Migrasi Orang-Orang Madura Ke Jawa Timur Tahun 1870-1930.

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Sastra

Oleh:

Andreas Kresnan Hadi 11407141005

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

v

selamanya. Yang penting adalah apa yang kau rasakan, kau tidak perlu mengubah pendapatmu, hanya karena orang lain punya pemikiran yang berbeda.


(6)

vi

secara langsung ataupun tidak langsung. Cita-cita ku cuma satu, yaitu membahagiakan orang tuaku, dan membalas semua budi yang pernah beliau berikan. Walaupun sepertinya tidak mungkin. Terimakasih juga untuk Tuhan

Yesus Kristus atas berkat dan kuasa-Nya kepadaku dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vii Oleh:

Andreas Kresnan Hadi 11407141005

Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantai Jawa Timur membawa dampak besar bagi kedua belah pihak, khususnya masyarakat Madura. Dengan munculnya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, membuat Jawa Timur menjadi kawasan perkebunan yang besar. Serta membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar pula. Masyarakat Madura dengan geografis dan ekonominya yang buruk, tidak melewatkan kesempatan ini. Atas dasar faktor ekonomi sebagian besar masyarakat Madura bermigrasi ke wilayah Jawa Timur. Banyak yang menetap dan tinggal disana, namun ada pula yang tetap pulang ke Madura tiap bulannya. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui faktor penarik dan pendorong, serta dampaknya bagi orang Madura dan masyarakat asli Jawa Timur dari adanya migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun 1870-1930.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis, dengan tahapan. Pertama, heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau. Dalam penelitian sejarah, heuristik adalah pencarian sumber sejarah yang berkaitan dengan tema penelitian. Kedua, kritik sumber dilakukan untuk mencari keabsahan data dengan melakukan penyaringan secara kritis. Ketiga, interpretasai adalah penciptaan fakta baru dengan menafsirkan berbagai fakta yang ada di dalam sumber-sumber. Keempat, penulisan sejarah merupakan sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor ekonomilah yang menjadi motivasi utama, ketika masyarakat Madura bermigrasi ke Jawa Timur. Banyaknya lahan-lahan perkebunan baru yang membutuhkan tenaga kerja, membuat peluang kerja mereka semakin besar, proses migrasi tersebut tejadi secara berantai. Dampak migrasi di daerah tujuan pada akhirnya menyebabkan terjadinya pertumbuhan penduduk, bertambahnya tingkat kepadatan penduduk, perkembangan wilayah, diferensiasi sosial dan mobilitas sosial. Meskipun begitu sikap toleran dan menghargai perbedaan tetap terjada diantara penduduk asli dan para migran.


(8)

viii

ini yang berjudul ”Migrasi Orang-Orang Madura ke Jawa Timur Tahun 1870-1930” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari kerjasama, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial. 2. Bapak Agus Murdiyastomo, M. Hum. selaku Ketua Program Studi Ilmu

Sejarah.

3. Bapak Mudji Hartono, M. Hum. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan penuh perhatian telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Danar Widiyanta, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi dan perhatiannya.

5. Seluruh dosen Prodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta wawasan kepada penulis. Saya merasa sangat bersyukur bisa menjadi murid dari Bapak dan Ibu dosen sekalian.


(9)

ix

Perpustakaan Laboratorium Sejarah UNY, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Perpustakaan Sonobudoyo yang telah memberikan pelayanan dengan baik dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Kedua orangtuaku tersayang, Bapak Heribertus Widodo dan Alm Ibu Veronica S, yang telah mencurahkan dukungan kepada penulis.

8. Para sahabat di Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 beserta para kakak dan adik tingkat yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.

9. Berbagai pihak yang telah banyak membantu di mana penulis tidak dapat menyebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan demikian, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak-pihak yang telah menggunakan skripsi ini sebagai bahan bacaan dan referensi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi para pembacanya. Amin.

Yogyakarta, 18 Januari 2016


(10)

x

HALAMAN PERSETUJUAN………. ii

HALAMAN PENGESAHAN………iii

HALAMAN PERNYATAAN……….. iv

MOTTO………...v

PERSEMBAHAN………... vi

ABSTRAK……….. vii

KATA PENGANTAR………viii

DAFTAR ISI………...………....x

DAFTAR TABEL……….. xii

DAFTAR ISTILAH………... xiv

DAFTAR SINGKATAN………...xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….xvii

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang……….………...1

B. Rumusan Masalah………...5

C. Tujuan Penulisan………....………5

D. Manfaat Penelitian……….…………...6

E. Kajian Pustaka………... 7

F. Historiografi Relevan………... 10


(11)

xi

B. Pola Pemukiman……….25

C. Mata Pencaharian………...32

BAB III PROSES MIGRASI……… 47

A. Migrasi Orang Madura….………... 47

B. Identifikasi Kelompok Migrasi………...60

BAB IV DAMPAK MIGRASI ORANG-ORANG MADURA………...68

A. Dampak Sosial Ekonomi………... 68

B. Dampak Sosial Budaya………...77

BAB V KESIMPULAN………. 87

DAFTAR PUSTAKA……….93


(12)

xii kg) di Madura 1919-1940—21

Tabel 2 Jumlah Rata-Rata Banyaknya Hujan Per Hari Tiap-Tiap Bulan—22 Tabel 3 Jumlah Rata-Rata Curah Hujan Tiap-Tiap Bulan (dalam milimeter) —

23

Tabel 4 Tanah yang Ditanami di Madura: Tipe-Tipe, Luas dalam Bau, dan Persentase (dalam tanda kurung) Tahun 1906—24

Tabel 5 Kepadatan Penduduk Tahun 1867—28

Tabel 6 Kelompok-Kelompok Populasi di Madura—29 Tabel 7 Kepadatan Penduduk Per 100 Ha/ kepala—30 Tabel 8 Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912—33 Tabel 9 Jumlah Ternak di Madura—33

Tabel 10 Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul) —35

Tabel 11 Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau (dlam pikul) — 35

Tabel 12 Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten (dalam kg)—37 Tabel 13 Penanaman Tembakau (dalam bau)—39

Tabel 14 Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih (dalam koyang)—43 Tabel 15 Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920—44

Tabel 16 Produksi Garam Tahun 1917—45

Tabel 17 Pemakaian Konsumsi Garam Tahun 1905—46 Tabel 18 Perbandingan Kepadatan Penduduk—53


(13)

xiii

Tabel 22 Jumlah Emigran Madura di Jawa Timur Tahun 1930—61 Tabel 23 Jumlah Orang-orang Jawa dan Madura di beberapa wilayah—66 Tabel 24 Jumlah Penduduk, Angka Pertumbuhan di Indonesia, Jawa Madura


(14)

xiv 1870.

Aksentuasi : Pemberian tekanan suara pada suku kata atau kata.

Alluvial : Sejenis tanah liat, halus dan dapat menampung air hujan yang tergenang.

Bau : Satuan ukuran luas tanah 7.096 m2.

Erpacht : Hak sewa turun temurun untuk menggunakan benda yang tidak bergerak atau lahan milik orang lain dengan kewajiban membayar sewa setiap tahunnya.

Empirik : Suatu keadaan yang bergantung pada bukti yang telah diamati oleh seorang.

Geologis : Bersangkut paut dengan geologi; peta-peta dan tektonis menjadi dasar untuk menaksir sumber mineral.

Geomorfologi : Sebuah ilmu yang mempelajari tentang bentuk alam dan proses yang membentuknya.

Hydrologis : Suatu ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi dan kualitas air di muka bumi.

Industrialisasi : Usaha menggalakkan industri dalam suatu negara; pengindustrian.

Inferioritas : Kerendahan diri atau rasa rendah diri.

Komperhensif : Bersifar mampu menangkap atau menerima dengan baik. Kompleks : Mengandung beberapa unsur yang pelik, rumit, sulit dan

saling berhubungan.


(15)

xv

Pandalungan : Percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.

Partisipan : Orang yang ikut serta dalam suatu kegiatan atau pemeran serta.

Retorika : Seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Sekunar : Kapal layar bertiang dua.

Superioritas : Sebuah keunggulan ataupun kelebihan.

Tegalan : Tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dan sebagainya, dengan tidak menggunakan sistem irigasi, tetapi bergantung pada hujan; ladang, huma.

Topografi : Kajian ataupun penguraian yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah.


(16)

xvi MSM :Madoera Stoomtram Maatschappij SDA : Sumber Daya Alam


(17)

xvii

2. Lampiran 2 : Peta Madura Tahun 1930 (lanjutan)—99 3. Lampiran 3 : Peta Administratif Jawa Timur—100 4. Lampiran 4 : Fisiografis Jawa Timur—101

5. Lampiran 5 : Iklim Jawa Timur—102

6. Lampiran 6 : Peta Kabupaten Situbondo—103 7. Lampiran 7 : Peta Fisiografis Madura—104


(18)

1

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Madura sangat erat hubungannya dengan pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Di sepanjang masa telah terjadi migrasi, penduduk dalam jumlah yang sangat besar, baik untuk selama-lamanya, ataupun untuk waktu yang singkat. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri.1 Pada kenyataannya di daerah sepanjang pantai Utara Jawa Timur bagian Timur yang berbatasan dengan Selat Madura, banyak terdapat orang-orang suku bangsa Madura. Bahkan di beberapa tempat mereka menggunakan bahasa pengantar sehari-hari dengan bahasa Madura. Daerah pedalaman yang banyak dijumpai suku bangsa Maduranya di Jawa Timur bagian Timur adalah Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Lumajang.2

Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantai Utara Jawa Timur telah terjalin lama. Pelabuhan-pelabuhan itu ialah Sumenep, Pamekasa, Sampang dan Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di patai Utara Jawa Timur di antaranya Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo dan Besuki.

1

Huub de Jonge,Madura dalam Empat Jaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Terjemahan (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 23.

2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya Daerah Jawa Timur. (Jakarta: 1983), hlm. 28.


(19)

Melalui kontak dengan pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadilah perdagangan beras yang sangat dibutuhkan oleh daratan Madura. Perdagangan ini merupakan perdagangan hidup dalam arti terjadi pertukaran komoditi barang-barang dagangan antara kedua kota tersebut.

Pada tahun 1832 Residen Pasuruan van Nes, berusaha meningkatkan perdagangan berasnya dengan Madura melalui pelabuhan Pasuruan. Di samping itu dengan majunya perdagangan, banyak sekali orang Madura yang masuk ke Jawa melalui pelabuhan Pasuruan. Menurut catatan Kielstra, perpindahan penduduk dari Madura ke Jawa pada 1850 setiap musim antara 20.000 hingga 30.000 pekerja dengan upah f 0,25 per hari. Pada saat mereka bekerja di perkebunan teh atau gula, mereka mendapatkan upah f. 0,40 per hari.3 Para imigran yang berasal dari Madura terus berdatangan di kawasan Jawa Timur. Pada 1892 penduduk yang berasal dari Madura sebanyak 40.000 orang pergi atau pindah ke Jawa Timur untuk bekerja, 10.000 orang di antaranya berasal dari Sumenep, 3.000 orang dari Pamekasan, 9.000 orang dari Bangkalan dan 18.000 orang dari Sampang. Para imingran yang berasal dari Sumenep beremigrasi ke Besuki, dari Sampang bermukim di Probolinggo, sedangkan dari Bangkalan pergi beremigrasi ke Pasuruan atau Surabaya kota.4

Mulai berlakunya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Di mana pihak swasta selaku pemilik tanah, membuka lahan-lahan perkebunan baru yang tentu saja membutuhkan tenaga kerja yang besar, untuk mengolah lahan mereka.

3 Sri Margana, Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial,(Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 30.


(20)

Membuat orang-orang Madura semakin tergiur untuk bermigrasi. Di Madura sendiri kebanyakan masyarakatnya, merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih 90% penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa, dukuh-dukuh, dan kelompok-kelompok perumahan petani, namun alam yang tidak mendukung inilah yang menjadi faktor terjadinya migrasi masyarakat Madura. Di sepanjang masa telah terjadi migrasi penduduk dalam jumlah yang besar, baik untuk selama-lamanya ataupun untuk waktu yang singkat maupun untuk masa yang panjang ke Jawa dan ke pulau-pulau lain di Nusantara.

Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura dan kira-kira sepertiga dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura. Sama seperti di Madura, penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup dari usaha pertanian dan perikanan. Sebagian besar dari Jawa Timur dibuka dan diusahakan oleh orang-orang Madura.5 Di kota-kota, orang-orang Madura berkerja sebagai kuli, penjaja, pedagang kecil, atau sebagai tukang. Akibat dari pengembangan perusahaan perkebunan partikelir yang saling berkaitan dengan pembukaan daerah pedalaman di Jawa Timur dalam paroh kedua abad ke-19, arti migrasi pun menjadi meningkat. Dari Sumenep saja setiap tahun rata-rata sepuluh ribu penduduk yang bermigrasi, ke perkebunan teh, gula, dan tembakau memberikan pekerjaan kepada para migran yang tidak terbilang banyaknya itu. Bahkan tercipta sumber penghasilan alternatif, banyak petani lokal pun menyerahkan lahan mereka sebagian atau seluruhnya atas dasar bagi hasil kepada pendatang baru. Biasanya para migran ini berangkat ke daerah yang berhadapan


(21)

dengan kabupaten mereka. Berangsur-angsur daerah sekitar Jember, Malang, dan Lumajang yang dulunya sedikit penduduknya, dihuni oleh orang-orang Madura.6

Di antara para migran itu terdapat sejumlah pekerja musiman yang setiap tahunnya makin meningkat, mereka membantu saat panen. Pekerjaan musiman di seberang dapat dikombinasikan dengan baik dengan pekerjaan mereka di rumah. Baik di musim kemarau pada waktu lahan-lahan di Madura tidak digarap, maupun di bulan-bulan musim hujan ketika tanaman sedang tumbuh, kebutuhan tenaga kerja di Jawa untuk sementara besar sekali. Perkebunan memberikan banyak kesempatan untuk bekerja di musim kemarau, dan di musim hujan terdapat banyak pekerjaan di pertanian rakyat. Hampir sekitar 2,5 juta orang Madura yang dalam tahun 1930 bertempat tinggal di luar Madura dan sebagian tersbesar bertempat tinggal di Jawa Timur. Orang-orang yang melakukan migrasi ini menemukan di pantai Jawa suatu lingkungan yang mereka kenal. Seolah-olah selat Madura ini merupakan suatu teluk bagi daerah kebudayaan Madura. Sepanjang tahun terdapat lalu lintas barang dan orang sangat ramai di antara kota-kota dan desa-desa pantai dari kedua pulau itu. Jadi arus migrasi dari Bangkalan terutama tertuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro. Orang-orang dari Sampang terutama ke jurusan Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang, sedangkan orang-orang Sumenep serta penduduk Pamekasan pada pokoknya ke Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi. Di daerah-daerah pantai yang saling berhadapan pun digunakan dialek yang sama.


(22)

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul dan uraian latar belakang masalah, penulis mencoba merumuskan dan menguraikan, permasalahan-permasalahan yang ada. Berikut bebrapa rumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan:

1. Mengapa orang Madura bermigrasi ke Jawa Timur?

2. Bagaimana sikap penduduk Jawa Timur, ketika wilayahnya mulai didatangi banyak orang Madura?

3. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat Madura yang melakukan migrasi ke Jawa Timur?

C. Tujuan Penelitian

Kegiatan penulisan ini dilakukan untuk mencapai tujuan. Yang mana disini, penulis berusaha mengungkapkan sebuah fakta pengetahuan dengan menerapkan metode-metode ilmiah.

Penulisan ini bertujuan untuk: 1. Tujuan Umum

a. Mempertajam daya pikir kritis dalam menganalisa sebuah objek, yang tentu saja dalam sebuah penulisan karya sejarah.

b. Mampu mengaplikasikan metodologi sejarah secara kritis, sehingga menghasilkan karya sastra yang mampu dipercaya.

c. Memperbanyak karya tulis, yang berhubungan dengan sejarah, khususnya mengenai sejarah sosial ekonomi.


(23)

2. Tujuan Khusus

a. Memberikan penjelasan tentang migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur dari tahun 1870-1930.

b. Mempelajari bagaimana sikap penduduk Jawa Timur, ketika

wilayahnya mulai didatangi banyak orang Madura.

c. Mengetahui bagaimana kondisi sosial-ekonomi dari orang-orang Madura yang melakukan migrasi ke Jawa Timur dari tahun 1870-1930.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

a. Mengetahui sejarah migrasi orang-orang Madura di Jawa Timur tahun 1870-1930.

b. Menambah pengetahuan tentang khasanah kesejarahan sehingga dapat menilai peristiwa sejarah dengan kristis dan obyektif.

c. Sebagai tolak ukur bagi penulis, sejauh mana kemampuan si penulis dalam membuat sebuah karya tulis yang kristis.

2. Bagi Pembaca

a. Menjelaskan penyebab orang-orang Madura melakukan migrasi ke Jawa Timur pada tahun 1870 hingga 1930.

b. Menjelaskan proses migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur pada tahun 1870 hingga 1930.

c. Menjelaskan dampak migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur pada tahun 1870 hingga 1930.


(24)

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah jawaban sementara dari rumusan masalah. Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory manuals, dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal. Telaah terhadap pustaka atau literatur menjadi landasan pemikiran dalam penelitian.7 Perubahan pola migrasi masyarakat Madura ke Jawa Timur dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan, di awal-awal migrasi berkembang sangat pesat, namun ketika Jepang mulai menguasai wilayah Jawa dan Madura, pola migrasi berubah, sangat sedikit orang Madura yang melakukan migrasi bahkan turun drastis. Kajian pustaka pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta 1983. Yang berjudul Geografi Budaya Daerah Jawa Timur,

keluaran Depdikbud Daerah Jakarta. Buku ini menjelaskan faktor-faktor pendorong dan penarik/push and pull, seperti fisis Pulau Madura, faktor politis, faktor perdagangan, faktor perpindahan, mata pencaharian dan faktor perlakuan dan peraturan dari penguasa setempat. Yang mana merupakan penyebab utama terjadinya migrasi masyarakat Madura ke pulau Jawa, khususnya Jawa Timur.

Kajian Pustaka yang kedua adalah Prof. Dr. Kuntowijoyo yang berjudul,

Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1970. Di dalam buku ini dijelaskan, migrasi orang Madura merupakan akibat ekologi Pulau Madura

7 Tim Prodi Ilmu Sejarah,Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,

(Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sejarah, UNY, 2013), hlm. 6.


(25)

yang tidak menguntungkan, sehingga memaksa mereka mencari pekerjaan ke luar. Sekitar 1880-1890 datangnya penduduk sebagai buruh ke perusahaan-perusahaan gula sangat penting, hal ini menunjukkan bertambahnya sistem kerja upah. Kesukaran-kesukaran yang berhubungan dengan pembukaan tanah baru pada waktu itu dirasakan lebih berat daripada keberatan-keberatan rakyat terhadap kerja upah. Kerja upah secara bebas mungkin sekali timbul karena desakan ekonomi.8 Hal-hal yang menjurus ke perekonomian ini, yang mungkin saja menjadi faktor utama dari adanya migrasi orang-orang Madura tersebut.

Kajian Pustaka yang ketiga adalah karya dari Egbert de Vries yang berjudul “Pertanian dan Kemiskinan di Jawa”. Karya tersebut secara garis besar memperkenalkan metoda komparatif yang berakar pada pengalaman pedesaan dan yang menggabungkan perkembangan sosial-ekonomi. Melalui buku ini kita akan memperoleh informasi masyarakat petani Jawa khususnya dan penelitian yang diungkapkan Egbert de Vries akan membawa keluasan pandangan “masalah-masalah pertanian-pedesaan” di berbagai pelosok dunia dan kurun zaman. Pada dasarnya buku ini menjelaskan mengenai kemiskinan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi petani-petani di Jawa, yang mana berarti teori Egbert de Vries berlawanan dengan teori migrasi orang-orang Madura ke Pulau Jawa dalan hal ini Jawa bagian Timur, yakni push and pull. Yang mana “pull” berarti adanya faktor penarik terjadinya migrasi ke tanah Jawa. Dimana ketika masyarakat Madura sudah sampai di Jawa mereka lebih memilih profesi sebagai petani atau buruh untuk pekerjaan mereka.

8

D.H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid 1 (Jakarta: Pradnja Paramita, 1962), hlm. 226.


(26)

Mengenai migrasi sebagai sebuah dampak dari kependudukan dan sistem sosial masyarakat Madura, Dr. Kuntowijoyo dalam karyanya pada tahun 1994 yang berjudul “Radikalisasi Petani”. Menurutnya penjelasan ekosistem masih harus dilengkapi dengan penjelasan demografis. Untuk Madura, masalah kependudukan mempunyai tempat sentral dalam perilaku, sehingga pengaruhnya dalam aspek-aspek sosial, politik dan kultural dapat kita lihat.9 Ada pepatah Madura yang mengatakan: lebih baik berputih tulang dari pada berputih mata. Kalau Anda hanya menunjukkan bagian putih mata, Anda tidak berani melihat musuh Anda. Mati lebih disukai daripada menanggung rasa malu karena penghinaan.10 Hal ini menunjukkan besarnya keberanian masyarakat Madura, dalam menghadapi suatu permasalahan, yang mana dalam konteks ini, migrasi menjadi pilihan utama sebagian masyarakat Madura ketika lingkungan dan alam mereka tidak mendukung. Migrasi orang Madura ke luar daerah membuat Madura mempunyai penduduk yang sangat mobil. Migrasi ini disebabkan oleh bermacam-macam hal.

Sebagai faktor pendorong, kita menemukan bahwa Madura mengalami kekurangan dalam penyediaan bahan makan untuk penduduknya, karenategalan11

9 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Jakarta: PT Gramedia, 1994), hlm.

88.

10

Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), hlm. 162.

11 Tegalan adalah tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dan sebagainya dengan tidak menggunakan irigasi tetapi bergantung pada hujan: lading, huma (KBBI).


(27)

tidak membuahkan hasil panen yang cukup. Bahkan, sawah-sawah Madura juga berada di bawah hasil sawah di Jawa. Demikian juga tanaman tebu, yang pernah dicoba pada pertengahan abad ke-19, tidak dapat menandingi hasil panen di Jawa. Hanya tanaman tembakau mempunyai prospek yang baik di Madura, tetapi tidak dapat mengubah tingkat ekonomi secara menyeluruh. Akibat yang tidak terelakkan dari basis usaha pertanian yang sangat kecil itu menyebabkan selalu terdapat bahaya laten dari kekurangan bahan pangan dan kekurangan uang. Untuk mendapat uang, sang petani harus menjual sebagian dari hasil taninya, dan demikian ia selalu dihadapkan pada dilema yang sulit, menahan bahan makanan dan tidak melakukan pembelian sandang dan barang-barang industri lainnya, atau menjual bahan makanan dan kelak menghadapi kekurangan pangan.12

F. Historiografi Relevan

Historiografi Relevan adalah adalah tahap untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan topik/judul penelitian. Dalam hal ini historiografi relevan adalah upaya pembandingan sebuah penelitian yang akan dilangsungkan dengan penelitian sejarah yang telah ada. Tujuannya untuk mendapatkan sebuah karya sejarah yang benar-benar baru. Karya sejarah terdahulu dibedah untuk mengetahui kekurangan

12 Egbert de Vries, Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, (Jakarta: PT


(28)

peneliti terdahulu. Kekurangan peneliti digunakan sebagai landasan pembeda karya sejarah yang akan ditulis.13

Dalam hal ini historiografi relevan yang dijadikan pembanding dalam penulisan ini adalah disertasi dari Fransiskus Asisi Sutjipto Tjiptoatmojo yang berjudul “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII Sampai Medio Abad XIX), Universitas Gadjah Mada, 1983. Desertasi ini menjelaskan bagaimana masyarakat Madura yang tinggal disekitar selat Madura tersebut. Mulai dari bagaimana mereka mengupayakan lahan pertanian mereka hingga terciptanya jalur-jalur perdagangan antara Pulau Jawa dan Madura.

Historiografi yang kedua adalah karya dari Huub de Jonge yang berjudul “Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam”. Buku ini membahas tentang peranan para saudagar dan berbagai persekutuan dagang dalam proses perubahan ekonomis yang terjadi di Pulau Madura pada paroh kedua abad ke-19 setelah berlaku pemerintahan kolonial secara langsung dari pusat. Buku ini dimulai dengan penjelasan tentang keadaan geografi-sosial dan latar belakang sejarah dari proses perubahan ekonomis tersebut; di situ tampak bagaimana Pulau Madura secara berangsur dilibatkan dalam lalu lintas perdagangan Indonesia. Pada bagian kedua dibahas keadaan ekonomi desa Parindu, salah satu kota perdagangan terpenting di pantai selatan Madura, tempat De Jonge melakukan penelitian lapangan. Semenjak pulau itu mulai terbuka, para saudagar dari desa Parindu telah memainkan peranan kepeloporan dalam ekonomi Madura. Bagian akhir buku ini membahas tentang kelompok pengusaha terpenting

13


(29)

dari desa tersebut, yaitu para saudagar tembakau. Dalam buku ini, penulis memberikan pandangan-pandangan baru tentang watak perkembangan ekonomi di daerah-daerah pinggiran, tentang peranan para saudagar dalam proses itu, dan hubungan antara perdagangan dan agama Islam.

Pada bagian ke-3 buku karya Huub de Jonge “Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam”, beliau menjelaskan tentang penyebarluasan tanaman tembakau. Yang mana ketika masyarakat Madura telah mengenal tanaman tembakau, seharusnya kehidupan mereka membaik. Karena, buku ini menjelaskan tanaman tembakau sangat cocok dengan keadaan geografis Pulau Madura, walaupun tidak semua. Tetapi mengapa migrasi terus saja berlangsung hingga 1930. Dan yang paling penting, pada halaman 23 buku ini secara khusus menjelaskan mengapa orang Madura bermigrasi ke Jawa Timur mulai dari faktor hingga dampaknya.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian historis menurut Kuntowijoyo. Metode historis merupakan salah penyelidikan mengaplikasi metode pemecahan yang ilmiah dari prespektif historis suatu masalah. Metode penelitian menurut Kuntowijoyo14ini meliputi:

1. Heuristik

Heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau. Dalam penelitian sejarah, heuritik adalah tahap pencarian sumber sejarah

14 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Benteng, 2005),


(30)

yang berkaitan dengan tema penelitian. Sumber sejarah adalah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa sejarah.15 Jejak-jejak sejarah dikenal sebagai data-data sejarah. Kegiatan ini ditujukan untuk menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak dari peristiwa sejarah yang sebenarnya mencerminkan berbagai aspek aktivitas manusia masa lampau. Tujuannya agar kerangka pemahaman yang didapatkan berdasarkan sumber-sumber yang relevan untuk dapat disusun secara jelas, lengkapn dan menyeluruh. Pengumpulan jejak-jejak dilakukan di Perpustakaan Sonobudoyo, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Laboratorium Sejarah FIS, Perpustakaan Pedesaan UGM dan perpustakaan-perpustakaa lain di Yogyakarta.

Sumber yang digunakan dalam penulisan adalah sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang digunakan diantaranya adalah koleksi perpustakaan Sonobudoyo, berupa arsip tentang Perkembangan Laporan Jabatan Karesidenan Pasuruan/MVO, oleh H.J. Domis tahun 1830,Volkstelling 1930 Deel III Inheemsche Bevolking van Oos-Java dan Volkstelling 1930 Deel VIII Overzicht voor Nederlands-Indie. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa referensi yang mendukung penelitian ini.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber dilakukan untuk mencari keabsahan data dengan melakukan penyaringan secara kritis. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan kritik ekstern dan itern. Kritik ekstern ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian

15 Helius Sjamsudin, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: Depdikbud Dirjen


(31)

terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekontruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakuka pemeriksaa yang ketat.16 Sedangkan kritik intern lebih menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesakisan. Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memastikan apakah kesaksian itu dapat digunakan atau tidak.17

3. Interpretasi

Interpretasi adalah suatu pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu atau tafsiran. Oleh karena itu setiap peneliti sejarah bisa saja memiliki penjelasan yang berbeda meskipun berangkat dari sumber yang sama. Interpretasi sebagai upaya untuk merangkai fakta-fakta agar memiliki bentuk dan struktur. Fakta-fakta tersebut ditafsirkan sehingga menemukan struktur logisnya. Selain, diperlukan landasan yang jelas agar terhindar dari penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit.

4. Penulisan Sejarah

Penulisan Sejarah menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi. Kalau penelitian sejarah bertugas merekontruksi sejarah masa lampau, maka rekontruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis. Penulisan sejarah tidak

16 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012),

hlm. 104.

17


(32)

semudah dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan informasi dan argumentasi. Penulisan sejarah, walaupun terikat pula oleh aturan-aturan logika dan bukti-bukti empirik, tidak boleh dilipakan bahwa ia adalah juga karya sastra yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta nada retorika tertentu.

H. Pendekatan Penelitian

Sebagaimana permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah adalah pendekatan. Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan. Seperti segi mana yang dipandang, dimensi mana yang diperhatikan dan sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai. Dalam menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap penggambaran atau deskripsi menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan.18 Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menggunakan:

a. Pendekatan Sosial

Manusia senantiasa berada dalam kekurangan kemakmuran. Kekurangan kemakmuran itulah yang memaksa dia bertindak menurut motif ekonomi.19 Hal seperti inilah yang membuat masyarakat Madura rela pergi meninggalkan pulaunya menuju Jawa Timur demi kehidupan mereka yang lebih baik.

18

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 40.

19 Mohammad Hatta, Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi, (Jakarta:


(33)

Pendekatan sosial semacam ini akan sangat membantu penulis dalam mengungkapkan unsur-unsur sosial. Pendekaan sosial ini digunakan untuk mengetahui keadaan sosial masyarakat Madura dari tahun 1870-1930, baik yang belum melakukan migrasi ataupun yang sudah melakukan migrasi ke hampir semua wilayah di Jawa bagian Timur. Untuk mengungkap hal ini penulis menggunakan karya tulis dari Mohammad Hatta yang berjudul Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi.

b. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi akan digunakan penulis untuk mengetahui keadaan ekonomi masyarakat Madura setelah dan sebelum melakukan migrasi ke Pulau Jawa khususnya, Jawa Timur tahun 1870-1930. Pendekatan ekonomi dipilih karena penulis mengetahui bahwa faktor pendorong dari terjadinya migrasi adalah kemiskinan yang cukup besar di wilayah Madura. Orang-orang ini kesulitan mendapatkan penghasilan di wilayah mereka sendiri, sehingga mau tidak mau mereka pergi meninggalkan pulaunya dan menuju Jawa Timur. Yang mana ketika itu sedang memasuki periode Tanam Paksa. Hal inilah yang membuka peluang mereka untuk bekerja di perkebunan. Contohnya wilayah Jember yang mana, mulai mendapatkan perhatian orang-orang Madura sebagai tujuan migrasi karena mulai banyak perusahaan swasta yang berdiri. Terjadinya gelombang migrasi penduduk Madura ke daerah ini berawal dari usaha George Birnie yang pada 21 Oktober 1859 mendirikan perusahaan perkebunan tembakau yang diberi nama NV


(34)

Landbouw Maatscappij oud Djember (LMOD).20 Dengan ini tentunya kita dapat mengetahui peranan ekonomi dalam mendorong terjadinya migrasi.

I. Sistematika Penulisan

Skripsi yang berjudul “Migrasi Orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun 1870-1930”, terbagi menjadi lima bab. Garis besar skripsi ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan dikaji, dan manfaat dari penulisan, serta sistematika pembahasan yang akna menjabarkan ringkasan dari bab yang akan disajikan dalam skripsi ini.

BAB II LATAR BELAKANG MIGRASI

Bab ini berisi tentang gambaran umum perekonomian dan SDA pulau Madura, yang hingga pada akhirnya menjadi penyebab utama, kenapa masyarakat Madura melakukan migrasi ke Pulau Jawa Timur tahun 1870-1930.

BAB III PROSES MIGRASI

Bab ini berisi penjelasan tentang pola migrasi yang banyak dilakukan masyarakat Madura ke Jawa Timur. Dan macam-maca pekerjaan yang mereka lakukan setelah sampai ditempat tujuan.

BAB IV DAMPAK MIGRASI

Bab ini menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya migrasi masyarakat Madura ke Pulau Jawa Timur tahun 1870-1930 terhadap sosial ekonomi masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli.

20Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember: Suatu Kajian Historis Komparatif, (Jember: Universitas Jember, 2006), hlm. 67.


(35)

BAB V KESIMPULAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari semua pemaparan yang dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang diperoleh disini, merupakan jawaban yang menjadi pokok pertanyaan dalam rumusan masalah.


(36)

BAB II

LATAR BELAKANG MIGRASI

A. Letak dan Keadaan Alam

Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7osebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112odan 114obujur timur. Pulau ini dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura, yang menghubungkan Laut Jawa dan Laut Bali, Moncongnya di baratlaut, karena bentuknya disebut corong, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut.1 Disebelah timur Surabaya, Selat Madura menjadi lebih besar dan lebih dalam. Antara Madura dan pantai di Jawa jarak selat itu bervariasi antara 30 sampai 40 mil laut. Di beberapa tempat di depan pantai terdapat lumpur dan gundukan pasir yang agak melandai. Panjang Pulau Madura itu kurang lebih 190 km dan jarak yang terlebar pulau itu adalah 40 km, dan luasnya 5.304 km2.

Pantai utara merupakan suatu garis panjang yang hampir lurus. Pantai selatannya dibagian timur memiliki dua teluk yang besar, terlindung oleh pulau-pulau, gundukan-gundukan pasir, dan batu-batu karang. Disebelah timur terletak Kepulauan Sapudi dan Kangean yang termasuk administrasi Madura. Kepulauan ini keseluruhannya terdiri dari hampir 50 pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni. Secara geologis Madura merupakan embel-embel bagian utara Jawa. Daerah itu merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan disebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura

1 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan,


(37)

merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih bergabung. Pantai utara yang berada di perpanjangan pegunungan bagian utara Jawa, di mana Kabupaten Rembang dan Kabupaten Bojonegoro itu terletak, terdiri dari punggung kapur yang rendah dan terpotong secara teratur oleh lembah-lembah sungai.

Deretan bukit yang terletak di tengah-tengah dan di selatan pulau, membentuk kaki-kaki gunung dari pegunungan Kendeng yang terletak lebih ke selatan. Dari punggung pantai utara dan tanah yang berbukit di bagian tengah, di sana-sini memisahkan punggung-punggung bukit pendek kearah tenggara. Bukit-bukit disebelah timur dan disebelah tenggara Madura dilanjutkan dalam bentuk pulau-pulau dan karang-karang di laut. Pada umumnya bukit-bukit di pedalaman itu lebih tinggi daripada bukit-bukit disepanjang pantai. Bukit-bukit di bagian timur jelas lebih tinggi letaknya di atas permukaan laut dari pada di bagian barat Madura. Puncak tertinggi di bagian timur Madura adalah Gunung Gadu 341 m, Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m.

Sebagian besar Madura terdiri dari formasi-formasi batu sudut tersier, yang di beberapa tempat di sepanjang pantai terendap dengan jalur-jalur alluvial. Langsung disebelah selatan bukit-bukit kapur yang rusak karena cuaca di pedalaman terdapat tanah liat bercampur kapur yang disela oleh tanah yang mengandung gips. Pulau ini tidak memiliki banyak hutan. Kurang lebih enam persen dari tanahnya merupakan daerah hutan. Pada waktu pembuatan topografi yang pertama pada tahun 1873 di Madura, luas hutannya masih berkisar tiga belas persen. Seharusnya sebagian besar pulau itu pada zaman dahulu merupakan


(38)

daerah hutan. Pertambahan penduduk yang besar awal abad ke-19 telah membuat areal hutan itu menjadi sangat berkurang, semakin banyak lahan hutan yang terus menerus dibuka, walaupun kenyataannya penghidupan para penghuni pulau itu sebagian besar tergantung pada hutan. Disamping bahan makanan untuk mereka sendiri dan ternak, kayu sebagai alat bangunan untuk perumahan, perahu dan peralatan, serta kayu bakar untuk menanak makanan diambil dari hutan-hutan itu. Juga pengolahan barang-barang untuk diekspor seperti ikan pindang, gula siwalan, dan arang menggunakan kayu dalam jumlah yang besar.

Tabel 1

Persediaan Bahan Makanan Rakyat Rata-Rata 1 Tahun/Jiwa (dalam kg) di Madura 1919-1940

Bahan Tahun

makanan 1919 1920 1925 1930 1935 1940

Beras Jagung Ketela Ubi Kacang tanah Kedelai 102 29 71 25 3,7 4,3 86 44 160 42 4,9 3,7 86 40 142 25 2,6 4,2 89 45 116 26 3, 4,9 85 42 132 30 2,3 4,9 87 37 159 32 2,7 5,9 Sumber: Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam

Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: Bharatara, 1965), hlm. 84.

Keadaan fisik Pulau Madura kurang menguntungkan untuk usaha pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur, yang terbentuk pada jaman pleistosen, yang umumnya kurang subur untuk pertanian. Disamping itu 18,20 % atau kira-kira 99,650 hektar, merupakan tanah gundul dalam keadaan fisis tehnis kritis dan hydrologis kritis. Curah hujan rata-rata di Madura hanya


(39)

sekitar 1276 mm, dengan rata-rata bulan basah tahunan 5,4 dan bulan keringnya 4,8. Suhu udara rata-rata di Madura 26.61oC. Tipe iklim Madura termasuk dalam klasifikasi “Type Aw”. Tipe iklim ini ditandai oleh curah hujan bulan terkering 13,95 mm (di bawah 60 mm) dan kekeringan ini tidak dapat diimbangi oleh jumlah curah hujan sepanjang tahun. Iklim di Madura ditandai oleh dua musim, yaitu musim kering dan musim hujan, yang masing-masing berlangsung dari bulan Mei sampai pertengahan Oktober dan dari pertengahan November sampai April. Yang mana kegiatan pertanian di sebagian besar pulau ini tergantung pada besarnya curah hujan.2

Tabel 2

Jumlah Rata-Rata Banyaknya Hujan Per Hari Tiap-Tiap Bulan (dalam millimeter)

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total

Jawa-Madura Bangkalan Pamekasan Sumenep 18,9 17,6 18,4 16,7 18,4 15,5 16,4 14,6 18,1 15,3 15,7 15,1 14,4 14,9 13,3 10,3 10,2 10,5 9,1 8,0 8,3 8,6 7,6 6,6 6,4 5,3 3,1 3,3 4,6 3,4 1,6 1,1 5,2 3,3 0,9 0,6 9,5 5,8 2,2 1,9 14,1 10,2 8,1 7,8 18,1 17,1 17,0 16,1 146,6 127,4 113,4 102,1 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 28.

2Huub de Jonge,Agama, Kebudayaan, Dan Ekonomi, (Jakarta: Rajawali),


(40)

Tabel 3

Jumlah Rata-Rata Curah Hujan Tiap-Tiap Bulan (dalam millimeter)

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total

Jawa-Madura Bangkalan Pamekasan Sumenep Madura 369 252 252 259 254 369 228 253 281 254 344 250 262 268 260 261 254 190 180 208 171 170 113 126 136 162 124 95 102 107 102 76 43 52 57 68 45 13 7 22 87 40 8 4 17 179 68 23 29 40 274 153 136 97 129 356 264 137 273 258 2722 1924 1625 1678 1742 Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 29.

Dari tabel di atas kita dapat simpulkan, bahwa wilayah Madura, seperti Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Memiliki curah hujan yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan wilayah Jawa. Keadaan yang semacam ini sangat menganggu untuk usaha pertanian, karena curah airnya tidak mencukupi terutama di musim kemarau. Ketidakseimbangan tata air yang ada di Madura bukan semata-semata dari pengaruh unsur iklim saja tetapi juga dipengaruhi oleh keadaan jenis hutannya dan jumlahnya, keadaan fisik tanah, serta kegiatan manusianya.


(41)

Tabel 4

Tanah yang Ditanami di Madura: Tipe-Tipe, Luas dalam Bau, dan Persentase (dalam tanda kurung) Tahun 1906

Sawah Tegal Wilayah Irigasi Tahunan Irigasi Msm Hjn Tergant ung Hujan Sawah Diubah Menjadi Tegal Tahunan Tdk Tetap Total Pamekasan Sumenep Bangkalan Sampang Madura 1.917 (3,6) 3.978 (3,0) 1.385 (1,4) 1.329 (1,9) 8.609 (2,4) 935 (0,7) 970 (1,0) 176 (0,2) 2.801 (0,6) 11.397 (21,5) 18,821 (14,3) 36,662 (36,4) 27.720 (39,1) 94.600 (26,5) 695 (1,3) 254 (0,2) 895 (0,8) 1.844 (0,6) 39.099 (73,6) 107.729 (81,8) 60.872 (60,4) 30.944 (43,7) 238.644 (66,9) 10.717 (15,1) 10.717 (3,0) 53.108 (100) 131.717 (100) 100.784 (100) 70.885 (100) 356.495 (100) Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 39.

Statistik di atas menunjukkan bahwa ekologi Pulau Madura sebenarnya sangatlah tidak mendukung sebagai tempat bercocok tanam. Respons orang Madura terhadap kekurangan ekologis ini tentu saja sangat penting untuk diketahui. Orang Madura tidak hanya memiliki persedian tanah yang sedikit, kenyataannya mereka sering kali kekurangan tenaga pengolah tanah. Tanah-tnah pertanian yang ditanami telah dicatat selama Belanda melaksanakan kembali distribusi tanah Pamekasan. Laporan tahun 1860 mencatat bahwa di Desa Tokol, misalnya, beberapa lading ditinggalkan, tidak ditanami karena kekurangan tenaga kerja, dan orang-orang desa enggan untuk menerima penghuni-penghuni tetap yang baru. Sebuah alasan telah diberikan pejabat resmi bahwa kekosongan tanah itu karena adanya gerakan penduduk petani ke bagian pojok timur Pulau Jawa,


(42)

meninggalkan tanah-tanah pertanian miliknya untuk bekerja di perkebunan Belanda yang secara ekonomis lebih menguntungkan.3

Secara keseluruhan keadaan fisik Pulau Madura baik yang mencakup masalah tanahnya, iklimnya, morfologinya, tata airnya dan sebagainya kurang

menguntungkan untuk usaha pertanian. Keadaan alam yang kurang

menguntungkan ini mendorong mereka meninggalkan daerahnya untuk

bermigrasi. Karesidenan Madura terletak antara 6o49 dan 7o20 Lintang Selatan dan antara 112o40 dan 116o20 Bujur Timur. Karena letak Madura termasuk dalam jajaran pulau-pulau tropika, maka temperatur di Madura selalu panas.4

B. Pola Pemukiman

Desa dalam artian pengelompokan pekarangan yang merupakan kesatuan geografis menurut imbangannya kurang terdapat di Madura. Desa dalam artian yang demikian hanya terdapat disepanjang pantai, di pusat-pusat persimpangan jalan yang penting, dan di daerah yang dahulu adalah milik raja, bukan merupakan daerah pertanian. Mata pencaharian penduduk desa-desa tersebut, pada pokoknya terdiri dari perdagangan dan perikanan. Sebagian besar penduduk pedesaan hidup terpencar-pencar di pedalaman dalam rumah-rumah petani, yang bergabung dalam kelompok-kelompok yang kecil. Kelompok-kelompok perumahan itu terletak di antara lading-ladang dan persawahan, dan saling dihubungi melalui jalan-jalan kecil yang ruwet. Di Madura bagian timur, perumahan petani yang berkelompok

3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 38.


(43)

menjadi satu disebut tanean lanjang, arti harfiahnya ialah “pekarangan panjang”. Perumahan petani itu didirikan secara berdampingan dengan arah yang sejajajar dengan panjangnya pulau. Tanean Lanjang mungkin sekali merupakan bentuk pemukiman yang tertua di Pulau Madura. Di pekarangan terdapat rumah, dapur, kandang dan sering juga langgar. Pada dasarnya semua rumah dibangun di utara halaman dengan sisi depannya menghadap selatan. Dapur dan kandang berhadapan dengan perumahan dengan sisi depannya menghadap ke utara, filosofi dari hal ini adalah bahwa petani harus bias mengawasi istri dan ternaknya. Langgar menutup pekarangan tersebut di bagian barat. Pada malam hari langgar digunakan sebagai tempat tidur bagi anak laki-laki yang sudah besar. Di sekitar pekarangan terdapat pohon-pohon, semak-semak, belukar dan tanaman-tanaman yang membuat perumahan itu sebagian besar tertutup dari pandangan mata. Pertama-tama tumbuhan di pekarangan itu diperkuat oleh pagar bambu yang dibelah, tanaman tersebut memenuhi aneka ragam kebutuhan seperti sayur-mayur, buah-buahan, bunga, rempah, tali-temali, minyak, kayu untuk bangunan, dan kayu bakar. Sampai pada tingkat tertentu, sejarah dan susunan keluarga yang bermukim ditanean lanjangdapat diketahui dari caranya pekarangan itu dibangun.5

Anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya. Anak lelaki yang sudah menikah pindah ke pekarangan istri atau mertuanya. Rumah pertama yang terletak di baratlaut merupakan rumah asal dan dengan demikian menjadi terpenting dari pekarangan. Rumah ini dihuni oleh para orang tua. Di rumah-rumah berikutnya, tinggal anak perempuan yang telah


(44)

menikah dengan suaminya menurut urutan umur. Yang menentukan urutan sebenarnya adalah hari perkawinan, tetapi jarang sekali seorang anak perempuan yagn lebih muda akan menikah lebih dahulu dari pada saudara perempuan yang lebih tua. Biasanya orang tua sudah mencarikan calon ketika anaknya masih sangat muda. Setelah orang tua itu meninggal dunia, para penghuni semuanya berpindah tempat. Anak perempuan tertua dengan sendirinya menempati rumah kediaman orang tuanya dan anak perempuan yang kedua menempati rumah kediaman saudara perempuannya yang tertua. Menantu laki-laki yang pertama, kini menjadi kepalatanean lanjang.

Suatu perubahan yang mendalam terjadi, bila anak perempuan dari para ibu yang orang tuanya masih hidup itu menikah. Supaya anak perempuan itu bertempat tinggal di samping orang tuanya, ia diberi tempat tinggal di antara anak-anak perempuan dari kepala pekarangan. Bila kakek dan nenek pun telah meninggal dunia, maka pekarangan itu dibagi-bagikan di antara anak-anak perempuan itu dan keluarga mereka, ditempatkan dinding pemisah dan dua atau lebih, sedikit banyak hidup berdampingan secara berdikari. Sebuah pekarangan tidak boleh mengambil banyak tempat. Bila perluasan itu terjadi dengan mengorbankan lahan pertanian yang memang sangat diperlukan, perumahan pun dibangun di sebelah selatan. Dalam hal ini, anak perempuan tinggal di sebelah kiri orang tuanya. Keadaan ini sepintas lalu nampaknya bertentangan dengan prinsip “barat-timur”. Sebetulnya ini adalah penerapan yang konsekuen dari situasi yang terbalik dalam kasus yang luar biasa. Penyimpangan dan variasi-variasinya makin


(45)

meningkat di desa-desa dan di dukuh-dukuh di mana sebagian besar penghuni tidak bekerja di bidang agraria.

Tabel 5

Kepadatan Penduduk Tahun 1867

Ukuran Dalam Kepadatan Dalam

Wilayah Persegi Populasi Persegi

Mil Pal Mil Pal

Pamekasan Sampang Bangkalan Sumenep

9,66 14,48 28,97 68,50

253 351 704 1.096

103.117 68.832 212.774 210.218

10.674 4.753 7.343 3.068

442 196 302 193

Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 84.

Pola pemukiman dalam bentuknya yang paling murni terdapat di daerah-daerah pertanian. Namun, di desa nelayan di sepanjang pantai pola tanean juga masih dipertahankan. Walaupun tanean lanjang itu dihuni oleh satu atau lebih keluarga luas, keluarga-keluarga inti tetap merupakan kesatuan social terpenting. Setiap keluarga mengurus rumah tangganya sendiri dan menguasai sebidang lahan tertentu. Tetapi di antara keluarga-keluarga inti dari sebuah pekarangan itu terdapat kerjasama yang sangat erat. Para penghuni saling membantu dalam hal berbelanja, masak pun kadang dilakukan bersama dan secara teratur saling mengurus anak-anak mereka. Para penghuni dari suatutanean lanjangmerupakan figurasi sosial terpenting di pedesaan sesudah keluarga inti.


(46)

Tabel 6

Kelompok-Kelompok Populasi di Madura

Tahun Pend. Asli Eropa Cina Arab Lain-lain Total

1857 1870 1880 1885 1890 1895 1900 1905 1920 1930 308.985 651.273 804.015 1.367.875 1.496.044 1.626.148 1.751.498 1.487.925 1.731.790 1.953.812 408 495 509 473 462 578 747 612 814 1051 3.776 3.319 Peranakan 5.366 3.932 4.028 4.469 4.127 4.381 3.085 5.029 879 979 1.516 1.425 1.564 1.524 1.774 1.586 36 Bengali 7 “moor” 4.159 Mly 36 budak 4.607 164 147 140 133 (111) 81 6.322 2.719 393.605 662.720 810.135 1.373.948 1.502.679 1.592.514 1.758.511 1.493.289 1.738.926 1.962.611 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 76.

Tabel di atas menjelaskan bagaimana pada tahun 1870 penduduk Madura berkurang dengan pesatnya. Satu-satunya yang dapat menjelaskan masalah penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa, yang tentu saja penyebab emigrasi ini antara lain, geografis Madura yang tidak layak, tekanan penguasa lokal, dan tentu saja pandangan tentang penghidupan di Pulau Jawa yang lebih baik dari pada Pulau Madura.


(47)

Tabel 7

Kepadatan Penduduk Per 100 Ha/ kepala Kabupaten Areal

dalam Ha

1885 1890 1900 1905

Pamekasan Sumenep (+Kangean, Sapudi) Bangkalan Sampang

78.704 114.848

129.555 123.870

273

243

292 427

315 267

340 439

320 289

373 529

353 300

Total 337 360

Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 88.

Wilayah pemukiman tradisional di Madura tidak hanya tanean lanjang

saja, namun ada pula takat lanjang.Takat lanjangadalah sebutan untuk rumah di atas laut, tepatnya di Sumenep, Desa Sepanjang, Kecamatan Sepaken. Untuk menuju kesana dengan perahu dari Pulau Sepaken membutuhkan waktu sekitar satu jam. Jika dilihat dari jauh, rumah-rumah tersebut menyerupai keramba ikan raksasa di tengah laut, namun sebenarnya dari sejumlah “keramba” itu adalah rumah tempat tinggal penduduk setempat. Bentuk bangunan rumah takat lajang tersebut sangat sederhana. Dindinnya terbuat dari anyaman bambu. Sebagian ada juga yang terbuat dari papan. Sementara atap rumah menggunakan anyaman jannur kering. Setiap rumah dibangun berukuran 3x5 meter. Rumah-rumah tersebut dibangun dengan pola berjajar. Jarak lantai rumah dengan laut sekitar 1 meter. Lokasi takat lanjang tepat berada di atas gugusan karang. Mereka menyebut rumah mereka dengan takat lanjang atau karang panjang. Bentuknya


(48)

yang berjajar mengingatkan kita pada rumah saudara mereka yang ada di daratan, yang disebuttanean lanjang.6

Sama seperti tanean lanjang, semua penghuni rumah apung tersebut memiliki hubungan kekerabatan. Kehidupan mereka yang mengelompok dan hanya terdiri dari beberapa keluarga itu membuat mereka rukun satu sama lain. Mereka juga sangat ramah dan hangat, pada tamu yang berkunjung kesana. Ketika ada tamu yang dating, semua warga di tempat itu segera berkumpul di satu tempat untuk menemui tamu. Satu-satunya alat transportasi disana adalah perahu, yang dimiliki setiap keluarga. Untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok mereka mencari di pulau terdekat. Untuk mendapatkan air minum, warga menuju Pulau Sasel’el. Sementara untuk kebutuhan lain, mereka mennuju pulau lainnya. Warga disana semuanya bekerja sebagai nelayan. Di tempat ini tentu saja sangat mudah mendapatkan ikan segar. Karena tinggal di antara sejumlah pulau, warga di sini memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi. Mereka rata-rata menguasai tiga bahasa, yakni bahasa Madura, Bajo, Indonesia. Ketiga bahasa tersebut digunakan sesuai dengan lawan bicara. Baha Bajo digunakan saat berhadapan dengan warga pulau sekitar yang juga menggunakan bahasa Bajo. Begitu pula dengan bahasa Madura, digunakan saat mereka berhadapan dengan orang yang berbahasa Madura.

6 Samsul Ma’arif, The History Of Madura, (Yogyakarta: Araska, 2015),


(49)

C. Mata Pencaharian

Tanah dan hewan ternak merupakan sesuatu yang sangat spesial di Pulau Madura. Walaupun kebanyakan tanah di Pulau Madura, tandus dan berkapur. Namun tidak sedikit dari masyarakat Madura yang bermata pencaharian sepenuhnya bergantung pada tanah. Pertanian dan peternakan merupakan mata pencaharian utama. Antara 70% dan 80% dari penduduk Madura, bagi kehidupan sehari-hari seluruhnya atau sebagian besar tergantung pada kegiatan-kegiatan agraris. Di daerah-daerah pantai dan di sekitar kepulauan, perikanan mempunyai arti penting disamping pertanian.

Perdagangan, kerajinan, pembuatan garam dan pelayaran merupakan sumber pendapatan penting lainnya. Lagi pula mata pencaharian dari sebagian besar penduduk masih bertumpu kepada pekerjaan yang mereka lakukan di seberang laut. Pada tahun 1879 ketika topografi pulau itu untuk pertama kali dibuat, ternyata kira-kira 70% dari luas lahan telah dibudidayakan. Pada akhir tahun-tahun dua puluhan, pertanian tersebut telah meningkat menjadi hampir sekitar 80%. Sejak saat itu luas lahan pertanian tidak berubah. Luas lahan pertanian dewasa ini ialah 433.000 ha, dan 52.000 ha terdiri dari pekarangan dan kebun.


(50)

Tabel 8

Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912

Wilayah Jumlah

Desa

Pemilikan Individu

Campuran Komunal Perdikan Bukan

Tanah Pertanian Pamekasan Sumenep Bangkalan Sampang 195 330 413 227 1.165 183 314 381 224 1.102 -6 13 10 3 32 6 3 22 -31 Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 357.

Tabel 9

Jumlah Ternak di Madura

Tahun Sapi Kerbau Kuda Total Rata-rata

per 1.000 1885 1890 1900 1906 1922 1930 415.360 473.000 567.922 581.413 603.895 657.818 30.797 27.900 28.738 21.637 17.065 22.299 26.200 29.622 12.000 499.668 527.100 616.282 686.883 342 361 356 1,5 Per rumah Tangga 358 N.A. Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 369.

Sepertiga dari lahan sawah ini diairi secara teknis dengan air sungai, mata air atau dari waduk-waduk cadangan yang dahulu dibuat di bawah pemerintahan kolonial. Sawah seluruhnya tergantung pada curah hujan. Dua pertiga dari areal sawah tersebut terletak di bagian barat Pulau Madura. Di Pulau Madura hanya pertanian rakyat saja yang ada. Pada waktu tanah-tanah partikelir di Jawa mengalami zaman makmur, Pulau Madura hanya memiliki dua buah perusahaan perkebunan, yaitu sebuah perkebunan gula dan sebuah perkebunan tembakau. Tetapi tidak lama kemudian kedua perkebunan tersebut tutup. Karena


(51)

pertumbuhan penduduk yang pesat, lambat laun tekanan yang berlangsung terus menerus terhadap lahan menjadi semakin berat.

Pulau Madura juga memiliki sejumlah perusahaan kecil, seperti pembakaran kapur, pabrik batu bata, dan genteng, pabrik tenun, pabrik es batu, perusahaan pemintalan tali, dan galangan kapal yang kecil. Selain pabrik garam, tidak ada perusahaan besar. Madura merupakan salah satu dari daerah-daerah yang paling miskin di kepulauan Indonesia per kepala. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain sehubungan dengan permasalahan ekonominya, seperti Gunung Kidul yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta, Madura kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan propinsi. Kehidupan yang pelik seperti ini tentunya memancing niat dari orang-orang Madura untuk pindah atau bermigrasi ke wilayah lain terutama Jawa Timur.

Orang-orang Madura dipaksa oleh keadaan untuk memilih jenis bibit padi yang mempunyai masa pertumbuhan singkat, hanya sedikit yang memilih bibit dengan masa tumbuh lama. Di Pameksan tidak ada padi berumur 5 sampai 6 bulan ditanam; padi tengah dengan masa tumbuh 4 sampai 5 bulan dipilih untuk ditanam di sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Di Sumenep, padi dalem juga ditanam, namun sebagian besar menanam padi genjah dengan masa pertumbuhan pendek, yakni 3 sampai 4 bulan. Di Bangkalan, padi dalem juga ditanam, tetapi yang paling disukai adalah padi tengah. Di Sampang, padi dalem ditanam dalam skala yang sangat kecil di sawah tadah hujan, namun petani lebih banyak menanam di sawah irigasi dibandingkan dengan padi tengah. Rupanya, keterbatasan air menentukan jenis padi yang akan ditanam.


(52)

Tabel 10

Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul)

Tahun Madura Jawa-Madura

1896 1900 1906 1911

14,26 14,84 15 15

24,17 24,99 25,26 27 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 49.

Tabel 11

Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul)

Tahun Madura Jawa-Madura

1916 1921 1926 1929

11,20 10,91 14,34 11,17

23,59 19,08 23,88 22,65

Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 49.

1 bau = 0,7096 hektar; 1 pikul = 137 lb

Buruknya kondisi tanah dan kurangnya air mengakibatkan hasil yang rendah. Dibandingkan dengan Jawa, produktivitas tanah di Madura lebih rendah, kurang lebih separuh dari jumlah padi per unit tanah. Tabel 10 dan 11 memperlihatkan hasil panen dan hasil ladang yang ditanami rata-rata per bau di Madura dan Jawa-Madura. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, resiko penanaman padi di Madura jelas lebih besar dibanding dengan di Jawa. Walaupun mereka mengalami kesulitan, orang Madura lebih intensif dalam pengolahan tanah disbanding rata-rata orang Jawa. Pada tahun 1930 proporsi hasil panen dari seluruh tanah yang ditanami di bagian barat Madura adalah 143 persen dan Madura timur 119 persen; dibandingkan dengan gambaran untuk Jawa-Madura


(53)

adalah 102 persen (Bojonegoro 151,6 persen yang tertinggi dan Priangan Timur 61,3 persen yang terindah). Intensitas penanaman mereka yang lebih tinggi tidak menjadikan orang Madura makmur. Beras langka dan harganya menjadi tinggi. Bagi orang Madura, pemanfaatan bahan makanan pokok tergantung pada tanaman-tanaman lain juga. Jagung paling popular, kemudian singkong. Ubi jalar sekali waktu dianggap sebagai pengganti. Pada tahun 1880, orang Madura mempunyai andil yang cukup besar dalam produksi jagung untuk Jawa-Madura, yaitu lebih dari 50 persen. Jumlah areal yang ditanami jagung di Jawa-Madura pada tahun itu seluas 637.677 bau, di Madura sendiri 324.252 bau.

Andil orang Madura ini terus-menerus dan turun-temurun. Tahun 1895 tanah yang ditanami jagung di Jawa-Madura 1.090.497 bau, dan di Madura 321.920 bau. Adapun distribusi tiga tanaman pokok subsisten, yakni padi, jagung, dan singkong, seperti terlihat dalam tabel 11. Ubi jalar ditanam dalam jumlah yang agak besar: 23.467 bau pada tahun 1916, 35.981 bau pada tahun 1926, dan 32.260 hektar pada tahun 1935. Sedangkan kentang hanya ditanam dalam jumlah yang kecil: 1 bau pada tahun 1926, 58 hektar pada tahun 1935. Umbi-umbian yang lain ditanam pada areal seluas 19.492 hektar. Kacang ditanam dalam jumlah yang cukup berarti, namun tidak demkian dengan keledai. Persentase tanaman selain padi yang ditanam pada tahun 1927: jagung 61,7 persen, singkong 16,6 persen, ubi jalar 3,6 persen, kacang-kacangan 5,4 persen, dan tanaman lain 5,3 persen.7


(54)

Tabel 12

Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten (dalam kg)

Tahun dan Wilayah

Padi Jagung Singkong

1916 Madura Jawa-Madura 84.065 4.273.332 342.852 2.229.833 35.734 639.171 1921 Madura Jawa-Madura 93.876 4.118.499 391.314 2.104.287 154.194 1.107.326 1926 Madura Jawa-Madura 112.665 4.784.342 463.251 2.764.073 78.551 957.970 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 51.

Di antara tanaman keras, siwalan menduduki tempat yang penting di dalam perekonomian orang Madura. Siwalan tumbuh di dataran tinggi bagian timur perbatasan Sapulu-Pameasan, yang paling banyak di Sumenep. Siwalan dapat tumbuh dengan baik di tanah-tanah tandus. Seluruh bagian dari pohon Siwalan dapat dimanfaatkan: daunnya untuk membuat tikar, keranjang, timba, dan mainan; sari buahnya untuk bahan dasar minuman keras, arak, dan cuka; rebusan sari buahnya untuk membuat gula; pohonnya untuk bahan-bahan bagunan; dan buahnya dapat dimakan. Tanaman lain yang memberikan keuntungan bagi orang Madura dalam perdagangan di antaranya asam jawa, kapuk, dan pohon buah-buahan (khususnya mangga). Di Pulau Madura kelapa tumbuh dimana-mana dan buahnya dimanfaatkan untuk minyak. Satu lagi tanaman tradisional adalah Indigo digunakan sebagai pewarna tekstil. Indigo hanya tumbuh dalam jumlah yang kecil di wilayah Bangkalan.


(55)

Tanaman-tanaman komersial seperti tebu, tembakau, dan kopi juga tumbuh di Madura. Mulai tahun 1835 perkebunan tebu di Pamekasan dikuasai oleh raja-raja pribumi. Semula hanya terbatas di desa-desa, dan tak lebih dari 400 bau. Setelah penguasa pribumi dihentikan pada tahun 1858, pemerintah kolonial melanjutkan kontrak dan pengawasan perkebunan tebu tersebut. Pada tahun 1860 jumlah areal yang ditanami tebu 300 bau dan menghasilkan 10.000 pikul tebu. Tanaman itu ternyata menguntungkan pemerintah regional Madura, yang kemudian merencanakan perluasan penanaman ke seluruh bagian pulau, dengan masing-masing ditanami 400 sampai 500 bau. Namun sesungguhnya Madura tidak cocok untuk perkebunan tebu. Hasil per bau pada tahun 1867 adalah 32,02 pikul pada tahun 1871. Madura termasuk penghasil tebu terjelek. Keuntungan terus mengalir untuk pengusaha perkebunan, tetapi kenyataan perkebunan itu telah merusak produksi tanaman pangan lain serta menimbulkan beberapa persoalan yang serius.

Namun meskipun begitu bukan berarti Pulau Madura tidak memiliki komiditi unggulan di bidang pertaniannya. Tembakau bukanlah tanaman baru, ada dua pendapat tentang asal-usul tanaman tembakau di Madura. Pendapat pertama mengatakan bahwa tanaman tembakau diperkenalkan di Madura oleh bangsa Portugis pada akhir abad 16. Pendapat kedua mengatakan bahwa pada waktu kedatangan Belanda di Madura sekitar abad 16, tanaman tembakau telah banyak dibudidayakan rakyat. Tanaman tembakau telah ada sebelum kedatangan Portugis ke Indonesia. Bahkan timbul dugaan bahwa tembakau merupakan tanaman asli Madura. Hal ini berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat


(56)

Madura, bahwa tanaman tembakau diperkenalkan pertama kali oleh penyebar Islam dari Kudus bernama Pangeran Katandur sekitar abad ke-12. Tanaman tembakau Madura ini tersebar mulai dari dataran tinggi di sebelah utara Pulau Madura, mulai Pakong, Kabupaten Pamekasan, sampai Batu Putih, Kabupaten Sumenep. Awalnya sebagian besar petani menanam tembakau untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hanya sedikit yang diperjualbelikan di pasar. Pemerintah Belanda mengenalkan tembakau jenis Virginia. Namun gagal karena lahan dan sistem pengairan yang buruk serta kondisi sosial budaya pada saat itu yang tidak mendukung untuk penanaman tembakau secara besar-besaran. Baru pada era kepemimpinan Raffles kesuksesan budidaya tembakau Madura mulai dapat dirasakan. Bahkan hasil dari petanian tembakau nomor dua setelah padi.

Tabel 13

Penanaman Tembakau (dalam bau)

Tahun Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan

1917 1918 1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 2,112 2,148 2,782 2,711 3,679 4,657 3,485 4,066 3,851 4,089 4,492 1,643 1,618 1,221 1,094 1,946 2,845 2,229 3,589 3,788 2,726 3,189 289 712 163 191 235 433 396 402 384 323 280 -12 12 14 22 10 130 50 27 90 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 58.

Tanaman tembakau memberikan harapan bagi ekonomi pertanian orang Madura. Walaupun terdapat keluhan-keluhan dari pemerintah setempat mengenai kurangnya keberanian petani untuk berusaha, pertumbuhan temabaku sebagai tanaman komersial terus meningkat. Perkembangan itu sangat menarik,


(57)

kemungkinan karena adanya kemampuan adaptasi dari tanaman tembakau terhadap variasi tanah dan kondisi air. Di musim penghujan dan musim kemarau, tembakau akan tumbuh di sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegal. Pada tahun 1875 di Pamekasan telah dipanen tembakau dari tanah seluas 137 bau dan pada tahun 1880, 279 bau. Di Sumenep, pada tahun 1884 luas areal tembakau yang dipanen adalah 3.671 bau; tahun 1895, 2.629 bau; tahun 1900, 3.652 bau; tahun 1905, 8.865 bau; tahun 1910, 6.410 bau; dan tahun 1915, 8.506 bau.

Cepatnya popularitas itu menguntungkan pasaran tembakau Madura. Sebelum Perang Dunia I, produksi tembakau terbatas untuk pasar local, tetapi setelah Perang Dunia I tembakau Madura banyak dibutuhkan di pasaran Eropa. Akan tetapi, tembakau Madura kemudian mengecewakan pasaran Eropa; sebab yang mendasar adalah karena tiap-tiap produsen tidak sama dalam menjaga mutu. Pada tahun 1919 hanya satu perusahaan di Surabaya yang mengadakan transaksi ekspor tembakau Madura. Meskipun tembakau telah hancur reputasinya di pasaran luar negeri, tetapi di pasaran local tembakau Madura tidak merosot. Penanaman tembakau semakin meluas pada dasawarsa setelah tahun 1917. Tabel 12 memperlihatkan penanaman tembakau di masing-masing kabupaten. Pusat penanamannya ada di Pegantenan dan waru di Pamekasan, barat laut dan timur laut di Sumenep, dan Kedundung di Sampang. Pusat-pusat pengiriman di Waru, Ambunten dan Bunder.

Selain dibidang pertanian Pulau Madura juga memiliki komoditi unggulan lain, dalam hal ini ialah produksi garamnya. Produksi garam terpusat di Pantai Selatan dari pulau utama, dan jumlah pekerjanya lebih kecil dibanding pekerja


(58)

pertanian. Sebuah laporan 1885 mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun dalam kenyataannya hal itu berarti hanya pemilik-pemilik ladang garam. Pada tahun 1894, jumlah yang terlibat seluruhnya dalam produksi garam diperkirakan 24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, 10.000 orang di Pamekasan dan 10.600 di Sumenep. Pembuat-pembuat garam yang betul-betul bekerja di ladang jumlahnya 3.269 dengan perincian 815 di Sampang, 1.072 di Pamekasan, dan 1.382 di Sumenep. Taksiran yang komperhensif untuk partisipan-partisipan8 produksi garam tidak hanya para pemilik, pembuat, dan pekerja saja, tetapi juga yang terlibat dalam transportasi. Pada tahun 1894 terdapat 222 perahu yang terlibat dalam transportasi garam dengan perincian, 94 di Sampang, 38 di Pamekasan, dan 90 di Sumenep, seluruh pekerja transportasi itu jumlahnya 1.110 orang. Dalam rangka proses pengiriman garam, pada umumnya digunakanlah perahu, nama-nama perahu yang ada seperti perahu Jukung, Lis-alis, Paduwang, Leti-leti, Galekan, dan Janggolan. Perahu Lis-alis terutama Janggolan, biasa untuk mengangkut garam dari Madura ke tempat tujuan ke Jawa. Perahu Janggolan amat efektif untuk pengangkutan garam karena mempunyai daya muat dalam jumlah yang besar. Jenis perahu ini merupakan perahu raksasa yang mempunyai berat 100 hingga 200 ton.

Tujuan pengangkutan garam dengan meggunakan perahu semacam itu adalah ke gudang-gudang yang telah ditentukan. Sebagai konsekuensi adanya monopoli, maka mengenai pendistribusiannya pemerintah tekah menentukan tempat atau gudang dari setiap propinsi di ketiga propinsi di Jawa dan ditempat

8


(59)

lainnya. Kemudian dari gudang-gudang itu diangkat ke tempat-tempat penjualan yang resmi. Produksi garam tidak hanya banyak menguntungkan pendapatan keuangan pemerintah kolonial, tetapi juga menguntungkan penduduk Madura. Secara ekologis di katakan bahwa produksi garam adalah salah satu alternatif dari pertanian. Ketika keadaan cuaca tidak menguntungkan untuk pertanian, justru untuk produksi garam menguntungkan, begitu sebaliknya. Dengan keadaan alam di Madura yang demikian itu, migrasi kerja ke ujung timur Jawa diatur oleh keadaan cuaca.

Dalam musim kemarau, petani-petani pergi ke Jawa untuk bekerja dan kembali lagi pada musim hujan, sedangkan produsen-produsen garam di Pantai Selatan pada musim hujan giliran pergi ke Jawa dan kembali lagi ke Madura pada

musim kemarau. Namun, tidak adanya pembatasan prosuksi garam

mengakibatkan stok garam di gudang-gudang berlebih. Hal itu terjadi misalnya pada tahun-tahun setelah krisis garam tahun 1859 ketika pemerintah pada tahun 1861 mencoba menstimulasi produksi dengan menaikkan harga beli dari f3,50 per koyang (1.825 kg) menjadi f10. Akibat kelebihan produksi, pemerintah terpaksa memberhentikan produksi garam sampai 24.000 koyang per tahun.9 Pada tahun 1876 Sampang dibuka kembali dengan produksi per tahun 7.250 koyang, jadi pada tahun-tahun itu produksi garam di Madura hanya kira-kira 30.000 koyang. Pemerintah menangguhkan pembukaan kembali Pamekasan karena kesulitan transportasi. Malahan, mereka membuka ladang-ladang garam milik pemerintah

9


(60)

di Gersik Putih, Sumenep, pada tahun 1876. Seribu rancangan dibuat, tetapi karena kurangnya kerja sama dengan peduduk rencana itu baru dilaksankan pada

Tabel 14

Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih (per koyang 27-28 pikul)

Tahun Hasil Produksi (koyang)

1870 1871 1873 1877 1879 1883 1890 1891 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1913 1915 1916 1917 1918 888 18.256 38.168 66.901 154 84.563 20.796 68.000 38.281 52.200 63.477 49.615 50.789 63.469 34.726 81.359 53.721 7.604 12.927 132.000 95.000 26.000 29.000 128.000

Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 405.

tahun 1881. Menurut catatan, pada tahun-tahun itu ladang-ladang garam di Pamekasan dibuka kembali dengan rata-rata produksi 10.000 koyang pertahun. Pada tahun 1882, dengan demikian, jumlah seluruh produksi adalah 42.250 koyang dan pada tahun 1892 meningkat menjadi 48.000 koyang.


(61)

Tabel 15

Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920 Jumlah Pemilik

Plot Sumenep Pamekasan Sampang Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 14 16 18 23 28 29 34 44 Tak terbatas gabungan milik keluarga Tidak digunakan 664 (39%) 138 17 27 10 6 4 1 6 3 -4 -1 1 1 1 -198 (11,72%) 30 819 (52,6%) 64 29 8 4 2 1 1 1 1 1 1 -1 359 (23%) -815 (68,8%) 58 13 5 3 1 -2 -1 -1 -386 (20%) -2.336 (50,48%) 260 59 40 17 9 5 4 7 5 1 5 1 1 1 1 1 1 841 (13,23%) 30

Total 1.719* 1.557 1.377 4.653 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 414.

*termasuk 41 plot baru yang digunakan pertama kali tahun 1919. Plot adalah sebuah istilah yang dibuat oleh pihak kolonial, untuk menandai lahan satu dengan lahan lainnya.

Pemerintah sendiri menyatakan tidak lagi membuka ladang-ladang garam baru sampai tahun 1910. Landasan dasar monopoli garam adalah untuk melindungi produksi. Belanda telah lama menganggap monopoli garam sebagai bagian dari pelayanan kerja, mirip dengan jasa penanaman (kultuurdiensten) yang


(62)

diterapkan di Jawa. Kemudian ketika pelayanan kerja dan jasa penanaman secara resmi dihapuskan, monopoli dianggap sebagai bagian dari sistem pajak, yang setiap warga Negara wajib melakukannya demi kepentingan-kepentingan umum. Di samping rendahnya harga beli garam yang ditetapkan, kebijakan pemerintah seringkali merugikan produksi garam penduduk di tempat lain. Produsen-produsen garam di Pantai Selatan, yang semata-mata hidupnya terganung dari garam, praktis kehilangan mata pencaharian mereka ketika pemerintah menghentikan produksi garam pada akhir tahun 1860-an. Jumlah pemilik tanah yang terdaftar, yang tidak mengerjakan tanah mereka lebih banyak daripada yang mengerjakannya. Sebagai akibat dari berbagai jenis transaksi, banyak tanah yang

Tabel 16

Produksi Garam Tahun 1917 Jumlah plot per pemilik

Wilayah 1 2-5 6-10 11-15 16-20 20-lebih Jml Plot Sumenep Pamekasan Sampang 914 1.204 1.218 167 51 47 23 6 3 3 -1 1 1 3 2 -35 289 202 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 415.

dikerjakan oleh orang lain. Transaksi-transaksi itu mirip sekali dengan transaksi yang terjadi di tanah pertanian. Pada waktu itu, banyak orang tidak bekerja, banyak orang meninggalkan pulau untuk menuju ke wilayah Jawa Timur dan sekitarnya untuk mencari upah, dan beberapa lainnya terpaksa melakukan tindak kejahatan. Sering kali musim yang tampak baik itu berbalik menjadi buruk.


(63)

Tabel 17

Pemakaian Konsumsi Garam Tahun 1905

Daerah Pemakai Garam Pemakaian Garam per kepala per tahun

(kg) Madura

Pasuruan Surabaya Madiun Kedu

2,26 2,52 2,34 3,28 3,08

Sumber: Kolonial Studien 1916-1917 (1917), hlm. 134.

Bila kita melihat dari data tabel di atas, Madura yang notabene penghasil dan pengekspor garam itu sendiri. Memilik konsumsi yang sangat kecil terhadap garam, jika dibandingkan dengan daerah lain di pulau Jawa.


(64)

BAB III PROSES MIGRASI

A. Migrasi Orang Madura

Migrasi ialah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perpindahan itu bersifat sukarela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Jadi, pindah tempat dari satu apartemen ke apartemen lain hanya dengan melintasi lantai antara kedua ruangan itu dipandang sebagai migrasi, sama seperti perpindahan dari Bombay di India ke Cedar Rapids di Iowa, meskipun tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat perpindahan itu sangat berbeda. Akan tetapi, tidak semua macam perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dapat digolongkan ke dalam definisi ini. Yang tidak dapat digolongkan misalnya, pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman yang tidak lama berdiam di suatu tempat atau perpindahan sementara, seperti pergi ke daerah pegunungan untuk berlibur selama musim panas. Intinya, migrasi adalah gerak penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan.

Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah atau sulitnya, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan, dan bermacam-macam


(65)

rintangan yang menghambat.1 Nelson menggolongkan faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan itu atas 3 faktor, yaitu:

1. Push factor(faktor yang mendorong) yang ada pada daerah asal; 2. Pull factor(faktor yang menarik) yang ada pada daerah tujuan; 3. Other factor(faktor-faktor lainnya).

ad. 1. Kedalam faktor yang mendorong manusia untuk pindah tempat kediaman ini ialah:

a. Adanya pertambahan alami dari jumlah manusia yang mengakibatkan adanya tekanan penduduk;

b. Adanya kekeringan sumber alam (telah habis);

c. Fluktuasi iklim, hal ini sangat terasa bagi manusia yang telah lanjut usianya;

d. Social maladjustment, ketidaksesuaian diri dengan tempat semula.

ad. 2. Kedalam faktor yang menarik orang untuk pindah ketempat bersangkuta ialah:

a. Munculnya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru; b. Adanya pendapatan-pendapatan baru;

c. Iklim yang sangat baik.

ad. 3. Faktor-faktor lain. Kedalam faktor ini sesungguhnya dapat dimasukkan dalam sub (1) atau sub (2).

a. Adanya perubahan-perubahan tehnologi, misalnya adanya mekanisasi pertanian bisa menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk

1 Everett S. Lee, Teori Migrasi, (Yogyakarta: Pusat Penelitian


(66)

pertanian. Hal ini memaksa buruh-buruh tani pindah ketempat atau pekerjaan lain;

b. Adanya perubahan pasar; c. Faktor agama dan politik;

d. Faktor pribadi (personal factor), yang buat segolongan orang perpindahan ini merupakan suatusocial habit.2

Hubungan antara suku bangsa Madura dengan daerah sekitarnya terutama dengan Jawa Timur yang secara geografis letaknya lebih dekat dengan Madura. Dari data sejarah dapat diketahui bahwa hubungan antar suku bangsa Madura dengan Jawa Timur meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Proses perpindahan penduduk (migrasi) suku bangsa Madura ke Jawa Timur berlangsung sejak masa lampau. Bahkan pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan-karesidenan Jawa, seperti: 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan.3 Dalam proses migrasinya orang-orang Madura ke Jawa Timur, dibagi menjadi tiga periode waktu. Periode pertama bisa ditelusuri setelah terjadinya peperangan antara Mataram dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sekitar permulaan abad ke kedelapan belas. Peperangan ini berlangsung lama sekali sehingga benar-benar membutuhkan dana besar serta amat melelahkan. Akibatnya, VOC tidak lagi bias memberikan banyak perhatian kepada anak-anak

2 Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: Bharatara, 1965), hlm. 24.

3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 75.


(67)

Surapati yang menjadi bupati di Lumajang dan Malang. Bahkan setelah VOC

menerima laporan bahwa British East Indian Company4 melakukan perdagangan candu di kedua sisi Selat Bali, mereka memutuskan untuk mengambil sesuatu tindakan. Kegiatan perdagangan Inggris di kedua sisi Selat Bali oleh VOC

dipandang merusak monopoli perdagangannya sebagaimana tercantum dalam perjanjian dengan Mataram. Pada tahun 1757 VOC melancarkan serangan ke ujung timur pulau Jawa untuk membersihkan daerah perdagangan Inggris. Daerah Blambangan diduduki, kemudian serangan dilanjutkan ke Lumajang dan Malang. Setelah kedua daerah ini diduduki oleh VOC serta dengan perginya orang-orang Bali dan Inggris, maka didatangkanlah orang-orang Madura untuk mencegah kembalinya orang-orang Bali.

Gelombang migrasi orang-orang Madura berikutnya terjadi pada bagian kedua abad kesembilan belas. Pada tahun 1870 pemerintah Hindia Beanda mengeluarkan undang-undang Agraria sebagai akibat politik liberal pemerintah di negeri Belanda. Dengan adanya undang-undang ini, yang memberi lebih banyak kesempatan kepada pihak swasta dalam bidang ekonomi, di bagian pojok timur pulau Jawa mulai banyak dibuka perkebunan. Perkebunan-perkebunan ini, terutama tembakau dan tebu, sangat banyak membutuhkan tenaga kerja manusia. Kebanyakan tenaga kerja murah didatangkan dari pulau Madura, baik sebagai tenaga kerja tetap maupun musiman. Setiap tahun ribuan orang Madura berdatangan ke Jawa Timur. Di samping sebagai pekerja perkebunan banyak di antara mereka yang bekerja sebagai petani kecil. Gelombang migrasi ini terus

4 Sebuah Kongsi Dagang milik Inggris yang beroprasi di Hindia bagian


(68)

berlangsung sampai terjadi krisis ekonomi internasional pada tahun 1929. Sebagai akibat merosotnya pasaran hasil perkebunan di dunia internasional banyak tenaga kerja musiman yang tidak diperlukan lagi. Akibatnya banyak dari mereka yang menetap di sekitar perkebunan dan bekerja apa saja. Periode ketiga perpindahan orang-orang Madura ke daerah Lumajang yang biasa diamati mulai terjadi sesudah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada saat itu, berbeda dengan situsai Perang Dunia II, kebanyakan kaum migran di Indonesia mencari dan memperoleh pekerjaan di sektor informal. Produktifitas perkebunan tidak lagi mencapai tingkatan yang sama dengan masa-masa sebelumnya sehingga permintaan akan tenaga kerja manusia tidak meningkat, bahkan mulai stabil. Di kota-kota besar, sebaliknya, dimana penduduk meningkat secara drastis, kesempatan kerja semakin banyak khususnya yang berkaitan dengan sector informal. Meskipun kebanyakan kaum migran berdiam di kota-kota besar, seperti Surabaya, sebagian lainnya berdiam pula di kota kecil seperti Lumajang. Dibandingkan dengan migrasi yang terjadi sebelumnya, kedatangan kaum migran asal Madura pada waktu itu lebih kecil. Dari ketiga periode waktu ini, periode kedualah yang menjadi kajian dalam tulisan ini.

Keadaan fisik Pulau Madura sangat tidak menguntungkan untuk usaha pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur serta iklim yang buruk. Faktor ini semakin menegaskan masyarakat Madura untuk pindah dari pulau itu, demi kehidupan yang lebih baik. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura denga kota-kota di pantai Utara Jawa Timur telah ada sejak jaman dahulu. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan


(69)

Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa Timur di antaranya Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki. Melalui kontak dengan pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadi perdagangan beras yang sangat dibutuhkan oleh daratan Madura. Dengan majunya perdagangan ini banyak sekali orang Madura yang masuk ke Jawa Timur melalui pelabuhan Pasuruan. Sebenarnya sebagian besar penduduk Madura bermata pencaharian sebagai petani. Karena keadaan alamnya yang kurang menguntungkan untuk usaha pertanian ini menyebabkan banyakan di antara orang Madura ini berpindah mata pencaharian, misalnya berdagang, mencari ikan dan sebagainya. Yang mendorong mereka untuk keluar dari daerahnya hingga akhirnya sampai ke Jawa. Dari perantau-perantau ini banyak yang menetap di daerah yang baru dan berintegrasi dengan penduduk setempat. Sebagai catatan, sebab utama “dorongan” untuk migrasi tentu saja disebabkan oleh tanah pertanian yang kurang menguntungkan dan susahnya pasokan makanan di Madura.

Dibandingkan dengan tanah pertanian, kepadatan penduduk Madura termasuk tinggi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pada awal abad XIX kepadatan penduduk Jawa dan Madura hampir sama, tetapi kemudian Madura tertinggal oleh Jawa, sampai abad itu berakhir. Kualitas tanah pertanian tidak menjanjikan rasio5 populasi tinggi. Tabel 17 menunjukkan kepadatan penduduk dari tahun 1815 sampai tahun 1863. Faktor migrasi lain seperti perlakuan atau peraturan dari penguasa-penguasa setempat juga patut di perhitungkan.

5 Hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip; perbandingan


(70)

Tabel 18

Perbandingan Kepadatan Penduduk

Wilayah Areal Geografis dalam mil persegi

1815 1814 1860 1863

Madura Jawa 115,6 2.329,0 1.891 1.892 2.558 3.977 4.401 5.242 4.434 5.638 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,

(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 83.

Dalam hal ini banyak terjadi apabila penguasa setempat membuat suatu peraturan tetapi mereka tidak/kurang bisa menerima, misalnya menghindari diri dari kewajiban masuk tentara, baik untuk keperluan Belanda ataupun birokrasi Madura sendiri. Selain itu mereka menghindarkan diri dari penindasan, pemerasan, tekanan serta perlakuan tidak adil dari penguasa setempat. Kepadatan penduduk di pulau Madura juga menjadi faktor pendorong terjadinya migrasi. Wilayah yang terlampau padat serta lowongan pekerjaan yang minim dan bayaran yang tidak seberapa menjadi penyebabnya.

Tabel 19

Kepadatan Penduduk Tahun 1867

Wilayah Ukuran Dalam

persegi Populasi

Kepadatan Dalam

persegi

Mil Pal Mil Pal

Pamekasan Sampang Bangkalan Sumenep 9,66 14,48 28,97 68,50 253 351 704 1.096 103.117 68.832 212.774 210.218 10.674 4.753 7.343 3.068 442 196 302 193 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,


(71)

Dari sebab-sebab kesemuanya tersebut di atas, banyak penduduk Madura meninggalkan daerahnya untuk berpindah ke daerah lain, seperti Jawa, khususnya Jawa Timur. Sifat dari perpindahan penduduk ini sendiri bermacam-macam, ada yang sifatnya sementara, ada yang menetap dengan tidak kembali lagi ketempat asalnya. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri. Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura dan kira-kira sepertiga dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura. Sama seperti di Madura penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup dari usaha pertanian dan perikanan.

Sampai pada awal abad ini adalah lebih mudah menyebrang ke Jawa dari pada melakukan perjalanan keliling di pulau. Hubungan melalui laut telah berkembang lebih baik dari pada hubungan di darat. Perahu-perahu niaga berlayar dari tempat-tempat di pantai ke berbagai tujuan di seberang laut. Armada niaga di pualu itu berjumlah beberapa ribu perahu layar. Perahu-perahu angkutan muatan Madura memiliki saham penting dalam lalu lintas pelayaran antarpulau. Para pelaut Madura, seperti halnya dengan seni navigasi dan keberanian mereka. Kapal-kapal yang lebih besar, termasuk sekunar-sekunar Bugis dengan daya muat lebih dari seratus ton dan 15 sampai 20 awak kapal, terutama ikut serta dalam lalu lintas pelayaran yang tak teratur. Perahu-perahu layar ini mengangkut orang maupun barang. Biasanya muatan itu adalah milik para pedagang yang ikut berlayar sebagai penumpang. Terutama pengangkutan orang antara Madura dan


(1)

Peta 3: Peta Administratif Jawa Timur


(2)

Lampiran 4: Fisiografis Jawa Timur.

Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya Daerah Jawa Timur, Jakarta: 1983.


(3)

Lampiran 5: Iklim Jawa Timur.

Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya Daerah Jawa Timur, Jakarta: 1983.


(4)

Lampiran 6: Peta Kabupaten Situbondo

Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya Daerah Jawa Timur, Jakarta: 1983.


(5)

Lampiran 7: Peta Fisiografis Madura

Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Geografi Budaya Daerah Jawa Timur, Jakarta: 1983.


(6)

Lampiran 8: Peta Persebaran Suku Bangsa Dan Bahasa Di Jawa Timur

Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Geografi Budaya Daerah Jawa Timur, Jakarta: 1983.