Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah kolonial antara 1870-1900 merupakan masa liberal. Pada masa ini pemerintah kolonial melepaskan peranan ekonomi dan menyerahkan eksploitasinya kepada modal swasta. Pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870 1 adalah dasar bagi pembukaan lahan swasta secara besar-besaran di kawasan strategis Pesisir Timur Sumatera. Hutan-hutan belantara di daerah Sumatera dibuka untuk dijadikan daerah penanaman tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia seperti tembakau, karet, sawit, teh, dan rami. 2 Pada tahun 1869, Jacobus Nienhuys bersama C.G. Clemen mendirikan perusahaan Deli Maatschappij dengan mendapat izin kontrak sewa tanah seluas 25.000 ha. Selama 20 tahun, antara tahun 1870-1890, merupakan tahun-tahun paling produktif bagi perkebunan tembakau di Sumatera Timur. 3 Pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan secara besar-besaran membutuhkan modal, lahan, dan tenaga kerja yang tidak sedikit jumlahnya. Kebutuhan tenaga kerja dapat dipenuhi dengan cara 1 Undang-undang Agraria Tahun 1870 menetapkan peraturan tata-guna tanah. Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria, suatu alat produksi pokok yaitu tanah diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk membuka perusahaan perkebunan. 2 T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie Studi Tentang Globalisai dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur1870-1950, Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2004, hlm. 9. 3 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agrariadi Sumatera Timur, 1863-1947 , Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 52. Universitas Sumatera Utara 2 mendatangkan kuli dari Semenanjung Malaya Penang dan Singapura 4 dan Pulau Jawa. Mereka akan dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan yang berada di perkebunan Sumatera Timur. Banyaknya kuli yang didatangkan menimbulkan banyak masalah karena proses kedatangan mereka dilakukan dengan cara penipuan dan pemaksaan. 5 Para kuli yang didatangkan dari Singapura semuanya adalah laki-laki, sedangkan para kuli Jawa terdiri dari laki-laki dan hanya sedikit perempuan. Hal ini disebabkan adanya larangan kuli membawa istri serta anak-anaknya, dan calon kuli yang sudah menikah biasanya akan ditolak. 6 Pada awal tahun 1900 tenaga kerja di perkebunan Deli berjumlah 55.000 orang dan hanya terdapat 10-20 tenaga kerja wanita. Menjelang tahun 1912 dari 100.000 kuli Cina hampir 93.000 orang adalah laki-laki. Melihat perbandingan yang sangat timpang tersebut, kaum perempuan yang datang merupakan sumber daya langka dan sering kali menjadi titik konflik antara kuli Cina dan Jawa. Tidak jarang juga terjadi serangan-serangan terhadap administrator Eropa yang dilakukan oleh para kuli karena adanya penyalahgunaan kekuasaan administrator terhadap kuli perempuan yang sudah bersuami orang pribumi. 7 4 Kuli yang didatangkan dari Singapura merupakan kuli – kuli yang berasal dari Cina. Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad ke-20, Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 96. 5 Ibid ., hlm. 23. 6 Kuli perempuan yang didatangkan dari Jawa, memang sengaja didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka akan dipekerjakan sebagai pelacur dalam upaya mempertahankan kontrak kuli laki- laki. Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979, Yogyakarta: Karsa, 1995, hlm. 48. 7 Dalam hal ini kuli peremuan yang sudah bersuami, akan dijadikan sebagai istri simpanan oleh administrator. Untuk tipe pelacur yang seperti ini, pekerjaannya merangkap sebagai ART Asisten Universitas Sumatera Utara 3 Seringkali seorang kuli perempuan dipanggil oleh seorang administrator di tengah jam kerjanya untuk kemudian “memisahkan diri” dari kuli lain dan pergi bersamanya. Para kuli perempuan yang rata-rata berusia muda kebanyakan berasal dari Jawa. Mereka tidak secara terang-terangan dipaksa untuk melacurkan diri dan hanya diberi sedikit pilihan selain berbuat demikian. Tugas mereka melayani kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum untuk para kuli laki-laki. Para kuli perempuan selain mendapat diskriminasi upah 8 , juga mendapat pelecehan seksual baik dari kalangan para kuli laki-laki maupun dari Administrator Eropa. 9 Para kuli perempuan yang telah menikah dan dinilai masih cantik dipaksa menjadi gundiknyai 10 administrator bangsa Eropa. Pada masa itu perempuan pribumi dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih. Mereka tidak punya pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya kecuali dengan menjadi pelacur, dan bersedia Tumah Tangga istilah sekarang atau lebih dikenal sebagai pembantu. Pekerjaannya berupa beres-beres rumah seorang administrator dan melayani kebutuhan seksualnya. Kuli perempuan tersebut akan dipisahkan selama 6 tahun dengan suaminya, dan setelahnya diperbolehkan untuk bertemu kembali. Ibid. , hlm. 48-49. Lihat juga Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, Particularly In The Colonies, Amsterdam: Amarpress, tanpa tahun terbit. hlm. 207 8 Upah yang diterima kuli perempuan jauh lebih sedikit dari pada upah yang diterima oleh kuli laki- laki. Upah kuli perempuan hanya sebesar ƒ2.5 sedangkan kuli laki-laki menerima upah sesuai dengan berat yang dikerjakan rata –rata upah yang diterima sebesar ƒ5 perbulan. Upah tersebut belum termasuk potongan yang dilakukan oleh pihak perkebunan. Kuli harus membiayai sendiri alat berladangnya termasuk pergantian alat, papan berita di ruang tidur, sampai buku kecil untuk mencatat upah kuli juga ditanggung sendiri oleh kuli. Dan dapat dirata- ratakan pemotongan sekitar ƒ1.8. Jan Breman, Op. Cit., hlm. 112-113 9 T. Keizerina Devi, op. cit., hlm. 108. 10 Menurut KBBI, gundik merupakan istri tidak resmi; selir; perempuan piaraan istri gelap. Sedangkan Nyai istilah yang diambil dari bahasa sunda yang berarti perempuan piaraan orang asing. Akan tetapi, dalam istilah Jawa, Nyai berarti istri dari Ulama atau Cendikiawan Agama. Dalam hal ini, isitilah yang dipakai merupakan istilah Sunda. Meski kuli yang didatangkan dari Jawa, namun kuli perempuan tersebut banyak didatangkan dari Jawa Barat yang kebanyakan merupakan orang Sunda sehingga istilah Nyai-Nyai terbawa ke Sumatera Timur Deli. Lihat juga Liesbeth Hesselink, Prostitutuin and Gambling in Deli, Amsterdam: Amarpress, 1997, hlm : 97. Universitas Sumatera Utara 4 melayani kuli laki-laki yang berjumlah besar terutama di barak barak kuli Cina 11 . Selain itu kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat kuli laki-laki ke Deli. Mereka dipekerjakan sebagai pelipur lara para kuli laki- laki dan sebagai pengikat kontrak kuli di sana. 12 Kondisi seperti ini sengaja diciptakan agar perempuan tetap tersedia dan dapat memberikan pelayanan seksual. Kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh kuli perempuan menyebabkan tingginya jumlah penderita penyakit sipilis. Seorang manajer di Deli Maatscapij mengeluh bahwa dari 60 orang kuli perempuan dan sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah sakit karena sipilis. 13 Dampak dari eksploitasi terselubung yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan terhadap para kuli, khususnya kuli perempuan adalah menyebarnya penyakit kelamin dan anak-anak yang lahir diluar nikah. Selain itu juga menyebabkan terjadinya pergundikan. Berdasarkan uraian diatas, maka skripsi ini berjudul “Pelacuran 14 Pada Wilayah Perkebunan di Deli Tahun 1870-1930 ”. Setiap orang pasti memiliki hasrat 11 Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Jakarta: Yayasan Obor, 2007, hlm. 47. 12 Disetiap waktu penerimaan gaji, pengusaha – pengusaha perkebunan membuat acara hiburan, perjudian, dan pelacuran. Dalam waktu gajian kecil setiap dua pekan sekali, akan diadakan hiburan dan perjudian yang didalamnya ditawarkan candu dengan harga yang cukup tinggi. Sedangkan dalam dua bulan sekali akan ada acara yang didalamnya terdapat pelacuran. Hal ini bertujuan agar kuli – kuli tetap dalam keadaan berhutang dan tidak dapat melepaskan diri dari kontrak kerjanya. Ibid., hlm. 51. 13 Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 50. 14 Kata pelacuran dipilih sebagai judul, dikarenakan penulis berusaha menjelaskan bahwa ada dua tipe pelacuran yang terjadi yaitu, pelacuran dan pergundikan. Menurut penulis, gundiknyai juga merupakan pelacur. Hal ini berdasarkan dari data yang diperoleh penulis yang menjelaskan bahwa, adanya kesamaan kondisi yang dialami oleh pelacur dan gundik. Dikatakan pelacur karena seorang perempuan tersebut menjual diri kepada seorang laki-laki yang ingin memenuhi kebutuhan seksualnya dan sering berganti pasangan. Begitu pula yang terjadi pada gundik. Mereka juga bekerja sebagai pemuas Universitas Sumatera Utara 5 untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dan yang terjadi saat itu adalah minimnya kuli perempuan di Deli, sehingga menjadikan kuli laki-laki mendominasi pekerja perkebunan, mulai dari tingkat atas sebagai administrator sampai dengan tingkat bawah sebagai kuli. Kuli perempuan pada masa tersebut jarang menjadi pembahasan spesifik baik dalam buku-buku ataupun dalam pembelajaran perkuliahan. Ternyata, kondisi sosial yang memaksa kuli perempuan menjadi pelacur pada waktu itu, juga cukup berdampak dalam kehidupan kuli dan perusahaan perkebunan di Deli. Aspek spasial dan ruang lingkup dari skripsi ini adalah pada masa kolonial pada tahun 1870 sampai dengan tahun 1930 di wilayah perkebunan Deli. Penulis tertarik mengkaji pada rentang waktu tersebut diakibatkan praktek pelacuran yang terjadi pada rentang waktu tersebut berada dalam ruang lingkup perkebunan dan sementara itu, perkebunan terbanyak diwilayah Sumatera Timur adalah wilayah Deli dan praktek pelacuran di perkebunan tersebut bisa dikatakan berpola yang sama. Juga diketahui bahwa, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, memicu banyaknya investor yang datang ke Sumatera Timur Untuk mendirikan perkebunan. Sehingga setelah tahun 1870 sudah banyak perkebunan yang terdapat di Sumatera Timur dan khususnya pada wilayah Deli. 15 Pada masa ini industri tembakau, karet, sawit, dan barang komoditi ekspor lainnya mengalami perkembangan pesat sehingga kebutuhan seksual administratur dan seorang administratur juga sering berganti gundik layaknya seorang pria berganti pasangan melacurnya, dijelaskan juga bahwa seorang administratur dapat berganti gundik sebanyak 17 kali dalam setahun. Sehingga, penulis berusaha berada pada posisi netral saat menuliskan skripsi. 15 Karl J. Pelzer, op. cit., hlm. 95. Universitas Sumatera Utara 6 memicu pengadaan lahan seluas-luasnya dan perekrutan tenaga kerja sebanyak- banyaknya. Tenaga kerja didatangkan dari berbagai daerah seperti dari Penang dan Jawa. Demikian juga kuli perempuan, sekitar tahun 1875 mereka didatangkan dari Pulau Jawa bersamaan dengan kedatangan para kuli laki-laki. 16 Tahun 1930 dipilih sebagai akhir periode penulisan skripsi ini, karena pada tahun tersebut mulai berkurangnya kegiatan prostitusi dan pergundikan di Deli. Hal ini ditandai dengan adanya ketentuan penghapusan larangan menikah untuk orang Eropa yang akan bekerja sebagai pegawai di perkebunan. Ketentuan lain adalah perusahaan perkebunan menganjurkan untuk membentuk keluarga, baik bagi pegawai Eropa maupun pegawai Pribumi. 17 Ketentuan tersebut memberikan andil besar terhadap berkurangnya kegiatan prostitusi dan pergundikan di perkebunan tembakau Deli. 18

1.2 Rumusan Masalah