Pelacuran Pada Wilayah Perkebunan Di Deli Tahun 1870-1930

(1)

LAMPIRAN I


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

LAMPIRAN II

Aktivitas dan Pekerjaan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Deli

Maatschappij

“Kuli Perempuan Jawa pada saat mengambil ulat (hama tembakau)”.

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Collection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(7)

“Kuli Perempuan Jawa Sedang Menjemur dan Menyortir Tembakau di Gudang Penyortiran pada Onderneming Deli


(8)

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Collection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(9)

LAMPIRAN III

“Seorang Gundik Administratur Eropa”

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Collection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(10)

LAMPIRAN IV

Barak Kuli Dan Tempat Tinggal Administratur Eropa

“Tempat Tinggal Kuli Yang Disediakan Oleh Pengusaha Perkebunan, Dan Sengaja Dibuat Di Dekat Lahan Tempat Mereka Bekerja”

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Collection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(11)

“Tempat Tinggal Administratur Perkebunan Eropa Yang Terletak Pada Wilyah Gemeente di Deli”

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Collection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(12)

LAMPIRAN V

Fasilitas Rumah Sakit Pusat Perkebunan Senembah Maatschappij Yang Bekerja Sama Dengan Perkebunan Deli.

“Ruang Operasi”

Sumber: C. W. Janssen dan H. J. Bool, Senembah Maatschappij 1889-1939, Amsterdam: Boek- en kunstdrukkerij v/h Roeloffzen-Hübner en Van Santen, 1939.


(13)

“Penyimpanan Obat”

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Collection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(14)

LAMPIRAN VI

Surat Kabar

“Iklan Penjualan Obat Penyakit Kelamin“


(15)

(16)

76

BIBLIOGRAFI A. Arsip Nasional Republik Indonesia

AVROS 1892-1985 No. 358, Verslag van het Pathologisch Laboratorium Medan-Deli (Sumatra’s Oostkust) over de Jaren 1907-1921

Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, No. 418/A2, ANRI Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 133

B. Buku-Buku

Aulia, Emil W. 2006. Berjuta – Juta Dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Jakarta : Gramedia

Basharshah II, Tengku Lukman Sinar. Tanpa Tahun Terbit. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan di Sumatera Timur. Medan: Tanpa Penerbit.

Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad ke-20. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti

Bool, H. J. 1903. De Chineesche Immigratie Naar Deli. Utrecht: Oostkust van Sumatra Instituut.

Devi, T. Keizerina. 2004. Poenale Sanctie Studi Tentang Globalisai dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur(1870-1950). Medan: Program Pasca Sarjana USU Gottchalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto.

Jakarta: UI Press.

Hellwig,Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.Jakarta: Yayasan Obor

Hesselink,Liesbeth. 1997. Prostitutuin and Gambling in Deli, Amsterdam: Amarpress

Hesselink, Liesbeth. 1992. ”Prostitution a Necessary Evil, Particularly in the Colonies

Views on Prostitution in the Netherlands Indies”, dalam Elsbeth Locher -Scholten dan Anke Niehof (eds.). Indonesian Women in Focus: Past and Present Notions. Leiden: KITLV Press.


(17)

77

Hull, Terence. Dkk. 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Medan: Pustaka Sinar Harapan

Jaelani, Gani A. 2013. Penyakit Kelamin di Jawa 1812 – 1942. Bandung: Syabas Books J. Pelzer, Karl. 1997. Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan

Agrariadi Sumatera Timur(1863-1947). Jakarta: Sinar Harapan

Kartodirdjo, Sartono dkk. (eds.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Wie, Thee Kian. 1977. Plantation Agricultural and Export Growth an economic history qf East Sumatra, 1863-1942, Jakarta: LEKNAS-LIPI,

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Locher-Scholten, Elsbeth. 1992. “The Nyai in Colonial Deli: A Case of Supposed

Mediation”, dalam Sita van Bemmelen, dkk. (eds.). Women and Mediation

in Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Mubiyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

R.P Suyono, Capt. 2005. Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial. Jakarta: Grasindo Said, Muhammad. 1990. Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan

Kemarahannya, Cetakan ke II. Medan: PT. Harian Waspada.

Schuffner W. A. P. dan W. A. Kuenen. 1910. De Gezondheidstoestand van de Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907. Amsterdam: De Bussy.

Stoler, Ann Laura. 1995. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: Karsa


(18)

78

C. Artikel, Skripsi, Tesis, dan Surat Kabar

Affandi, Kiki Maulana. 2015. “Sejarah Kesehatan Kuli Kontrak di Perkebunan

Senembah Maatschapij 1882-1942”, skripsi S-1, belum diterbitkan, Medan: Universitas Sumatera Utara,

Deli Courant, 17 Maret 1924

Iryana, Wahyu. 2013. Pemberantasan Prostitusi Zaman Belanda [t.t]. [t.p]. Artikel diakses dari https://www.academia.edu.

Yasmis. 2008. “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli Sumatera Timur 1880

-1915”, Tesis S-2, belum diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Rosidah, Iyos. 2012. “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli

Sumatera Timur 1870-1930”, Tesis S-2, belum diterbitkan. Semarang: Universitas Diponegoro.


(19)

BAB III

BENTUK PELACURAN 3.1 Pelacuran

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pada awalnya mayoritas pekerja adalah kuli laki-laki. Hal ini dikarenakan belum diperlukannya tenaga perempuan pada saat awal pembukaan lahan perkebunan. Penebangan pohon dalam proses pembukaan hutan dan pencangkulan tanah untuk membuka lahan tentunya membutuhkan tenaga yang besar sehingga kuli perempuan dirasa belum dibutuhkan. Disamping itu, adanya larangan bagi kuli untuk membawa istri dan calon kuli yang sudah menikah akan ditolak.61 Baru lah ketika perempuan dirasa perlu, pihak perkebunan melakukan perekrutan kuli perempuan (1875) untuk dipekerjakan sebagai seperti mencari ulat tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan mengikat daun-daun tembakau. Selain itu, mereka juga sengaja didatangkan untuk memikat para pekerja laki-laki agar betah atau tetap tinggal di perkebunan setelah masa kontrak selesai.

Akan tetapi, dibanding dengan kuli laki-laki, jumlah mereka masih lebih sedikit. Melihat perbandingan yang sangat timpang tersebut, kaum perempuan yang datang merupakan sumber daya langka dan sering kali menjadi pusat konflik antara kuli Cina dan Jawa.

61 Kuli perempuan yang didatangkan dari Jawa, memang sengaja didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka akan dipekerjakan sebagai pelacur dalam upaya mempertahankan kontrak kuli laki-laki. Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 48.


(20)

Pembukaan perkebunan di tahun 1869 – 1870an secara besar-besaran oleh Jacobus Neinhuys bersama C.G. Clemen, hanya berorientasi pada hasil yang harus besar dan berkualitas baik. Dari pandangan terhadap hasil maksimal yang diinginkan pihak perkebunan, ternyata menjadi satu latar belakang terjadinya masalah pada kuli. Kuli yang sebagian besar adalah laki-laki ternyata tidak dapat menyalurkan perasaan mereka terhadap sesama kuli,62 baik itu masalah pribadi kuli ataupun masalah yang mendasar semua orang terkait birahi. Dalam kurun waktu satu tahun, kuli laki-laki yang tidak dapat menyalurkan perasaan tersebut dapat bertahan dan bekerja dengan baik. Akan tetapi, lama kelamaan merka mulai “jenuh” sehingga terjadi praktik homoseksual diantara kuli laki-laki terutama pada kuli Cina63. Kuli-kuli Cina tersebut sudah tidak tertarik pada perempuan lagi dan beralih pada “seks yang tidak alami”. Mereka menjadi penyuka sesama jenis dan termasuk juga para pengawas (kepala suku dalam satu regu). Biasanya, para pengawas lah yang memiliki hak pertama atas diri mereka.

62 Ditinjau dari aspek psikologi, manusia itu merupakan makhluk yang sangat memerlukan hiburan, atas dasar rasa lelah yang dirasa, penat, ataupun kejenuhan dalam berpikir. Hiburan-hiburan yang diinginkan manusia dapat diperoleh dari liburan, musik, dan sebagainya tergantung dari kebutuhan seorang individu tertentu. Dalam kasus kuli ini, jika ditinjau dalam aspek psikologi, akan muncul ego dalam diri laki-laki. Laki-laki cenderung enggan menceritakan masalah yang di alami kesesama lelaki. Hal ini diakibatkan karena perasaan si laki-laki yang cenderung individualis dan merasa lebih hebat dari lelaki lainnya maka kemudian, laki-laki akan cenderung lebih banyak bercerita tentang masalahnya kepada perempuan yang disukainya. Lihat Jan Bremen op. cit., hlm. 205

63 Jika dilihat dari sisi psikologi, orang yang berasal dari Asia, terutama Asia Timur, memiliki birahi yang lebih besar dibanding dengan orang dari Eropa, atau Amerika. Terbukti jika melihat konteks kekinian, penduduk dari wilayah Cina menjadi salah satu yang terbanyak didunia. Begitu juga dengan wilayah Jepang, Korea, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam beberapa dekade belakangan hal tersebut dapat diredam dengan pertumbuhan pengetahuan mengenai alat kontrasepsi. Ibid., hlm. 205


(21)

Praktik homoseksual ini terjadi secara terang-terangan dan didepan kuli-kuli lain.64 Praktik homoseksual ini juga disaksikan oleh kuli-kuli lain yang tinggal dibarak yang sama dengan kuli tersebut. Tidak jarang terjadi pembunuhan diantara kuli-kuli Cina tersebut diakibatkan hubungan cinta. Hal ini juga menyebabkan adanya pelacur laki-laki dikalangan kuli Cina. Pelacur laki-laki ini merupakan orang Cina itu sendiri dan beberapa orang Jawa yang mereka sebut sebagai anak jawi.65 Pada awalnya pihak perkebunan tidak mengetahui akan hal ini. Kemudian, ada kuli yang terserang penyakit dan diketahui dari penyakit yang dialami oleh kuli tersebut bahwa, penyakit tersebut berasal dari bakteri yang berasal dari kelamin pria.66

Berbeda halnya dengan kuli Jawa. Bagi kuli Jawa berlaku hal yang sebaliknya.

“tidak mungkin bagi mereka untuk bertahan hidup di perkebunan, jika tidak ada

perempuan”67. Setelah mengetahui hal tersebut, pihak perkebunan melakukan perekrutan kuli perempuan yang dimulai pada tahun 1873.68

Dalam perekrutan kuli perempuan, pihak perkebunan juga mempertimbangkan keterkaitan pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh kuli perempuan tersebut. Kuli perempuan memang sengaja direkrut untuk menjadi pelacur69. Selain itu, mereka

64 Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, didalam barak tidak ada pembatas ataupun kamar-kamar sebagai tempat tidur. Kepuasan yang dirasakan oleh salah seorang kuli pada saat berhubungan seksual, meski terhadap sesama menjadi penarik perhatian kuli-kuli lain. Hal ini lah yang menyebabkan praktik homoseksual meluas dikalangan kuli Cina.

65 Jan Bremen op. cit., hlm. 204 66 Ibid. hlm. 203

67 Capt. R.P. Suyono, Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial. Jakarta : Gramedia, 2005. Hlm 17

68 Meski demikian, kuli Jawa termasuk kuli yang cepat merasa puas. Jan Bremen, op. cit., hlm. 206


(22)

hanya dipekerjakan sebagai pengambil hama ulat yang memakan daun tembakau, pencuci, dan penjemur daun tembakau.

Perekrutan terhadap kuli perempuan dilakukan dengan selektif. Perempuan yang akan didatangkan ke Deli dipilih dengan syarat-syarat tertentu seperti, perempuan yang masih muda70, cantik, dan memiliki fisik yang baik. Pihak perkebunan juga tidak begitu peduli tentang keahlian kuli perempuan tersebut dalam bekerja. Selain hanya melakukan pekerjaan ringan, mereka memang sengaja akan dipekerjakan sebagai pelacur.

Mereka ditipu dengan janji akan mendapat gaji yang besar, dan akan bekerja sebagai pemilih tembakau. Pada kenyataan yang terjadi, memang benar perempuan tersebut dipekerjakan sebagai pemilih tembakau, akan tetapi dengan penghasilan yang sangat kecil71. Dengan penghasilan yang kecil tersebut, dan kebutuhan perempuan yang cukup banyak, terutama pakaian, sabun (peralatan mandi), lulur (perawatan kulit)

70 Muda dalam artian produktif (dapat bekerja). Kebanyakan diantara kuli perempuan yang direkrut berusia 19-26 tahun. Melihat kembali dalam aspek psikologi, terutama morfologi (bentuk tubuh manusia), pada usia tersebut, seorang wanita biasanya berada pada puncak masa perkembangan bagian tubuhnya. Bagian dada dan bokong masih terasa kencang, kulit belum keriput, dan yang terpenting, pada kasus diatas, adalah pada bagian kelamin wanita yang masih kencang ataupun belum kendur karena tidak perawan lagi. Tidak semua juga kuli perempuan yang direkrut tersebut yang masih muda. Ada beberapa kuli perempuan yang juga direkrut namun teah menikah. Calon kuli perempuan ini yang nantinya akan menjadi gundik (istri simpanan administratur perkebunan). Lihat Tineke Hellwig, op.cit., hlm. 48.

71 Penghasilan yang kecil ini bertujuan agar kuli perempuan tidak dapat kembali ke daerah asalnya. Hal ini dikarenakan tujuan awal didatangkannya kuli perempuan adalah sebagai pelacur dan pengikat kontrak kuli laki-laki. Upah yang diterima kuli perempuan jauh lebih sedikit dari pada upah yang diterima oleh kuli laki-laki. Upah kuli perempuan hanya sebesar ƒ1.5 sedangkan kuli laki-laki menerima upah sesuai dengan berat yang dikerjakan (rata–rata upah yang diterima sebesar ƒ3 perbulan). Upah tersebut belum termasuk potongan yang dilakukan oleh pihak perkebunan. Kuli harus membiayai sendiri alat berladangnya (termasuk pergantian alat), papan berita di ruang tidur, sampai buku kecil untuk mencatat upah kuli juga ditanggung sendiri oleh kuli. Dan dapat dirata-ratakan pemotongan sekitar ƒ0,25. Jan Breman, Op. Cit., hlm. 112-113


(23)

dan ditambah lagi dengan adanya pemotongan upah dari administratur perkebunan, memaksa kuli perempuan tersebut untuk bekerja lebih. Seringkali seorang kuli perempuan dipanggil oleh seorang administratur di tengah jam kerjanya untuk

kemudian “memisahkan diri” dari kuli lain dan pergi bersamanya. Mereka tidak secara terang-terangan dipaksa untuk melacurkan diri. Mereka hanya memiliki sedikit pilihan, tetap menjadi kuli perkebunan dengan upah yang sangat sedikit, atau menjadi pelacur dengan penghasilan tambahan.

Biasanya, perekrutan terhadap kuli perempuan dalam satu tahun hanya sebanyak empat puluh orang. Dari ke empat puluh orang tersebut, semuanya menjadi pelacur.72 Saat berada dalam perjalanan ke Deli dari Pulau Jawa, para calon kuli perempuan tersebut disetubuhi di atas kapal terlebih dahulu oleh orang-orang biro penyedia tenaga kuli yang ditunjuk pihak perkebunan.73 Hal ini bertujuan “melatih” kuli perempuan tersebut menjadi pelacur sehingga mereka nantinnya terbiasa dengan pelacuran itu. Mereka tidak dapat menolak atau melarikan diri dari kapal karena kapal dijaga sangat ketat oleh polisi perkebunan dan perusahaan penyedia tenaga kerja. Setelah disetubuhi, para perempuan calon kuli tersebut dibiarkan dan diminta untuk menutupi kejadian tersebut seolah-olah itu tidak pernah terjadi. Sebagai contoh,

72 Perekrutan kuli perempuan memang disengaja dibatasi oleh pihak perkebunan. Terjadi pembatasan dalam setiap perekrtutan perempuan. Perempuan dalam wilayah perkebunan tidak diperbolehkan berada dalam jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan agar tetap menjaga kontrak kuli laki-laki. Para perempuan yang telah menjadi pelacur, memberikan harga yang dinilai cukup tinggi sehingga kuli laki-laki harus mengutang kepada tandil dan dengan utang tersebut yang nantinya akan menjerat kuli laki-laki tersebut dengan kontrak yang semakin panjang. Sehingga tidak memungkinkan kuli laki-laki tersebut untuk menabung untuk pulang kekampung halamannya.


(24)

ditahun 1892 terdapat kasus yaitu dari 38 kuli perempuan yang direkrut ke Deli, ada 1 orang yang tidak menjadi pelacur. Hal ini disebabkan karena perempuan itu dianggap memiliki penyakit menular saat berada diatas kapal sehingga para petugas pengiriman kuli dalam kapal takut untuk mendekatinya. Pada saat itu pengetahuan tentang penyakit masih belum berkembang.74

Tidak jarang terjadi konflik antara kuli Jawa dan kuli Cina yang berujung pada kematian hanya karena perempuan, misalnya, jika seorang pelacur yang biasa melacur pada kuli Jawa, kemudian berpindah pada kuli Cina sehingga menimbulkan kecemburuan pada kuli Jawa dan begitu pula yang terjadi sebaliknya. Hal ini dilakukan oleh pelacur tersebut untuk memperoleh uang yang lebih banyak. Selain itu, banyak kuli laki-laki Jawa yang kalah dalam bermain judi, atau gaji yang diperoleh telah dipakai untuk membeli candu sehingga mereka tidak mampu membayar jasa pelacuran kuli perempuan tersebut.75

Disamping kuli perempuan Jawa, kuli perempuan Cina juga didatangkan dari Semenanjung Malaya bersama kuli laki-laki Cina lainnya. Kasus yang serupa juga dialami oleh kuli perempuan Cina tersebut. Akan tetapi, pelacuran di Deli seolah-olah memiliki tingkatan-tingkatan tertentu76. Untuk kalangan kuli, maka perempuan yang menjadi pelacur adalah perempuan dari Jawa, sementara untuk kalangan staff

74 Liesbeth Hesselink, op. cit., hlm. 108 75Ibid., hlm. 196

76 Tingkatan-tingkatan yang dimaksud adalah tempat pelacur yang berbeda antara perempuan Cina dan Jawa. Kasta pelacuran lebih terlihat pada proses mereka melacur. Perempuan Cina ditempatkan diwilayah gementee dan perempuan Jawa diwilayah perkebunan. Meski pada akhirnya para kuli perempuan itu juga tidak dapat tempat tinggal dan harus tinggal satu atap dengan kuli laki-laki.


(25)

perkebunan, pelacur yang dipergunakan berasal dari kuli perempuan Cina. Perempuan Cina dinilai lebih cantik dan bersih dibandingkan perempuan Jawa. Selain itu juga oleh faktor warna kulit, antara yang lebih terang dan yang lebih gelap. Kulit perempuan Cina yang lebih terang dianggap lebih cantik dan bersih dibandingkan kulit perempuan Jawa yang lebih gelap. Hal lain adalah, postur dan bentuk tubuh orang Cina dinilai lebih menggairahkan.77

Pelacuran berlangsung disetiap datangnya hari gajian, baik gajian besar maupun gajian kecil. Pada hari gajian, selalu diadakan suatu keramaian yang lebih dikenal dengan sebutan “malam gajian”. Pada saat itu banyak pedagang yang datang ke perkebunan, dan ada pula pertunjukan kesenian, misalnya ketoprak, wayang orang, ronggeng, bioskop. Selain pertunjukan kesenian, juga disediakan tempat–tempat perjudian, Begitu mereka menerima gaji mereka tidak pulang dulu ke barak melainkan langsung ke tempat keramaian. Bagi buruh yang sudah ketagihan judi mereka langsung mendatangi arena perjudian untuk mempertaruhkan uang yang baru saja diterimanya.

Pelacuran dapat terjadi pada saat pertunjukan ronggeng. Mungkin untuk tujuan ini juga lah dalam perekrutan kuli perempuan dipilih yang cantik dan masih muda agar dapat dijadikan sebagai pelipur lara para kuli laki-laki di perkebunan tersebut. Awalnya para peronggeng tersebut menarikan tariannya dan pada saat menerima saweran dari laki-laki, maka selanjutnya praktik pelacuran dapat terjadi. Setelah mendapat saweran maka penari akan menarik kuli laki-laki yang menari dengannya dengan selendang dan


(26)

menjauh dari keramaian. Mereka akan pulang kebarak atau pergi ketempat sepi di perkebunan. Bayaran sekali melacur seperti ini adalah sebesar ƒ0,5.78

Terhadap aktifitas pelacuran, dikenakan pajak oleh administratur perkebunan

sebesar ƒ1 setiap bulannya. 79 Pemungutan pajak dilakukan karena dalam pandangan orang Eropa sendiri pekerjaan melacur sebagai sebuah profesi. Tidak jarang terjadi pelecehan terhadap kuli perempuan didalam barak, diluar waktu pelacuran tersebut. Hal ini terjadi karena kuli laki-laki yang kalah berjudi tersebut tidak memiliki uang lagi untuk membayar pelacur.

Pelacuran untuk kalangan administratur, biasanya diadakan di wilayah gemeente80. Salah satu tempat pelacuran yang terkenal pada waktu itu adalah hotel de bour.81 Para pelacur untuk kalangan administratur bukan berasal dari penduduk pribumi, tetapi sengaja didatangkan dari wilayah Asia Timur seperti dari Cina dan Jepang. Perempuan dari wilayah ini dipilih karena dinilai lebih menggairahkan dan, pelacur yang menjadi primadona di kalangan administratur adalah yang berasal dari Jepang.

Pelacur Jepang menjadi primadona di kalangan administratur karena mereka dianggap jauh lebih sopan82, tidak “berisik”, dan bersih. Tidak berisik yang

78 Ibid.

79 Ibid. hlm 200

80 Gemeente merupakan wilayah otonomi administrasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial pada beberapa kota besar (kota praja).

81 H. J. Bool, op. cit., Hlm. 26

82 Hal ini tentu sesuai dengan budaya Jepang dalam menyambut tamu. Dalam budaya Jepang, penyuguhan teh merupakan sesuatu yang diwajibkan. Hal itu dilakukan untuk menghargai tamu dan menjaga nilai kesopanan mereka.


(27)

dimaksudkan disini adalah, pada saat berhubungan badan, pelacur Jepang seolah menikmati dan tidak teriak mendesah berlebih seolah kesakitan. Berhubungan badan yang seperti ini lah yang sangat di sukai oleh orang-orang Eropa pada waktu itu. Selain tidak berisik, orang Eropa pada waktu itu juga menilai orang Jepang lebih bersih. Selain warna kulit, lebih bersih yang dimaksudkan adalah, perempuan Jepang, sebelum

“bekerja” memakai parfum terlebih dahulu. Selain itu, kebiasaan pelacur Jepang adalah

mencukur rambut di sekitar kemaluan sehingga terlihat lebih bersih dan menggairahkan.83

Berbeda dengan pelacur Jepang, pelacur Cina dianggap lebih rendah dibandingkan denga pelacur Jepang. Setibanya pelacur-pelacur Cina tersebut, di dada mereka langsung dikalungkan tulisan berupa nomor urut mereka masing-masing. Para administratur memilih dari balik kaca jendela yang hitam yang hanya bisa melihat keluar dari sisi dalam sesuai selera mereka masing-masing. 84

Bayaran bagi ke dua pelacur ini berbeda. Para pelacur Cina mendapat bayaran lebih murah dibanding pelacur Jepang. Jika pelacur Jepang mendapat bayaran ƒ5, maka pelacur Cina mendapat bayaran sebesar ƒ3. Tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok, hanya saja pelacur Jepang dikhususkan bekerja sebagai pelacur. Pihak yang mendatangkan pelacur Jepang juga bukan dari pihak perkebunan, melainkan pihak hotel lah yang mendatangkan dan menawarkan jasa pelacuran tersebut.85

83 Liesbeth Hesselink,op. cit., hlm. 201-202

84 Pelacur Cina dianggap lebih rendah, karena orang Eropa menganggap mereka sama dengan kuli laki-laki yang telah memiliki citra buruk sebagai kuli dan penyuka sesama jenis.


(28)

Sejak awal tahun 1890-an, telah dikenal adanya penyakit kelamin seperti sipilis. Dalam papan pengumuman yang ada di barak-barak kuli, dan hotel-hotel penyedia jasa pelacuran, telah ada pengumuman atau pun poster-poster selebaran berisi himbauan akan penyakit tersebut. Akan tetapi, himbauan tersebut tidak dihiraukan sehingga mengakibatkan tingginya penderita sipilis yang terjadi di wilayah perkebunan, terutama dari kalangan para kuli dan tidak terlepas pula pada kalangan administratur.

3.2 Pergundikan

Kuli perempuan yang direkrut oleh pihak perkebunan maupun penyedia jasa tenaga kerja, tidak hanya terdiri perempuan yang masih muda dan belum menikah, beberapa diantara mereka ada juga yang telah menikah. Dari rata-rata empat puluh orang perempuan yang didatangkan, terdapat lima orang perempuan yang telah menikah dan bersuami. Mereka didatangkan dengan cara yang sama, yaitu dengan cara penipuan dengan janji akan memperoleh kehidupan yang lebih layak dan gaji yang cukup besar kalau bekerja di perkebunan Deli. akibat penipuan ini, menyebabkan adanya satu keluarga yang mau ikut sehingga terdapat tenaga kerja anak-anak yang berusia sepuluh sampai empat belas tahun. Untuk kuli perempuan yang telah menikah ini, mereka terhindar dari perbuatan negatif seperti yang terjadi pada calon kuli perempuan yang belum menikah di atas kapal.86

Kuli perempuan yang telah menikah tersebut juga mengerjakan hal yang sama dengan kuli perempuan lainnya dan juga mendapati permasalahan perekonomian


(29)

yang sama sehingga memaksa mereka menjadi pelacur. Tekanan ekonomi ini menyebabkan para suami mereka mengizinkan mereka menjadi pelacur. Bahkan untuk perempuan yang telah menikah, mendapat bayaran yang lebih besar.87

Larangan untuk menikah yang dikenakan kepada para administratur, memaksa mereka untuk memakai jasa pelacur ini untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dengan demikian, mereka membiarkan proses pelacuran itu terjadi, dan mengambil keuntungan darinya, walaupun mereka menolak untuk mengakuinya.88 Dalam keuntungan lain, kuli perempuan yang telah menikah mereka anggap telah mampu untuk mengurus sebuah rumah tangga. Sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh administratur Eropa.89 Kuli perempuan tersebut dipaksa untuk berpisah dari suaminya selama enam tahun dan setelahnya diperbolehkan untuk bertemu kembali. Tidak jarang terjadi penyerangan-penyerangan terhadap administratur Eropa yang dilakukan oleh para kuli karena adanya penyalahgunaan kekuasaan administratur terhadap kuli perempuan yang sudah bersuami orang pribumi tersebut.90

87 Upah pelacur yang telah menikah sebesar ƒ0,8 –ƒ1,5. Hal ini dikarenakan mereka dianggap lebih profesional dalam berhubungan badan. Pelacuran yang mereka lakukan merupakan bentuk pergundikan atau menjadi istri simpanan administratur. Lihat Tineke Hellwig, op.cit., hlm. 40. Lihat juga Liesbeth Hesselink, op. cit.,. hlm. 199

88 Ibid., hlm 89

89 Menurut salah seorang administratur Eropa, kuli-kuli Jawa merupakan orang yang lugu, bodoh, namum picik, dan memiliki sifat yang kekanak-kanakan. Sifat ini terlihat melalui jika ada seorang kuli yang lewat melintasi administratur maka dengan sendirinya ia akan menundukkan kepala atau berjalan jongkok. Atau pun, jika seorang kuli melewati rumah administratur, maka ia akan dengan sendirinya membuka topi saat melintas. Sifat ini lah yang dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa untuk mengambil alih kekuasaan. Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Melayu, namun sering kali diselipkan kata-kata kotor dengan alasan mendisiplinkan kuli agar mau menurut kepada administratur tersebut. Lihat Jan Bremen, op. cit., hlm. 210

90 Penyerangan tersebut dilakukan atas dasar ketidaksenangan atau lebih tepat dikatakan sebagai bentuk kecemburuan kuli laki-laki karena setibanya di Deli, mereka malah dipaksa untuk berpisah dengan istrinya. Lihat Liesbeth Hesselink, op. cit.,. hlm. 207


(30)

Para kuli perempuan yang telah menikah tersebut dan masih cantik tersebut, dipaksa menjadi gundik/nyai oleh administratur bangsa Eropa. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di rumah para administratur, sekaligus sebagai pemuas kebutuhan seksual mereka. Di rumah administratur tersebut, biasanya mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, membersihkan rumah, dan memasak, sehingga mereka disebut sebagai “housekeeper”91 sebagai kedok terhadap atasan (pemerintah Hindia-Belanda). Sesungguhnya para gundik/nyai ini juga mereka anggap sebagai pelacur.

Pergundikan ini penulis kategorikan kedalam bentuk pelacuran dikarenakan, kondisi yang dialami oleh pelacur hampir sama dengan kondisi yang dialami oleh gundik. Dalam pergundikan, seorang gundik/nyai juga mendapat bayaran, dan yang mereka terima lebih besar dari pada pelacur. Bayaran yang diberikan kepada seorang gundik/nyai sebesar ƒ2. Bayaran diberikan pada setiap gajian kecil di perkebunan.92

Ketika mereka dijadikan gundik/nyai, mereka tidak diperbolehkan untuk hamil. Jika mereka memiliki anak, biasanya administratur tersebut tidak akan mengakui itu sebagai anaknya kecuali bila anak tersebut berwajah seperti orang Eropa. Anak yang lahir tetapi tidak berwajah Eropa, dibiarkan oleh administratur tersebut atau dipulangkan ke Jawa dengan asuhan yang tidak jelas setelahnya.93 Jika anak tersebut

91 Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 52 92 Ibid., hlm. 54


(31)

berwajah mirip dengan orang Eropa, maka anak tersebut akan dipulangkan ke negara asalnya untuk diasuh oleh keluarga si administratur tersebut.

Sejak awal tahun 1890-an, telah dikenal alat kontrasepsi94. Meski demikian, ada juga administratur yang tidak mempergunakannya, sehingga mengakibatkan kehamilan pada gundiknya. Gundik yang telah hamil biasanya akan segera diganti oleh administratur tersebut. Dalam satu tahun, seorang administratur dapat berganti gundik sebanyak tujuh belas kali. Selain karena kehamilan, pergantian gundik terjadi karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh gundik tersebut pada saat bekerja.95

Pergundikan tidak hanya terjadi pada kalangan administratur yang belum menikah, tetapi juga terdapat juga di rumah administratur yang telah menikah, setelah gundik tersebut mendapat izin dari istri administratur tersebut. Gundik tersebut bekerja seolah-olah menjadi budak yang mengerjakan segalanya dalam pantauan istri administratur tersebut, namun tidak dengan melakukan hubungan seksual. Akan tetapi, beberapa istri administratur mengizinkan suaminya untuk berhubungan seksual dengan gundiknya. Izin ini diberikan atas dasar fisik mereka sulit beradaptasi dengan iklim tropis yang panas sehingga menyebabkan tubuh mereka lemah.96

94 Alat kontrasepsi yang dikenal pada waktu itu adalah kondom. Kondom tersebut dibagikan secara gratis oleh angkatan laut pada saat angkatan laut singgah dipelabuhan diwilayah Belawan. Karena belum berkembangnya pengetahuan tentang obat dari penyakit kelamin atau pun sipilis, maka upaya pencegahan dilakukan dengan membagi kondom gratis. Tetapi jika sudah terkena penyakit kelamin, maka kondom harus dibeli dengan harga ƒ2 ke angkatan laut itu sendiri. Lihat Liesbeth Hesselink, op. cit.,. hlm. 210.

95 Ibid., hlm. 211

96 Reggie Bay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm 89


(32)

Tidak ada gundik dari kalangan perempuan Cina. Perempuan Cina hanya dijadikan sebagai pelacur di wilayah gementee dan diantara kuli-kuli Cina saja. Gundik-gundik tersebut semuanya berasal dari kalangan perempuan Jawa. Akan tetapi, para administratur kelas atas seperti penasihat atau kontrolir perkebunan, lebih sering memilih gundik dari kalangan perempuan Jepang yang tentunya dengan bayaran yang lebih tinggi. 97

Selain menjadi gundik, gundik-gundik yang berasal dari suku Jawa dapat menjadi penengah dalam permasalahan yang terjadi antara administratur dan kuli perempuan Jawa,98 seperti protes pemotongan upah oleh kuli karena kesalahan yang dibuat oleh kuli itu sendiri. Atau masalah pembayaran upah pelacuran yang kurang yang dilakukan oleh seorang administratur. Meski demikian, gundik tersebut harus tetap membela administratur tersebut karena takut dan demi mendapatkan uang agar tidak diberhentikan sebagai housekeeper atau pembantu dirumah administratur tersebut.

Di dalam kalangan militer, pergundikan juga banyak ditemukan. Mereka disebut dengan nama Sarina yang diangkat menjadi anggota militer golongan pribumi. Munculnya pergundikan disini dipicu oleh izin yang diberikan pada para serdadu pribumi yang sudah menikah dan berkeluarga hidup bersama di dalam tangsi. Para serdadu yang masih lajang kemudian marah dan memprotes kebijakan tersebut.

97 Tineke Hellwig, op.cit., hlm. 53

98

Setelah menjadi gundik, biasanya mereka akan mampu menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Melayu sebagai bahasa ibu mereka dan bahasa Belanda. Ibid., hlm. 54


(33)

Mereka akhirnya diperbolehkan hidup dalam sebuah pergundikan dengan para tentara perempuan atau yang disebut moentji.

Pergundikan di dalam tangsi ini berkembang pesat karena kebijakan pemerintah Belanda yang mengijinkan pergundikan tangsi ini. Pertimbangan mereka, dengan adanya seorang moentji, kehidupan para tentara kolonial ini menjadi lebih rapi dan disiplin. Kebiasaan mabuk-mabukan di kalangan tentara dan praktek pelacuran yang sering membawa penyakit kelamin menjadi berkurang. Oleh karena kebanyakan tentara berpenghasilan rendah, jadi kemungkinan untuk memelihara gundik dari warga sipil sangat kecil.

Faktor lain berkembangnya pergundikan tangsi ini adalah para pejabat militer dengan pangkat tinggi yang lebih suka hidup dengan memelihara gundik daripada pernikahan. Padahal memiliki harta yang cukup untuk membiayai seorang perempuan Eropa. Alasannya, hanya sedikit perempuan Eropa yang dianggap sesuai, perempuan pribumi yang tidak banyak menuntut, dan lebih mudah didapatkan.

Umur para moentji yang ada di dalam tangsi umumnya berusia 12-35 tahun. Mereka yang sudah berusia lebih dari 35 tahun, akan diabaikan bahkan diusir dari tangsi dengan sebuah surat pemberhentian. Mereka hidup kembali dalam kemiskinan dan tanpa kepastian karena tidak memiliki pekerjaan lagi. 99


(34)

BAB IV

DAMPAK PELACURAN

4.1 Terhadap Kuli

Pada tahun 1870 sampai dengan 1927, perempuan pribumi dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih. Pada penjelasan bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat kuli laki-laki ke perkebunan Deli. Secara tidak langsung, mereka dipekerjakan sebagai pelipur lara para kuli laki-laki dan sebagai pengikat kontrak kuli di sana. Kondisi seperti ini sengaja diciptakan agar dapat memberikan pelayanan seksual (pelacur) dalam proses mempertahankan kuli laki-laki tersebut dan berdampak cukup besar di wilayah perkebunan di Deli.

Dampak pelacuran terhadap kuli sangat jelas terlihat adalah mewabahnya penyakit sipilis dikalangan kuli. Sejak awal abad ke-19, dampak pelacuran yang terkait dengan penyakit sipilis sudah mulai dibahas di Pulau Jawa. Akan tetapi, pembahasan dilakukan melalui ruang lingkup sosial dan politik. Pemerintah kolonial beranggapan bahwa, penyakit ini merusak dan menggerogoti tatanan sosial dan politik kekuasaannya, karena penyakit ini banyak menyebar dikalangan militer dan kuli-kuli perkebunan. Akan tetapi, para pengusaha perkebunan tetap membiarkan proses prostitusi tersebut.


(35)

Kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh kuli perempuan itu lah yang kemudian menyebabkan tingginya jumlah penderita penyakit sipilis100. Banyak dari kuli para penderita sipilis yang tidak menyadari jika mereka terkena sipilis dan karena itu mereka tidak segera melakukan pencegahan terhadapnya. Pada masa itu, penyakit sipilis ini, juga masih belum banyak diketahui, sehingga mereka beranggapan bahwa ini hanya penyakit biasa. Hal ini disebabkan karena gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini berlangsung cukup panjang. Gejala-gejala yang dialami akan berlangsung 3-4 minggu, atau kadang-kadang sampai 13 minggu. Kemudian akan timbul akan benjolan seperti bisul di sekitar alat kelamin. Kadang-kadang disertai pusing-pusing dan nyeri tulang disertai flu, yang akan hilang sendiri tanpa diobati. Setelah itu, akan muncul bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan seks. Gejala ini akan hilang dengan sendirinya dan seringkali kuli-kuli tersebut tidak memperhatikan hal ini. Dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun, penyakit sipilis akan menyerang susunan syaraf otak, pembuluh darah dan jantung yang mengakibatkan kematian.101

Penyebaran penyakit kelamin ini, lebih banyak menyebar dikalangan kuli Cina dari pada kuli Jawa. Beberapa faktornya adalah :

100Penyakit sipilis merupakan penyakit kelamin yang menular disebabkan oleh satu bakteri tertentu. Penyakit ini dapat menular melalui hubungan seksual, gesekan antara luka si penderita dengan organ genital pasangannya (meski dalam keadaan normal/tidak terjangkit penyakit tersebut), melalui air liur yang bertukar, luka pada kulit yang saling bersentuhan, tetapi tidak dengan udara pernafasan, keringat, atau pun pakaian. Karena meyerang di bagian kelamin, maka penyakit ini juga dikenal degan

“penyakit kencing”

101 Kiki Maulana Affandi, Sejarah Kesehatan Kuli Kontrak di Perkebunan Senembah Maatschapij 1882-1942”, Skripsi S-1, belum diterbitkan, Medan: Departemen Sejarah Universitas Sumatera Utara, 2015, hlm 73


(36)

1. Kuli Jawa melakukan sunat pada organ genitalnya sehingga menyebabkan organ genital kuli Jawa lebih terjaga kebersihannya.

2. Kebanyakan kuli Jawa menikah dengan satu perempuan. Meski pun, para suami dari kuli perempuan Jawa tersebut juga memperbolehkan istrinya untuk menjadi pelacur atau gundik akibat dari kemiskinan yang dialami kuli tersebut pada waktu itu.102

3. Jika ditinjau dari sisi medis, kuli Cina yang suka meminum arak (minuman keras khas Cina) juga berdampak pada cepatnya proses penyebaran virus sipilis ke otak, karena alkohol juga dalam jangka panjang dapat merusak saraf-saraf yang terdapat pada otak manusia.103

Seorang manajer di Deli Maatscapij mengeluh karena dari 60 orang kuli perempuan, sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah sakit karena sipilis. Akan tetapi, data tersebut masih diragukan karena gejala penyakit ini yang tidak terlalu tampak jelas serta dengan gejala yang panjang, dan mirip dengan gejala penyakit kulit lain yang juga menyebar di perkebunan pada waktu itu. 104

Atas merebaknya penyakit kelamin ini, banyak bermunculan tuduhan-tuduhan pada kuli perempuan. Penyakit ini selalu dikaitkan dengan penyakit perempuan105, sehingga muncul istilah di masyarakat, bahwa penyakit kelamin tersebut adalah

102 Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 51.

103 Gani A Jaelani, Penyakit Kelamin di Jawa 1812 1942. Bandung: Syabas Books, 2013, hlm. 40.

104 Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 60

105 Istilah penyakit perempuan ini disebabkan karena stigma yang melekat pada waktu itu adalah penyakit kelamin selalu menyebar dari perempuan kepada laki-laki


(37)

penyakit yang dibawa oleh “perempuan jahat”. Setidaknya, dari tuduhan terhadap perempuan tersebut, dapat diambil kesimpulan: pertama, bahwa perempuan merupakan penyebar penyakit, dan kedua, mereka mempraktikkan kegiatan immoral sebagai pelacur. Tuduhan ini sebenarnya lebih didasarkan pada struktur tubuh dari perempuan itu sendiri yang tidak pernah tahu jika dirinya telah tertular penyakit tersebut. Pada bagian dalam kelamin perempuan terdapat satu organ yang disebut dengan lamad106. Perempuan yang bagian lamad-nya sering mendapatkan gesekan, maka lamad tersebut akan semakin menebal. Setelah menebalnya lamad tersebut, maka penyakit ini pun sering tidak diketahui oleh perempuan pelacur tersebut. Oleh karena itu, perempuan selalu dilihat sebagai gudang kuman bibit penyakit kelamin.

Setelah munculnya peraturan yang mewajibkan pemeriksaan terhadap para pelacur, dokter pemeriksa mendapatkan sebuah hasil penelitian bahwa penyakit tersebut sebenarnya menular melalui kelamin laki-laki. Dokter tersebut beranggapan bahwa lelaki lah yang sebenarnya sebagai penular penyakit ini. Mungkin berawal dari para tentara yang telah terkena sebelumnya. Ditambah lagi dengan adanya anggapan

pada waktu itu, “jika seseorang tidak menyalurkan birahinya maka ia akan terkena satu penyakit”. Akan tetapi tidak ada satu dokter pun pada waktu itu yang menyatakan anggapan tersebut adalah benar.107

Stigma seperti ini muncul karena kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh kuli perempuan dan perempuan juga selalu dipandang rendah di semua wilayah

106 Lamad merupakn satu membrane atau selaput tipis yang terdapat pada dinding vagina. 107 Gani A. Jaelani, op. cit., hlm. 134


(38)

perkebunan. Bahkan para pengusaha perkebunan sendiri mengklaim bahwa adanya prostitusi dan penyebaran penyakit kelamin, karena kebobrokan moral perempuan itu sendiri.

Meski telah muncul stigma buruk di kalangan kuli perempuan tersebut, mereka tetap merasa bangga terhadap profesinya sebagai pelacur. Dijelaskan bahwa kuli tersebut menyatakan diri bangga dan tidak malu sama sekali. Bahkan untuk beberapa kuli perempuan yang telah menikah, mereka lebih menyalahkan kuli laki-laki (suaminya) yang seharusnya bertanggung jawab atas profesi pelacur yang mereka jalani. Dilain sisi, kebanggan sebagai pelacur juga karena penghasilan yang diperoleh dari hasil melacur, dapat membantu kehidupan ekonomi mereka.

Berbeda dengan kuli perempuan, di kalangan kuli laki-laki, penyakit kelamin merupakan satu simbol kejantanan. Sekelompok laki-laki (satu regu dalam sebuah perkebunan) akan lebih merasa dihormati kalau sudah tertular penyakit kelamin ini. Akibatnya banyak laki-laki yang ingin tertular penyakit ini. Bagi para pemuda misalnya, sering terjadi orang tua (laki-laki) memaksa agar anaknya dapat tertular penyakit ini, karena anggapan bahwa, jika seorang ayah memiliki anak yang tertular

penyakit kelamin akan dihargai sebagai orang tua yang “jantan”.108

Tidak terlepas pula pada administratur perkebunan, maupun golongan militer perkebunan. Penyakit kelamin merupakan satu simbol ketangguhan terutama bagi seorang serdadu militer. Dalam bukunya, Gani A. Jaelani menjelaskan tentang terdapat

108 Ibid.


(39)

satu ungkapan yang cukup populer dikalangan seluruh anggota militer di Hindia-Belanda pada waktu itu bahwa, “seorang serdadu, tidak akan menjadi serdadu yang

baik jika belum pernah tertular sipilis”. Bahkan penyakit ini merepresentasikan kedudukan terhormat di kalangan militer (dalam hierarki yang informal).109

Lain halnya menurut pandangan kaum liberalis Eropa. Orang Eropa yang datang dan mengambil alih pemerintahan di Hindia-Belanda, khususnya para pengusaha perkebunan, merupakan orang liar (sauvage). Rusaknya moralitas yang terjadi di perkebunan, terutama citra buruk yang terdapat di Deli, menurut kaum liberalis Eropa tersebut karena bangsa Eropa yang datang ke Hindia-Belanda

merupakan “orang kulit putih yang telah mengalami degenerasi”. Selain pelacuran

yang mengakibatkan wabah penyakit kelamin yang cukup besar, praktik suap, pegawai yang korup, dan pergundikan merupakan contoh-contoh dari hilangnya moralitas orang Eropa di Deli. Selain dikatakan sebagai “bisnisnya para monyet”, perkebunan di Deli terkenal dengan “rumah sakit dari para penderita ketidakbermoralan”.110 Sebagai pembelaanya, iklim, makanan, bahasa, dan cara berpakaian dianggap sebagai penyebab hilangnya moralitas bangsa Eropa di tanah jajahannya. Disamping itu, muncul dari asumsi bahwa karakter orang pribumi sebagai “orang liar” menular pada orang Eropa.

Penularan “penyakit ini”, terutama terjadi akibat hubungan seks antara kedua jenis ras tersebut.

109 Ibid., hlm. 136


(40)

Selain menyebabkan gangguan biologis (penyakit kelamin), akar permasalahan

sosial dari “degenerasi kulit putih”, praktik seks bebas yang terjadi juga memunculkan kegelisahan politik. Hal ini kemudian memunculkan pendapat bahwa para lelaki Eropa tidak hanya tertular penyakit, tetapi juga telah kehilangan martabatnya dan cenderung menjadi tidak bermoral.111

Kebanggan yang berlebih juga ada pada kuli perempuan yang menjadi gundik administratur kebun. Selain berpenghasilan, mereka juga merasa bangga karena dapat dekat dengan administrator yang sebagian besar adalah orang Eropa. Selain itu, mereka juga mendapat pendidikan tentang bahasa dan kebersihan dari orang-orang Eropa tersebut. Pelajaran lain yang diberikan adalah berupa tata cara berpakaian yang rapi dan terlihat berwibawa, kebersihan kulit terutama pada bagian kelamin112. Untuk menjaga alat kelamin nereka agar tetap bersih, mereka harus mencukur rambut yang tumbuh pada bagian organ genital itu. Mereka juga diajarkan untuk mencukur rambut pada ketiak.113

Dampak lain dari eksploitasi terselubung yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan terhadap para kuli perempuan tersebut, adalah lahirnya anak-anak diluar nikah. Dalam kasus pergundikan, selain hanya dianggap sebagai objek seksualnya, para nyai/gundik ini juga tidak memiliki hak karena mereka tidak dapat menuntut apapun

111 Liesbeth Hesselink, op. cit., hlm. 200

112 Pembelajaran yang dimaksudkan dalam pembersihan organ genital, agar setelah gundik tersebut pindah dari satu laki-laki administratur ke administratur lainnya, ia tetap mampu melayani dan dapat menjadikan satu kebanggaan pada administratur sebelumnya bahwa ia memakai salah seorang kuli yang bersih.


(41)

dari tuannya. Jika suatu saat tuannya kembali ke Eropa untuk cuti ataupun menetap disana dan menikah dengan perempuan Eropa, sang nyai harus ikt serta tanpa boleh membawa anaknya yang lahir dari hubungan pergundikan tersebut. Gundik itu terkadang bisa dijadikan barang lelangan oleh tuannya. Gundik tersebut akan dilelang kepada teman dan kenalan sang tuan untuk kemudian dijadikan gundiknya.

Anak yang lahir diluar nikah dari pergundikan, hanya menjadi tanggung jawab si perempuan. Tidak jarang anak yang terlahir seperti ini, ketika berusia 10 tahun akan dijual oleh ibu mereka kepada pengusaha perkebunan untuk dijadikan kuli jika anak tersebut laki-laki, dan dijadikan gundik jika anak tersebut perempuan.114

Masa pelacuran dan pergundikan seorang perempuan di perkebunan akan berakhir setelah ia berusia 45 tahun. Perempuan yang telah berusia 45 tahun115 kurang diminati oleh para kuli ataupun para administratur. Pada saat itu lah, mereka akan menikah dengan seorang kuli laki-laki yang juga telah berusia tua. Mereka tetap bekerja pada pengusaha perkebunan tapi, hanya bekerja sebagai pemanen, penjemur, atau sebagai pengutip ulat-ulat hama dari daun tembakau.

4.2 Terhadap Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda

Banyak terjadi perdebatan antara dua kelompok yang bertentangan di Deli. Kelompok yang bertentangan tersebut adalah kelompok pemilik atau pendukung usaha perkebunan dengan kelompok liberal dari pemerintah Hindia-Belanda. Perdebatan

114 Ibid., hlm. 188


(42)

yang terjadi terkait kebijakan yang dibuat oleh pihak perkebunan dengan citra buruk yang didapat pemerintah Hindia-Belanda di Deli. Pihak perkebunan mendukung dan membiarkan praktik pelacuran terjadi di wilayah perkebunan Deli. Sementara itu, kelompok liberalis pemerintahan melarang116 praktik pelacuran tersebut. Penyakit kelamin yang terjadi akibat pelacuran tersebut telah dianggap sebagai satu kejahatan besar dan harus segera dihentikan. Akan tetapi, para pihak yang mendukung praktik pelacuran, pelacuran harus tetap ada tanpa memperdulikan dampak yang terjadi akibat praktik pelacuran tersebut. Hal ini karena penyakit tersebut dianggap sebagai tanggung jawab dari masing-masing kuli itu sebagai akibat dari buruknya moral kuli perempuan yang menjadi pelacur tersebut.

Hasil dari perdebatan itu maka, pada tahun 1880 dibentuk lah Komisi Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat117 dan dikeluarkan lah peraturan tentang pengendalian pelacuran yang diberikan kepada kuli-kuli di wilayah perkebunan Deli. Peraturan tersebut mengharuskan kepada perempuan yang ingin menjadi pelacur agar mendaftarkan diri terlebih dahulu ke kepolisian, dan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter setiap satu kali dalam seminggu. Akan tetapi, penerapan terhadap peraturan pengendalian pelacuran tersebut tidak membuahkan hasil. Jika seorang kuli perempuan sudah mulai terlihat tanda bahwa ia terkena penyakit kelamin, maka ia harus berada

116 Pelarangan praktik pelacuran tersebut terkait dengan berkembangnya paham liberal di negara induk (Belanda-Eropa) tentang proses “memanusiakan manusia” (memberikan hak-hak yang benar kepada orang lain / HAM). Bahkan salah seorang dari pemerintah Hindia-Belanda (HJ Bool) menyatakan bahwa perusahaan perkebunan di Deli merupakan bisnisnya para monyet. Lihat H. J. Bool, op. cit., hlm. 36

117 Komisi ini berisi para dokter yang telah belajar dan bekerja sama dengan perkebunan Senembah terhadap penanganan penyakit kuli di Deli.


(43)

dalam perawatan dokter hingga sembuh. Akan tetapi, kuli tersebut tidak mampu membayar uang perobatan dan pada akhirnya dokter tetap memperbolehkan ia bekerja. Kondisi ekonomi kuli ini lah yang mengakibatkan peraturan yang dikeluarkan oleh pengusaha perkebunan tersebut tidak berjalan.118

Tidak berjalannya peraturan tersebut, menyebabkan semakin pula banyaknya tersebar penyakit kelamin diantara kuli-kuli perkebunan tersebut. Kemudian peraturan diperbaharui dengan berusaha mengintensifkan pemeriksaan berkala yang harus dilakukan oleh kuli tersebut. Peraturan kembali diperbaharui dengan adanya usulan dari pemerintah Hindia-Belanda terkait penghapusan hukuman terhadap pelacur dan pengurangan pajak melacur. Akan tetapi, para pengusaha perkebunan tidak meyepakati hal itu karena beranggapan bahwa yang memilih profesi sebagai pelacur itu adalah kuli perempuan itu sendiri.119

Pada kenyataannya, para pengusaha perkebunan menjalankan apa yang telah diusulkan oleh pemerintah tersebut. Pada kenyataannya, pemeriksaan ke dokter yang dilakukan oleh para kuli hanya dianggap sebagai lelucon belaka. Ditambah lagi, pengetahuan tentang penyakit ini masih belum berkembang dan dokter yang terdapat pada wilayah Deli juga jumlahnya masih sedikit. Ini berdampak pada pemeriksaan terhadap yang pelacur semakin tidak terkendali dan penyakit kelamin menjadi satu fenomena besar di perkebunan hingga awal abad ke-20.120

118 Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 192 119 Ibid, hlm 194


(44)

Satu kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda adalah kurangnya perhatian setelah dikeluarkannya peraturan yang menyangkut pelacuran itu. Pemerintah seolah-olah tidak peduli dan menganggap masalalah tersebut telah terselesaikan setelah dikeluarkannya peraturan tersebut sehingga, banyak pelacur yang tidak memeriksakan dirinya kedokter lagi.

Pada tahun 1905, karena sedikitnya laporan tentang penyakit sipilis dari Komisi Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat maka, pemerintah menganggap bahwa penanganan penyakit sipilis telah selesai, sehingga pada tahun 1911 peraturan tersebut dihapuskan. Untuk pelacur yang sebelumnya telah terkena penyakit sipilis, mereka akan direhabiitasi ke daerah Tanjung Pinang, dan Banjaran. Akan tetapi,, dikarenakan pengetahuan yang masih minim, sebagian besar dari pelacur tersebut tidak dapat diobati dan menemui ajalnya disana.121

Keadaan seperti yang telah digambarkan diatas, berdampak pada munculnya rumah-rumah bordil di wilayah geemente, rumah-rumah mesum diwilayah perkebunan, dan lahirnya praktik germo.122 Munculnya rumah bordil dan praktik germo ini mendapat respon yang cukup baik oleh pemerintah Hindia-Belanda. Rumah bordil dan germo akhirnya menjadi legal (resmi) di wilayah Sumatera Timur. Cara ini memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah Hindia-Belanda. Mereka mendapat keuntungan berupa pajak dari praktik pelacuran tersebut. Untuk lebih menertibkan rumah bordil dan germo tersebut, pemerintah memunculkan peraturan

121 Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 196 122 Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 60.


(45)

untuk menerbitkan selebaran seperti sertifikat kepada pelacur-pelacur di rumah bordil dan germo-germo tersebut, sehingga dapat mengurangi pelacur-pelacur yang tidak sah dari wilayah perkebunan Deli.123

Para pelacur yang bekerja di barak kuli, juga diorganisir oleh seorang germo. Germo ini adalah para mandor besar dari suku Jawa yang berperan juga sebagai pemimpin dari sebuah kelompok penari ronggeng. Setiap akan melakukan praktik pelacuran, perempuan penari ronggeng meminta izin terlebih dahulu kepada pemimpinya. Bayaran yang diterima akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara satu kelompok perempuan penari ronggeng (pelacur) dan pemimpinnya.124

Peraturan yang telah dikeluarkan ini, seolah tidak berlaku untuk para gundik. Hal ini karena para administratur kebun berkedok bahwa para gundik tersebut hanya lah pembantu rumah tangga mereka. Selain itu, jarang sekali ada laporan penyakit sipilis di kalangan perempuan gundik tersebut.

123 Ibid, hlm. 61


(46)

BAB V

UPAYA PENANGANAN PELACURAN DAN PENYAKIT KELAMIN

5.1 Penanganan Pelacuran

Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, masalah pelacuran mulai mendapat penanganan serius sejak munculnya citra buruk terhadap perkebunan di wilayah Deli pada tahun 1875. Akan tetapi, upaya tersebut masih gagal meski telah dibuat suatu peraturan dan lembaga masyarakat yang mewajibkan kepada perempuan untuk mendaftar kepada pihak kepolisian setempat. Pada tahun 1905, dikarenakan sedikitnya laporan tentang penyakit sipilis kepada Komisi Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat, maka pemerintah Hindia-Belanda menyatakan bahwa penanganan sipilis telah usai dan menghapuskan tersebut. Keadaan ini mengakibatkan menjamurnya rumah bordil dan germo-germo.

Pada tahun 1919, Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak125 datang mengunjungi wilayah perkebunan di Deli. Pada saat kedatangannya ke Medan, mereka terkejut ketika menemukan banyaknya rumah-rumah bordil, dan bahkan mereka menemukan wanita-wanita bukan pribumi yang berasal dari wilayah Asia Timur (Cina dan Jepang). Atas dasar kecurigaan ini, maka Inspektur Deputi

125

Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak merupakan satu lembaga bentukan PBB untuk mengendalikan upaya-upaya penjualan wanita dan anak di dunia seiring dengan perkembangan paham liberal yang mulai mengusung hak asasi manusia khususnya di wilayah Eropa.


(47)

Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut memutuskan untuk melakukan investigasi di wilayah perkebunan Deli.126

Pemeriksaan dilakukan terhadap instansi pemerintahan, rumah-rumah bordil, para germo, dan juga kepada para pelacur. Dari hasil investigasi tersebut, ditemukan bahwa masih banyaknya penderita sipilis dan anak-anak yang menjadi pelacur. Sangat berbeda jauh dengan laporan pemerintah Hindia-Belanda (yang telah dijelaskankan sebelumnya) dengan kenyataan yang ada di lapangan. Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut kemudian mendesak pemerintah Hindia-Belanda segera melakukan penanganan terhadap pelacuran tersebut. Mereka menuntut kepada pemerintah agar dapat membuat satu peraturan untuk mengendalikan pelacuran agar pelacuran tersebut berjalan sesuai dengan peraturan yang ada.127

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-belanda pada waktu itu hanya berupa peraturan untuk dilakukannya legalisasi terhadap pelacur bukan untuk penghapusan/pengurangan pelacuran. Peraturan ini setidaknya juga memberikan dua keuntungan bagi pemerintah.

1. Kembali dengan diberlakukannya pelaporan oleh para pelacur, maka secara tidak langsung, itu akan memberikan dampak pada penanganan penyakit kelamin.

126 Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 190 127 Ibid., hlm. 191


(48)

2. Pemerintah Hindia-Belanda dapat diuntungkan dari sisi pekerja laki-laki karena dapat memberikan jaminan kepada para pekerja (kuli/administratur) laki-laki tersebut dalam melampiaskan kebutuhan seksualnya.128

Upaya-upaya pengendalian pelacuran seperti tersebut diatas, dilakukan dengan melakukan sensus dan pendataan terhadap para pekerja rumah bordil serta germo. Pemimpin rumah bordil kembali diwajibkan agar melaporkan para pekerjanya kepada pihak kepolisian dalam jangka waktu sebulan sekali. Pelaporan ini bertujuan agar pemerintah selalu mendapatkan informasi dan dapat melakukan kontrol secara penuh terhadap rumah bordil ataupun germo tersebut. Selain itu, pemerintah Hindia-Belanda juga megeluarkan aturan terkait kelayakan rumah bordil, terutama dalam hal kebersihan. Rumah bordil harus menyediakan air dan kamar mandi yang cukup, pekerja tidak boleh terlalu banyak, dan harus menjual alat kontrasepsi ataupun obat-obatan pencegah penyakit kelamin.129

Dengan adanya legalisasi seperti ini, harapannya pemerintah Hindia-Belanda berharap dapat melakukan pengendalian terhadap pelacur-pelacur yang ada di wilayah perkebunan Deli. Pada kenyataannya, peraturan ini seolah untuk menjaga orang-orang Eropa saja, terutama pada para tentara. Peraturan hanya terlihat tegas diwilayah gementee, namun tidak pada wilayah perkebunan.130 Tidak diketahui pasti, namun menurut interpretasi penulis, hal ini dilakukan semata-mata karena adanya pengawasan

128 Gani A. Jaelani, op. cit., hlm. 50. 129 Liesbeth Hesselink, op. cit., hlm. 213. 130 Ibid.


(49)

dari Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut, dan para germo yang bekerja di wilayah perkebunan juga tidak banyak, karena telah dikuasai oleh mandor-mandor besar suku Jawa.

Selain mengeluarkan peraturan terhadap rumah bordil dan germo, pada tahun 1919, pemerintah Hindia-Belanda juga mengeluarkan peraturan terhadap orang Eropa yang akan bekerja diperkebunan. Peraturan yang dibuat pada masa itu ialah keputusan mengenai pencabutan peraturan larangan menikah terhadap orang Eropa yang akan bekerja di perkebunan Deli. Para administratur Eropa yang sebelumnya telah terkena penyakit kelamin, akan dikembalikan ke Eropa dan digantikan dengan tenaga baru yang telah menikah. Berdasarkan keputusan ini, jumlah gundik banyak berkurang sejak tahun 1919.131

Berkurangnya pergundikan tersebut, tidak serta merta mengurangi praktik pelacuran. Bahkan sebaliknya, para gundik yang tidak bekerja lagi beralih menjadi pelacur, sementara itu, gundik yang telah memasuki usia tuanya akan kembali bekerja di perkebunan. Pada masa ini, pihak perkebunan kembali memberikan syarat kepada perempuan tersebut agar menikah sebelum bekerja, untuk mencegah pelacuran ilegal yang dilakukan oleh perempuan tersebut terhadap kuli laki-laki lain nantinya.132

Pada awalnya, pemerintah Hindia-Belanda melakukan kontrol terhadap pelacuran tersebut melalui pusat pemerintahan di Batavia. Akan tetapi, pada tahun

131 Ann Laura Stoler, op. cit. hlm. 157 132 Tineke Hellwig, op.cit., hlm. 78


(50)

1922, upaya pengendalian pelacuran belum berjalan lancar karena masih banyaknya ditemukan pelacur-pelacur dan rumah bordil yang tidak memenuhi standar sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Kemudian pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan mengenai hak otonomi terhadap pengendalian pelacuran pada setiap wilayah residen masing-masing. Harapan pemerintahan Kolonial Belanda adalah adanya tanggung jawab lebih besar terhadap pengawasan tempat prostitusi tersebut.133

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, menurut kaum liberalis yang berasal dari Eropa, pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu merupakan orang-orang degenerasi bangsa Eropa, terlihat pada adanya suap-suap yang dilakukan oleh pengusaha rumah bordil dan germo pada pemerintah Hindia-Belanda. Suap dilakukan untuk menghindari penyelidikan pemerintah terhadap pelacur yang bekerja untuk rumah bordilnya. Dalam upaya penanganan penyakit kelamin, perempuan yang telah terkena penyakit ini akan diisolasi ke suatu daerah, dan biasanya tidak akan bekerja sebagai pelacur lagi. Dengan melihat hal ini, maka upaya suap dilakukan agar pendapatan dari pengusaha rumah bordil tersebut tidak berkurang.134 Sehingga sampai tahun 1930, pelacuran tidak dapat ditangani dengan baik.

Aktivitas pelacuran banyak terhenti dikarenakan tutupnya pengusaha-pengusaha perkebunan sebagai dampak dari depresi ekonomi pada tahun 1930. Tidak ada data pasti mengenai berhentinya proses pelacuran pada waktu itu. Akan tetapi, satu

133 Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 209 134 Ibid., hlm. 213


(51)

hal yang pasti, banyaknya perkebunan yang tutup, menjadikan banyaknya pengangguran yang terjadi di Deli khususnya pada kuli Jawa (laki-laki dan perempuan).135

5.2 Penanganan Penyakit Kelamin

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, upaya penanganan penyakit kelamin mulai diintensifkan sejak dikeluarkannya peraturan yang berisi bahwa setiap rumah bordil (yang telah dilegalkan) harus memiliki fasilitas berupa air dan kamar mandi yang memadai, serta menjual alat kontrasepsi dan obat penyakit kelamin.

Sebelum adanya usaha pencegahan dari pemerintah pada waktu itu, maka upaya pencegahan dari penyakit kelamin dilakukan secara tradisional oleh perempuan itu sendiri. Caranya adalah dengan membasuh organ vitalnya dengan menggunakan air sirih yang dicampur dengan kapur136. Air sirih direndam sampai airnya berubah menjadi kemerahan, kemudian dicampur dengan kapur sirih yang juga telah dilumatkan sebelumnya. Cara yang mereka pakai ini hanya berdasarkan pengetahuan yang didapat secara turun-temurun. Tidak ada upaya penanganan lain yang mereka lakukan selain dengan menggunakan air sirih tersebut.137

Sebenarnya pada tahun 1871, telah didatangkan dr. H. Sanders dokter Eropa pertama asal Inggris ke perkebunan Deli Maatschappij. Awalnya upaya penanganan

135 T. Keizerina Devi, op. cit., hlm. 308.

136 Kapur yang dimaksud adalah kapur yang biasa digunakan untuk memakan sirih, bukan kapur tulis atau pun kapur barus.


(52)

ini lebih didasari oleh kepentingan ekonomis138, dan karena desakan-desakan dari kelompok liberalis yang ada dalam pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun yang sama juga, sebuah tempat perawatan kuli yang sakit dibangun di Medan yang menjadi cikal bakal Rumah Sakit Pusat Perkebunan Deli Maatschappij (yang sekarang dikenal dengan Rumah Sakit Tembakau Deli).139 Akan tetapi, karena pengetahuan tentang penyakit kelamin masih rendah, maka penanganan penyakit kelamin tidak membuahkan hasil sama sekali.

Kamudian setelah dibentuknya Komisi Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat pada 1880, masyarakat banyak diberi penyuluhan-penyuluhan tentang penyakit kelamin. Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, penyuluhan dilakukan hanya lewat selebaran yang ditempatkan pada barak-barak kuli, rumah-rumah bordil, dan di hotel-hotel tempat adanya pelacuran. Akan tetapi, karena adanya paradigma kaum lelaki pada waktu itu bahwa belum menjadi laki-laki seutuhnya jika belum terkena penyakit kelamin, maka penyuluhan yang dilakukan oleh komisi tersebut juga gagal.

Melihat kemajuan penanganan kesehatan yang dilakukan oleh perkebunan Senembah, Deli Maatschappij mulai belajar banyak dari sana. Rumah sakit yang ada di wilayah perkebunan Deli kemudian diintegrasikan dengan Rumah Sakit Pusat Tanjung Morawa. Dimulai dengan adanya tempat untuk merawat kuli yang sakit yang

138 Kepentingan ekeonomis yang dimaksud adalah untuk penghematan biaya pendatangan kuli.


(53)

disebut poliklinik. Tempat perawatan tersebut bersifat sementara dan bentuknya sederhana. Rumah Sakit Pusat Tanjung Morawa dibangun untuk mengakomodir tempat-tempat perawatan kuli di setiap perkebunan yang ada. Fasilitas kesehatan di rumah sakit selalu diperbaharui dan ditambah. Pada tahun 1902 rumah sakit ini dilengkapi dengan teknologi X-Ray, dan tahun 1921 ditambah lagi satu unit. Setiap satu sampai dua pekan sekali dokter kepala rumah sakit pusat datang ke tempat ini dan melakukan pemeriksaan terhadap para kuli.140

Rumah sakit terdiri dari beberapa ruangan dan bagian, yaitu ruang kerja, ruang laboratorium ronsen x-ray, ruang apotik, ruang persediaan obat, ruang mesin, ruang operasi, ruang sterilisasi, ruang tunggu, kamar mandi dan w.c., ruang konsultasi, sumur, menara air, ruang kuli perempuan, ruang kuli jawa, ruang pegawai, dapur, dan ruang isolasi penyakit yang terdiri dari penyakit malaria, beri-beri, penyakit sipilis, dysentri, typhus dan kolera.141

Rumah Sakit Pusat Tanjung Morawa dapat menampung hingga 300 pasien. Gedung di rumah sakit terbagi menjadi 6 gedung utama. Gedung I berfungsi sebagai ruang perawatan pasien. Ruang perawatan pasien dipisah antara kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan. Setiap ruangan biasanya dijaga oleh tiga orang pegawai. Gedung II adalah gedung untuk menampung pasien yang menderita penyakit dalam. Gedung III berfungsi untuk ruangan bedah pasien. Gedung IV terdiri dari ruang isolasi untuk

140 Kiki Maulana Affandi, op. cit., hlm. 80

141 W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidstoestand van de Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 58. Beberapa fasilitas di rumah sakit dapat dilihat pada lampiran VII.


(54)

penyakit malaria dan beri-beri. Gedung V juga terdiri dari ruang isolasi untuk penyakit dysentry, typhus, dan kolera serta penyakit pencernaan lainnya. Terakhir adalah gedung VI berfungsi sebagai ruangan diagnosa awal dan juga ruangan untuk penderita penyakit kelamin.142

Seiring makin meluasnya wilayah perkebunan, maka pada tahun 1921 Perkebunan Senembah Maatschappij melakukan beberapa kebijakan mengenai perawatan kesehatan. Kebijakan tersebut yaitu kebun-kebun yang letaknya jauh dari Rumah Sakit Pusat Tanjung Morawa harus melakukan perawatan kuli kontrak pada rumah sakit pusat di perkebunan lain yang letaknya berdekatan. Perkebunan Simpang Empat, Titian Urat, Ramunia dan Melati melakukan perawatan kesehatan kuli kontrak di Rumah Sakit Perbaungan. Perkebunan Pagar Merbau, Lubuk Pakam dan Kuala Namu berafiliasi dengan Rumah Sakit Petumbukan milik Yayasan Serdang Doktor Fonds. Perkebunan Selayang, Wampu, Two Rivers dan Tanjung Garbus merawat kuli yang sakit di Rumah Sakit Sei Sikambing sampai tahun 1922 karena rumah sakit tersebut ditutup sehingga Perkebunan Selayang dan Wampu dialihkan di Rumah Sakit Bangkatan di Binjai milik Perkebunan Deli Maatschappij. Sementara itu, Perkebunan Two Rivers dan Tanjung Garbus dialihkan ke Rumah Sakit Pusat Tanjung Morawa.143

Pada tahun 1903 sebuah laboratorium pusat patologi penyakit tropis dibangun di Medan. Laboratorium ini dibangun atas prakarsa administratur utama Perkebunan Deli Maatschappij, J. W. van Vollenhoven dan direktur utama Perkebunan Senembah

142 Ibid., hal. 48 dan 56.


(55)

Maatschappij, C. W. Janssen. Pembangunan laboratorium tersebut terjadi juga berkat kerjasama tiga perusahaan perkebunan besar di Sumatera Timur, perusahaan tersebut adalah Perkebunan Deli Maatschappij, Perkebunan Senembah Maatschappij, dan Perkebunan Medan Tabak Maatschappij. 144

Lembaga laboratorium ini merupakan tempat untuk meneliti dan mendiagnosa penyakit-penyakit tropis dan penyakit kelamin di berbagai perkebunan di Sumatera Timur. Penelitian yang dilakukan adalah pembuatan serum dan vaksinasi serta obat-obatan. Selain itu juga dilakukan penelitian mengenai penyebab suatu penyakit, hubungan antara gejala dan lingkungan dengan merebaknya wabah penyakit di suatu wilayah.145

Sejak 1909, selain 3 perusahaan perkebunan yang menjadi inisiator lembaga ini, banyak perusahaan dan berbagai rumah sakit lain yang menjadi anggotanya. Pada tahun 1921 anggota lembaga laboratorium patologi penyakit tropis berjumlah 45 yang dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3.

Daftar Anggota Lembaga Laboratorium Patologi.

Tahun Bergabung Nama Anggota

1909

Deli Batavia Mij. Amsterdam Deli Cie. Deli Langkat Tabak Mij.

144 Arsip AVROS 1892-1985 No. 358, Verslag van het Pathologisch Laboratorium Medan-Deli (Sumatra’s Oostkust) over de Jaren 1907-1921, ANRI.


(56)

Amsterdam Langkat Cie.

Onderneming Arnhemia (Rotterdam Deli Mij.) United Langkat Plantation Cy.

Bindjei Tabak Mij. Asahan Tabak Mij.

Hospital Vereeniging Padang en Bedagai Central Hospital Martabing

Hospital Rantau Pandjang Central Hospital Perbaoengan Deli Spoorweg Mij. (D. S. M.)

1910

Rimboen Tabak Mij. Soengal Tabak Mij.

Hollandsche Amerikaansche Plantage Mij. Serdang Doctor Fonds

Serdang en Bedagai Doctor Fonds

1911

Tabak Mij. Soengei Diski Tabak Mij. Tjinta Radja

Bataafsche Petroleum Mij. (B. P. M.) Simeloengoen Hospital

Siantar Doctor Fonds Tanjung Kassau Hospital

1913 Hospital Vereeniging Telok Dalam Hospital Vereeniging Tanah Besih 1914 Central Hospital Ajer Tawar

1915 Hospital Vereeniging Lima Poeloeh Onderneming Kwala Pessilam 1916 Hospital Bekioen


(57)

1917 Central Hospital Bindjei 1918 Deli Cultuur Mij.

Gouvernement van Nederland Indie

1919

Bila Sumatra Rubber Lands Onderneming Bah Boelian

Soengei Rampah Rubber & Cocoanut Pl. Cy. Sumatra Para Rubber Plant Cy.

Central Hospital Kwala Simpang Central Planters Hospital Langsa

Central Hospital Vereeniging Boven Asahan Hospital Soengei Bedjangkar

1920

Tabak Mij. Arendsburg Onderneming Tindjowan Cont. Pl. Cy. (Hoeta Padang)

Sumatra Industry Cy. Ltd. (Silau Toewa)

Sumber: Arsip AVROS 1892-1985 No. 358, Verslag van het Pathologisch Laboratorium Medan-Deli (Sumatra’s Oostkust) over de Jaren 1907-1921, ANRI.

Pada tahun 1918 pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan untuk memberikan biaya operasional pada lembaga ini sebesar f 500 per bulan.146 Setelah itu setiap tahun anggaran ini mengalami peningkatan yang disalurkan melalui lembaga kesehatan milik pemerintah yaitu B.G.D.147 Selain itu Pembiayaan lembaga ini juga berdasarkan iuran yang dilakukan oleh setiap anggota. Iuran dibayar berdasarkan

146 AVROS 1892-1985, op.cit., No. 358. 147 Kiki Maulana Affandi, op. cit., hlm. 87


(58)

jumlah kuli yang ada di perkebunan tersebut. Perkebunan yang menjadi anggota harus membayar iuran f 0,50 setiap kuli.148

Direktur pertama lembaga ini adalah dr. W. A. Kuenen, dokter dari Perkebunan Senembah Maatschappij. Beliau yang meletakkan dasar-dasar lembaga dan kegiatan yang dilakukan lembaga laboratorium tersebut dalam penelitian mengenai penyakit tropis. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini yaitu selain penelitian mengenai patologi penyakit tropis juga memberikan saran dan informasi seperti pembangunan stasiun karantina terhadap kuli yang baru datang di Pelabuhan Belawan, pemeriksaan permukiman kuli di perkebunan, sosialisasi terhadap perkebunan mengenai bahaya pelacuran dan pentingnya kebersihan lingkungan. Dokter-dokter di lembaga ini juga sering melakukan studi banding ke Jawa atau wilayah di luar Hindia Belanda berkenaan dengan kesehatan masyarakat dan penanganannya. Selain kegiatan-kegiatan tersebut lembaga laboratorium ini juga menerima dokter-dokter muda yang berkompeten di bidang penyakit tropis untuk mengaplikasikan ilmunya.149

148 Ibid.


(59)

BAB VI KESIMPULAN Kesimpulan

Pembahasan pada skripsi ini telah menunjukkan tentang pelacuran yang terjadi pada wilayah perkebunan di Deli. Wilayah Deli merupakan satu wilayah yang sangat populer dikalangan bangsa Eropa setelah kedatangan dan didirikannya perkebunan pertama oleh Nienhuys ke Deli pada tahun 1864. Wilayah Deli sangat cocok untuk ditanami tembakau dan menghasilkan tembakau yang berkualitas sangat baik.

Pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870 adalah dasar bagi pembukaan lahan swasta secara besar-besaran di kawasan strategis Pesisir Timur Sumatera. Hutan-hutan belantara di daerah Sumatera dibuka untuk dijadikan daerah penanaman tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia seperti tembakau, karet, sawit, teh, dan rami.

Pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan secara besar-besaran tentunya membutuhkan modal, lahan, dan tenaga kerja yang tidak sedikit jumlahnya. Kebutuhan tenaga kerja dapat dipenuhi dengan cara mendatangkan kuli dari Semenanjung Malaya (Penang dan Singapura) dan Pulau Jawa. Mereka akan dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan yang berada di perkebunan Sumatera Timur. Banyaknya kuli yang didatangkan menimbulkan banyak masalah karena proses kedatangan mereka dilakukan dengan cara penipuan dan pemaksaan.


(60)

Penipuan yaitu dengan cara diajak nonton pertunjukan wayang, atau menyebutkan Johor sebagai tempat tujuan namun pada kenyataannya mereka diseberangkan ke Deli secara diam-diam. Pada waktu itu Deli sudah mempunyai reputasi buruk di kalangan pekerja yang berada di Semenanjung Malaya. Para agen pencari kuli membujuk calon kuli dengan memberikan janji akan memperoleh gaji yang besar. Namun tidak sedikit yang ditipu dan dibawa paksa seperti sedang berjalan langsung ditangkap, dimasukkan ke dalam kapal.

Pada awalnya mayoritas pekerja adalah kuli laki-laki. Hal ini dikarenakan belum diperlukannya tenaga perempuan pada saat awal pembukaan lahan perkebunan. Penebangan pohon dalam proses pembukaan hutan dan pencangkulan tanah untuk membuka lahan tentunya membutuhkan tenaga yang besar sehingga kuli perempuan dirasa belum dibutuhkan. Disamping itu, adanya bagi kuli untuk membawa istri dan calon kuli yang sudah menikah akan ditolak. Baru lah ketika perempuan dirasa perlu, pihak perkebunan melakukan perekrutan kuli perempuan.

Seiring dengan kegiatan perawatan tanaman dan produksi perkebunan yang bertambah, kuli perempuan mulai dibutuhkan sebagai seperti mencari ulat tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan mengikat daun-daun tembakau mereka juga sengaja didatangkan untuk memikat para pekerja laki-laki agar betah atau tetap tinggal di perkebunan setelah masa kontrak selesai.

Tempat tinggal yang disediakan oleh pengusaha perkebunan berbentuk bangsal panjang yang dibangun tanpa sekat dan dihuni oleh ratusan pekerja. Karena satu barak dihuni oleh ratusan kuli, mengakibatkan setiap orang tidak mempunyai privasi. Begitu


(61)

pula dengan kuli perempuan dari Jawa. Mereka tidak mendapat tempat tersendiri, dan tinggal bersama satu barak dengan kuli laki-laki, walaupun jumlah kuli perempuan Jawa semakin bertambah banyak.

Sebelum didatangkannya kuli perempuan, kuli Cina melakukan praktik homoseksual, dan terjadi secara terang-terangan dan didepan kuli-kuli lain. Tidak jarang terjadi pembunuhan diantara kuli-kuli Cina tersebut diakibatkan hubungan cinta. Hal ini juga menyebabkan adanya pelacur laki-laki dikalangan kuli Cina. Pelacur laki-laki ini merupakan orang Cina sendiri dan beberapa orang Jawa yang disebut mereka sebagai anak jawi. Pada awalnya pihak perkebunan tidak mengetahui akan hal ini. Kemudian, ada kuli yang terserang penyakit dan diketahui dari penyakit yang dialami oleh kuli tersebut bahwa, penyakit tersebut berasal dari bakteri yang berasal dari kelamin pria. Berbeda halnya dengan kuli Jawa. Bagi kuli Jawa berlaku hal yang

sebaliknya. “tidak mungkin bagi mereka untuk bertahan hidup di perkebunan, jika tidak ada perempuan”. Setelah mengetahui hal tersebut, pihak perkebunan melakukan

perekrutan kuli perempuan yang dimulai pada tahun 1873.

Kuli perempuan memang sengaja direkrut untuk menjadi pelacur. Mereka ditipu dengan janji akan mendapat gaji yang besar, dan akan bekerja sebagai pemilih tembakau. Pada kenyataan yang terjadi, memang benar perempuan tersebut dipekerjakan sebagai pemilih tembakau, akan tetapi dengan penghasilan yang sangat kecil. Dengan penghasilan yang kecil tersebut, dan kebutuhan perempuan yang cukup banyak, terutama pakaian, sabun (peralatan mandi), lulur (perawatan kulit) dan


(62)

ditambah lagi dengan adanya pemotongan upah dari administratur perkebunan, memaksa kuli perempuan tersebut untuk bekerja lebih.

Pekerjaan yang dilakukan oleh kuli perempuan tersebut adalah sebagai pelacur. Mereka tidak mendapat pilihan lain selama berada di perkebunan, selain itu, beberapa kuli perempuan yang telah menikah juga mendapat izin dari suaminya untuk menjadi pelacur. Pelacuran terjadi pada setiap malam gajian. Pada saat malam gajian, kuli perempuan akan berdandan dengan cantik dan menjadi penari ronggeng. Pada saat menari ronggeng ini lah praktik pelacuran dimulai.

Selain itu, ada juga pergundikan dikalangan administratur. Adanya peraturan yang melarang administratur untuk menikah mengakibatkan maraknya praktik pergundikan. Pergundikan sendiri berkedok sebagai pembantu rumah tangga seorang administratur Eropa. Disebut sebagai pembantu rumah tangga karena para gundik tersebut juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga administratur Eropa tersebut, termasuk juga terkait pelayanan seksual yang diberikan layaknya seorang istri.

Dampak yang terjadi akibat praktik pelacuran ini adalah munculnya penyakit kelamin yang dialami oleh para kuli tersebut. Penyakit kelamin menjadi salah satu fenomena besar di wilayah perkebunan Deli pada waktu itu. Banyak diantara kuli perempuan terpaksa diisolasi ke daerah-daerah tertentu agar mendapat penanganan medis dari pihak pemerintah maupun perkebunan. Namun, karena belum berkembangnya pengetahuan terkait penyakit kelamin tersebut, banyak kuli perempuan yang tidak mendapat penanganan secara baik.


(63)

Setelahnya, pemerintah mengeluarkan peraturan terkait pengendalian pelacuran. Pengendalian pelacuran dilakukan dengan mendata para pelacur dan melegalkannya. Karena telah dilegalkan, banyak bermunculan rumah-rumah bordil dan germo-germo untuk mempekerjakan pelacur tersebut. Bukan malah mengatasi penyakit kelamin, hal ini justru menambah penderita penyakit sipilis.

Meski telah dibentuk satu lembaga, Komisi Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang berisi para dokter, tetap saja tidak dapat menanggulangi masalah penyakit kelamin tersebut. Sering terjadi pelanggaran dilakukan oleh para kuli dengan mangkir dari pemeriksaan yang diwajibkan tersebut. Sehingga pada tahun 1911 pemerintah menyatakan bahwa penanganan sipilis telah usai.

Pada tahun 1919, Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak datang mengunjungi wilayah perkebunan di Deli. Pada saat kedatangannya ke Medan, mereka terkejut ketika menemukan banyaknya rumah-rumah bordil, dan bahkan mereka menemukan wanita-wanita bukan pribumi yang berasal dari wilayah Asia Timur (Cina dan Jepang). Atas dasar kecurigaan ini, maka Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut memutuskan untuk melakukan investigasi di wilayah perkebunan Deli.

Pemeriksaan dilakukan terhadap instansi pemerintahan, rumah-rumah bordil, para germo, dan juga kepada para pelacur. Dari hasil investigasi tersebut, ditemukan bahwa masih banyaknya penderita sipilis dan anak-anak yang menjadi pelacur. Sangat berbeda jauh dengan laporan pemerintah Hindia-Belanda (yang telah dijelaskankan


(64)

sebelumnya) dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Inspektur Deputi Pencegahan Penjualan Wanita dan Anak tersebut kemudian mendesak pemerintah Hindia-Belanda segera melakukan penanganan terhadap pelacur tersebut. Mereka menuntut kepada pemerintah agar dapat membuat satu peraturan untuk mengendalikan pelacuran agar pelacuran tersebut berjalan sesuai dengan peraturan yang ada.

Dalam penanganan penyakit kelamin, pemerintah dan pihak perkebunan mendirikan rumah sakit dan laboratorium penelitian penanganan pelacuran. Banyak perkebunan di Deli yang bekerja sama dengan perkebunan Senembah melihat kemajuan yang dilakukan oleh perkebunan Senembah. Namun, tidak ada data selanjutnya setelah banyaknya perkebunan yang tutup akibat depresi ekonomi dunia pada 1930.


(1)

vi BAB III BENTUK PELACURAN

3.1 Pelacuran ………. 30 3.2 pergundikan ………. 39

BAB IV DAMPAK PELACURAN

4.1 Dampak Pelacuran Terhadap Kuli ....……….….. 45 4.2 Dampak Pelacuran Terhadap Kebijakan Pemerintah

Hindia-Belanda ……….……… 52

BAB V UPAYA PENANGANAN PELACURAN DAN PENYAKIT KELAMIN

5.1 Penanganan Pelacuran ………. 57 5.2 Penanganan Penyakit Kelamin ..……….. 62

BAB VI KESIMPULAN

Kesimpulan ……… 70

BIBLIOGRAFI ... 76 LAMPIRAN ... 79


(2)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Produksi Tembakau Deli dan Rata-rata Nilai Jual di

Sumatera Timur Tahun 1864-1900 ...……… 18

Tabel 2. Jumlah kuli Cina dan Jawa di Sumatra Timur Tahun 1883-1930 ……… 21


(3)

viii

DAFTAR ISTILAH

Bau Ukuran luas tanah, 1 bau sama dengan 0,7 hektar.

Epidemi Wabah penyakit menular yang berjangkit pada suatu daerah atau

komunitas yang jumlahnya melebihi batas normal.

Gementee Kotapraja atau wilayah otonomi administrasi yang diberikan

oleh pemerintah kolonial pada beberapa kota besar.

Kuli Kontrak Pekerja atau buruh pada suatu perkebunan yang diikat oleh kontrak atau peraturan yang tertuang dalam Koeli Ordonnantie.

Koeli Ordonnantie Peraturan tentang kuli yang mengatur mengenai hak dan

kewajiban pihak pengusaha dan pekerja.

Lamad organ seperti selaput tipis pada bagian dalam kelamin

perempuan (berada pada dinding vagina).

Laukeh Sebutan bagi orang Cina perantauan yang bermukim di Penang.

Istilah ini juga dapat berarti kuli Cina yang telah lama bekerja di perkebunan atau kuli senior.

Maatschappij Perusahaan yang membawahi atau mengelola beberapa

perkebunan.

Malam gajian Malam hari setelah kuli menerima upah, dan biasanya akan diadakan keramaian berupa hiburan untuk para kuli.

Moentji Tentara perempuan yang biasanya juga merupakan gundik pada

kalangan militer Hindia-Belanda.

Nyai Istilah yang diambil dari bahasa sunda yang berarti perempuan

piaraan orang asing.

Opzichter Pengawas kuli pada saat bekerja

Patologi Diagnosis penyakit melalui pemeriksaan organ, jaringan, cairan tubuh, dan seluruh tubuh, disebut juga ilmu yang mempelajari mengenai proses penyakit.


(4)

ix Rumah Bordil Lokalisasi pelacuran.

Sauvage Orang liar / orang bar-bar.

Saweran Membagi-bagi uang yang dilakukan oleh seorang laki-laki pada

saat seorang perempuan menari.

Sipilis Penyakit kelamin akibat hubungan seksual dan merupakan penyakit menular.

Tandil Kepala atau pengawas dari para kuli kontrak Cina di perkebunan. Tangsi Sebutan untuk tempat tinggal kuli Cina di perkebunan yang

biasanya terdiri dari barak-barak yang memanjang.

Voorschot Uang muka upah yang diberikan kepada kuli yang akan bekerja

di perkebunan.


(5)

x

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Keputusan Pemerintah Mengenai Koeli Ordonnantie.

LAMPIRAN II Aktivitas dan Pekerjaan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Deli Maatschappij

LAMPIRAN III Seorang Gundik Administratur

LAMPIRAN IV Barak Kuli Dan Tempat Tinggal Administratur Eropa

LAMPIRAN V Fasilitas Rumah Sakit Pusat Perkebunan Senembah

Maatschappij Yang Bekerja Sama Dengan Perkebunan Deli.


(6)

xi ABSTRAK

Skripsi ini meneliti tentang pelacuran yang terjadi pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870 sampai dengan 1930. Pelacuran yang dimaksud adalah praktik pelacuran yang dilakukan oleh kuli perempuan pada rentang tahun yang tersebut, yang mana terdapat berbagai pandangan dari pihak pemerintahan dan pihak pengusaha perkebunan mengenai pelacuran tersebut. Dengan demikian, skripsi ini juga menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak perkebunan dan pemerintahan Hindia-Belanda pada waktu itu. Kajian ini menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses heuristik, digunakan sumber-sumber berupa arsip milik perkebunan, laporan tahunan, jurnal dan buku-buku sejaman sebagai data primer serta buku, artikel, skripsi dan disertasi sebagai data sekunder. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi yakni kritik intern dan eksteren untuk menemukan fakta-fakta. Selanjutnya fakta tersebut diinterpretasikan, sehingga diperoleh data yang objektif untuk diceritakan kembali dalam proses historiografi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika serta dampak pelacuran yang terjadi pada rentang tahun 1870-1930 pada wilayah perkebunan di Deli. Namun sebelumnya dijelaskan pula latar belakang terjadinya pelacuran tersebut dengan melihat proses didatangkannya kuli ke perkebunan yang dilakukan dengan cara penipuan, dan kondisi kehidupan kuli pada wilayah perkebunan tersebut.

Pelacuran yang terjadi pada wilayah perkebunan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama: telah terjadinya praktik homoseksual pada kalangan kuli laki-laki sehingga didatangkan lah perempuan untuk menjadi pelacur disana. Kedua: himpitan ekonomi kuli perempuan tersebut. Pekerjaan dan penghasilan kuli perempuan yang sangat rendah serta banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, memaksa kuli perempuan tersebut untuk melakukan praktik pelacuran. Ketiga: adanya larangan menikah bagi para administratur Eropa yang datang ke perkebunan. Sehingga dengan merebaknya praktik pelacuran tersebut, berdampak pada banyaknya kuli yang terjangkit penyakit kelamin di wilayah perkebunan tersebut. Serta berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam proses penanganan pelacuran dan penyakit kelamin pada wilayah perkebunan tersebut.

Kata Kunci: Kuli Perempuan, Pelacuran, Wilayah Perkebunan di Deli, Penyakit Kelamin, Penangangan Pelacuran dan Penyakit Kelamin.