4 tidak berlanjut bahkan mengalami kenaikan yang cukup besar menjadi 24.721 KK
miskin. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan per kapita di Kecamatan Medan Deli yangrelatif cukup baik, namun masih perlu untuk
ditingkatkan kualitas distribusinya sehingga distribusi pendapatan semakin merata dan pada akhirnya dapat mengurangi angka kemiskinan yang masih ada.
Berdasarkan pembahasan diatas, distribusi pendapatan sangatlah penting dalam meningkatkan kesejahteraan sehingga perlu dilakukan analisis lebih lanjut
untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di Kota Medan. Maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
“Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kesejahteraan di Kota Medan
Studi Kasus: Kecamatan Medan Deli ”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pola distribusi rumah tangga berdasarkan kelas pendapatan?
2. Bagaimana tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat
kesejahteraan di Kecamatan Medan Deli?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah disimpulkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisispola distribusi rumah tangga berdasarkan kelas
pendapatan.
Universitas Sumatera Utara
5 2.
Untuk menganalisis tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan di Kecamatan Medan Deli.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Sebagai bahan masukan dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca khususnya yang berkaitan dengan ketimpangan distribusi
pendapatan. 2.
Sebagai referensi bagi penulis lainnya yang ingin melakukan penelitian selanjutnya berkenaan dengan ketimpangan distribusi pendapatan dan
kesejahteraan. 3.
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, dalam hal pemerataan pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kesejahteraan Masyarakat
Konsep kesejahteraan menurut Nasikun 1996 dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empaat
indikator yaitu ; 1 Rasa aman security, 2 Kesejahteraan welfare, 3 Kebebasan freedom, dan 4 Jati diri identity.
Menurut Drewnoski 1974 dalam Bintaro 1989, melihat konsep kesejahteraan dari tiga aspek, dengan melihat pada :
1. Tingkat perkembangan fisik somatic status, seperti nutrisi, kesehatan,
harapan hidup, dan sebagianya. 2.
Tingkat mentalnya, mentaleducational status seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
3. Integrasi dan kedudukan social social status.
Salah satu konsep indikator sosial dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat atau keluarga ialah konsep yang diperkenalkan oleh Overseas
Development Council yang dikenal dengan PQLI Physical Quality of Life Index atau indeks mutu hidup Budiman, 1996. PQLI mencakup 3 komponen, yaitu:
a. Rata-rata angka kematian bayi infant mortality rate,
b. Rata-rata harapan hidup pada bayi berumur satu tahun life expenctancy at age
one, dan c.
Tingkat kemampuan membaca dan menulis atau rata-rata persentase buta dan melek huruf.
Universitas Sumatera Utara
7 Selanjutnya, konsep pengukuran kesejahteraan yang dikembangkan akhir-
akhir ini ialah konsep Human Development Index atau HDI. Konsep HDI diperkenalkan dan dikembangkan sejak tahun 1985 Miles, dalam Moeljarto dan
Prabowo, 1997. Meskipun dari tahun ke tahun HDI mendapat penekanan yang berbeda, tetapi intinya HDI mengidentifikasi kemampuan dasar yang harus
dimiliki setiap individu dalam masyarakat untuk dapat berpartisipasi di masyarakat. Kemampuan dasar tersebut antara lain menyangkut kemampuan
untuk dapat mencapai hidup yang panjang dan sehat, kemampuan untuk mencapai ilmu pengetahuan, dan kemampuan untuk mendapatkan akses pada sumber-
sumber yang diperlukan dalam rangka hidup yang layak. Human Development Index HDI inimempunyai tiga komponen yang menunjukkan tingkat
kesejahteraan kemakmuran, yaitu : 1.
Angka harapan hidup pada saat lahir life expectancy at birth, menyangkut kesehatan
2. Tingkat pendidikan educational attainment, dan
3. Tingkat pendapatan income atau kemampuan daya beli masyarakat
Moeljarto dan Prabowo, 1997. Sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau disingkat
BKKBN 1993 mengkonsepkan perkembangan kesejahteraan masyarakat desa sebagai ukuran kesejahteraan keluargataraf hidup masyarakat, terdiri dari 5 lima
tingkat kesejahteraan, yaitu : 1.
Keluarga Prasejahtera; yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
8 2.
Keluarga Sejahtera I, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial
psikologisnya seperti: pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
3. Keluarga Sejahtera II, yaitu keluarga yang disamping telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimal, juga kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat
memenuhi kebutuhan
berkembang perkembangannya
seperti menabung, memperoleh informasi, transportasi, dan sebagainya.
4. Keluarga Sejahtera III, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh
kebutuhan dasar minimal, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan perkembangan, namun belum dapat berpartisipasi maksimal terhadap
masyarakat baik dalam bentuk sumbangan material, keuangan, ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, dan sebagainya.
5. Keluarga Sejahtera III-Plus, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhannya baik kebutuhan dasar minimal, kebutuhan sosial psikologis, maupun yang bersifat perkembangan serta telah dapat memberikan
sumbangan nyata dan berkelanjutan, bagi masyarakat atau pembangunan.
2.1.1 Pengukuran Tingkat Kesejahteraan
Menurut Kolle 1974 dalam Bintarto 1989, kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:
1.
Segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya;
2.
Segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya;
3.
Segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya;
Universitas Sumatera Utara
9 4.
Segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.
Namun, biasanya untuk mengetahui tingkat kesejahteraan digunakan tiga
kriteria seperti berikut :
1. Upah Minimum Regional UMR
Setiap daerah mempunyai UMR sendiri yang ditetapkan oleh Gubernur pada tingkat provinsi dan BupatiWalikota pada tingkat KabupatenKota.
2. Bappenas
Status kesejahteraan dapat diukur berdasarkan proporsi pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi
pengeluaran untuk kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok. Sebaliknya rumah tangga dengan
proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, dapat dikategorikan
sebagai rumah tangga dengan status kesejahteraan yang masih rendah. 3.
BPS Biro Pusat Statistik Biro Pusat Statistik Indonesia menerangkan bahwa guna melihat tingkat
kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah:
a. Tingkat pendapatan keluarga
b. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan
pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan seperti jenis bahan bakar untuk memasak, frekuensi mengkonsumsi daging, susu dan ayam,
Universitas Sumatera Utara
10 frekuensi membeli pakaian dalam setahun, dan frekuensi makan setiap
hari. c.
Tingkat pendidikan keluarga seperti pendidikan kepala keluarga. d.
Tingkat kesehatan keluarga seperti kemampuan untuk berobat. e.
Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga seperti luas bangunan, jenis lantai, dinding, fasilitas MCK, sumber
penerangan, dan sumber air minum
2.2 Ketimpangan Pembangunan
Dalam pembangunan ekonomi regional, Williamson 1965 menyatakan bahwa dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar
dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan antar
daerah berkurang dengan signifikan. Myrdal 1957 menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar daerah
yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan backwash effect mendominasi pengaruh yang menguntungkan spread effect terhadap
pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat
bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah Arsyad, 1999.
Dalam proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu
daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang
Universitas Sumatera Utara
11 bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah
menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah Caska dan Riadi, 2008.
2.2.1 Penyebab Ketimpangan Pembangunan
Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah Manik, 2009 yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan yang akan mempengaruhi
proses pembangunan di masing-masing daerah. 2.
Perbedaan kondisi demografi Perbedaan kondisi geografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan antar
daerah karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi
yang baik akan cenderung memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan dan sebaliknya bila pada suatu daerah tertentu kondisi
demografinya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang akan menimbulkan kondisi
kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
12 3.
Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa Bila kegiatan perdagangan kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor
produksi Factor Price Equilization akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan cenderun menjadi tinggi. 4.
Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi daerah Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan
cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. 5.
Alokasi dana pembangunan antar daerah Dana bantuan pembangunan daerah merupakan salah satu sumber keuangan
untuk melakukan pembangunan daerah. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembangunan diperlukan sumber dana. Pada dasarnya dalam melaksanakan
pembangunan diperlukan sumber dana. Untuk mencapai keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang
tersedia. Bantuan pembangunan yang ditargetkan secara seksama dapat memberikan hasil yang lebih efektif. Bantuan pembangunan yang diperluas,
terutama upaya-upaya yang difokuskan pada kebutuhan dan kesempatan untuk mengurangi kemiskinan secara besar-besaran Todaro, 2006.
2.2.2 Dampak Ketimpangan Pembangunan
Berikut merupakan dampak dari ketimpangan pembangunan terhadap masyarakat dan daerah Bappenas, 2004 :
Universitas Sumatera Utara
13 1.
Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal,
termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: a.
Terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif maju.
b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar.
c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber
daya alam dan manusia. d.
Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli
daerah secara langsung. e.
Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah- wilayah ini.
2. Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh
Sebenarnya wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika
sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya
yang miskin sumber daya dan masih terbelakang. 3.
Wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan
adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi
“inward looking” sehingga seolah-olah kawasan perbatasan
Universitas Sumatera Utara
14 hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya,
wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang
ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir da sulit dijangkau.
4. Kesenjangan pembangunan antara kota dan desa
Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh:
a. Investasi ekonomi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan
b. Kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis
dengan kegiatan ekonomi di pedesaan c.
Peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan
5. Pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia
Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari
pemerintah maupun swasta.
2.3 Distribusi Pendapatan
Teori ketimpangan distribusi pendapatan dapat dikatakan dimulai dari munculnya suatu hipotesa yang terkenal yaitu Hipotesis U terbalik inverted U
curve oleh Simon Kuznets tahun 1955. Beliau berpendapat bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata,
namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi
Universitas Sumatera Utara
15 pendapatan makin merata. Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau
sangat erat hubungannya dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Di Amerika Serikat, yang tergolong
negara maju dan salah satu negara kaya di dunia, masih terdapat jutaan orang yang tergolong miskin. Sementara itu, mereka yang hidup tidak miskin relatif
miskin dibanding penduduk Amerika lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Sharp 1996:
“Poverty amidst plenty” is a streaking feature of the Americanscene. Ournation is the richest in the world, yet millions of peopleare poor, and
millions more that do not live in poverty are poorrelative to others. This is not the American dream; it is the Americanparadox.
Myrdal dalam Todaro, 1993 mengatakan bahwa tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan taraf hidup yang rendah. Rendahnya pendapatan ditambah
dengan rendahnya pendidikan dan ketrampilan menyebabkan produktifitas yang rendah pula dan pada gilirannya tetap melestarikan pendapatan yang rendah
sehingga seseorang atau keluarga tertentu tidak mampu memiliki berbagai fasilitas dan sarana pembaharuan sebagai faktor penentu peningkatan kesejahteraan hidup
keluarga. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga yang
memperoleh pendapatan memadai atau tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya serta kebutuhan-kebutuhan lain, seperti kebutuhan akan pendidikan dan
kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya mereka.
Universitas Sumatera Utara
16
2.3.1 Pembagian Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan
sebagai suatu ukuran dibedakan menjadi dua ukuran pokok, baik untuk tujuan analisis maupun untuk tujuan kuantitatif Todaro, 2000 yaitu:
1. Distribusi pendapatan ”personal” atau distribusi pendapatan berdasarkan
ukuran atau besarnya pendapatan. Distribusi pendapatan pribadi atau distribusi pendapatan berdasarkan besarnya pendapatan paling banyak digunakan ahli
ekonomi. Distribusi ini hanya menyangkut orang per orang atau rumah tangga dan total pendapatan yang mereka terima, dari mana pendapatan yang mereka
peroleh tidak dipersoalkan. Tidak dipersoalkan pula berapa banyak yang diperoleh masing-masing individu, apakah merupakan hasil dari pekerjaan
mereka atau berasal dari sumber-sumber lain. Selain itu juga diabaikan sumber-sumber pendapatan yang menyangkut lokasi apakah di wilayah desa
atau kota dan jenis pekerjaan. 2.
Distribusi pendapatan “fungsional” atau distribusi pendapatan menurut bagian faktor distribusi. Sistem distribusi ini mempertimbangkan individu -individu
sebagai totalitas yang terpisah-pisah. Distribusi pendapatan mutlak adalah persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai suatu tingkat
pendapatan tertentu atau kurang dari padanya. Ukuran umum yang dipakai biasanya adalah kriteria Bank Dunia yaitu ketidakmerataan tertinggi bila 40
persen penduduk dengan distribusi pendapatan terendah menerima kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan sedang apabila 40 persen
Universitas Sumatera Utara
17 penduduk dengan pendapatan terendah menerima 12-17 persen pendapatan
nasional. Ketidakmerataan rendah bila 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen dari seluruh pendapatan
nasional. Distribusi pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini
akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan, adapun pertumbuhan pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi
dapat dikelompokkan menjadi dua macam: 1.
Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah atau gaji dan besarnya tergantung tingkat produktifitas.
2. Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga, hadiah atau warisan.
Sayangnya relevansi teori fungsional tidak mempengaruhi pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar faktor-faktor non-
ekonomismisalnya kekuatan dalam menentukan faktor-faktor harga Todaro, 2003.
2.3.2 Cara Menghitung Distribusi Pendapatan
Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu :
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur
sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk.
Universitas Sumatera Utara
18 Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut.
Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal semakin lurus menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva
Lorenz semakin jauh dari diagonal semakin lengkung, maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional
semakin timpang dan tidak merata.
Gambar 2.1 Kurva Lorenz
2. Indeks Gini atau Rasio Gini
Gini ratio merupakan suatu ukuran kemerataan yang dihitung dengan membandingkan luas antara diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas
segitiga di bawah diagonal.
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.2 Indeks Gini Ratio
Data yang diperlukan dalam penghitungan gini ratio: Jumlah rumah tangga atau penduduk
Rata-rata pendapatan atau pengeluaran rumah tangga yang sudah dikelompokkan menurut kelasnya.
Rumus untuk menghitung gini ratio:
dengan: G = Gini Ratio
Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i
Qi-1= Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1 K = Banyaknya kelas pendapatan
Nilai gini ratio berkisar antara 0 dan 1, jika: G 0,3 → ketimpangan rendah
0,3 ≤ G ≤ 0,5 → ketimpangan sedang
Universitas Sumatera Utara
20 G 0,5 → ketimpangan tinggi
Semakin tinggi nilai Indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks Gini adalah nol maka
artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna.
Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya
menggunakan data pengeluaran. 3.
Kriteria Bank Dunia Kriteria ketidakmerataan versi bank dunia didasarkan atas porsi pendapatan
nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40 penduduk berpendapatan rendah, 40 penduduk berpendapatan menengah, serta 20
penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40 penduduk berpendapatan rendah
menikmati kurang dari 12 pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40 penduduk miskin menikmati antara 12-17
pendapatan nasional. Sedangkan jika 40 penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17 pendapatan nasional, maka ketimpangan
atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata.
Universitas Sumatera Utara
21
2.4 Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
Kuznets 1955 mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap
selanjutnya, distribusi pendapatannya akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan
longitudinal time-series dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari
perluasan sektor modern. Menurut Todaro 2003, pemerataan yang lebih adil di negara berkembang
merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh
setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan
yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbadaan tersebut akan menentukan tingkat
pemerataan pendapatan ketimpangan pendapatan daerah tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini akan tergantung dari besar kecilnya perbedaan
jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan. Sehingga timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi penerimaan
pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antar wilayah. Produk nasional
Universitas Sumatera Utara
22 bruto per kapita tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut
terlihat pada nilai PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang diterimanya pula.
Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi di seluruh negara di dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang
berkembang. Namun perbedaannya adalah ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai pembagunannya, sedangkan bagi
negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro
1981, bahwa negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara
dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang. Nicholas Kaldor 1960, menyatakan bahwa semakin tidak merata pola distribusi
pendapatan, semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonomi karena orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang lebih tinggi dari pada orang-orang miskin
sehingga akan meningkatkan aggregate saving rate yang diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan
satu-satunya tujuan masyarakat, maka strategi terbaik adalah membuat pola distribusi pendapatan setimpang mungkin. Dengan demikian, model Kuznets dan
Kaldor menunjukkan adanya trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tetapi dengan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Dua model ketimpangan yaitu teori Harrod-Domar dan Neo-Klasik memberikan perhatian khusus pada peranan kapital yang dapat direpresentasikan
Universitas Sumatera Utara
23 dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada suatu daerah untuk menarik
kapital ke dalam daerahnya, hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk tumbuh sekaligus menciptakan perbedaan dalam kemampuan
menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan bila dialokasikan pada daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan pengembalian return
yang besar dalam jangka waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan menyebabkan ketidakmerataan, dimana daerah-daerah yang relatif maju akan
bertumbuh semakin cepat sementara daerah yang kurang maju tingkat pertumbuhannya justru relatif lambat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya
ketimpangan pendapatan antar daerah, sehingga diperlukan suatu perencanaan dan kebijakan dalam mengarahkan alokasi investasi menuju suatu kemajuan ekonomi
yang lebih berimbang diseluruh wilayah dalam negara. Terjadinya ketimpangan antar daerah juga diterangkan oleh Myrdal 1957 membangun teori
keterbelakangan dan pembangunan ekonominya di sekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal tersebut,
beliau memakai ide “spread effect” dan “backwash effect” sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Spread effect
dampak sebar didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan favorable effect, yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat
pertumbuhan ke daerah sekitar. Backwash effect dampak balik didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan infavorable effect yang mencakup aliran
manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah
Universitas Sumatera Utara
24 pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan
wilayah inti. Terjadinya ketimpangan regional menurut Myrdal disebabkan oleh
besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan
ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang
menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya, lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan
modal di wilayah terbelakang.
2.5 Penelitian Terdahulu