisian setempat. Pada tahun 1905, dikarenakan sedikitnya laporan tentang penyakit sipilis kepada Komisi Pengorganisasian Pelayanan
Kesehatan Masyarakat, maka pemerintah Hindia-Belanda menyatakan bahwa penanganan sipilis telah usai dan menghapuskan tersebut. Keadaan ini mengakibatkan
menjamurnya rumah bordil dan germo-germo. Pada tahun 1919, Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak
125
datang mengunjungi wilayah perkebunan di Deli. Pada saat kedatangannya ke Medan, mereka terkejut ketika menemukan banyaknya rumah-rumah bordil, dan bahkan
mereka menemukan wanita-wanita bukan pribumi yang berasal dari wilayah Asia Timur Cina dan Jepang. Atas dasar kecurigaan ini, maka Inspektur Deputi
125
Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak merupakan satu lembaga bentukan PBB untuk mengendalikan upaya-upaya penjualan wanita dan anak di dunia seiring dengan
perkembangan paham liberal yang mulai mengusung hak asasi manusia khususnya di wilayah Eropa.
Universitas Sumatera Utara
58
Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut memutuskan untuk melakukan investigasi di wilayah perkebunan Deli.
126
Pemeriksaan dilakukan terhadap instansi pemerintahan, rumah-rumah bordil, para germo, dan juga kepada para pelacur. Dari hasil investigasi tersebut, ditemukan
bahwa masih banyaknya penderita sipilis dan anak-anak yang menjadi pelacur. Sangat berbeda jauh dengan laporan pemerintah Hindia-Belanda yang telah dijelaskankan
sebelumnya dengan kenyataan yang ada di lapangan. Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut kemudian mendesak pemerintah Hindia-Belanda
segera melakukan penanganan terhadap pelacuran tersebut. Mereka menuntut kepada pemerintah agar dapat membuat satu peraturan untuk mengendalikan pelacuran agar
pelacuran tersebut berjalan sesuai dengan peraturan yang ada.
127
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-belanda pada waktu itu hanya berupa peraturan untuk dilakukannya legalisasi terhadap pelacur
bukan untuk penghapusanpengurangan pelacuran. Peraturan ini setidaknya juga memberikan dua keuntungan bagi pemerintah.
1. Kembali dengan diberlakukannya pelaporan oleh para pelacur, maka secara
tidak langsung, itu akan memberikan dampak pada penanganan penyakit kelamin.
126
Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 190
127
Ibid., hlm. 191
Universitas Sumatera Utara
59
2. Pemerintah Hindia-Belanda dapat diuntungkan dari sisi pekerja laki-laki
karena dapat memberikan jaminan kepada para pekerja kuliadministratur laki-laki tersebut dalam melampiaskan kebutuhan seksualnya.
128
Upaya-upaya pengendalian pelacuran seperti tersebut diatas, dilakukan dengan melakukan sensus dan pendataan terhadap para pekerja rumah bordil serta germo.
Pemimpin rumah bordil kembali diwajibkan agar melaporkan para pekerjanya kepada pihak kepolisian dalam jangka waktu sebulan sekali. Pelaporan ini bertujuan agar
pemerintah selalu mendapatkan informasi dan dapat melakukan kontrol secara penuh terhadap rumah bordil ataupun germo tersebut. Selain itu, pemerintah Hindia-Belanda
juga megeluarkan aturan terkait kelayakan rumah bordil, terutama dalam hal kebersihan. Rumah bordil harus menyediakan air dan kamar mandi yang cukup,
pekerja tidak boleh terlalu banyak, dan harus menjual alat kontrasepsi ataupun obat- obatan pencegah penyakit kelamin.
129
Dengan adanya legalisasi seperti ini, harapannya pemerintah Hindia-Belanda berharap dapat melakukan pengendalian terhadap pelacur-pelacur yang ada di wilayah
perkebunan Deli. Pada kenyataannya, peraturan ini seolah untuk menjaga orang-orang Eropa saja, terutama pada para tentara. Peraturan hanya terlihat tegas diwilayah
gementee, namun tidak pada wilayah perkebunan.
130
Tidak diketahui pasti, namun menurut interpretasi penulis, hal ini dilakukan semata-mata karena adanya pengawasan
128
Gani A. Jaelani, op. cit., hlm. 50.
129
Liesbeth Hesselink, op. cit., hlm. 213.
130
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
dari Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut, dan para germo yang bekerja di wilayah perkebunan juga tidak banyak, karena telah dikuasai
oleh mandor-mandor besar suku Jawa. Selain mengeluarkan peraturan terhadap rumah bordil dan germo, pada tahun
1919, pemerintah Hindia-Belanda juga mengeluarkan peraturan terhadap orang Eropa yang akan bekerja diperkebunan. Peraturan yang dibuat pada masa itu ialah keputusan
mengenai pencabutan peraturan larangan menikah terhadap orang Eropa yang akan bekerja di perkebunan Deli. Para administratur Eropa yang sebelumnya telah terkena
penyakit kelamin, akan dikembalikan ke Eropa dan digantikan dengan tenaga baru yang telah menikah. Berdasarkan keputusan ini, jumlah gundik banyak berkurang sejak
tahun 1919.
131
Berkurangnya pergundikan tersebut, tidak serta merta mengurangi praktik pelacuran. Bahkan sebaliknya, para gundik yang tidak bekerja lagi beralih menjadi
pelacur, sementara itu, gundik yang telah memasuki usia tuanya akan kembali bekerja di perkebunan. Pada masa ini, pihak perkebunan kembali memberikan syarat kepada
perempuan tersebut agar menikah sebelum bekerja, untuk mencegah pelacuran ilegal yang dilakukan oleh perempuan tersebut terhadap kuli laki-laki lain nantinya.
132
Pada awalnya, pemerintah Hindia-Belanda melakukan kontrol terhadap pelacuran tersebut melalui pusat pemerintahan di Batavia. Akan tetapi, pada tahun
131
Ann Laura Stoler, op. cit. hlm. 157
132
Tineke Hellwig, op.cit., hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
61
1922, upaya pengendalian pelacuran belum berjalan lancar karena masih banyaknya ditemukan pelacur-pelacur dan rumah bordil yang tidak memenuhi standar sesuai
dengan yang ditetapkan pemerintah. Kemudian pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan mengenai hak otonomi terhadap pengendalian pelacuran pada
setiap wilayah residen masing-masing. Harapan pemerintahan Kolonial Belanda adalah adanya tanggung jawab lebih besar terhadap pengawasan tempat prostitusi tersebut.
133
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, menurut kaum liberalis yang berasal dari Eropa, pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu merupakan orang-orang
degenerasi bangsa Eropa, terlihat pada adanya suap-suap yang dilakukan oleh pengusaha rumah bordil dan germo pada pemerintah Hindia-Belanda. Suap dilakukan
untuk menghindari penyelidikan pemerintah terhadap pelacur yang bekerja untuk rumah bordilnya. Dalam upaya penanganan penyakit kelamin, perempuan yang telah
terkena penyakit ini akan diisolasi ke suatu daerah, dan biasanya tidak akan bekerja sebagai pelacur lagi. Dengan melihat hal ini, maka upaya suap dilakukan agar
pendapatan dari pengusaha rumah bordil tersebut tidak berkurang.
134
Sehingga sampai tahun 1930, pelacuran tidak dapat ditangani dengan baik.
Aktivitas pelacuran banyak terhenti dikarenakan tutupnya pengusaha- pengusaha perkebunan sebagai dampak dari depresi ekonomi pada tahun 1930. Tidak
ada data pasti mengenai berhentinya proses pelacuran pada waktu itu. Akan tetapi, satu
133
Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 209
134
Ibid., hlm. 213
Universitas Sumatera Utara
62
hal yang pasti, banyaknya perkebunan yang tutup, menjadikan banyaknya pengangguran yang terjadi di Deli khususnya pada kuli Jawa laki-laki dan
perempuan.
135
5.2 Penanganan Penyakit Kelamin