52
dari tuannya. Jika suatu saat tuannya kembali ke Eropa untuk cuti ataupun menetap disana dan menikah dengan perempuan Eropa, sang nyai harus ikt serta tanpa boleh
membawa anaknya yang lahir dari hubungan pergundikan tersebut. Gundik itu terkadang bisa dijadikan barang lelangan oleh tuannya. Gundik tersebut akan dilelang
kepada teman dan kenalan sang tuan untuk kemudian dijadikan gundiknya. Anak yang lahir diluar nikah dari pergundikan, hanya menjadi tanggung jawab
si perempuan. Tidak jarang anak yang terlahir seperti ini, ketika berusia 10 tahun akan dijual oleh ibu mereka kepada pengusaha perkebunan untuk dijadikan kuli jika anak
tersebut laki-laki, dan dijadikan gundik jika anak tersebut perempuan.
114
Masa pelacuran dan pergundikan seorang perempuan di perkebunan akan berakhir setelah ia berusia 45 tahun. Perempuan yang telah berusia 45 tahun
115
kurang diminati oleh para kuli ataupun para administratur. Pada saat itu lah, mereka akan
menikah dengan seorang kuli laki-laki yang juga telah berusia tua. Mereka tetap bekerja pada pengusaha perkebunan tapi, hanya bekerja sebagai pemanen, penjemur,
atau sebagai pengutip ulat-ulat hama dari daun tembakau.
4.2 Terhadap Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda
Banyak terjadi perdebatan antara dua kelompok yang bertentangan di Deli. Kelompok yang bertentangan tersebut adalah kelompok pemilik atau pendukung usaha
perkebunan dengan kelompok liberal dari pemerintah Hindia-Belanda. Perdebatan
114
Ibid., hlm. 188
115
Ibid., hlm. 190
Universitas Sumatera Utara
53
yang terjadi terkait kebijakan yang dibuat oleh pihak perkebunan dengan citra buruk yang didapat pemerintah Hindia-Belanda di Deli. Pihak perkebunan mendukung dan
membiarkan praktik pelacuran terjadi di wilayah perkebunan Deli. Sementara itu, kelompok liberalis pemerintahan melarang
116
praktik pelacuran tersebut. Penyakit kelamin yang terjadi akibat pelacuran tersebut telah dianggap sebagai satu kejahatan
besar dan harus segera dihentikan. Akan tetapi, para pihak yang mendukung praktik pelacuran, pelacuran harus tetap ada tanpa memperdulikan dampak yang terjadi akibat
praktik pelacuran tersebut. Hal ini karena penyakit tersebut dianggap sebagai tanggung jawab dari masing-masing kuli itu sebagai akibat dari buruknya moral kuli perempuan
yang menjadi pelacur tersebut. Hasil dari perdebatan itu maka, pada tahun 1880 dibentuk lah Komisi
Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat
117
dan dikeluarkan lah peraturan tentang pengendalian pelacuran yang diberikan kepada kuli-kuli di wilayah perkebunan
Deli. Peraturan tersebut mengharuskan kepada perempuan yang ingin menjadi pelacur agar mendaftarkan diri terlebih dahulu ke kepolisian, dan melakukan pemeriksaan rutin
ke dokter setiap satu kali dalam seminggu. Akan tetapi, penerapan terhadap peraturan pengendalian pelacuran tersebut tidak membuahkan hasil. Jika seorang kuli perempuan
sudah mulai terlihat tanda bahwa ia terkena penyakit kelamin, maka ia harus berada
116
Pelarangan praktik pelacuran tersebut terkait dengan berkembangnya paham liberal di negara induk Belanda-
Eropa tentang proses “memanusiakan manusia” memberikan hak-hak yang benar kepada orang lain HAM. Bahkan salah seorang dari pemerintah Hindia-Belanda HJ Bool
menyatakan bahwa perusahaan perkebunan di Deli merupakan bisnisnya para monyet. Lihat H. J. Bool, op. cit.,
hlm. 36
117
Komisi ini berisi para dokter yang telah belajar dan bekerja sama dengan perkebunan Senembah terhadap penanganan penyakit kuli di Deli.
Universitas Sumatera Utara
54
dalam perawatan dokter hingga sembuh. Akan tetapi, kuli tersebut tidak mampu membayar uang perobatan dan pada akhirnya dokter tetap memperbolehkan ia bekerja.
Kondisi ekonomi kuli ini lah yang mengakibatkan peraturan yang dikeluarkan oleh pengusaha perkebunan tersebut tidak berjalan.
118
Tidak berjalannya peraturan tersebut, menyebabkan semakin pula banyaknya tersebar penyakit kelamin diantara kuli-kuli perkebunan tersebut. Kemudian peraturan
diperbaharui dengan berusaha mengintensifkan pemeriksaan berkala yang harus dilakukan oleh kuli tersebut. Peraturan kembali diperbaharui dengan adanya usulan
dari pemerintah Hindia-Belanda terkait penghapusan hukuman terhadap pelacur dan pengurangan pajak melacur. Akan tetapi, para pengusaha perkebunan tidak meyepakati
hal itu karena beranggapan bahwa yang memilih profesi sebagai pelacur itu adalah kuli perempuan itu sendiri.
119
Pada kenyataannya, para pengusaha perkebunan menjalankan apa yang telah diusulkan oleh pemerintah tersebut. Pada kenyataannya, pemeriksaan ke dokter yang
dilakukan oleh para kuli hanya dianggap sebagai lelucon belaka. Ditambah lagi, pengetahuan tentang penyakit ini masih belum berkembang dan dokter yang terdapat
pada wilayah Deli juga jumlahnya masih sedikit. Ini berdampak pada pemeriksaan terhadap yang pelacur semakin tidak terkendali dan penyakit kelamin menjadi satu
fenomena besar di perkebunan hingga awal abad ke-20.
120
118
Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 192
119
Ibid, hlm 194
120
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
55
Satu kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda adalah kurangnya perhatian setelah dikeluarkannya peraturan yang menyangkut pelacuran itu.
Pemerintah seolah-olah tidak peduli dan menganggap masalalah tersebut telah terselesaikan setelah dikeluarkannya peraturan tersebut sehingga, banyak pelacur yang
tidak memeriksakan dirinya kedokter lagi. Pada tahun 1905, karena sedikitnya laporan tentang penyakit sipilis dari Komisi
Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Masyarakat maka, pemerintah menganggap bahwa penanganan penyakit sipilis telah selesai, sehingga pada tahun 1911 peraturan
tersebut dihapuskan. Untuk pelacur yang sebelumnya telah terkena penyakit sipilis, mereka akan direhabiitasi ke daerah Tanjung Pinang, dan Banjaran. Akan tetapi,,
dikarenakan pengetahuan yang masih minim, sebagian besar dari pelacur tersebut tidak dapat diobati dan menemui ajalnya disana.
121
Keadaan seperti yang telah digambarkan diatas, berdampak pada munculnya rumah-rumah bordil di wilayah geemente, rumah-rumah mesum diwilayah
perkebunan, dan lahirnya praktik germo.
122
Munculnya rumah bordil dan praktik germo ini mendapat respon yang cukup baik oleh pemerintah Hindia-Belanda. Rumah
bordil dan germo akhirnya menjadi legal resmi di wilayah Sumatera Timur. Cara ini memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah Hindia-Belanda. Mereka
mendapat keuntungan berupa pajak dari praktik pelacuran tersebut. Untuk lebih menertibkan rumah bordil dan germo tersebut, pemerintah memunculkan peraturan
121
Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 196
122
Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 60.
Universitas Sumatera Utara
56
untuk menerbitkan selebaran seperti sertifikat kepada pelacur-pelacur di rumah bordil dan germo-germo tersebut, sehingga dapat mengurangi pelacur-pelacur yang tidak sah
dari wilayah perkebunan Deli.
123
Para pelacur yang bekerja di barak kuli, juga diorganisir oleh seorang germo. Germo ini adalah para mandor besar dari suku Jawa yang berperan juga sebagai
pemimpin dari sebuah kelompok penari ronggeng. Setiap akan melakukan praktik pelacuran, perempuan penari ronggeng meminta izin terlebih dahulu kepada
pemimpinya. Bayaran yang diterima akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara satu kelompok perempuan penari ronggeng pelacur dan pemimpinnya.
124
Peraturan yang telah dikeluarkan ini, seolah tidak berlaku untuk para gundik. Hal ini karena para administratur kebun berkedok bahwa para gundik tersebut hanya
lah pembantu rumah tangga mereka. Selain itu, jarang sekali ada laporan penyakit sipilis di kalangan perempuan gundik tersebut.
123
Ibid, hlm. 61
124
Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 200
Universitas Sumatera Utara
57
BAB V UPAYA PENANGANAN PELACURAN DAN PENYAKIT KELAMIN