45
BAB IV DAMPAK PELACURAN
4.1 Terhadap Kuli
Pada tahun 1870 sampai dengan 1927, perempuan pribumi dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih. Pada penjelasan bab sebelumnya, telah dijelaskan
bahwa kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat kuli laki-laki ke perkebunan Deli. Secara tidak langsung, mereka dipekerjakan sebagai
pelipur lara para kuli laki-laki dan sebagai pengikat kontrak kuli di sana. Kondisi seperti ini sengaja diciptakan agar dapat memberikan pelayanan seksual pelacur
dalam proses mempertahankan kuli laki-laki tersebut dan berdampak cukup besar di wilayah perkebunan di Deli.
Dampak pelacuran terhadap kuli sangat jelas terlihat adalah mewabahnya penyakit sipilis dikalangan kuli. Sejak awal abad ke-19, dampak pelacuran yang terkait
dengan penyakit sipilis sudah mulai dibahas di Pulau Jawa. Akan tetapi, pembahasan dilakukan melalui ruang lingkup sosial dan politik. Pemerintah kolonial beranggapan
bahwa, penyakit ini merusak dan menggerogoti tatanan sosial dan politik kekuasaannya, karena penyakit ini banyak menyebar dikalangan militer dan kuli-kuli
perkebunan. Akan tetapi, para pengusaha perkebunan tetap membiarkan proses prostitusi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
46
Kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh kuli perempuan itu lah yang kemudian menyebabkan tingginya jumlah penderita penyakit sipilis
100
. Banyak dari kuli para penderita sipilis yang tidak menyadari jika mereka terkena sipilis dan karena itu mereka
tidak segera melakukan pencegahan terhadapnya. Pada masa itu, penyakit sipilis ini, juga masih belum banyak diketahui, sehingga mereka beranggapan bahwa ini hanya
penyakit biasa. Hal ini disebabkan karena gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini berlangsung cukup panjang. Gejala-gejala yang dialami akan berlangsung 3-4
minggu, atau kadang-kadang sampai 13 minggu. Kemudian akan timbul akan benjolan seperti bisul di sekitar alat kelamin. Kadang-kadang disertai pusing-pusing dan nyeri
tulang disertai flu, yang akan hilang sendiri tanpa diobati. Setelah itu, akan muncul bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan seks. Gejala ini
akan hilang dengan sendirinya dan seringkali kuli-kuli tersebut tidak memperhatikan hal ini. Dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun, penyakit sipilis akan menyerang
susunan syaraf otak, pembuluh darah dan jantung yang mengakibatkan kematian.
101
Penyebaran penyakit kelamin ini, lebih banyak menyebar dikalangan kuli Cina dari pada kuli Jawa. Beberapa faktornya adalah :
100
Penyakit sipilis merupakan penyakit kelamin yang menular disebabkan oleh satu bakteri tertentu. Penyakit ini dapat menular melalui hubungan seksual, gesekan antara luka si penderita dengan
organ genital pasangannya meski dalam keadaan normaltidak terjangkit penyakit tersebut, melalui air liur yang bertukar, luka pada kulit yang saling bersentuhan, tetapi tidak dengan udara pernafasan,
keringat, atau pun pakaian. Karena meyerang di bagian kelamin, maka penyakit ini juga dikenal degan
“penyakit kencing”
101
Kiki Maulana Affandi, “Sejarah Kesehatan Kuli Kontrak di Perkebunan Senembah
Maatschapij 1882-1942 ”, Skripsi S-1, belum diterbitkan, Medan: Departemen Sejarah Universitas
Sumatera Utara, 2015, hlm 73
Universitas Sumatera Utara
47
1. Kuli Jawa melakukan sunat pada organ genitalnya sehingga menyebabkan
organ genital kuli Jawa lebih terjaga kebersihannya. 2.
Kebanyakan kuli Jawa menikah dengan satu perempuan. Meski pun, para suami dari kuli perempuan Jawa tersebut juga memperbolehkan istrinya
untuk menjadi pelacur atau gundik akibat dari kemiskinan yang dialami kuli tersebut pada waktu itu.
102
3. Jika ditinjau dari sisi medis, kuli Cina yang suka meminum arak minuman
keras khas Cina juga berdampak pada cepatnya proses penyebaran virus sipilis ke otak, karena alkohol juga dalam jangka panjang dapat merusak
saraf-saraf yang terdapat pada otak manusia.
103
Seorang manajer di Deli Maatscapij mengeluh karena dari 60 orang kuli perempuan, sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah sakit karena sipilis. Akan tetapi,
data tersebut masih diragukan karena gejala penyakit ini yang tidak terlalu tampak jelas serta dengan gejala yang panjang, dan mirip dengan gejala penyakit kulit lain yang juga
menyebar di perkebunan pada waktu itu.
104
Atas merebaknya penyakit kelamin ini, banyak bermunculan tuduhan-tuduhan pada kuli perempuan. Penyakit ini selalu dikaitkan dengan penyakit perempuan
105
, sehingga muncul istilah di masyarakat, bahwa penyakit kelamin tersebut adalah
102
Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 51.
103
Gani A Jaelani, Penyakit Kelamin di Jawa 1812 – 1942. Bandung: Syabas Books, 2013, hlm.
40.
104
Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 60
105
Istilah penyakit perempuan ini disebabkan karena stigma yang melekat pada waktu itu adalah penyakit kelamin selalu menyebar dari perempuan kepada laki-laki
Universitas Sumatera Utara
48
penyakit yang dibawa oleh “perempuan jahat”. Setidaknya, dari tuduhan terhadap perempuan tersebut, dapat diambil kesimpulan: pertama, bahwa perempuan merupakan
penyebar penyakit, dan kedua, mereka mempraktikkan kegiatan immoral sebagai pelacur. Tuduhan ini sebenarnya lebih didasarkan pada struktur tubuh dari perempuan
itu sendiri yang tidak pernah tahu jika dirinya telah tertular penyakit tersebut. Pada bagian dalam kelamin perempuan terdapat satu organ yang disebut dengan lamad
106
. Perempuan yang bagian lamad-nya sering mendapatkan gesekan, maka lamad tersebut
akan semakin menebal. Setelah menebalnya lamad tersebut, maka penyakit ini pun sering tidak diketahui oleh perempuan pelacur tersebut. Oleh karena itu, perempuan
selalu dilihat sebagai gudang kuman bibit penyakit kelamin. Setelah munculnya peraturan yang mewajibkan pemeriksaan terhadap para
pelacur, dokter pemeriksa mendapatkan sebuah hasil penelitian bahwa penyakit tersebut sebenarnya menular melalui kelamin laki-laki. Dokter tersebut beranggapan
bahwa lelaki lah yang sebenarnya sebagai penular penyakit ini. Mungkin berawal dari para tentara yang telah terkena sebelumnya. Ditambah lagi dengan adanya anggapan
pada waktu itu, “jika seseorang tidak menyalurkan birahinya maka ia akan terkena satu penyakit”. Akan tetapi tidak ada satu dokter pun pada waktu itu yang menyatakan
anggapan tersebut adalah benar.
107
Stigma seperti ini muncul karena kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh kuli perempuan dan perempuan juga selalu dipandang rendah di semua wilayah
106
Lamad merupakn satu membrane atau selaput tipis yang terdapat pada dinding vagina.
107
Gani A. Jaelani, op. cit., hlm. 134
Universitas Sumatera Utara
49
perkebunan. Bahkan para pengusaha perkebunan sendiri mengklaim bahwa adanya prostitusi dan penyebaran penyakit kelamin, karena kebobrokan moral perempuan itu
sendiri. Meski telah muncul stigma buruk di kalangan kuli perempuan tersebut, mereka
tetap merasa bangga terhadap profesinya sebagai pelacur. Dijelaskan bahwa kuli tersebut menyatakan diri bangga dan tidak malu sama sekali. Bahkan untuk beberapa
kuli perempuan yang telah menikah, mereka lebih menyalahkan kuli laki-laki suaminya yang seharusnya bertanggung jawab atas profesi pelacur yang mereka
jalani. Dilain sisi, kebanggan sebagai pelacur juga karena penghasilan yang diperoleh dari hasil melacur, dapat membantu kehidupan ekonomi mereka.
Berbeda dengan kuli perempuan, di kalangan kuli laki-laki, penyakit kelamin merupakan satu simbol kejantanan. Sekelompok laki-laki satu regu dalam sebuah
perkebunan akan lebih merasa dihormati kalau sudah tertular penyakit kelamin ini. Akibatnya banyak laki-laki yang ingin tertular penyakit ini. Bagi para pemuda
misalnya, sering terjadi orang tua laki-laki memaksa agar anaknya dapat tertular penyakit ini, karena anggapan bahwa, jika seorang ayah memiliki anak yang tertular
penyakit kelamin akan dihargai sebagai orang tua yang “jantan”.
108
Tidak terlepas pula pada administratur perkebunan, maupun golongan militer perkebunan. Penyakit kelamin merupakan satu simbol ketangguhan terutama bagi
seorang serdadu militer. Dalam bukunya, Gani A. Jaelani menjelaskan tentang terdapat
108
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
satu ungkapan yang cukup populer dikalangan seluruh anggota militer di Hindia- Belanda pada waktu itu bahwa,
“seorang serdadu, tidak akan menjadi serdadu yang baik jika belum pernah tertular sipilis”. Bahkan penyakit ini merepresentasikan
kedudukan terhormat di kalangan militer dalam hierarki yang informal.
109
Lain halnya menurut pandangan kaum liberalis Eropa. Orang Eropa yang datang dan mengambil alih pemerintahan di Hindia-Belanda, khususnya para
pengusaha perkebunan, merupakan orang liar sauvage. Rusaknya moralitas yang terjadi di perkebunan, terutama citra buruk yang terdapat di Deli, menurut kaum
liberalis Eropa tersebut karena bangsa Eropa yang datang ke Hindia-Belanda merupakan “orang kulit putih yang telah mengalami degenerasi”. Selain pelacuran
yang mengakibatkan wabah penyakit kelamin yang cukup besar, praktik suap, pegawai yang korup, dan pergundikan merupakan contoh-contoh dari hilangnya moralitas orang
Eropa di Deli. Selain dikatakan sebagai “bisnisnya para monyet”, perkebunan di Deli
terk enal dengan “rumah sakit dari para penderita ketidakbermoralan”.
110
Sebagai pembelaanya, iklim, makanan, bahasa, dan cara berpakaian dianggap sebagai penyebab
hilangnya moralitas bangsa Eropa di tanah jajahannya. Disamping itu, muncul dari asumsi bahwa karakter
orang pribumi sebagai “orang liar” menular pada orang Eropa. Penularan “penyakit ini”, terutama terjadi akibat hubungan seks antara kedua jenis ras
tersebut.
109
Ibid., hlm. 136
110
Gani A. Jaelani, op. cit., hlm. 100
Universitas Sumatera Utara
51
Selain menyebabkan gangguan biologis penyakit kelamin, akar permasalahan sosial dari “degenerasi kulit putih”, praktik seks bebas yang terjadi juga memunculkan
kegelisahan politik. Hal ini kemudian memunculkan pendapat bahwa para lelaki Eropa tidak hanya tertular penyakit, tetapi juga telah kehilangan martabatnya dan cenderung
menjadi tidak bermoral.
111
Kebanggan yang berlebih juga ada pada kuli perempuan yang menjadi gundik administratur kebun. Selain berpenghasilan, mereka juga merasa bangga karena dapat
dekat dengan administrator yang sebagian besar adalah orang Eropa. Selain itu, mereka juga mendapat pendidikan tentang bahasa dan kebersihan dari orang-orang Eropa
tersebut. Pelajaran lain yang diberikan adalah berupa tata cara berpakaian yang rapi dan terlihat berwibawa, kebersihan kulit terutama pada bagian kelamin
112
. Untuk menjaga alat kelamin nereka agar tetap bersih, mereka harus mencukur rambut yang
tumbuh pada bagian organ genital itu. Mereka juga diajarkan untuk mencukur rambut pada ketiak.
113
Dampak lain dari eksploitasi terselubung yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan terhadap para kuli perempuan tersebut, adalah lahirnya anak-anak diluar
nikah. Dalam kasus pergundikan, selain hanya dianggap sebagai objek seksualnya, para nyaigundik ini juga tidak memiliki hak karena mereka tidak dapat menuntut apapun
111
Liesbeth Hesselink, op. cit., hlm. 200
112
Pembelajaran yang dimaksudkan dalam pembersihan organ genital, agar setelah gundik tersebut pindah dari satu laki-laki administratur ke administratur lainnya, ia tetap mampu melayani dan
dapat menjadikan satu kebanggaan pada administratur sebelumnya bahwa ia memakai salah seorang kuli yang bersih.
113
Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, . . . op. cit., hlm. 188
Universitas Sumatera Utara
52
dari tuannya. Jika suatu saat tuannya kembali ke Eropa untuk cuti ataupun menetap disana dan menikah dengan perempuan Eropa, sang nyai harus ikt serta tanpa boleh
membawa anaknya yang lahir dari hubungan pergundikan tersebut. Gundik itu terkadang bisa dijadikan barang lelangan oleh tuannya. Gundik tersebut akan dilelang
kepada teman dan kenalan sang tuan untuk kemudian dijadikan gundiknya. Anak yang lahir diluar nikah dari pergundikan, hanya menjadi tanggung jawab
si perempuan. Tidak jarang anak yang terlahir seperti ini, ketika berusia 10 tahun akan dijual oleh ibu mereka kepada pengusaha perkebunan untuk dijadikan kuli jika anak
tersebut laki-laki, dan dijadikan gundik jika anak tersebut perempuan.
114
Masa pelacuran dan pergundikan seorang perempuan di perkebunan akan berakhir setelah ia berusia 45 tahun. Perempuan yang telah berusia 45 tahun
115
kurang diminati oleh para kuli ataupun para administratur. Pada saat itu lah, mereka akan
menikah dengan seorang kuli laki-laki yang juga telah berusia tua. Mereka tetap bekerja pada pengusaha perkebunan tapi, hanya bekerja sebagai pemanen, penjemur,
atau sebagai pengutip ulat-ulat hama dari daun tembakau.
4.2 Terhadap Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda