Gambaran Klinis Dan Perawatan Anomali Ortodonti Pada Penderita Sindroma Crouzon

(1)

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA CROUZON

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

ALI AKBAR

070600126

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA CROUZON

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

ALI AKBAR

070600126

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ortodonti

Tahun 2012

Ali Akbar

Gambaran klinis dan perawatan anomali ortodonti pada penderita sindroma Crouzon xi + 45 halaman.

Oklusi normal adalah penting guna menjaga fungsi dan estetis dari rongga mulut. Apabila fungsi ini terganggu maka akan berdampak terhadap tumbuh kembang dentofasial dan estetis yang buruk. Salah satu gangguan fungsi oklusi yang disebabkan oleh faktor genetik adalah maloklusi Klas III skeletal yang disebabkan oleh sindroma Crouzon.

Sindroma Crouzon adalah sindrom kraniofasial yang menyebabkan hipoplasia sepertiga wajah tengah dan maloklusi Klas III skeletal. Gejala – gejala yang mengawali adalah hydrosefalus yang terjadi tahap demi tahap dan disertai nyeri kepala dan juga mungkin muntah atau kejang.

Gambaran klinis umum sindroma Crouzon adalah hydrocephalus, orbital proptosis, hypertelorism dan divergent strabismus. Hidung yang menonjol dan tajam terlihat seperti paruh dan telinga secara klinis terletak pada posisi yang lebih rendah dari normal. Gambaran klinis oral sindroma Crouzon antara lain mandibula prognati, maksila atresi, gigi berjejal pada maksila, crossbite anterior dengan open bite posterior, lengkung rahang maksila berbentuk huruf V, celah langit-langit dan bivid uvula dan terkadang

Penegakan diagnosa sindroma Crouzon yaitu dengan anamnesa, pemeriksaan klinis, rongga mulut, fungsional dan analisa radiografi. Sebelum melakukan perawatan terhadap anomali ortodontinya, pada umumnya akan dilakukan perawatan bedah terlebih dahulu. Perawatan juga tergantung kepada usia terdeteksinya sindroma pada pasien. Teknik pembedahan open repair dilakukan untuk memperbaiki craniosynostosis nya, LeFort III untuk rekonstruksi wajah, kombinasi perawatan


(4)

bedah Le Fort I bersama dengan perawatan ortodonti menggunakan pesawat ortodonti dan bedah ortognati.


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan Di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 25 Juli 2012

Pembimbing 1 :

Erna Sulistyawati, drg, Sp.Ort (K) NIP : 19840301 200912 2 003

Pembimbing 2 :

Aditya Rachmawati, drg NIP : 19540212 198102 2 001


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan Di hadapan tim penguji skripsi

TIM PENGUJI KETUA : Erna Sulistyawati, drg, Sp.Ort (K)

ANGGOTA : 1. Aditya Rachmawati, drg 2. Mimi Marina Lubis, drg


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Zulkifli Abdullah dan Ibunda Linda Setiawati yang telah membesarkan serta memberikan kasih sayang yang tak terbatas, doa, semangat dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada segenap keluarga yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dengan kerendahan hati serta penghargaan yang tulus penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Sp.Ort., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan dukungan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat berjalan lancar.

2. Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K) selaku Ketua Departemen Ortodonsia FKG-USU atas kesempatan dan bantuan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

3.Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K) dan Aditya Rachmawati, drg. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, masukan, petunjuk, motivasi dan perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.


(8)

4. Nurhayati Harahap, drg., Sp.Ort (K) selaku koordinator skripsi yang telah memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis selama menjalani pendidikan di FKG-USU.

5. Mimi Marina Lubis, drg. dan Siti Bahirrah, drg. selaku anggota tim penguji skripsi atas bantuan, kritik dan saran yang telah diberi.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara terutama di Departemen Ortodonsia atas dukungan dan masukan yang bermanfaat kepada penulis.

7. Eddy Dahar, drg., Sp.Pros selaku penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

8. Terima kasih kepada Mirna Ramzie , Fransisca Wihari dan Arigato yang telah meluangkan waktu dalam memberi bantuan dalam penulisan skripsi ini.

9. Terima kasih kepada Albert, Hanifa, Limas, Andrew, Herryadi dan teman-teman seangkatan yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas dukungan dan dorongan yang diberikan dalam suka dan duka.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan selama penulis melaksanakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pergembangan ilmu, masyarakat dan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, 25 Juli 2012 Penulis,

( Ali Akbar ) NIM: 070600126


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………... HALAMAN PERSETUJUAN……… HALAM TIM PENGUJI SKRIPSI………

KATA PENGANTAR……… iv

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR GAMBAR……….. vii

DAFTAR TABEL………... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………. 1

1.4 Ruang Lingkup……….... 2

BAB 2 SINDROMA CROUZON 2.1 Pengertian………. 3

2.2 Etiologi………... 4

BAB 3 GAMBARAN KLINIS UMUM, ORAL DAN RADIOGRAFI SINDROMA CROUZON 3.1 Gambaran Klinis Umum………... 7

3.2 Gambaran Klinis Oral………. 9

3.3 Gambaran Radiografi……….. 13

BAB 4 PERAWATAN DAN LAPORAN KASUS 4.1 Perawatan sindroma Crouzon……… 16

4.1.2 Perawatan ortodonti………. 17

4.1.2.1 Bedah ortognati………. 19


(10)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……….. 43

5.2 Saran………. 44


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Seorang perempuan muda penderita sindroma Crouzon………. 3 2. Gambar sebelah kiri menunjukkan sagital synostosis (dilihat dari superior) dengan ridged, sutura sagital menyatu, dua buah temporal memanjang. Pada gambar sebelah kanan terlihat frontal dan occipital

bossing.……… 5

3. Gambaran wajah anak penderita sindroma Crouzon.………... 7 4. Terlihat pada gambar hidung yang menonjol dan tajam terlihat

seperti paruh, dan pada mata terlihat orbital proptosis (bola mata

keluar).………. 8

5. Protrusi mandibula terlihat pada seorang anak penderita sindroma

Crouzon……….. 10

6. Pada gambar terlihat maksila atresia penderita sindroma Crouzon... 10 7. Pada gambar terlihat gigi berjejal pada maksila………. 11 8. Pada gambar terlihat crossbite anterior dengan openbite pada gigi

posterior pada penderita sindroma Crouzon……… 12 9. Gambar menunjukkan lengkung rahang berbentuk huruf V pada

pasien sindroma Crouzon………...… 12

10. Pada gambar diatas terlihat adanya celah langit-langit pada

maksila penderita sindroma Crouzon.…. ………. 13

11. Pada gambar terlihat penyatuan sutura kranium yang terlalu cepat dan tekanan pada permukaan dalam kalvarium akibat

pertumbuhan otak………... 14

12. Gambaran panoramik penderita sindroma Crouzon pada anak

laki-laki……….. 14


(12)

pada anak perempuan……… 15

14. RPE dengan sekrup Hyrax®………. 18

15. RPE menurut McNamara……….... ….. 18

16. Foto ekstra oral awal pasien pada usia 9, dengan

17.

karakteristik penampilan wajah sindroma Crouzon……….. 21 Foto awal intra-oral menunjukkan keparahan masalah dalam

dimensi transversal dan vertikal sagital selain perbedaan panjang lengkung…….

18.

………. 22

Radiografi panoramik menunjukkan crowding pada kedua lengkung rahang dan gigi taring dalam hubungan

19. Foto-foto

ektopik………... 22

ekstra-oral pasien pada usia 12 tahun sebelum dimulainya

20. Foto

perawatan ortodonti……… 24

intra-oral menunjukkan peningkatan keparahan masalah

tiga dimensi, termasuk gigi kaninus rahang atas tidak erupsi 21. Foto

……… 25

pra-bedah menunjukkan dekompensasi dari pertumbuhan gigi untuk memungkinkan

dimajukan secara maksimal saat pembedahan

sepertiga wajah tengah dapat

22.

………... 26

Foto intra-oral oklusal menunjukkan perkembangan bentuk lengkung, penghapusan crowding dan kaninus rahang atas 23.

erupsi… 26 Foto akhir wajah menunjukkan proyeksi sepertiga wajah tengah

ditingkatkan, konveksitas wajah positif dan pengurangan dalam dimensi wajah anterior

24. Hasil akhir oklusal……….. 28

vertikal……….. 28

25. Hasil akhir radiografi panoramik, menunjukkan distribusi akar yang tepat dan taring rahang atas dalam posisi yang baik

. Gigi molar ketiga

26.

yang sedang berkembang………. 29

Superimposisi sefalometri menampilkan perubahan secara keseluruhan sebagai hasil pengobatan dan

27. Foto

pertumbuhan………. 29


(13)

wajah tengah hipoplasia, mata proptosis dan 28.

hypertelorism…… 30 Radiografi panoramik menunjukkan pertumbuhan gigi dalam

29.

periode gigi bercampur……….………. 31

Tampilan posteroanterior dan lateral menunjukkan tampilan logam

tempa

30.

dan tidak tampaknya sutura….……….. 32

Foto pasien pada saat datang menunjukkan bola mata yang

31.

menonjol.……… 34

HRT II analisis mata kiri pasien. Perhatikan edema disk

32.

optik….. 35 CT scan

33.

orbit menunjukkan OU proptosis………..………... 36 CT scan kranium memperlihatkan garis fusi prematur sutura..

34.

…….. 37 Foto pasien setelah dilakukan bedah ekspansi monoblok..…………. 38


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman


(15)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ortodonti

Tahun 2012

Ali Akbar

Gambaran klinis dan perawatan anomali ortodonti pada penderita sindroma Crouzon xi + 45 halaman.

Oklusi normal adalah penting guna menjaga fungsi dan estetis dari rongga mulut. Apabila fungsi ini terganggu maka akan berdampak terhadap tumbuh kembang dentofasial dan estetis yang buruk. Salah satu gangguan fungsi oklusi yang disebabkan oleh faktor genetik adalah maloklusi Klas III skeletal yang disebabkan oleh sindroma Crouzon.

Sindroma Crouzon adalah sindrom kraniofasial yang menyebabkan hipoplasia sepertiga wajah tengah dan maloklusi Klas III skeletal. Gejala – gejala yang mengawali adalah hydrosefalus yang terjadi tahap demi tahap dan disertai nyeri kepala dan juga mungkin muntah atau kejang.

Gambaran klinis umum sindroma Crouzon adalah hydrocephalus, orbital proptosis, hypertelorism dan divergent strabismus. Hidung yang menonjol dan tajam terlihat seperti paruh dan telinga secara klinis terletak pada posisi yang lebih rendah dari normal. Gambaran klinis oral sindroma Crouzon antara lain mandibula prognati, maksila atresi, gigi berjejal pada maksila, crossbite anterior dengan open bite posterior, lengkung rahang maksila berbentuk huruf V, celah langit-langit dan bivid uvula dan terkadang

Penegakan diagnosa sindroma Crouzon yaitu dengan anamnesa, pemeriksaan klinis, rongga mulut, fungsional dan analisa radiografi. Sebelum melakukan perawatan terhadap anomali ortodontinya, pada umumnya akan dilakukan perawatan bedah terlebih dahulu. Perawatan juga tergantung kepada usia terdeteksinya sindroma pada pasien. Teknik pembedahan open repair dilakukan untuk memperbaiki craniosynostosis nya, LeFort III untuk rekonstruksi wajah, kombinasi perawatan


(16)

bedah Le Fort I bersama dengan perawatan ortodonti menggunakan pesawat ortodonti dan bedah ortognati.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Crouzon merupakan kelainan bawaan pada janin didalam kandungan saat terjadi pembentukan organ-organ. Sindroma Crouzon tergolong kelompok sindrom yang jarang ditemukan dengan ciri utama craniosynostosis. Craniosynostosis adalah suatu kondisi di mana satu atau lebih dari sutura berserat pada kranium bayi menyatu dan mengeras sebelum waktunya, sehingga mengubah pola pertumbuhan kranium. Pada kasus sindroma Crouzon pembentukan organ-organ tidak berkembang dengan baik khususnya pada sutura kranium yang menutup sebelum waktunya, sehingga ketika lahir bentuk kepala menjadi tidak sempurna.

Dr.Crouzon menggambarkan empat temuan fisik utama yang merupakan karakteristik dari sindroma Crouzon, antara lain: exorbitism, retro maxillisim, inframaxillism, dan paradoxic retrognathia.

1-3

2

Adapun manifestasi sindroma Crouzon yang dapat ditemukan dirongga mulut, antara lain: prognati mandibula, gigi berjejal pada maksila, maksila atresia, crossbite anterior dengan open bite posterior, lengkung rahang maksila berbentuk huruf V dan celah langit-langit.

Sindroma Crouzon menjadi penyebab 4,8% dari total semua kasus craniosynostosis, dengan laporan kejadian 1:25.000 sampai 1:65.000 kelahiran dan merupakan sebuah gangguan autosomal yang dominan. Variasi patologis ini diyakini disebabkan oleh adanya mutasi gen petumbuhan Fibroblast Growth Factor Receptor 2 (FGFR2) pada kromosom 10q26.

3

Perkembangan kelainan rahang dapat menyebabkan maloklusi dari gigi geligi, malrelasi rahang dan kelainan bentuk wajah. Maloklusi adalah ketidaksejajaran gigi atau hubungan yang tidak benar antara gigi dari dua lengkungan gigi. Individu dengan kelainan perkembangan rahang ini memiliki masalah ketidakpercayaan diri terhadap bentuk wajah mereka sehingga harus dilakukan korelasi melalui perawatan ortodonti dan pembedahan untuk perbaikan estetis.

1-3


(18)

Penegakan diagnosa sindroma Crouzon dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan klinis, rongga mulut, fungsional dan analisa radiografi. Pada umumnya sebelum dilakukan perawatan anomaly ortodonti dengan pesawat ortodonti, terlebih dahulu dibutuhkan tindakan pembedahan.

Perawatan pasien sindroma Crouzon memerlukan beberapa tahap. Tahap pertama melibatkan perawatan craniosynostosis dengan memperbaiki kelainan frontal-orbitalnya dalam arah sagital. Tahap berikutnya dilakukan rekonstruksi pada wajah dan seterusnya hingga mencapai tahap akhir rekonstruksi yang merupakan perawatan maloklusi gigi Klas III.

1-3

Banyaknya manifestasi sindroma Crouzon pada bidang kedokteran gigi khususnya bidang ortodonti, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah gambaran klinis dan perawatan anomali ortodonti pada penderita sindroma Crouzon sebagai bahan penulisan skripsi. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan masukan dalam penegakan diagnosa dan rencana perawatan ortodonti penderita sindroma Crouzon.


(19)

BAB 2

SINDROMA CROUZON

2.1. Pengertian

Sindroma Crouzon merupakan penyakit autosomal dominan dengan gejala yang bervariasi. Dr.Octave Crouzon memperkenalkan sindrom herediter kraniofasial dysostosis pertama kali pada insiden yang menimpa seorang ibu dan anak laki-laki. Crouzon menggambarkan kelainan bentuk tulang kalvaria, anomali wajah, dan exophthalmos. Penyakit ini dikarakteristikkan dengan penutupan satu atau lebih sutura basis kranial sebelum waktunya.

Kranium tersusun atas beberapa tulang yang dipisahkan oleh sutura. Sutura ini membuat kranium membesar dan berkembang bersamaan dengan perkembangan otak. Jika satu atau lebih sutura menutup lebih cepat, khususnya sebelum otak berkembang secara sempurna, maka kemungkinan perkembangan otak akan menekan kranium dan dapat mengakibatkan terbukanya sutura yang lain. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknormalan bentuk kepala (Gambar 1).

1-3,9

1-4

Gambar 1. Seorang perempuan muda penderita sindroma Crouzon .6


(20)

Penyatuan sutura yang terlalu cepat melibatkan sutura sagital dan sutura koronal. Pada beberapa kasus yang telah dilaporkan terkadang juga melibatkan sutura lamboidal. Persentase kejadian yang telah dilaporkan juga tercatat paling banyak melibatkan sutura sagital sebesar 56-58%, diikuti sutura koronal sebesar 18-28% dan sisanya yang paling jarang yaitu kasus yang melibatkan sutura lamboidal dan sutura metopik. Urutan dan kecepatan penyatuan sutura menentukan tingkat deformitas dan kecacatan. Penyatuan sutura yang cepat dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kelainan lain. Kondisi dari ciri-ciri ini biasanya sudah bisa terditeksi sejak tahun pertama kelahiran.

Belum ada penelitian yang meyatakan perbandingan ras mana yang lebih sering terjadi insiden kasus sindroma Crouzon ini, begitu pula dengan jenis kelamin.

2

6,11

Tetapi ketika craniosynostosis yang terjadi tipe sagital atau metopik, kasus dominan terjadi pada jenis kelamin laki-laki, sedangkan pada craniosynostosis tipe koronal kasus di dominasi oleh jenis kelamin perempuan.

2

2.2. Etiologi

Sindroma Crouzon disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom 10q25 FGFR2-10q26. Mutasi gen FGFR2 memiliki efek yang berbeda pada tiap individu. Prematur synostosis pada sutura koronal, sagital dan kadang-kadang sutura lamboidal dimulai pada tahun pertama kelahiran dan berakhir pada tahun kedua atau ketiga. Urutan dan kecepatan penyatuan sutura menentukan tingkat deformitas dan kecacatan (Tabel 1) (Gambar 2).1-3,5-9

Mutasi gen FGFR juga bertanggung jawab untuk sindrom craniosynostosis lain seperti sindroma Apert, Pfeiffer, Jackson-Weiss, dan Saether-Chotzen. Dan yang jarang terjadi, acanthosis nigricans yang mana dapat hidup berdampingan dengan sindroma Crouzon dan disebabkan oleh mutasi di wilayah transmembran dari gen FGFR3 (lokus 4p16.3).11


(21)

Tabel 1: Usia penutupan sutura.

Sutura

8

Tahun mulainya penutupan

Metopik Sagital Koronal Lamboidal

Palatal Frontonasal Frontozygomatikum

2 22 24 26 30-35

68 72

Gambar 2. Gambar sebelah kiri menunjukkan sagital synostosis (dilihat dari superior) dengan ridged, sutura sagital menyatu, dua buah temporal memanjang. Pada gambar sebelah kanan terlihat frontal dan occipital bossing.3

Keseimbangan pertumbuhan terjadi pada saat mempertahankan terbukanya sutura untuk perkembangan otak. Pada saat sutura tertutup lebih awal, terjadi penyatuan tulang dini dan pertumbuhan otak menjadi terbatas. Sutura yang synostosis akan mengakibatkan penyatuan yang cepat dari sutura basis kranium, hipoplasia


(22)

sepertiga wajah tengah, orbital yang dangkal, dorsum nasal yang pendek, hipoplasia maksila, dan terkadang terjadi penyumbatan pernapasan atas.3

Sindroma Crouzon yang umumnya diwariskan sebagai sifat dominan autosomal, dengan penetrasi lengkap dan bervariasi, tetapi 30 sampai 60% dari total kasus adalah sporadis. Pada kasus-kasus sporadis patokan yang menjadi penyebab adalah usia ayah yang lebih dari 35 tahun dan beberapa peneliti telah mengaitkan akibat dari usia ayah yang mencapai 35 tahun atau lebih berdampak terhadap penurunan fungsi spermanya.8

Sementara kasus sporadis mungkin terjadi dalam keluarga tanpa riwayat sifat sindroma Crouzon, para penderita sindroma Crouzon memiliki kesempatan 50-60% mewarisi sindrom ini pada keturunan karena karakteristik dominan dari gen ini.1,2 Karena variabilitas ekspresi fenotipik, beberapa pasien menunjukkan penetrasi fenotipik lengkap, sedangkan anggota keluarga lain mungkin tampak normal dan masih membawa mutasi Crouzon.

Jika kedua orang tua tidak menderita sindroma Crouzon, kesempatan anak yang lahir dengan sindroma Crouzon sangat kecil. Namun, jika salah satu orang tua menderita sindroma Crouzon, kemungkinan bahwa setiap kehamilan akan menghasilkan anak dengan sindrom ini adalah 1 dari 2 (50% risiko). Jika ada anggota keluarga lain memiliki sindroma Crouzon, maka risiko terjadinya sindroma Crouzon untuk setiap kehamilan juga sebesar 50%.

11


(23)

BAB 3

GAMBARAN KLINIS UMUM, ORAL DAN RADIOGRAFI SINDROMA CROUZON

3.1 Gambaran Klinis Umum

Penderita sindroma Crouzon secara klinis memiliki ukuran kranium yang pendek dan lebar, atau sekitar 30% penderita sindroma Crouzon mengalami hydrocephalus, dan yang menjadi ciri paling umum yaitu mengalami orbital proptosis, hypertelorism dan divergent strabismus. Hydrocephalus terjadi tahap demi tahap dan disertai nyeri kepala dan juga mungkin muntah dan / atau kejang. Penyatuan dasar kranium yang cepat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan wajah.3

Gambar 3. Gambaran wajah anak penderita sindroma Crouzon.8

Karakteristik umum lainnya yang dijumpai pada penderita sindroma Crouzon adalah gangguan penglihatan yang berkaitan dengan ketidakseimbangan otot. Abnormalnya perkembangan ekstraokular otot menjadi penyebab strabismus yang


(24)

telah ditemukan pada 92% dari total kasus yang telah dilaporkan dari pasien dengan sindroma Crouzon, dengan pola-V eksotropia sebagai varietas paling umum. Kurangnya pertumbuhan sutura di daerah basis temporal dan kranium menjadi penyebab terciptanya orbit yang dangkal. Hal ini menyebabkan menonjolnya bola mata dan dapat berpengaruh terhadap ulserasi kornea dan infeksi. Exophthalmos juga terjadi hampir pada semua individu dan dianggap sebagai ciri yang umum dari sindroma Crouzon.10,12,26

Hidung menonjol dan tajam terlihat seperti paruh karena maksila yang sempit dan pendek dalam arah vertikal dan anteroposterior. Tulang hidung anterior hipoplasti dan retrusi sehingga tidak mampu untuk mendukung jaringan lunak hidung (Gambar 4).

3

Gambar 4. Terlihat pada gambar hidung yang menonjol dan tajam terlihat seperti paruh, dan pada mata terlihat orbital proptosis (bola mata keluar).10

Telinga pada penderita sindroma Crouzon secara klinis terletak pada posisi yang lebih rendah dari normal. Suatu kelainan bawaan di mana daun telinga sangat kecil (microtia) dan letaknya agak kebelakang dan kehilangan atau mengecilnya kanal telinga (congenital aural atresia) juga didapati pada penderita sindroma


(25)

Crouzon. Pada beberapa kasus penyakit ini juga dapat menyebabkan terjadinya kehilangan pendengaran.

Sekitar 5% kulit pasien menderita acantosis nigricans, umumnya di bagian leher, di bawah lengan atau di daerah pangkal paha. Dimana hal ini dapat ditemukan setelah anak lahir. Kulit berwarna hitam tipis ada bercak dan jika diraba seperti beludru.

3

Perkembangan psikomotorik dan kemampuan mental penderita sindroma Crouzon umumnya dalam batas normalitas. Beberapa laporan keterbelakangan mental, sering mengalami nyeri di kepala dan munculnya rasa cemas dianggap berkaitan erat dengan peningkatan tekanan intrakranium, yang mana terjadi akibat pembatasan tumbuh kembang otaknya.

3,26

26

3.2 Gambaran Klinis Oral

Sindroma Crouzon merupakan penyakit autosomal dominan yang disebabkan oleh mutasi gen pertumbuhan FGFR2, hal ini mengakibatkan sutura kranium yang cepat menutup. Adapun manifestasi penyakit ini yang dapat ditemukan di rongga mulut antara lain :

1. Mandibula prognati.

Penderita sindroma Crouzon akan mengalami mandibula prognati. Mandibula prognati adalah protusi rahang bawah yang melebihi jarak normal dari basis kranium. Mandibula prognati sendiri memiliki ciri klinis yaitu hubungan molar paling sering hubungan Klas III, pasien biasanya memiliki profil yang konkaf, gigitan terbalik posterior akibat lengkungan rahang atas yang sempit dan pendek tapi dengan lengkungan rahang bawah yang lebar, dan pasien dengan peningkatan tinggi intermaksilla dapat mengalami gigitan terbuka anterior. Pada beberapa pasien juga menunjukkan terjadinya gigitan dalam.


(26)

Gambar 5. Protrusi mandibula terlihat pada seorang anak penderita sindroma Crouzon.3

2. Maksila atresia.

Maksila atresia adalah kelainan bentuk dentofasial yang ditandai dengan hubungan maksila-mandibula yang tidak sesuai dalam hubungan transversal, yang mungkin memperlihatkan sepihak atau bilateral crossbite posterior. Terdiri dari penyempitan lengkung atas dengan langit-langit yang dalam dan sering dikaitkan dengan disfungsi pernapasan. Keadaan ini juga terkadang bisa tersembunyi atau tidak terlihat jelas karena posisi sagital dari maksila dan mandibula yang melintang kurang jelas.

3

Gambar 6. Pada gambar terlihat maksila atresia penderita sindroma Crouzon.5


(27)

3. Gigi berjejal pada maksila.

Maloklusi adalah ketidaksesuaian antara ukuran gigi dengan dimensi lengkung rahang atau hubungan yang tidak benar antara gigi dari dua lengkungan gigi. Penyebabnya secara garis besar bisa dibagi menjadi dua, yang pertama adalah akibat kebiasaan buruk semasa kanak-kanak, dan yang kedua yaitu kelainan genital dimana yang menjadi penyebab pada umumnya adalah kelebihan jumlah gigi, kekurangan jumlah gigi, adanya gigi yang impacted atau bentuk gigi yang abnormal. Pada penderita sindroma Crouzon gigi berjejal pada maksila terjadi diakibatkan oleh maksila hipoplasi.

3

Gambar 7. Pada gambar terlihat gigi berjejal pada maksila.10

4. Crossbite anterior dengan openbite posterior.

Crossbite adalah ketidakteraturan oklusal dimana satu gigi atau lebih memiliki posisi yang lebih bukal atau lingual (yang mana gigi-gigi tersebut lebih dekat ke pipi atau lidah) daripada posisi yang seharusnya diatas atau di bawah gigi antagonisnya. Crossbite anterior tidak dapat disebut sebagai overjet negatif, dan merupakan ciri khas dari hubungan rahang Klas III (prognathism). Open bite terjadi karena perubahan dalam TMJ pada satu atau kedua belah rahang. Menyebabkan kontak yang tidak merata hanya pada gigi posterior, tetapi tidak pada gigi anterior.


(28)

Gambar 8. Pada gambar terlihat crossbite anterior dengan openbite pada gigi posterior pada penderita sindroma Crouzon.8

5. Lengkung rahang maksila berbentuk huruf V.

Hipoplasia maksila menjadi penyebab yang paling umum dari lengkung rahang berbentuk V.

3

Gambar 9. Gambar menunjukkan lengkung rahang berbentuk huruf V pada pasien sindroma Crouzon.11


(29)

6. Celah langit-langit dan bifid uvula.

Celah langit-langit adalah suatu kondisi di mana dua lempeng tengkorak yang membentuk langit-langit keras (langit-langit mulut) tidak benar-benar bersatu. Celah langit-langit dapat terjadi seluruhnya atau sebagian. Hal ini terjadi karena kegagalan fusi dari proses palatina lateral, septum hidung, dan / atau proses palatine median (pembentukan langit-langit sekunder).

3

Gambar 10. Pada gambar diatas terlihat adanya celah langit-langit pada maksila penderita sindroma Crouzon.15

7. Oligodonsia, makrodonsia, peg-shaped, dan diastema.

Kondisi-kondisi ini bukan merupakan ciri yang paling umum namun sering terjadi pada penderita sindroma Crouzon. Oligodonsia adalah kondisi dimana hilangnya lebih dari 6 gigi, tidak termasuk gigi molar 3 nya. Peg-shaped teeth biasanya terjadi pada gigi insisivus lateral. Gigi-gigi ini lebih kecil dari biasanya dan meruncing dalam bentuk. Diastema adalah ruang atau celah antara dua gigi.

3

3.3 Gambaran Radiografi

Radiografi pada penderita sindroma Crouzon pada umumnya adalah sklerosis dan overlapping edges. Secara normal sutura kranium adalah radiolusen, namun pada


(30)

kasus ini radiopak dan tidak terlihat, yang terlihat hanya perubahan jaringan sklerotik.

Pada beberapa kasus ditemukan perubahan dari kranium, dimana sering terlihat adanya pertumbuhan yang abnormal pada penderita sindroma Crouzon karena adanya peningkatan tekanan intrakranium dari perkembangan otak. Perubahan ini terlihat sebagai multipel radiolusen yang muncul akibat tekanan dari permukaan dalam kranium yang tampak seperti logam tempa.

3

3

Gambar 11. Pada gambar terlihat penyatuan sutura kranium yang terlalu cepat dan tekanan pada permu- kaan dalam kalvarium akibat pertumbuhan otak.12

Hasil foto panoramik pada penderita sindroma Crouzon pada umumnya juga akan menunjukkan crowding yang jelas terjadi. Dalam hal ini tanpa terkecuali terjadi pada penderita berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan sebagai salah satu ciri umum pada gambaran klinis oral penderita sindroma Crouzon (Gambar 12 dan 13).


(31)

Gambar 12. Gambaran panoramik penderita sindroma Crouzonpada anak laki-laki.3

Gambar 13. Gambaran radiografi panoramik penderita sindroma Crouzon pada anak perempuan.3


(32)

BAB 4

PERAWATAN DAN LAPORAN KASUS

4.1 Perawatan Sindroma Crouzon

Perawatan sindroma Crouzon secara garis besar terbagi menjadi 3 langkah perawatan yang paling umum dilakukan. Perawatan craniosynostosis menjadi langkah pertama dalam perawatan, dilanjutkan dengan rekonstruksi wajah dan diakhiri dengan perawatan maloklusi. Urutan perawatan bisa saja berubah tergantung dari usia penderita saat akan melakukan perawatan atau waktu penegakan diagnosanya.1-7,10-16,21,24,26

Langkah pertama yang merupakan perawatan craniosynostosis adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki kelainan akibat penyatuan dini dari sutura-sutura kranium dari seorang anak. Untuk anak-anak usia di bawah 6 bulan, dilakukan pembedahan yang bertujuan merekonstruksi kranium agar pertumbuhan kranium dapat tumbuh mendekati normal. Teknik pembedahan yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pembedahan terbuka (open repair). Waktu yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan ini adalah pada anak-anak ketika mereka berusia diantara 3 - 6 bulan.

Langkah kedua perawatan merupakan rekonstruksi wajah dengan teknik pembedahan kombinasi. Tehnik pembedahan yang umumnya dilakukan adalah

LeFort III dikombinasikan dengan perawatan osteotomi monoblok dan

spectacleplasty. Teknik tersebut biasanya dilakukan setelah pertumbuhan wajah selesai dan dapat dikombinasikan juga dengan genioplasty. Prosedur tambahan seperti rhinoplasty juga mungkin diperlukan dalam rekontruksi wajah.

1-7,10-16

Waktu yang terbaik untuk dilakukannya rekonstruksi pada wajah adalah ketika anak berusia 4 sampai 6 tahun.

Langkah ketiga merupakan perawatan maloklusi. Pada tahap ini perawatan sangat tergantung kepada usia dan hasil diagnosa dari ortodontis dan ahli bedah kraniofasial. Ortodontis menentukan perawatan yang akan dilakukan dan biasanya


(33)

bekerja sama dengan ahli bedah dalam menentukan waktu dan kombinasi perawatan yang tepat.

Adanya 1-7,10-16

varian dan tingkat keparahan masalah yang terkait dengan sindroma Crouzon dan perbedaan waktu penegakan diagnosanya, akan menimbulkan adanya perbedaan dalam pendekatan pengobatan yang dipilih untuk kasus tiap individu. Beberapa terapi yang mungkin dilakukan misalnya ortodonti saja atau pembedahan saja, ortodonti dan pembedahan, ortodonti-ortodonti, dan pembedahan-ortodonti-pembedahan-ortodonti.1

4.1.2 Perawatan Ortodonti

Maloklusi merupakan kejadian umum yang sering dijumpai pada penderita sindroma Crouzon dan sangat terkait dengan ketidakseimbangan dentoalveolar akibat stenosis kraniofasial. Maloklusi Klas III tipe skeletal yang terjadi pada kasus sindroma Crouzon dapat dikarakteristikan dengan mandibula yang prognati, maksila retrognati, maupun kombinasi keduanya. Secara klinis, profil wajah pasien akan terlihat cembung dengan area nasomaksilaris retrusi. Bibir bawah relatif lebih protusi daripada bibir atas. Lengkung rahang atas biasanya lebih sempit daripada lengkung rahang bawah, overjet terbalik dan overbite insisal yang berlebihan.1-7,10-16

Tujuan utama perawatan ortodonti pada pasien sindroma Crouzon adalah untuk merawat masalah dentoalveolar. Perawatan pada umumnya dilakukan bersamaan dengan perawatan bedah yang tujuan utamanya untuk merawat ketidakharmonisan skeletal. Kedua terapan ilmu ini menjadi kombinasi perawatan yang tepat dalam penanganan penderita sindroma Crouzon. LeFort I osteotomi adalah tindakan pembedahan yang menjadi pilihan utama untuk dikombinasikan dengan perawatan ortodonti pada pasien sindroma Crouzon.

Sindroma Crouzon yang mengakibatkan pertumbuhan gigi bercampur dengan maksila hipoplasi, gigi geligi rahang atas crowding berat, mandibula prognati atau open bite anterior mungkin memerlukan intervensi bedah sebelum setiap perawatan ortodonti. Dalam kasus seperti ini, ahli bedah biasanya akan melakukan tindakan bedah untuk memajukan dari sepertiga wajah tengah untuk mencoba mengurangi


(34)

kebutuhan untuk melakukan pembedahan rahang atas tambahan saat mandibula selesai tumbuh normal.

Bila terdeteksi sejak usia dini, maka perawatan ortodonti yang dimaksud disini adalah perawatan yang terbagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama merupakan perawatan ortodonti pra-bedah, dan tahap yang kedua merupakan perawatan ortodonti pasca bedah. Pemilihan jenis perawatan akan tergantung kepada kebutuhan masing-masing pasien sesuai dengan tingkat keparahan kasusnya, waktu diagnosa, dan kemauan si pasien itu sendiri. Untuk perawatan pra-bedah tujuan yang ingin dicapai pada umunya adalah untuk mendapatkan koreksi dari skeletal maksila dan gigi untuk memberikan lebar lengkung yang sesuai sebagai akibat maksila yang hipoplasi, pengembangan ruang yang cukup, mengatasi crowding, dan menyelaraskan kedua lengkung. Alat yang biasa digunakan pada perawatan ini seperti fixed rapid palatal expansion appliance (RPE) (Gambar 14 dan 15). Untuk tahap perawatan pasca bedah tujuan yang ingin diperoleh dari perawatan ini adalah

1-7,10,12,15

untuk menyelesaikan detail oklusi dan membangun hubungan fungsional yang tepat. Setelah diperoleh detail oklusi dan hubungan fungsional yang tepat, pasien diberikan retainer dan tetap terus dipantau untuk melihat apakah ada pergerakan lagi dan apakah membutuhkan tindakan bedah tambahan.1

Gambar 14. RPE dengan sekrup Hyrax®.


(35)

Gambar 15. RPE menurut McNamara.

Kunci sukses perawatan penderita sindroma Crouzon ini adalah koordinasi antara urutan penanganan dan kedisiplinan. Dengan tujuan menyelaraskan dan meratakan lengkungan gigi untuk menghilangkan kompensasi gigi yang telah berkembang sebagai akibat dari ketidakseimbangan skeletal. Jika displasia pada sepertiga wajah tengah parah, ekstraksi gigi dan pergerakan tambahan terhadap gigi akan dilakukan sebelum dilakukan tindakan pembedahan untuk memperbesar jarak sagital gigi dan memungkinkan untuk memaksimalkan kemajuan sepertiga wajah tengah dan dicapainya wajah yang estetis. Setelah koreksi bedah, pasien akan menyelesaikan perawatan ortodonti untuk keselarasaan akhir dan detail dari oklusi. Masih ada kemungkinan bahwa perbedaan sagital bisa muncul kembali, menyebabkan perlu dilakukannya prosedur bedah atau ortodonti tambahan di awal usia dua puluhan atau di akhir usia remaja pasien. Maka dari itu kerjasama dari tim multidisiplin dan kontrol setelah perawatan selesai sangat berpengaruh terhadap hasil akhir perawatan dan untuk kedepannya. Jika pendekatan yang terkoordinasi antara spesialisasi ini tidak dilaksanakan, maka akibat yang dapat terjadi adalah maloklusi maupun displasia wajah tidak sepenuhnya terkoreksi. Akibatnya pasien akan menghadapi perawatan bedah dan ortodonti tambahan untuk mengembalikan pengobatan sebelumnya yang seharusnya dapat dihindari dengan pendekatan yang terkoordinasi.1-7,10,12,15


(36)

4.1.2.1 Bedah ortognati

Bedah ortognati menjadi pilihan perawatan disaat pasien sindroma Crouzon yang akan melakukan perawatan telah mencapai usia akhir remaja atau dewasa. Bedah ortognati disebut juga sebagai bedah rahang korektif. Bedah ortognati adalah bedah untuk memperbaiki kondisi rahang dan wajah yang berhubungan dengan struktur pertumbuhan, masalah maloklusi karena ketidakharmonisan skeletal, sleep apnea, gangguan TMJ, atau masalah ortodonti lain yang tidak dapat dengan mudah diobati dengan hanya menggunakan pesawat ortodonti. Prosedur bedah ini paling tidak dilakukan antara usia 14-18 tahun, saat dimana fase pertumbuhan tulang wajah telah memasuki usia kematangan. Tulang dapat dipotong dan diselaraskan kembali, kemudian ditempatkan sekrup atau plat dan sekrup.

Prosedur bedah ortognatik yang sukses bergantung pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip bedah. Aspek penting dari manajemen pasien meliputi, persiapan psikologis pasien, pemeliharaan suplai darah ke gigi dan segmen rahang dimobilisasi, manajemen luka yang tepat perlindungan gigi, tulang dan struktur neurovascular, metode fiksasi untuk segmen tulang, kontrol oklusi yang tepat, dan rehabilitasi untuk fungsi rahang sepenuhnya. Penggunaan anestesi yang sesuai, darah produk atau pengganti, dan pencangkokan tulang juga penting untuk bedah. Nutrisi pra-bedah dan pasca bedah yang baik mendukung penyembuhan dan kembali cepat berfungsi setelah pembedahan.

4-7

4-7

Bedah ortognati dilakukan oleh satu tim ahli bedah oral dan maksilofasial, ahli bedah plastik, atau THT bekerja sama dengan ortodontis. Prosedurnya sering kali dilakukan bersama dengan pemasangan pesawat ortodonti sebelum dan setelah bedah, dan retainer setelah pesawat ortodonti dilepas. Bedah ortognati sering dibutuhkan setelah rekonstruksi dari celah langit-langit atau anomali kraniofasial utama lainnya. Koordinasi yang teliti antara ahli bedah dan dokter gigi menjadi faktor yang sangat penting untuk memastikan bahwa gigi akan dengan benar dan pas pada posisi semestinya setelah dilakukan tindakan pembedahan.

Keuntungan perawatan bedah ortognati yaitu over-koreksi overbite dan relapse yang lebih rendah. Selain itu, pada perawatan bedah ortognati juga dapat


(37)

menghasilkan perbaikan profil wajah yang memuaskan. Namun dalam beberapa kondisi, perawatan bedah merupakan kontraindikasi karena alasan limitasi biologis pasien dan juga terkadang pasien menolak untuk dilakukan tindakan bedah.4-7

4.2 Laporan Kasus

Berikut ini beberapa laporan kasus penderita sindroma Crouzon beserta penanganan anomalinya.

Kasus 1.

Anak laki-laki usia 9 setengah tahun, Kaukasian dengan sindroma Crouzon dibawa ke Departemen Ortodonti di Fakultas Kedokteran Gigi Baylor setelah diarahkan sebelumnya oleh dokter bedah kraniofasialnya untuk penilaian dan koordinasi pengobatan ortodontinya dengan lanjutan bedah kraniofasial dimasa depan. Sang ibu khawatir dengan penampilan wajah putranya dan kemampuannya untuk mengunyah dengan benar.

Catatan Medis Keluarga

Pasien adalah anak paling kecil dari 2 bersaudara, yang mana keduanya mengidap sindroma Crouzon. Sang ibu juga terkena sindroma Crouzon yang konsisten dengan ditemukannya anomali kongenital. Pada usia 3 tahun dilakukan pembedahan memajukan dahi dan pada usia 4 tahun dilakukan sebuah prosedur untuk mengoreksi strabismus. Pada usia 5 tahun, dokternya mengindikasikan bahwa situs bedah telah sembuh dan dahi sudah berada di posisi yang sangat baik. Tidak ditemukan adanya cacat saraf atau mental dan mata tidak proptotik. Tidak juga ditemukan adanya bukti terjadinya sleep apnea. Dokter bertekad bahwa akan lebih baik untuk menunda pembedahan memajukan sepertiga wajah tengah selama memungkinkan untuk meminimalkan kebutuhan dari bedah tambahan dimasa depannya, karena adanya pertumbuhan signifikan mandibula yang diharapkan. Pada saat ini, diperkirakan bahwa kranium dan tulang orbital pasien telah mencapai 90 persen dari ukuran dewasanya.


(38)

Penilaian Ortodonti

Gambar 16. Foto ekstra oral awal pasien pada usia 9, dengan karakteristik penampilan wajah sindroma Crouzon.

Sebuah catatan penuh termasuk studi gips, sefalometri, radiografi posteroanterior, foto, dan rafiografi panoramik sudah diperoleh. Sebuah pemeriksaan klinis didapati bentuk kepala yang dolichocephalic dan bentuk wajah yang leptoprosopic, sepertiga wajah tengah yang kurang sempurna dan mata proptosis dengan sedikit strabismus. Terlihat ketegangan mental dan bibir yang inkompeten. Profil wajah cekung dan dagu rendah (Gambar 16). Dari pemeriksaan intra oral nya, gigi geligi berada dalam hubungan Klas III dengan gigitan crossbite anterior posterior yang terlihat jelas (Gambar 17).


(39)

Gambar 17. Foto awal intra-oral menunjukkan keparahan masalah dalam dimensi transversal dan vertikal sagital selain perbedaan panjang lengkung.

Gambar 18. Radiografi panoramik menunjukkan crowding pada kedua lengkung rahang.

Kaninus maksila impected dan kaninus mandibula belum erupsi dengan panjang lengkung yang tersedia tidak cukup (Gambar 18). Temuan pada sefalometri mengungkapkan sudut dasar kranium sedikit berkurang. Maksila retrognasi dan relatif cenderung posterior ke basis anterior kranium. Mandibula retrognasi dan


(40)

cenderung relatif posterior terhadap basis anterior kranium dan maksila. Hubungan sagital rahang adalah mandibula prognati. Sudut datar mandibula tinggi dan terjadi peningkatan tinggi dagu. Peniadaan yang signifikan dari konveksitas wajah dan bibir atas yang berada dibelakang sudut estetis Ricketts. Temuan ini bersama dengan riwayat medis merupakan karakteristik dari sindroma Crouzon.

Pengobatan

Ketika pasien membutuhkan pengobatan baik bedah dan ortodonti, pengobatannya biasanya dipisah menjadi persiapan ortodonti sebelum bedah, bedah, ortodonti mendetail oklusi dan retensi pasca bedah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan bentuk wajah dan estetis dan mengoptimalkan fungsi oklusi. Jika bedah LeFort III dilakukan sebelum pertumbuhan mandibula selesai, sering dibutuhkan lagi untuk melakukan bedah tambahan LeFort I osteomy, sering dengan genioplasty, ketika pasien lebih tua dan kematangan skeletal telah selesai. Sejak pertimbangan psikososial pasien menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan waktu yang tepat untuk untuk melakukan bedah sepertiga wajah tengah, keputusan kapan untuk melakukan bedah dibuat secara bersama sesuai keputusan pasien dan keluarganya. Dalam kasus ini, pasien berusia 9 tahun, tidak begitu mempedulikan penampilannya, dan hubungan sosial dengan sekitar cukup baik. Jadi, diputuskan untuk terus memantau si pasien setiap tahun bersama dengan ahli bedah kraniofasial, untuk menentukan waktu yang tepat kapan memajukan sepertiga wajah tengah dan melakukan perawatan ortodonti.

Ketika dokter bedah menilai kembali pasien pada bulan November 1995, tercatat bahwa ketika kompleks maksila tetap resesif, perkembangan hidung pasien sangat baik. Karena posisi hidung yang sangat baik, dokter bedah mempertimbangkan bedah dua tahap yang akan memajukan dinding lateral orbital, inferior orbital rim, dan zygoma, daripada memilih LeFort III osteomy yang akan memajukan keseluruhan sepertiga wajah tengah. Setelah tahap pertama sembuh dan stabil, sebuah bedah LeFort I akan dilakukan untuk memajukan maksila. Pasien dan orang tuanya memutuskan untuk terus menunda setiap bedah dan mencatat bahwa hubungan


(41)

anaknya disekolah cukup baik, tidak diejek oleh teman-temannya dan belum begitu peduli dengan penampilannya.

Gambar 19. Foto-foto ekstra oral pasien pada usia 12 tahun sebelum dimulainya perawatan ortodonti.

Pada pertengahan 1997, si pasien, sekarang sudah berusia 12 tahun, menyatakan minat dalam meningkatkan penampilan wajahnya serta pengunyahannya. Satu set baru catatan ortodonti diambil dan evaluasi diagnostiknya menunjukkan ada perbaikan. Sebaliknya, terjadi peningkatan dalam tingkat keparahan masalah yang diidentifikasi pada tahun 1994. Gigi kaninus permanen rahang bawah telah erupsi eptopik (Gambar 19 dan 20). Terbukti pula bahwa pada saat itu adalah waktu yang tepat untuk memulai perawatan ortodonti dan konsultasi dengan ahli bedah kraniofasial untuk mengkoordinasikan rencana pengobatan secara keseluruhan. Pada titik ini, pasien mencari jaminan dan mencari layanan ahli bedah kraniofasial.

Ahli bedah mengindikasikan bahwa untuk saat ini lebih bagus untuk menunda sementara memajukan sepertiga wajah tengah pasien, karena usia dan pertumbuhan mandibula yang diharapkan, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa ia akan


(42)

membutuhkan tambahan prosedur LeFort I di akhir usia remaja untuk mempertahankan koreksi oklusinya. Ahli bedah juga menyarankan untuk memajukan frontalnya karena menunjukkan retrusi dan proptosis yang terkait. Setelah mempertimbangkan secara seksama resiko dibandingkan dengan manfaat dari pilihan ini, keluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatan ortodonti dan memajukan sepertiga wajah tengah. Namun, keluarga memutuskan untuk menunda bedah tambahan untuk memajukan frontal untuk dilaksanakan dikemudian hari saja.

Gambar 20. Foto-foto intra-oral menunjukkan peningkatan keparahan, termasuk gigi kaninus rahang atas yang tidak erupsi.

Perencanaan Pengobatan

Persiapan Ortodonti Pra-bedah

Pasien dievaluasi untuk melihat adanya karies atau penyakit periodontal sebelum penempatan alat ortodonti. Tujuan dari fase pengobatan ini adalah : 1) koreksi dari skeletal maksila dan gigi untuk memberikan lebar lengkung sesuai dan intercuspation ketika diartikulasikan dalam hubungan Klas 1; 2) pengembangan ruang yang cukup untuk erupsi gigi kaninus rahang atas; 3) mengatasi crowding; 4)


(43)

meratakan dan penyelarasan kedua lengkung; 5) penempatan gigi dalam posisi seideal mungkin diatas basis gigi tiruan; dan 6) pencabutan gigi anterior atas untuk memungkinkan kemajuan maksimum sepertiga wajah tengah selama pembedahan.

Gambar 21. Foto pra-bedah menunjukkan dekompensasi dari pertumbuhan gigi

untuk memungkinkan

saat pembedahan

sepertiga wajah tengah dapat dimajukan secara maksimal .


(44)

Gambar 22. Foto intra-oral oklusal menunjukkan perkembangan bentuk lengkung, penghapusan crowding dan kaninus rahang atas erupsi.

Perawatan ortodonti dimulai pada akhir Agustus 1997. Untuk tercapainya tujuan pengobatan, keputusan dibuat untuk mencabut premolar satu pada maksila dan premolar dua mandibula. Sebelum dicabut, fixed rapid palatal expansion appliance (RPE) ditempatkan pada rahang atas untuk memperbaiki perbedaan melintang keskeletal dan membangun kembali lebar lengkung normal. RPE tetap digunakan selama tiga bulan untuk tujuan stabilisasi. Keputusan diambil dengan sisi depan menggunakan (0.018 x 0.025 in) ditempatkan pada kedua lengkung pada bulan September 1998. Tujuan pengobatan pra-bedah telah dicapai pada bulan Mei 2000 dan kawat untuk menstabilkan (0.017 x 0.025 in) ditempatkan di kedua lengkung untuk fiksasi maxillomandibular selama bedah (Gambar 23 dan 24). Sesaat sebelum bedah, cetakan yang diambil dari gips dipasang untuk model bedah dan konstruksi belat bedah. Gigi-gigi diartikulasikan dalam hubungan normal Klas I anteroposterior dan overbite yang normal terpancang. Jumlah perubahan skeletal yang diperlukan untuk mencapai hasil oklusal adalah 6,5 mm dari kemajuan horizontal dan 2 mm dari penurunan vertikal pada tingkat pertumbuhan gigi tersebut.


(45)

Pengobatan Bedah

Tujuan ideal dari bedah adalah untuk mencapai kemajuan sepertiga wajah tengah yang akan menduplikasi pertumbuhan yang mungkin, dan diharapkan dari usia 14 hingga dewasa. Dalam hal ini, yang diprediksi akan menjadi 11 mm, yang akan diperlukan adalah sebuah kemajuan sepertiga wajah tengah yang akan stabil terhadap kekuatan jaringan intrinsik. Karena jumlah pertumbuhan pasca-bedah bervariasi dengan masing-masing individu, sulit untuk memprediksi perubahan pertumbuhan dengan akurat. Dengan demikian, pasien disarankan melakukan satu prosedur tambahan lagi, Lefort 1 osteotomy atau memundurkan mandibula. Salah satu prosedur mungkin diperlukan jika ia tumbuh melampaui koreksi Klas I yang ingin dicapai dalam bedah ini. Dokter bedah menyarankan lagi bahwa dengan bedah tambahan memajukan frontal akan memberikan hasil estetika terbaik. Pada 7 Juni 1999 pasien melakukan Lefort III osteotomy dengan cangkok tulang interpositional dengan mengambil ketebalan kranium dan bilateral dari bagian tengah dan lateral canthoplexies. Fiksasi kaku pada setara zygomatic pasien untuk memperkuat digunakan bersama dengan kawat internal pada sutura frontonasal. Setelah bedah, pasien menghabiskan 24 jam di unit perawatan intensif. Dalam masa perawatan pasca-bedah tidaklah rumit dan pasien meninggalkan rumah sakit setelah lima hari dengan belat bedah ditempatkan bersama dengan elastis vertikal Klas III yang ringan. Dua minggu kemudian ahli bedah menghilangkan belat dan menyarankan untuk kembali ke dokter gigi untuk menyelesaikan perawatan pasca-bedahnya.


(46)

Gambar 23. Foto akhir wajah menunjukkan proyeksi sepertiga wajah tengah mengingkat, konveksitas wajah positif dan pengurangan dalam dimensi wajah anterior vertikal.

Pengobatan Ortodonti Pasca-Bedah

Jangka waktu delapan bulan pengobatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan detail oklusi dan membangun hubungan fungsional yang tepat (Gambar 23, 24 dan 25). Pasien kemudian diberikan retainer dan dipantau untuk melihat dampak dari pertumbuhan dan kebutuhan bedah tambahan di masa depannya.

Gambar 25. Hasil akhir radiografi panoramik, menunjukkan Distribusi akar yang tepat dan kaninus rahang atas dalam posisi yang baik. Terlihat gigi molar ketiga yang sedang berkembang.


(47)

Gambar 24. Hasil akhir oklusal.

Waktu perawatan total yang dibutuhkan adalah 30 bulan. Superimposisi sefalometri di dasar anterior kranium dari inisiasi untuk selesainya pengobatan menunjukkan efek positif dari kombinasi perawatan ortodonti dan bedah dengan pertumbuhan mandibula pasien pada koreksi kekurangan pada sepertiga wajah tengah (Gambar 26).


(48)

Gambar 26. Superimposisi sefalometri menampilkan perubahan secara keseluruhan sebagai hasil pengobatan dan pertumbuhan.

Kasus 2.

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dilaporkan dengan keluhan pembesaran gusi di gigi depan rahang atas sejak usia 2 tahun. Ada peningkatan ukuran secara bertahap dan konstan pada gusi tersebut. Gigi depan rahang atas kiri permanen tidak erupsi sudah sejak 6 bulan setelah gigi sulungnya tanggal. Pasien tidak sedang menjalani perawatan jangka panjang apapun. Tidak ada manifestasi sistemik seperti demam atau penurunan berat badan.

Pasien ini menderita retardasi mental, kebutaan di mata kanan dan kehilangan pendengaran pada telinga kanan. Dari riwayat keluarga didapati pernikahan sedarah antara kedua orang tuanya. Tidak ada riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga lainnya.

Pada pemeriksaan ekstraoral didapati bentuk kepala trigonocephaly, dan tulang hidung mengalami depresi. Ada hypertelorism, mata proptosis bilateral dan strabismus. Sepertiga tengah wajah menunjukkan hipoplasia ringan (Gambar 27). Tidak didapati anomali dari ekstremitas atas atau bawah.


(49)

Gambar 27. Foto ekstraoral menampilkan trigonocephaly, sepertiga wajah tengah hipoplasia, mata proptosis dan hypertelorism.

Pada pemeriksaan intraoral didapati pembesaran mukosa disekitar linggir alveolar pada regio insisivus sentral kiri rahang atas yang tidak erupsi dan gingiva disekitar sisa akar dari gigi desidui kanan atas, insisivus lateral kanan dan kiri dan gigi taring. Konsistensi gingiva tindak kenyal dan didapati juga beberapa lesi karies yang dalam yang melibatkan sebagian besar gigi sulung.

Diagnosa

Temuan diagnosa klinis menunjukkan sindroma Crouzon dan false gingival enlargement pada gigi anterior rahang atas.


(50)

Gambar 28. Radiografi panoramik menunjukkan pertum- buhan gigi dalam periode gigi bercampur.

Disarankan untuk melakukan pemeriksaan radiografi dan hematologi. Hasil radiografi panoramik menunjukkan pertumbuhan gigi pada periode gigi bercampur dengan adanya benih gigi permanen (Gambar 28). Lesi karies yang dalam mempengaruhi pertumbuhan gigi sulung yang terlihat. Hasil radiografi posteroanterior kranium dan lateral menunjukkan obliterasi dari sutura sagital dan beberapa tanda sugestif convolutional dari beaten metal (beaten copper/silver) terlihat (Gambar 29). Tidak ditemukan anomali lain dalam radiografi tulang belakang, dada dan ekstremitas.

Gambar 29. Tampilan posteroanterior dan lateral menunjukkan tampilan logam tempa dan tidak tampaknya sutura sagital.


(51)

Adalah false gingival enlargement yang membuat pasien untuk mencari konsultasi gigi dalam kasus ini. Temuan semacam ini belum pernah dijelaskan dalam literatur dan bisa menjadi sebuah temuan kebetulan. False gingival enlargement bisa muncul seperti itu karena peningkatan ukuran dari jaringan osseus yang mendasari atau jaringan giginya. Selama berbagai tahap erupsi terutama dari gigi primer, pada gingiva labial mungkin menunjukkan distorsi marjinal bulat seperti yang terlihat dalam kasus ini dan mungkin telah ditekankan karena karies gigi primer. Pembesaran ini adalah tipe perkembangan dan hadir tanpa masalah klinis.

Pada pasien ini kemampuan mental dan pengembangan psikomotorik umumnya dalam batas normal. Namun, tekanan intrakranium yang meningkat dapat menyebabkan retardasi mental yang tercatat pada tingkat ringan dalam kasus ini. Hidrosefalus yang progresif, tonsil herniasi kronis dan stenosis foramen jugularis dengan obstruksi vena juga dapat terjadi dengan frekuensi yang signifikan.

Evaluasi radiografi memiliki peran penting dalam mendiagnosa craniosynostosis dan anomali tulang yang terkait. Tanda-tanda awal dari radiografi synostosis sutura kranium adalah sklerosis dan overlapping edges. Sutura yang normal biasanya akan terlihat radiolusen pada radiografi kranium dan tidak akan terdeteksi atau akan menunjukkan perubahan sklerotik. Bentuk kepala menonjol juga didapat sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranium dari otak yang sedang berkembang. Gambaran terlihat radiolusen memunculkan beberapa depressions (disebut sebagai digital impressions) dari permukaan bagian dalam kubah kranium, yang menghasilkan tampilan beaten metal (logam tempa).

Obliterasi dari sutura sagital dan copper beaten kranium terlihat di hasil radiografi pada pasien ini, menunjukkan remodeling internal kalvaria karena peningkatan tekanan intrakranium karena fusi dini dari sutura.

Radiografi tulang belakang memperlihatkan penyatuan dari C2-C3 atau C5-C6. Butterfly vertebrae juga terlihat. Fusi Carpal juga tercatat.


(52)

Perawatan

Penyelidikan mengungkapkan semua nilai hematologis dalam batas normal. Pasien dirujuk ke dokter anak dan kajian sistem lengkap tidak menunjukkan anomali baru.

Pasien dirujuk ke pedodontis untuk rehabilitasi oral secara komprehensif. Pasien juga dirujuk ke unit bedah maksilofasial untuk koreksi bedah anomali wajah dan kranium.

Pengelolaan sindroma Crouzon memerlukan pendekatan multidisiplin untuk mencegah fusi dini sutura kraniofasial yang dengan demikian mengurangi tekanan intrakranium dan untuk menghindari cacat kraniofasial sekunder. Komplikasi penting lainnya yang mungkin timbul meliputi atrofi optik, kebutaan, hipertensi kranium dan gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang. Intervensi bedah untuk koreksi kelainan kraniofasial pada craniosynostosis sindromik dapat dibagi ke dalam prosedur yang dilakukan pada awal kelahiran (4-12 bulan) untuk rilis sutura, dekompresi kubah kranium, pembentukan kembali orbital dan prosedur yang dilakukan kemudian (4-12 tahun) untuk cacat sepertiga wajah tengah dan bedah rahang. Manajemen yang tepat dari anomali terkait lainnya perlu dilakukan oleh spesialis yang terkait tergantung dengan adanya dan tingkat keparahannya. Pentingnya rehabilitasi mulut menyeluruh karena anomali gigi yang sering pada sindrom ini memerlukan suatu perawatan gigi yang komprehensif.

Prognosis tergantung pada tingkat keparahan kelainan dan waktu intervensi. Individu yang terkena biasanya memiliki jangka hidup yang normal. Individu penderita sindroma Crouzon dapat hadir dengan fitur berbeda-beda mencerminkan keparahan dari sindrom. Penting untuk melakukan pemeriksaan clinicoradiographic menyeluruh untuk memastikan diagnosis dini dan akurat dan juga untuk membedakan antara sindrom craniosynostosis serupa. Para dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang sindrom yang terkait dengan anomali kraniofasial untuk mendeteksi pasien yang tidak menyadari kondisi mereka sehingga mereka dapat diidentifikasi dan konseling mengenai sifat alaminya,


(53)

prognosis dan manajemen yang tersedia seperti yang diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi karena keterlambatan diagnosa.

Kasus 3.

Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa oleh orang tuanya ke rumah sakit karena mengeluhkan iritasi dan mata merah yang telah lama dirasakan di kedua bola matanya (OU). Ibu dari anak perempuan tersebut menyatakan bahwa sang anak terus menggosok matanya dan mengeluhkan rasa sakit seperti terbakar. Si ibu melaporkan bahwa persalinannya normal dan tahap tumbuh kembang sang anak juga normal. Tidak ada saudara atau kerabat dekat mereka yang memiliki anomali yang sama dengan anaknya (Gambar 30). Sang anak tidak dalam masa pengobatan tertentu dan tidak memiliki alergi medis. Pemeriksaan mata terakhirnya adalah sekitar 3 tahun sebelumnya, dan si ibu mengatakan bahwa hasil pemeriksaannya adalah "semuanya normal."

Gambar 30. Foto pasien pada saat datang menunjukkan


(54)

Best-corrected visual acuities adalah 20/30 pada mata kanan (OD) dan 20/40 di mata kiri (OS). Pada pemeriksaan eksternal ditemukan proptosis kotor 20 mm yang diukur dengan exophthalmometry. Si anak tidak bisa menutup mata dengan sempurna dan didapati bahwa giginya maloklusi. Jarak interpupilnya adalah 68 mm. Saudara laki-laki yang paling tua dari si pasien diperiksa, dan memiliki penampilan wajah yang normal, seperti juga halnya sang ibu dan ayah. Otot-otot intraokular penuh dan halus tanpa underactions atau overactions. Hasil tes penglihatan terhadap warna dengan lempengan pseudoisochromatic adalah normal baik. Pupil sama-sama bulat dan reaktif terhadap cahaya. Tekanan intraokular OU didapati 15 mmHg melalui tes

Goldmann applanation. Hasil pemeriksaan dilatasi fundus ditemukan edema disk

oprik bilateral.

Hasil temuan disampaikan kepada orang tua si anak. Dengan penampilan fisik si anak yang sangat berbeda dari anggota keluarga lainnya, pertanyaan yang diajukan dokter apakah ada yang pernah membahas diagnosis dari sindrom kraniofasial sebelumnya.

Pengobatan terhadap kondisinya pada saat ini terdiri dari air mata buatan

nonpreserved, salep mata per jam dan polytrim. Anak tersebut segera dirujuk ke pusat

konsultasi Ophthalmologic untuk evaluasi adanya edema cakram optik, dimana didapati hasil tes Heidelburg tomografi retina (HRT) dicoba pada OU, tetapi hanya OS yang diperoleh (Gambar 31).


(55)

Selain itu, rujukan dibuat untuk Pusat Gangguan Kraniofasial, Rumah Sakit Anak Atlanta untuk dievaluasi. Di sana ia menjalani beberapa tes, termasuk tes Audiologi (yang masih dalam batas normal), studi tidur untuk mengevaluasi apnea obstruktif (tes positif), dan evaluasi genetika. Evaluasi medis menemukan fasies dismorfik dengan hipoplasia maksila, proptosis, dan bukti dari synostosis bicoronal, yang mana semua temuan klinis yang konsisten dengan sindroma Crouzon.

Dari hasil evaluasi anggota keluarga lainnya ditemukan bahwa karena orang tua tidak memiliki semua fitur klinis (Crouzon), kemungkinan terbesar adalah bahwa ini merupakan mutasi sporadis. CT scan dengan rekonstruksi 3-dimensi (3D) menunjukkan synostosis bicoronal dan bukti tekanan intrakranium yang tinggi. Gambar 32 menunjukkan CT scan dari orbit menampilkan proptosis dari kedua bola mata. Gambar 33 menunjukkan CT scan kranium yang menampilkan fusi prematur sutura.


(56)

Gambar 33. CT scan kranium memperlihatkan garis fusi prematur sutura.

Dia menjalani kombinasi bedah kraniofasial dan saraf 2 bulan setelah kunjungan pertama. Dilakukan sebuah prosedur ekspansi monoblok,yang membuka sutura tertutup sambil memajukan rahang atas dan hipoplasia orbitnya. Pengukuran tekanan Intraoperatif cairan serebrospinal (CSF) menegaskan peningkatan tekanan

pada intrakranium pada hasil radiografi. Sebanyak 20 mm kemajuan dicapai, tekanan intrakranium dihilangkan, morfologi wajah dipulihkan, orbit normal dan perbaikan oklusi. Dia menjalani prosedur dengan baik dan sedang ditindaklanjuti oleh ahli bedah saraf secara berkala. Dia kembali ke rumah sakit untuk tindak lanjut dari papilledema, yang muncul walau hanya sedikit pada kunjungan 4 bulan pasca bedah.

Cacat penglihatan tidak lagi didapati pada screening fields. Hasil koreksi ketajaman visualnya pada kunjungan terakhir adalah 20/20 OU. Gambar 34 menunjukkan hasil kemajuan bedah ekspansi monoblok pasien.


(57)

Gambar 34. Foto pasien setelah dilakukan bedah ekspansi monoblok.

Diagnosa

Diagnosa Tes – analisis laboratorium

Lebih dari 50% pasien dengan sindroma Crouzon menunjukkan mutasi FGFR2 pada analisis molekuler. Mutasi FGFR2 juga didapati pada sindrom Apert, Pfeiffer, dan Jackson-Weiss. Mutasi juga terjadi pada FGFR3 ala391-ke-glutathione jika didapati acanthosis nigricans yang berdampingan dengan salah satu mutasi tersebut.

Diagnosa Tes – studi pencitraan

Radiografi kranium digunakan untuk menunjukkan synostosis, cacat kraniofasial, pelebaran fosa hypophyseal, sinus paranasal, dan maksila hipoplasia dengan orbit dangkal. Sutura koronal, sagital, lamboidal, dan metopik mungkin terlibat. Radiologi serviks kelainan tulang termasuk butterfly vertebrae. Fusi serviks ditemukan di sekitar 18% penderita sindroma Crouzon. C2-C3 dan C5-C6 sama-sama dipengaruhi. Perbandingan rekonstruksi analisis CT scan 3D kranium digunakan


(58)

untuk dapat mendefinisikan anatomi patologis dan untuk memungkinkan perencanaan bedah tertentu. Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk menunjukkan corpus collosum agenesis dan atrofi optik.

Perawatan

Pengobatan oleh tim multidisiplin bekerja sama dengan keluarga memberikan hasil terbaik terhadap gangguan kraniofasial. Tujuannya adalah untuk tahap rekonstruksi bertepatan dengan pola pertumbuhan wajah, fungsi viseral, dan pengembangan psikososial. Pada periode awal kelahiran, beberapa potensi masalah yang mungkin perlu ditangani termasuk kesulitan pernafasan, masalah makan, komplikasi neurologis seperti hidrosefalus, dan potensi resiko keterlambatan tumbuh kembangnya.

Perencanaan pengobatan yang tepat dan beberapa tahap bedah adalah hal umum yang dilakukan sebagai penanganan terhadap pasien sindroma Crouzon. Sindroma Crouzon dan Apert, synostosis melibatkan 2 atau lebih sutura, sehingga menghasilkan peningkatan resiko tekanan intrakranium dan kesempatan terjadinya hidrosefalus menjadi lebih besar. Karena kompleksitas dari perawatan bedahnya, biasanya dituntut untuk melakukannya secara bertahap. Pada tahun pertama kelahiran, yang lebih dipilih adalah untuk melepaskan sutura yang synostotis pada

kranium untuk mendapatkan volume kranium yang memadai untuk memungkinkan pertumbuhan dan ekspansi otak. Pembentukan kembali kranium mungkin perlu dilakukan agar anak tumbuh kembang dengan bentuk kepala normal. Jika perlu, tindakan bedah memajukan sepertiga wajah tengah dan bedahrahangdapat dilakukan untuk memberikan volume orbital yang memadai dan mengurangi exophthalmus untuk memperbaiki oklusi ke posisi fungsional yang sesuai dan untuk memberikan penampilan yang lebih normal. Perawatan mulut terhadap maloklusi dan komplikasi lainnya yang mungkin akan muncul juga menjadi salah satu prosedur perawatan.

Bedah plastikjuga mungkin bermanfaat.Ini adalah salah satudari beberapasindrom di mana hasil bedahkosmetikbisa sangat efektif, seperti dalam kasus ini. Perhatikan perbedaanantarapenampilan wajahpada gambar30 dan 34.


(59)

Prognosis tergantung pada tingkat keparahan dari kelainan yang terjadi.

Craniosynostosis dapat menyebabkan kompresi otak dan keterbelakangan mental dan

sangat mempengaruhi individu yang terkena kecuali cepat ditangani dengan

craniectomy. Inovasi dalam bedah kraniofasial telah memungkinkan pasien untuk

mencapai potensi penuh mereka dengan memaksimalkan peluang mereka untuk pertumbuhan intelektual, kompetensi fisik, dan penerimaan sosial. Pasien pada umumnya memiliki umur normal.

Karena adanya komplikasi okular seperti keratopati eksposur, strabismus, dan penurunan penglihatan, pasien dengan kelainan kraniofasial mungkin pada awalnya akan datang kepada dokter mata terlebih dahulu untuk merawat keluhan rasa sakit dan kelainan yang mereka rasakan. Dengan adanya komplikasi pada mulut, dimana letak gigi yang tidak teratur dan rahang bawah yang lebih maju, maka pasien juga akan mungkin terlebih dahulu datang ke dokter gigi. Maka dari itu pemahaman tentang sindrom ini diperlukan oleh semua kalangan ahli medis guna mendapatkan diagnosa lebih awal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Dokter mata dapat menjadi bagian integral dari perawatan multidisipliner pasien yang membutuhkan. Pemahaman tentang kelainan ini diperlukan agar baik dokter mata, dokter gigi, dokter bedah dan ahli-ahli medis lainnya dapat membuat rujukan yang tepat untuk memastikan pasien akan mendapatkan perawatan terbaik yang tersedia.


(60)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Sindroma Crouzon merupakan penyakit autosomal dominan dengan gejala yang bervariasi. Kelainan yang sangat umum dijumpai pada keadaan ini adalah kelinan pada tulang kalvaria, anomali wajah, dan exophthalmos.1-7,10-16,21,24,26

Adapun manifestasi penyakit sindroma Crouzon ini yang dapat ditemukan di rongga mulut antara lain: protrusi mandibula, gigi berjejal pada maksila, maksila atresia, crossbite anterior dengan open bite posterior, lengkung rahang maksila berbentuk huruf V, cleft palate dan bifid uvula, terkadang oligodonsia, makrodonsia, peg-shaped, dan diastema. Komplikasi penting lainnya yang mungkin timbul meliputi atrofi optik, kebutaan, hipertensi tengkorak dan gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang.

Sedangkan secara radiografi yang terlihat pada foto panoramik atau foto lateral pasien Sindroma Crouzon adalah sklerosis dan overlapping edges dengan manifestasi berupa hipoplasia maksila dan maloklusi Klas III. Hasil foto panoramik pada penderita sindroma Crouzon juga akan menunjukkan crowding yang jelas terjadi. Tanpa terkecuali pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

1,3

Penting untuk dicatat bahwa sindroma Crouzon dapat hadir dengan berbagai tingkat keparahan dan tidak ada dua individu dengan kondisi tentu sama akan memiliki semua fitur yang tercatat pada sindroma Crouzon. Diagnosa biasanya berdasarkan temuan klinis dan radiografi dari daerah kraniofasial. Tes genetik molekuler untuk mutasi pada gen FGFR2 sebagai tambahan mungkin berguna, terutama ketika deteksi kehamilan pada anggota keluarga berikutnya untuk dapat membantu peneganakan diagnosa dan penanganan yang lebih awal.

3,12


(61)

5.2 Saran

Perawatan sindroma Crouzon yang dapat dilakukan berupa bedah dan perawatan ortodonti. Prognosis tergantung pada keparahan malformasinya, dan inovasi dari bedah kraniofasial yang telah memungkinkan pasien untuk mendapatkan kehidupan yang normal.

Para dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan sindrom wajah dismorfik untuk mendeteksi pasien yang tidak menyadari kondisi mereka sehingga mereka dapat diidentifikasi dan dikirim untuk pemeriksaan awal dan manajemen yang diperlukan untuk mencegah komplikasi karena keterlambatan diagnosa.

Pengelolaan sindroma Crouzon memerlukan pendekatan multidisiplin untuk mencegah fusi awal sutura kraniofasial dan dengan demikian mengurangi tekanan intrakranial dan untuk menghindari cacat kraniofasial sekunder. Intervensi bedah untuk koreksi kelainan kraniofasial pada craniosynostosis sindromik dapat dibagi ke dalam prosedur dilakukan pada awal kelahiran (4-12 bulan) untuk rilis jahitan, dekompresi kubah kranial, pembentukan kembali orbital / kemajuan dan selanjutnya yang kemudian dilakukan pada usia anak-anak (4-12 tahun) untuk pembedahan cacat sepertiga wajah tengah dan pembedahan rahang. Manajemen yang tepat dan perlunya koordinasi yang terkait antara spesialis di bidangnya masing-masing guna merawat adanya kemungkinan variasi anomali di masing-masing pasien sindroma Crouzon. Pentingnya rehabilitasi mulut menyeluruh karena anomali gigi sering terlihat pada sindrom ini yang memerlukan suatu perawatan gigi yang komprehensif.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bergstrom, Vonne L, 2007. Congenital and Acquired Deaffness in Clefting and Craniofacial Syndrome. Cleft Palate Craniofacial; 15 (3): 254-261.

2. Boel, Trelia, 2009. Sindrom Crouzon. Dentika Dental Journal, Vol 14; (2): 361-365.

3. Ceen, R.F., English, J.D.,2001. The Surgical /Orthodontic Management of Crouzon’s Syndrome A Case Report. Orthodontics (III): 61-67.

4. Chen H, 2007. Crouzon’s Syndrome. Perinatal genetics and genetic laboratori services, Lousiana State University Medical Centre, Laboratory director, Hema- concencer Citogenetics Laboratory Gaynesville Florida ; 25-28.

5. Guledgud, M., Patil, K.,Pai, E., Deshpande, P., 2011. Case Report Crouzon Syndrome. Int.Journal of Contemporary Dentistry ;2 (3): 80-83.

6. Larry AS, 2000. Crouzon’s Syndrome. Chattanooga: 12-14.

7. Leonard MA., 1974. A sporadic case of apparent crouzon’s syndrome with extracraniofacial manifestations. J Medical Genetics; 11: 206-208.

8. Melero SJ, Leite MM, Carvalho IM, 2005. Dental Anomalies in patients carrying the apert syndrome and the Crouzon’s Syndrome. Salusvita, Bauru; 24(2): 183-193.

9. Ravel TJL, Taylor IB, Oostveldt AJT, 2005. A further mutation of the FGFR2 tyrosine kinase domain in mild Crouzon sydrome; 13: 503-505.

10.Singer SL, Walpole I, Brogan WF, Goldblatt J, 1997. Dentofacial features of family with Crouzon syndrome. Case reports. Australian Dental Journal; 42 (1): 11-17.

11.Opper B, 2006. Compromised Affect and Learning Associated with Crouzon Syndrome – A Clinical Case Study. University of Pretoria :

12.Silva DL, 2008. Crouzon’s Syndrome: Literature Review. Int. Arch. Otorhinolaryngol, Sao Paulo; 12(3): 436-441.


(63)

13.Grawe FR, 2004. Surgical Management of Pancraniofacial Synostosis and Kleeblattschadel – Analysis of 19 own cases and review of the literature. University of Munchen:

14.Mathijssen JIM, 2000. Craniosytosis: Clinical and Fundamental Aspects. University of Rotterdam.

15.Maloth S, Padmashree S, Rema J, Yalsagi S, Ramadoss T, Kalladka M, 2010. Case Report: Diagnosis of Crouzon’s Syndrome. Hong Kong Dent J; 7: 95-100

16.Babic GS, Babic RR, 2009. Ophtalmological and Radiological Picture of Crouzon Syndrome – A Case Report. Acta Medica Medianae ,Vol.48: 37-40. 17.Davis C, Lauritzen C, 2008. “Spectaclesplasty” Periorbital Rotation

Advancement in Crouzon Syndrome. Goteborg, Sweden: 652-658

18.Song SY, Hong JW, Roh TS, Kim YO, Kim DW, Park BY, 2009. Volume and Distances of the Maxillary Sinus in Craniofacial Deformities with Midfacial Hypoplasia. American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery; 141: 614-620.

19.Rani PJ, Shailaja S, Srilatha S, Sridevi K, Payal, Vinod VC, 2012. Crouzon Syndrome: A Case Report. Int J Dental Case Reports; 2(1): 117-122.

20.Pournima G, Monica Y, Meghna S, 2011. Crouzon Syndrome: A Case Report. European Journal of Dentistry and Medicine: 1-6.

21.Barikbin B, Ebadi A, Saffarian Z, 2010. Crouzon yndrome in Associatio with Acanthosis Nigricans. Iran J Dermatol; 13: 41- 139.

22.Ernest L, Bowling OD, Fernando D, Burstein, 2006. Crouzon Syndrome. Optometry; 77: 217-222.

23.Jacobsen HC, Sieg P, Hakim SG, 2009. Combined Internal and External Distraction of the Midface for the Treatment of Cruzon Syndrome and Critical Obstructive Sleep Apnea: A Case Report. J Oral Maxilofac Surg; 67: 2004- 2009.


(64)

24.Pawlicki R, Knychlska K, Darczuk D, Nowak T, 2008. Crouzon’s Syndrome: Tooth Morphological and Microanalytical Evaluation. European Archive of Pediatric Dentistry; 9 (4): 232- 235.

25.Nout E, 2010. On the Le Fort III Osteotomy. Erasmus University of Rotterdam: 1-208.

26.Chad A, Perlyn, Deleon VB, Babbs C, Phil D, Govier D, 2006. The Craniofacial Phenotype of the Crouzon Mouse: Analysis of a Model for Syndromic Craniosynostosis Using Three-Dimensional MicroCT. Cleft Palate-Cranifacial Jounal; 43(6): 740-747.

27.Gonsalez SL, Thompson D, Hayward R, Lane R, 1998. Breathing patterns in Children with Craniofacial dysostosis and Hindbrain Herniation. European Respiratory Journal; 11: 866-872.

28.Carinci F, Bodo M, Tost L, Francioso F, 2002. Expression Profiles of Craniosynostosis- Derived Fibroblast. Molecular Medicine; 8(10): 638-644. 29.Wen MH, Hsiao HP, Cha MC, Tsai FJ, 2010. Growth Hormone Deficiency in

a Case of Crouzon Syndrome with Hydrocephalus. International Journal of Pediatric Endocrinology: 1-4.

30.Stavropoulos D, Hallberg U, Mothlin B, Hagberg C, 2011. Living with Crouzon Syndrome: How Do Young Adults wih Crouzon Syndrome Handle their Life Situation?. International Journal of Paediatric Dentistry; 21: 35-42.


(1)

Prognosis tergantung pada tingkat keparahan dari kelainan yang terjadi. Craniosynostosis dapat menyebabkan kompresi otak dan keterbelakangan mental dan sangat mempengaruhi individu yang terkena kecuali cepat ditangani dengan craniectomy. Inovasi dalam bedah kraniofasial telah memungkinkan pasien untuk mencapai potensi penuh mereka dengan memaksimalkan peluang mereka untuk pertumbuhan intelektual, kompetensi fisik, dan penerimaan sosial. Pasien pada umumnya memiliki umur normal.

Karena adanya komplikasi okular seperti keratopati eksposur, strabismus, dan penurunan penglihatan, pasien dengan kelainan kraniofasial mungkin pada awalnya akan datang kepada dokter mata terlebih dahulu untuk merawat keluhan rasa sakit dan kelainan yang mereka rasakan. Dengan adanya komplikasi pada mulut, dimana letak gigi yang tidak teratur dan rahang bawah yang lebih maju, maka pasien juga akan mungkin terlebih dahulu datang ke dokter gigi. Maka dari itu pemahaman tentang sindrom ini diperlukan oleh semua kalangan ahli medis guna mendapatkan diagnosa lebih awal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Dokter mata dapat menjadi bagian integral dari perawatan multidisipliner pasien yang membutuhkan. Pemahaman tentang kelainan ini diperlukan agar baik dokter mata, dokter gigi, dokter bedah dan ahli-ahli medis lainnya dapat membuat rujukan yang tepat untuk memastikan pasien akan mendapatkan perawatan terbaik yang tersedia.


(2)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Sindroma Crouzon merupakan penyakit autosomal dominan dengan gejala yang bervariasi. Kelainan yang sangat umum dijumpai pada keadaan ini adalah kelinan pada tulang kalvaria, anomali wajah, dan exophthalmos.1-7,10-16,21,24,26

Adapun manifestasi penyakit sindroma Crouzon ini yang dapat ditemukan di rongga mulut antara lain: protrusi mandibula, gigi berjejal pada maksila, maksila atresia, crossbite anterior dengan open bite posterior, lengkung rahang maksila berbentuk huruf V, cleft palate dan bifid uvula, terkadang oligodonsia, makrodonsia,

peg-shaped, dan diastema. Komplikasi penting lainnya yang mungkin timbul meliputi atrofi optik, kebutaan, hipertensi tengkorak dan gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang.

Sedangkan secara radiografi yang terlihat pada foto panoramik atau foto lateral pasien Sindroma Crouzon adalah sklerosis dan overlapping edges dengan manifestasi berupa hipoplasia maksila dan maloklusi Klas III. Hasil foto panoramik pada penderita sindroma Crouzon juga akan menunjukkan crowding yang jelas terjadi. Tanpa terkecuali pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

1,3

Penting untuk dicatat bahwa sindroma Crouzon dapat hadir dengan berbagai tingkat keparahan dan tidak ada dua individu dengan kondisi tentu sama akan memiliki semua fitur yang tercatat pada sindroma Crouzon. Diagnosa biasanya berdasarkan temuan klinis dan radiografi dari daerah kraniofasial. Tes genetik molekuler untuk mutasi pada gen FGFR2 sebagai tambahan mungkin berguna, terutama ketika deteksi kehamilan pada anggota keluarga berikutnya untuk dapat membantu peneganakan diagnosa dan penanganan yang lebih awal.

3,12


(3)

5.2 Saran

Perawatan sindroma Crouzon yang dapat dilakukan berupa bedah dan perawatan ortodonti. Prognosis tergantung pada keparahan malformasinya, dan inovasi dari bedah kraniofasial yang telah memungkinkan pasien untuk mendapatkan kehidupan yang normal.

Para dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan sindrom wajah dismorfik untuk mendeteksi pasien yang tidak menyadari kondisi mereka sehingga mereka dapat diidentifikasi dan dikirim untuk pemeriksaan awal dan manajemen yang diperlukan untuk mencegah komplikasi karena keterlambatan diagnosa.

Pengelolaan sindroma Crouzon memerlukan pendekatan multidisiplin untuk mencegah fusi awal sutura kraniofasial dan dengan demikian mengurangi tekanan intrakranial dan untuk menghindari cacat kraniofasial sekunder. Intervensi bedah untuk koreksi kelainan kraniofasial pada craniosynostosis sindromik dapat dibagi ke dalam prosedur dilakukan pada awal kelahiran (4-12 bulan) untuk rilis jahitan, dekompresi kubah kranial, pembentukan kembali orbital / kemajuan dan selanjutnya yang kemudian dilakukan pada usia anak-anak (4-12 tahun) untuk pembedahan cacat sepertiga wajah tengah dan pembedahan rahang. Manajemen yang tepat dan perlunya koordinasi yang terkait antara spesialis di bidangnya masing-masing guna merawat adanya kemungkinan variasi anomali di masing-masing pasien sindroma Crouzon.

Pentingnya rehabilitasi mulut menyeluruh karena anomali gigi sering terlihat pada sindrom ini yang memerlukan suatu perawatan gigi yang komprehensif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bergstrom, Vonne L, 2007. Congenital and Acquired Deaffness in Clefting and Craniofacial Syndrome. Cleft Palate Craniofacial; 15 (3): 254-261.

2. Boel, Trelia, 2009. Sindrom Crouzon. Dentika Dental Journal, Vol 14; (2): 361-365.

3. Ceen, R.F., English, J.D.,2001. The Surgical /Orthodontic Management of Crouzon’s Syndrome A Case Report. Orthodontics (III): 61-67.

4. Chen H, 2007. Crouzon’s Syndrome. Perinatal genetics and genetic laboratori services, Lousiana State University Medical Centre, Laboratory director, Hema- concencer Citogenetics Laboratory Gaynesville Florida ; 25-28.

5. Guledgud, M., Patil, K.,Pai, E., Deshpande, P., 2011. Case Report Crouzon Syndrome. Int.Journal of Contemporary Dentistry ;2 (3): 80-83.

6. Larry AS, 2000. Crouzon’s Syndrome. Chattanooga: 12-14.

7. Leonard MA., 1974. A sporadic case of apparent crouzon’s syndrome with extracraniofacial manifestations. J Medical Genetics; 11: 206-208.

8. Melero SJ, Leite MM, Carvalho IM, 2005. Dental Anomalies in patients

carrying the apert syndrome and the Crouzon’s Syndrome. Salusvita, Bauru;

24(2): 183-193.

9. Ravel TJL, Taylor IB, Oostveldt AJT, 2005. A further mutation of the FGFR2 tyrosine kinase domain in mild Crouzon sydrome; 13: 503-505.

10.Singer SL, Walpole I, Brogan WF, Goldblatt J, 1997. Dentofacial features of family with Crouzon syndrome. Case reports. Australian Dental Journal; 42 (1): 11-17.

11.Opper B, 2006. Compromised Affect and Learning Associated with Crouzon Syndrome – A Clinical Case Study. University of Pretoria :


(5)

13.Grawe FR, 2004. Surgical Management of Pancraniofacial Synostosis and Kleeblattschadel – Analysis of 19 own cases and review of the literature.

University of Munchen:

14.Mathijssen JIM, 2000. Craniosytosis: Clinical and Fundamental Aspects. University of Rotterdam.

15.Maloth S, Padmashree S, Rema J, Yalsagi S, Ramadoss T, Kalladka M, 2010.

Case Report: Diagnosis of Crouzon’s Syndrome. Hong Kong Dent J; 7:

95-100

16.Babic GS, Babic RR, 2009. Ophtalmological and Radiological Picture of

Crouzon Syndrome – A Case Report. Acta Medica Medianae ,Vol.48: 37-40.

17.Davis C, Lauritzen C, 2008. “Spectaclesplasty” Periorbital Rotation

Advancement in Crouzon Syndrome. Goteborg, Sweden: 652-658

18.Song SY, Hong JW, Roh TS, Kim YO, Kim DW, Park BY, 2009. Volume and Distances of the Maxillary Sinus in Craniofacial Deformities with Midfacial

Hypoplasia. American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery;

141: 614-620.

19.Rani PJ, Shailaja S, Srilatha S, Sridevi K, Payal, Vinod VC, 2012. Crouzon Syndrome: A Case Report. Int J Dental Case Reports; 2(1): 117-122.

20.Pournima G, Monica Y, Meghna S, 2011. Crouzon Syndrome: A Case Report. European Journal of Dentistry and Medicine: 1-6.

21.Barikbin B, Ebadi A, Saffarian Z, 2010. Crouzon yndrome in Associatio with Acanthosis Nigricans. Iran J Dermatol; 13: 41- 139.

22.Ernest L, Bowling OD, Fernando D, Burstein, 2006. Crouzon Syndrome. Optometry; 77: 217-222.

23.Jacobsen HC, Sieg P, Hakim SG, 2009. Combined Internal and External Distraction of the Midface for the Treatment of Cruzon Syndrome and Critical

Obstructive Sleep Apnea: A Case Report. J Oral Maxilofac Surg; 67: 2004-


(6)

24.Pawlicki R, Knychlska K, Darczuk D, Nowak T, 2008. Crouzon’s Syndrome:

Tooth Morphological and Microanalytical Evaluation. European Archive of

Pediatric Dentistry; 9 (4): 232- 235.

25.Nout E, 2010. On the Le Fort III Osteotomy. Erasmus University of Rotterdam: 1-208.

26.Chad A, Perlyn, Deleon VB, Babbs C, Phil D, Govier D, 2006. The Craniofacial Phenotype of the Crouzon Mouse: Analysis of a Model for

Syndromic Craniosynostosis Using Three-Dimensional MicroCT. Cleft

Palate-Cranifacial Jounal; 43(6): 740-747.

27.Gonsalez SL, Thompson D, Hayward R, Lane R, 1998. Breathing patterns in

Children with Craniofacial dysostosis and Hindbrain Herniation. European

Respiratory Journal; 11: 866-872.

28.Carinci F, Bodo M, Tost L, Francioso F, 2002. Expression Profiles of Craniosynostosis- Derived Fibroblast. Molecular Medicine; 8(10): 638-644. 29.Wen MH, Hsiao HP, Cha MC, Tsai FJ, 2010. Growth Hormone Deficiency in

a Case of Crouzon Syndrome with Hydrocephalus. International Journal of

Pediatric Endocrinology: 1-4.

30.Stavropoulos D, Hallberg U, Mothlin B, Hagberg C, 2011. Living with Crouzon Syndrome: How Do Young Adults wih Crouzon Syndrome Handle their Life Situation?. International Journal of Paediatric Dentistry; 21: 35-42.