6. Celah langit-langit dan bifid uvula. Celah langit-langit adalah suatu kondisi di mana dua lempeng tengkorak yang
membentuk langit-langit keras langit-langit mulut tidak benar-benar bersatu. Celah langit-langit dapat terjadi seluruhnya atau sebagian. Hal ini terjadi karena kegagalan
fusi dari proses palatina lateral, septum hidung, dan atau proses palatine median pembentukan langit-langit sekunder.
3
Gambar 10. Pada gambar diatas terlihat adanya celah langit-langit pada maksila penderita sindroma Crouzon.
15
7. Oligodonsia, makrodonsia, peg-shaped, dan diastema. Kondisi-kondisi ini bukan merupakan ciri yang paling umum namun sering
terjadi pada penderita sindroma Crouzon. Oligodonsia adalah kondisi dimana hilangnya lebih dari 6 gigi, tidak termasuk gigi molar 3 nya. Peg-shaped teeth
biasanya terjadi pada gigi insisivus lateral. Gigi-gigi ini lebih kecil dari biasanya dan meruncing dalam bentuk. Diastema adalah ruang atau celah antara dua gigi.
3
3.3 Gambaran Radiografi
Radiografi pada penderita sindroma Crouzon pada umumnya adalah sklerosis dan overlapping edges. Secara normal sutura kranium adalah radiolusen, namun pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kasus ini radiopak dan tidak terlihat, yang terlihat hanya perubahan jaringan sklerotik.
Pada beberapa kasus ditemukan perubahan dari kranium, dimana sering terlihat adanya pertumbuhan yang abnormal pada penderita sindroma Crouzon karena
adanya peningkatan tekanan intrakranium dari perkembangan otak. Perubahan ini terlihat sebagai multipel radiolusen yang muncul akibat tekanan dari permukaan
dalam kranium yang tampak seperti logam tempa.
3
3
Gambar 11. Pada gambar terlihat penyatuan sutura kranium yang terlalu cepat dan tekanan pada permu-
kaan dalam kalvarium akibat pertumbuhan otak.
12
Hasil foto panoramik pada penderita sindroma Crouzon pada umumnya juga akan menunjukkan crowding yang jelas terjadi. Dalam hal ini tanpa terkecuali terjadi
pada penderita berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan sebagai salah satu ciri umum pada gambaran klinis oral penderita sindroma Crouzon Gambar 12 dan 13.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 12. Gambaran panoramik penderita sindroma Crouzon pada anak laki-laki.
3
Gambar 13. Gambaran radiografi panoramik penderita sindroma Crouzon pada anak perempuan.
3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 4 PERAWATAN DAN LAPORAN KASUS
4.1 Perawatan Sindroma Crouzon
Perawatan sindroma Crouzon secara garis besar terbagi menjadi 3 langkah perawatan yang paling umum dilakukan. Perawatan craniosynostosis menjadi
langkah pertama dalam perawatan, dilanjutkan dengan rekonstruksi wajah dan diakhiri dengan perawatan maloklusi. Urutan perawatan bisa saja berubah tergantung
dari usia penderita saat akan melakukan perawatan atau waktu penegakan diagnosanya.
1-7,10-16,21,24,26
Langkah pertama yang merupakan perawatan craniosynostosis adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki kelainan akibat penyatuan
dini dari sutura-sutura kranium dari seorang anak. Untuk anak-anak usia di bawah 6 bulan, dilakukan pembedahan yang bertujuan merekonstruksi kranium agar
pertumbuhan kranium dapat tumbuh mendekati normal. Teknik pembedahan yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pembedahan terbuka open repair.
Waktu yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan ini adalah pada anak- anak ketika mereka berusia diantara 3 - 6 bulan.
Langkah kedua perawatan merupakan rekonstruksi wajah dengan teknik pembedahan kombinasi. Tehnik pembedahan yang umumnya dilakukan adalah
LeFort III dikombinasikan dengan perawatan osteotomi monoblok dan spectacleplasty. Teknik tersebut biasanya dilakukan setelah pertumbuhan wajah
selesai dan dapat dikombinasikan juga dengan genioplasty. Prosedur tambahan seperti rhinoplasty juga mungkin diperlukan dalam rekontruksi wajah.
1-7,10-16
Waktu yang terbaik untuk dilakukannya rekonstruksi pada wajah adalah ketika anak berusia 4
sampai 6 tahun. Langkah ketiga merupakan perawatan maloklusi. Pada tahap ini perawatan
sangat tergantung kepada usia dan hasil diagnosa dari ortodontis dan ahli bedah kraniofasial. Ortodontis menentukan perawatan yang akan dilakukan dan biasanya
1-7,10-16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bekerja sama dengan ahli bedah dalam menentukan waktu dan kombinasi perawatan yang tepat.
Adanya
1-7,10-16
varian dan tingkat keparahan masalah yang terkait dengan sindroma Crouzon dan perbedaan waktu penegakan diagnosanya, akan menimbulkan adanya
perbedaan dalam pendekatan pengobatan yang dipilih untuk kasus tiap individu. Beberapa terapi yang mungkin dilakukan misalnya ortodonti saja atau pembedahan
saja, ortodonti dan pembedahan, ortodonti-pembedahan-ortodonti, dan pembedahan- ortodonti-pembedahan-ortodonti.
1
4.1.2 Perawatan Ortodonti
Maloklusi merupakan kejadian umum yang sering dijumpai pada penderita sindroma Crouzon dan sangat terkait dengan ketidakseimbangan dentoalveolar akibat
stenosis kraniofasial. Maloklusi Klas III tipe skeletal yang terjadi pada kasus sindroma Crouzon dapat dikarakteristikan dengan mandibula yang prognati, maksila
retrognati, maupun kombinasi keduanya. Secara klinis, profil wajah pasien akan terlihat cembung dengan area nasomaksilaris retrusi. Bibir bawah relatif lebih protusi
daripada bibir atas. Lengkung rahang atas biasanya lebih sempit daripada lengkung rahang bawah, overjet terbalik dan overbite insisal yang berlebihan.
1-7,10-16
Tujuan utama perawatan ortodonti pada pasien sindroma Crouzon adalah untuk merawat masalah dentoalveolar. Perawatan pada umumnya dilakukan
bersamaan dengan perawatan bedah yang tujuan utamanya untuk merawat ketidakharmonisan skeletal. Kedua terapan ilmu ini menjadi kombinasi perawatan
yang tepat dalam penanganan penderita sindroma Crouzon. LeFort I osteotomi adalah tindakan pembedahan yang menjadi pilihan utama untuk dikombinasikan dengan
perawatan ortodonti pada pasien sindroma Crouzon. Sindroma Crouzon yang mengakibatkan pertumbuhan gigi bercampur dengan
maksila hipoplasi, gigi geligi rahang atas crowding berat, mandibula prognati atau open bite anterior mungkin memerlukan intervensi bedah sebelum setiap perawatan
ortodonti. Dalam kasus seperti ini, ahli bedah biasanya akan melakukan tindakan bedah untuk memajukan dari sepertiga wajah tengah untuk mencoba mengurangi
1-7,10-16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebutuhan untuk melakukan pembedahan rahang atas tambahan saat mandibula selesai tumbuh normal.
Bila terdeteksi sejak usia dini, maka perawatan ortodonti yang dimaksud disini adalah perawatan yang terbagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama merupakan
perawatan ortodonti pra-bedah, dan tahap yang kedua merupakan perawatan ortodonti pasca bedah. Pemilihan jenis perawatan akan tergantung kepada kebutuhan masing-
masing pasien sesuai dengan tingkat keparahan kasusnya, waktu diagnosa, dan kemauan si pasien itu sendiri. Untuk perawatan pra-bedah tujuan yang ingin dicapai
pada umunya adalah untuk mendapatkan koreksi dari skeletal maksila dan gigi untuk memberikan lebar lengkung yang sesuai sebagai akibat maksila yang hipoplasi,
pengembangan ruang yang cukup, mengatasi crowding, dan menyelaraskan kedua lengkung. Alat yang biasa digunakan pada perawatan ini seperti fixed rapid palatal
expansion appliance RPE Gambar 14 dan 15. Untuk tahap perawatan pasca bedah tujuan yang ingin diperoleh dari perawatan ini adalah
1-7,10,12,15
untuk menyelesaikan detail oklusi dan membangun hubungan fungsional yang tepat. Setelah diperoleh detail
oklusi dan hubungan fungsional yang tepat, pasien diberikan retainer dan tetap terus dipantau untuk melihat apakah ada pergerakan lagi dan apakah membutuhkan
tindakan bedah tambahan.
1
Gambar 14. RPE dengan sekrup Hyrax®.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 15. RPE menurut McNamara.
Kunci sukses perawatan penderita sindroma Crouzon ini adalah koordinasi antara urutan penanganan dan kedisiplinan. Dengan tujuan menyelaraskan dan
meratakan lengkungan gigi untuk menghilangkan kompensasi gigi yang telah berkembang sebagai akibat dari ketidakseimbangan skeletal. Jika displasia pada
sepertiga wajah tengah parah, ekstraksi gigi dan pergerakan tambahan terhadap gigi akan dilakukan sebelum dilakukan tindakan pembedahan untuk memperbesar jarak
sagital gigi dan memungkinkan untuk memaksimalkan kemajuan sepertiga wajah tengah dan dicapainya wajah yang estetis. Setelah koreksi bedah, pasien akan
menyelesaikan perawatan ortodonti untuk keselarasaan akhir dan detail dari oklusi. Masih ada kemungkinan bahwa perbedaan sagital bisa muncul kembali,
menyebabkan perlu dilakukannya prosedur bedah atau ortodonti tambahan di awal usia dua puluhan atau di akhir usia remaja pasien. Maka dari itu kerjasama dari tim
multidisiplin dan kontrol setelah perawatan selesai sangat berpengaruh terhadap hasil akhir perawatan dan untuk kedepannya. Jika pendekatan yang terkoordinasi antara
spesialisasi ini tidak dilaksanakan, maka akibat yang dapat terjadi adalah maloklusi maupun displasia wajah tidak sepenuhnya terkoreksi. Akibatnya pasien akan
menghadapi perawatan bedah dan ortodonti tambahan untuk mengembalikan pengobatan sebelumnya yang seharusnya dapat dihindari dengan pendekatan yang
terkoordinasi.
1-7,10,12,15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.1.2.1 Bedah ortognati
Bedah ortognati menjadi pilihan perawatan disaat pasien sindroma Crouzon yang akan melakukan perawatan telah mencapai usia akhir remaja atau dewasa.
Bedah ortognati disebut juga sebagai bedah rahang korektif. Bedah ortognati adalah bedah untuk memperbaiki kondisi rahang dan wajah yang berhubungan dengan
struktur pertumbuhan, masalah maloklusi karena ketidakharmonisan skeletal, sleep apnea, gangguan TMJ, atau masalah ortodonti lain yang tidak dapat dengan mudah
diobati dengan hanya menggunakan pesawat ortodonti. Prosedur bedah ini paling tidak dilakukan antara usia 14-18 tahun, saat dimana fase pertumbuhan tulang wajah
telah memasuki usia kematangan. Tulang dapat dipotong dan diselaraskan kembali, kemudian ditempatkan sekrup atau plat dan sekrup.
Prosedur bedah ortognatik yang sukses bergantung pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip bedah. Aspek penting dari manajemen pasien meliputi, persiapan
psikologis pasien, pemeliharaan suplai darah ke gigi dan segmen rahang dimobilisasi, manajemen luka yang tepat perlindungan gigi, tulang dan struktur neurovascular,
metode fiksasi untuk segmen tulang, kontrol oklusi yang tepat, dan rehabilitasi untuk fungsi rahang sepenuhnya. Penggunaan anestesi yang sesuai, darah produk atau
pengganti, dan pencangkokan tulang juga penting untuk bedah. Nutrisi pra-bedah dan pasca bedah yang baik mendukung penyembuhan dan kembali cepat berfungsi setelah
pembedahan.
4-7
4-7
Bedah ortognati dilakukan oleh satu tim ahli bedah oral dan maksilofasial, ahli bedah plastik, atau THT bekerja sama dengan ortodontis. Prosedurnya sering kali
dilakukan bersama dengan pemasangan pesawat ortodonti sebelum dan setelah bedah, dan retainer setelah pesawat ortodonti dilepas. Bedah ortognati sering dibutuhkan
setelah rekonstruksi dari celah langit-langit atau anomali kraniofasial utama lainnya. Koordinasi yang teliti antara ahli bedah dan dokter gigi menjadi faktor yang sangat
penting untuk memastikan bahwa gigi akan dengan benar dan pas pada posisi semestinya setelah dilakukan tindakan pembedahan.
Keuntungan perawatan bedah ortognati yaitu over-koreksi overbite dan relapse yang lebih rendah. Selain itu, pada perawatan bedah ortognati juga dapat
4-7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menghasilkan perbaikan profil wajah yang memuaskan. Namun dalam beberapa kondisi, perawatan bedah merupakan kontraindikasi karena alasan limitasi biologis
pasien dan juga terkadang pasien menolak untuk dilakukan tindakan bedah.
4-7
4.2 Laporan Kasus
Berikut ini beberapa laporan kasus penderita sindroma Crouzon beserta penanganan anomalinya.
Kasus 1.
Anak laki-laki usia 9 setengah tahun, Kaukasian dengan sindroma Crouzon dibawa ke Departemen Ortodonti di Fakultas Kedokteran Gigi Baylor setelah
diarahkan sebelumnya oleh dokter bedah kraniofasialnya untuk penilaian dan koordinasi pengobatan ortodontinya dengan lanjutan bedah kraniofasial dimasa
depan. Sang ibu khawatir dengan penampilan wajah putranya dan kemampuannya untuk mengunyah dengan benar.
Catatan Medis Keluarga
Pasien adalah anak paling kecil dari 2 bersaudara, yang mana keduanya mengidap sindroma Crouzon. Sang ibu juga terkena sindroma Crouzon yang
konsisten dengan ditemukannya anomali kongenital. Pada usia 3 tahun dilakukan pembedahan memajukan dahi dan pada usia 4 tahun dilakukan sebuah prosedur untuk
mengoreksi strabismus. Pada usia 5 tahun, dokternya mengindikasikan bahwa situs bedah telah sembuh dan dahi sudah berada di posisi yang sangat baik. Tidak
ditemukan adanya cacat saraf atau mental dan mata tidak proptotik. Tidak juga ditemukan adanya bukti terjadinya sleep apnea. Dokter bertekad bahwa akan lebih
baik untuk menunda pembedahan memajukan sepertiga wajah tengah selama memungkinkan untuk meminimalkan kebutuhan dari bedah tambahan dimasa
depannya, karena adanya pertumbuhan signifikan mandibula yang diharapkan. Pada saat ini, diperkirakan bahwa kranium dan tulang orbital pasien telah mencapai 90
persen dari ukuran dewasanya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Penilaian Ortodonti
Gambar 16. Foto ekstra oral awal pasien pada usia 9, dengan karakteristik penampilan wajah sindroma Crouzon.
Sebuah catatan penuh termasuk studi gips, sefalometri, radiografi posteroanterior, foto, dan rafiografi panoramik sudah diperoleh. Sebuah pemeriksaan
klinis didapati bentuk kepala yang dolichocephalic dan bentuk wajah yang leptoprosopic, sepertiga wajah tengah yang kurang sempurna dan mata proptosis
dengan sedikit strabismus. Terlihat ketegangan mental dan bibir yang inkompeten. Profil wajah cekung dan dagu rendah Gambar 16. Dari pemeriksaan intra oral nya,
gigi geligi berada dalam hubungan Klas III dengan gigitan crossbite anterior posterior yang terlihat jelas Gambar 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 17. Foto awal intra-oral menunjukkan keparahan masalah dalam dimensi transversal dan vertikal sagital selain perbedaan panjang
lengkung.
Gambar 18. Radiografi panoramik menunjukkan crowding pada kedua lengkung
rahang.
Kaninus maksila impected dan kaninus mandibula belum erupsi dengan panjang lengkung yang tersedia tidak cukup Gambar 18. Temuan pada sefalometri
mengungkapkan sudut dasar kranium sedikit berkurang. Maksila retrognasi dan relatif cenderung posterior ke basis anterior kranium. Mandibula retrognasi dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
cenderung relatif posterior terhadap basis anterior kranium dan maksila. Hubungan sagital rahang adalah mandibula prognati. Sudut datar mandibula tinggi dan terjadi
peningkatan tinggi dagu. Peniadaan yang signifikan dari konveksitas wajah dan bibir atas yang berada dibelakang sudut estetis Ricketts. Temuan ini bersama dengan
riwayat medis merupakan karakteristik dari sindroma Crouzon.
Pengobatan
Ketika pasien membutuhkan pengobatan baik bedah dan ortodonti, pengobatannya biasanya dipisah menjadi persiapan ortodonti sebelum bedah, bedah,
ortodonti mendetail oklusi dan retensi pasca bedah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan bentuk wajah dan estetis dan mengoptimalkan fungsi oklusi. Jika
bedah LeFort III dilakukan sebelum pertumbuhan mandibula selesai, sering dibutuhkan lagi untuk melakukan bedah tambahan LeFort I osteomy, sering dengan
genioplasty, ketika pasien lebih tua dan kematangan skeletal telah selesai. Sejak pertimbangan psikososial pasien menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan
waktu yang tepat untuk untuk melakukan bedah sepertiga wajah tengah, keputusan kapan untuk melakukan bedah dibuat secara bersama sesuai keputusan pasien dan
keluarganya. Dalam kasus ini, pasien berusia 9 tahun, tidak begitu mempedulikan penampilannya, dan hubungan sosial dengan sekitar cukup baik. Jadi, diputuskan
untuk terus memantau si pasien setiap tahun bersama dengan ahli bedah kraniofasial, untuk menentukan waktu yang tepat kapan memajukan sepertiga wajah tengah dan
melakukan perawatan ortodonti. Ketika dokter bedah menilai kembali pasien pada bulan November 1995,
tercatat bahwa ketika kompleks maksila tetap resesif, perkembangan hidung pasien sangat baik. Karena posisi hidung yang sangat baik, dokter bedah mempertimbangkan
bedah dua tahap yang akan memajukan dinding lateral orbital, inferior orbital rim, dan zygoma, daripada memilih LeFort III osteomy yang akan memajukan
keseluruhan sepertiga wajah tengah. Setelah tahap pertama sembuh dan stabil, sebuah bedah LeFort I akan dilakukan untuk memajukan maksila. Pasien dan orang tuanya
memutuskan untuk terus menunda setiap bedah dan mencatat bahwa hubungan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
anaknya disekolah cukup baik, tidak diejek oleh teman-temannya dan belum begitu peduli dengan penampilannya.
Gambar 19. Foto-foto ekstra oral pasien pada usia 12 tahun sebelum dimulainya
perawatan ortodonti.
Pada pertengahan 1997, si pasien, sekarang sudah berusia 12 tahun, menyatakan minat dalam meningkatkan penampilan wajahnya serta pengunyahannya.
Satu set baru catatan ortodonti diambil dan evaluasi diagnostiknya menunjukkan ada perbaikan. Sebaliknya, terjadi peningkatan dalam tingkat keparahan masalah yang
diidentifikasi pada tahun 1994. Gigi kaninus permanen rahang bawah telah erupsi eptopik Gambar 19 dan 20. Terbukti pula bahwa pada saat itu adalah waktu yang
tepat untuk memulai perawatan ortodonti dan konsultasi dengan ahli bedah kraniofasial untuk mengkoordinasikan rencana pengobatan secara keseluruhan. Pada
titik ini, pasien mencari jaminan dan mencari layanan ahli bedah kraniofasial. Ahli bedah mengindikasikan bahwa untuk saat ini lebih bagus untuk menunda
sementara memajukan sepertiga wajah tengah pasien, karena usia dan pertumbuhan mandibula yang diharapkan, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa ia akan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
membutuhkan tambahan prosedur LeFort I di akhir usia remaja untuk mempertahankan koreksi oklusinya. Ahli bedah juga menyarankan untuk memajukan
frontalnya karena menunjukkan retrusi dan proptosis yang terkait. Setelah mempertimbangkan secara seksama resiko dibandingkan dengan manfaat dari pilihan
ini, keluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatan ortodonti dan memajukan sepertiga wajah tengah. Namun, keluarga memutuskan untuk menunda bedah
tambahan untuk memajukan frontal untuk dilaksanakan dikemudian hari saja.
Gambar 20. Foto-foto intra-oral menunjukkan peningkatan keparahan, termasuk gigi kaninus rahang atas yang tidak erupsi
.
Perencanaan Pengobatan Persiapan Ortodonti Pra-bedah
Pasien dievaluasi untuk melihat adanya karies atau penyakit periodontal sebelum penempatan alat ortodonti. Tujuan dari fase pengobatan ini adalah : 1
koreksi dari skeletal maksila dan gigi untuk memberikan lebar lengkung sesuai dan intercuspation ketika diartikulasikan dalam hubungan Klas 1; 2 pengembangan
ruang yang cukup untuk erupsi gigi kaninus rahang atas; 3 mengatasi crowding; 4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
meratakan dan penyelarasan kedua lengkung; 5 penempatan gigi dalam posisi seideal mungkin diatas basis gigi tiruan; dan 6 pencabutan gigi anterior atas untuk
memungkinkan kemajuan maksimum sepertiga wajah tengah selama pembedahan.
Gambar 21. Foto pra-bedah menunjukkan dekompensasi dari pertumbuhan gigi untuk memungkinkan
saat pembedahan sepertiga wajah tengah dapat dimajukan secara maksimal
.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 22. Foto intra-oral oklusal menunjukkan perkembangan bentuk lengkung, penghapusan crowding dan kaninus rahang atas erupsi.
Perawatan ortodonti dimulai pada akhir Agustus 1997. Untuk tercapainya tujuan pengobatan, keputusan dibuat untuk mencabut premolar satu pada maksila dan
premolar dua mandibula. Sebelum dicabut, fixed rapid palatal expansion appliance RPE ditempatkan pada rahang atas untuk memperbaiki perbedaan melintang
keskeletal dan membangun kembali lebar lengkung normal. RPE tetap digunakan selama tiga bulan untuk tujuan stabilisasi. Keputusan diambil dengan sisi depan
menggunakan 0.018 x 0.025 in ditempatkan pada kedua lengkung pada bulan September 1998. Tujuan pengobatan pra-bedah telah dicapai pada bulan Mei 2000
dan kawat untuk menstabilkan 0.017 x 0.025 in ditempatkan di kedua lengkung untuk fiksasi maxillomandibular selama bedah Gambar 23 dan 24. Sesaat sebelum
bedah, cetakan yang diambil dari gips dipasang untuk model bedah dan konstruksi belat bedah. Gigi-gigi diartikulasikan dalam hubungan normal Klas I anteroposterior
dan overbite yang normal terpancang. Jumlah perubahan skeletal yang diperlukan untuk mencapai hasil oklusal adalah 6,5 mm dari kemajuan horizontal dan 2 mm dari
penurunan vertikal pada tingkat pertumbuhan gigi tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pengobatan Bedah
Tujuan ideal dari bedah adalah untuk mencapai kemajuan sepertiga wajah tengah yang akan menduplikasi pertumbuhan yang mungkin, dan diharapkan dari
usia 14 hingga dewasa. Dalam hal ini, yang diprediksi akan menjadi 11 mm, yang akan diperlukan adalah sebuah kemajuan sepertiga wajah tengah yang akan stabil
terhadap kekuatan jaringan intrinsik. Karena jumlah pertumbuhan pasca-bedah bervariasi dengan masing-masing individu, sulit untuk memprediksi perubahan
pertumbuhan dengan akurat. Dengan demikian, pasien disarankan melakukan satu prosedur tambahan lagi, Lefort 1 osteotomy atau memundurkan mandibula. Salah
satu prosedur mungkin diperlukan jika ia tumbuh melampaui koreksi Klas I yang ingin dicapai dalam bedah ini. Dokter bedah menyarankan lagi bahwa dengan bedah
tambahan memajukan frontal akan memberikan hasil estetika terbaik. Pada 7 Juni 1999 pasien melakukan Lefort III osteotomy dengan cangkok tulang interpositional
dengan mengambil ketebalan kranium dan bilateral dari bagian tengah dan lateral canthoplexies. Fiksasi kaku pada setara zygomatic pasien untuk memperkuat
digunakan bersama dengan kawat internal pada sutura frontonasal. Setelah bedah, pasien menghabiskan 24 jam di unit perawatan intensif. Dalam masa perawatan
pasca-bedah tidaklah rumit dan pasien meninggalkan rumah sakit setelah lima hari dengan belat bedah ditempatkan bersama dengan elastis vertikal Klas III yang ringan.
Dua minggu kemudian ahli bedah menghilangkan belat dan menyarankan untuk kembali ke dokter gigi untuk menyelesaikan perawatan pasca-bedahnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 23. Foto akhir wajah menunjukkan proyeksi sepertiga wajah tengah mengingkat, konveksitas wajah positif dan
pengurangan dalam dimensi wajah anterior vertikal.
Pengobatan Ortodonti Pasca-Bedah
Jangka waktu delapan bulan pengobatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan detail oklusi dan membangun hubungan fungsional yang tepat
Gambar 23, 24 dan 25. Pasien kemudian diberikan retainer dan dipantau untuk melihat dampak dari pertumbuhan dan kebutuhan bedah tambahan di masa depannya.
Gambar 25. Hasil akhir radiografi panoramik, menunjukkan Distribusi akar yang tepat dan kaninus rahang atas dalam posisi
yang baik. Terlihat gigi molar ketiga yang sedang berkembang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 24. Hasil akhir oklusal.
Waktu perawatan total yang dibutuhkan adalah 30 bulan. Superimposisi sefalometri di dasar anterior kranium dari inisiasi untuk selesainya pengobatan
menunjukkan efek positif dari kombinasi perawatan ortodonti dan bedah dengan pertumbuhan mandibula pasien pada koreksi kekurangan pada sepertiga wajah tengah
Gambar 26.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 26. Superimposisi sefalometri menampilkan perubahan secara keseluruhan sebagai hasil pengobatan
dan pertumbuhan.
Kasus 2.
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dilaporkan dengan keluhan pembesaran gusi di gigi depan rahang atas sejak usia 2 tahun. Ada peningkatan ukuran secara
bertahap dan konstan pada gusi tersebut. Gigi depan rahang atas kiri permanen tidak erupsi sudah sejak 6 bulan setelah gigi sulungnya tanggal. Pasien tidak sedang
menjalani perawatan jangka panjang apapun. Tidak ada manifestasi sistemik seperti demam atau penurunan berat badan.
Pasien ini menderita retardasi mental, kebutaan di mata kanan dan kehilangan pendengaran pada telinga kanan. Dari riwayat keluarga didapati pernikahan sedarah
antara kedua orang tuanya. Tidak ada riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga lainnya.
Pada pemeriksaan ekstraoral didapati bentuk kepala trigonocephaly, dan tulang hidung mengalami depresi. Ada hypertelorism, mata proptosis bilateral dan
strabismus. Sepertiga tengah wajah menunjukkan hipoplasia ringan Gambar 27. Tidak didapati anomali dari ekstremitas atas atau bawah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 27. Foto ekstraoral menampilkan trigonocephaly, sepertiga wajah tengah
hipoplasia, mata proptosis dan hypertelorism.
Pada pemeriksaan intraoral didapati pembesaran mukosa disekitar linggir alveolar pada regio insisivus sentral kiri rahang atas yang tidak erupsi dan gingiva
disekitar sisa akar dari gigi desidui kanan atas, insisivus lateral kanan dan kiri dan gigi taring. Konsistensi gingiva tindak kenyal dan didapati juga beberapa lesi karies
yang dalam yang melibatkan sebagian besar gigi sulung.
Diagnosa
Temuan diagnosa klinis menunjukkan sindroma Crouzon dan false gingival enlargement pada gigi anterior rahang atas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 28. Radiografi panoramik menunjukkan pertum- buhan gigi dalam periode gigi bercampur.
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan radiografi dan hematologi. Hasil radiografi panoramik menunjukkan pertumbuhan gigi pada periode gigi bercampur
dengan adanya benih gigi permanen Gambar 28. Lesi karies yang dalam mempengaruhi pertumbuhan gigi sulung yang terlihat. Hasil radiografi
posteroanterior kranium dan lateral menunjukkan obliterasi dari sutura sagital dan beberapa tanda sugestif convolutional dari beaten metal beaten coppersilver
terlihat Gambar 29. Tidak ditemukan anomali lain dalam radiografi tulang belakang, dada dan ekstremitas.
Gambar 29. Tampilan posteroanterior dan lateral menunjukkan tampilan logam tempa dan tidak tampaknya sutura sagital.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adalah false gingival enlargement yang membuat pasien untuk mencari konsultasi gigi dalam kasus ini. Temuan semacam ini belum pernah dijelaskan dalam
literatur dan bisa menjadi sebuah temuan kebetulan. False gingival enlargement bisa muncul seperti itu karena peningkatan ukuran dari jaringan osseus yang mendasari
atau jaringan giginya. Selama berbagai tahap erupsi terutama dari gigi primer, pada gingiva labial mungkin menunjukkan distorsi marjinal bulat seperti yang terlihat
dalam kasus ini dan mungkin telah ditekankan karena karies gigi primer. Pembesaran ini adalah tipe perkembangan dan hadir tanpa masalah klinis.
Pada pasien ini kemampuan mental dan pengembangan psikomotorik umumnya dalam batas normal. Namun, tekanan intrakranium yang meningkat dapat
menyebabkan retardasi mental yang tercatat pada tingkat ringan dalam kasus ini. Hidrosefalus yang progresif, tonsil herniasi kronis dan stenosis foramen jugularis
dengan obstruksi vena juga dapat terjadi dengan frekuensi yang signifikan. Evaluasi
radiografi memiliki
peran penting dalam mendiagnosa
craniosynostosis dan anomali tulang yang terkait. Tanda-tanda awal dari radiografi synostosis sutura kranium adalah sklerosis dan overlapping edges. Sutura yang
normal biasanya akan terlihat radiolusen pada radiografi kranium dan tidak akan terdeteksi atau akan menunjukkan perubahan sklerotik. Bentuk kepala menonjol juga
didapat sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranium dari otak yang sedang berkembang. Gambaran terlihat radiolusen memunculkan beberapa depressions
disebut sebagai digital impressions dari permukaan bagian dalam kubah kranium, yang menghasilkan tampilan beaten metal logam tempa.
Obliterasi dari sutura sagital dan copper beaten kranium terlihat di hasil radiografi pada pasien ini, menunjukkan remodeling internal kalvaria karena
peningkatan tekanan intrakranium karena fusi dini dari sutura. Radiografi tulang belakang memperlihatkan penyatuan dari C2-C3 atau C5-
C6. Butterfly vertebrae juga terlihat. Fusi Carpal juga tercatat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perawatan
Penyelidikan mengungkapkan semua nilai hematologis dalam batas normal. Pasien dirujuk ke dokter anak dan kajian sistem lengkap tidak menunjukkan anomali
baru. Pasien dirujuk ke pedodontis untuk rehabilitasi oral secara komprehensif.
Pasien juga dirujuk ke unit bedah maksilofasial untuk koreksi bedah anomali wajah dan kranium.
Pengelolaan sindroma Crouzon memerlukan pendekatan multidisiplin untuk mencegah fusi dini sutura kraniofasial yang dengan demikian mengurangi tekanan
intrakranium dan untuk menghindari cacat kraniofasial sekunder. Komplikasi penting lainnya yang mungkin timbul meliputi atrofi optik, kebutaan, hipertensi kranium dan
gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang. Intervensi bedah untuk koreksi kelainan kraniofasial pada craniosynostosis sindromik dapat dibagi ke dalam
prosedur yang dilakukan pada awal kelahiran 4-12 bulan untuk rilis sutura, dekompresi kubah kranium, pembentukan kembali orbital dan prosedur yang
dilakukan kemudian 4-12 tahun untuk cacat sepertiga wajah tengah dan bedah rahang. Manajemen yang tepat dari anomali terkait lainnya perlu dilakukan oleh
spesialis yang terkait tergantung dengan adanya dan tingkat keparahannya. Pentingnya rehabilitasi mulut menyeluruh karena anomali gigi yang sering pada
sindrom ini memerlukan suatu perawatan gigi yang komprehensif. Prognosis tergantung pada tingkat keparahan kelainan dan waktu intervensi.
Individu yang terkena biasanya memiliki jangka hidup yang normal. Individu penderita sindroma Crouzon dapat hadir dengan fitur berbeda-beda
mencerminkan keparahan dari sindrom. Penting untuk melakukan pemeriksaan clinicoradiographic menyeluruh untuk memastikan diagnosis dini dan akurat dan
juga untuk membedakan antara sindrom craniosynostosis serupa. Para dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang sindrom yang terkait dengan
anomali kraniofasial untuk mendeteksi pasien yang tidak menyadari kondisi mereka sehingga mereka dapat diidentifikasi dan konseling mengenai sifat alaminya,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
prognosis dan manajemen yang tersedia seperti yang diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi karena keterlambatan diagnosa.
Kasus 3.
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa oleh orang tuanya ke rumah sakit karena mengeluhkan iritasi dan mata merah yang telah lama dirasakan di kedua
bola matanya OU. Ibu dari anak perempuan tersebut menyatakan bahwa sang anak terus menggosok matanya dan mengeluhkan rasa sakit seperti terbakar. Si ibu
melaporkan bahwa persalinannya normal dan tahap tumbuh kembang sang anak juga normal. Tidak ada saudara atau kerabat dekat mereka yang memiliki anomali yang
sama dengan anaknya Gambar 30. Sang anak tidak dalam masa pengobatan tertentu dan tidak memiliki alergi medis. Pemeriksaan mata terakhirnya adalah sekitar 3 tahun
sebelumnya, dan si ibu mengatakan bahwa hasil pemeriksaannya adalah semuanya normal.
Gambar 30. Foto pasien pada saat datang menunjukkan bola mata yang menonjol.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Best-corrected visual acuities adalah 2030 pada mata kanan OD dan 2040 di mata kiri OS. Pada pemeriksaan eksternal ditemukan proptosis kotor 20 mm yang
diukur dengan exophthalmometry. Si anak tidak bisa menutup mata dengan sempurna dan didapati bahwa giginya maloklusi. Jarak interpupilnya adalah 68 mm. Saudara
laki-laki yang paling tua dari si pasien diperiksa, dan memiliki penampilan wajah yang normal, seperti juga halnya sang ibu dan ayah. Otot-otot intraokular penuh dan
halus tanpa underactions atau overactions. Hasil tes penglihatan terhadap warna dengan lempengan pseudoisochromatic adalah normal baik. Pupil sama-sama bulat
dan reaktif terhadap cahaya. Tekanan intraokular OU didapati 15 mmHg melalui tes Goldmann applanation. Hasil pemeriksaan dilatasi fundus ditemukan edema disk
oprik bilateral. Hasil temuan disampaikan kepada orang tua si anak. Dengan penampilan fisik
si anak yang sangat berbeda dari anggota keluarga lainnya, pertanyaan yang diajukan dokter apakah ada yang pernah membahas diagnosis dari sindrom kraniofasial
sebelumnya. Pengobatan terhadap kondisinya pada saat ini terdiri dari air mata buatan
nonpreserved, salep mata per jam dan polytrim. Anak tersebut segera dirujuk ke pusat konsultasi Ophthalmologic untuk evaluasi adanya edema cakram optik, dimana
didapati hasil tes Heidelburg tomografi retina HRT dicoba pada OU, tetapi hanya OS yang diperoleh Gambar 31.
Gambar 31. HRT II analisis mata kiri pasien. Perhatikan edema disk optik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selain itu, rujukan dibuat untuk Pusat Gangguan Kraniofasial, Rumah Sakit Anak Atlanta untuk dievaluasi. Di sana ia menjalani beberapa tes, termasuk tes
Audiologi yang masih dalam batas normal, studi tidur untuk mengevaluasi apnea obstruktif tes positif, dan evaluasi genetika. Evaluasi medis menemukan fasies
dismorfik dengan hipoplasia maksila, proptosis, dan bukti dari synostosis bicoronal, yang mana semua temuan klinis yang konsisten dengan sindroma Crouzon.
Dari hasil evaluasi anggota keluarga lainnya ditemukan bahwa karena orang tua tidak memiliki semua fitur klinis Crouzon, kemungkinan terbesar adalah bahwa
ini merupakan mutasi sporadis. CT scan dengan rekonstruksi 3-dimensi 3D menunjukkan synostosis bicoronal dan bukti tekanan intrakranium yang tinggi.
Gambar 32 menunjukkan CT scan dari orbit menampilkan proptosis dari kedua bola mata. Gambar 33 menunjukkan CT scan kranium yang menampilkan fusi prematur
sutura.
Gambar 32.CT scan orbit menunjukkan OU proptosis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 33. CT scan kranium memperlihatkan garis fusi prematur sutura.
Dia menjalani kombinasi bedah kraniofasial dan saraf 2 bulan setelah
kunjungan pertama. Dilakukan sebuah prosedur ekspansi monoblok,
yang membuka sutura
tertutup sambil memajukan
rahang atas dan
hipoplasia orbitnya
. Pengukuran tekanan
Intraoperatif cairan serebrospinal
CSF menegaskan
peningkatan tekanan pada
intrakranium pada hasil radiografi. Sebanyak 20 mm kemajuan dicapai, tekanan
intrakranium dihilangkan, morfologi wajah dipulihkan, orbit normal dan perbaikan oklusi. Dia menjalani prosedur dengan baik dan sedang ditindaklanjuti oleh ahli
bedah saraf secara berkala. Dia kembali ke rumah sakit untuk tindak lanjut dari papilledema, yang muncul walau hanya sedikit pada kunjungan 4 bulan pasca bedah.
Cacat penglihatan tidak lagi didapati pada screening fields . Hasil koreksi ketajaman
visualnya pada kunjungan terakhir adalah 2020 OU. Gambar 34 menunjukkan hasil kemajuan bedah ekspansi monoblok pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 34. Foto pasien setelah dilakukan bedah ekspansi monoblok.
Diagnosa Diagnosa Tes – analisis laboratorium
Lebih dari 50 pasien dengan sindroma Crouzon menunjukkan mutasi FGFR2 pada analisis molekuler. Mutasi FGFR2 juga didapati pada sindrom Apert,
Pfeiffer, dan Jackson-Weiss. Mutasi juga terjadi pada FGFR3 ala391-ke- glutathione
jika didapati acanthosis nigricans yang berdampingan dengan salah satu mutasi tersebut.
Diagnosa Tes – studi pencitraan
Radiografi kranium digunakan untuk menunjukkan synostosis, cacat kraniofasial, pelebaran fosa hypophyseal, sinus paranasal, dan maksila hipoplasia
dengan orbit dangkal. Sutura koronal, sagital, lamboidal, dan metopik mungkin terlibat. Radiologi serviks kelainan tulang termasuk butterfly vertebrae. Fusi serviks
ditemukan di sekitar 18 penderita sindroma Crouzon. C2-C3 dan C5-C6 sama-sama dipengaruhi. Perbandingan rekonstruksi analisis CT scan 3D kranium digunakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
untuk dapat mendefinisikan anatomi patologis dan untuk memungkinkan perencanaan bedah tertentu. Magnetic resonance imaging MRI digunakan untuk menunjukkan
corpus collosum agenesis dan atrofi optik.
Perawatan
Pengobatan oleh tim multidisiplin bekerja sama dengan keluarga memberikan hasil terbaik terhadap gangguan kraniofasial. Tujuannya adalah untuk tahap
rekonstruksi bertepatan dengan pola pertumbuhan wajah, fungsi viseral, dan pengembangan psikososial. Pada periode awal kelahiran, beberapa potensi masalah
yang mungkin perlu ditangani termasuk kesulitan pernafasan, masalah makan, komplikasi neurologis seperti hidrosefalus, dan potensi resiko keterlambatan tumbuh
kembangnya. Perencanaan pengobatan yang tepat dan beberapa tahap bedah adalah hal
umum yang dilakukan sebagai penanganan terhadap pasien sindroma Crouzon.
S indroma
Crouzon dan Apert
, synostosis
melibatkan 2 atau lebih sutura, sehingga menghasilkan peningkatan
resiko tekanan intrakranium dan
kesempatan terjadinya hidrosefalus menjadi lebih besar.
Karena kompleksitas dari perawatan bedahnya
, biasanya
dituntut untuk melakukannya
secara bertahap. Pada tahun
pertama kelahiran
, yang lebih dipilih adalah untuk melepaskan
sutura yang
synostotis pada
kranium untuk mendapatkan
volume kranium
yang memadai untuk memungkinkan
pertumbuhan dan ekspansi otak. Pembentukan kembali kranium
mungkin perlu dilakukan agar anak tumbuh kembang dengan bentuk kepala normal. Jika perlu
, tindakan bedah memajukan
sepertiga wajah tengah dan bedah
rahang dapat dilakukan
untuk memberikan
volume orbital yang memadai dan
mengurangi exophthalmus
untuk memperbaiki oklusi
ke posisi fungsional
yang sesuai dan untuk memberikan
penampilan yang lebih normal.
Perawatan mulut terhadap maloklusi dan komplikasi lainnya yang mungkin akan muncul juga menjadi salah satu prosedur perawatan.
Bedah plastik juga
mungkin bermanfaat. Ini adalah salah satu
dari beberapa
sindrom di mana
hasil bedah kosmetik
bisa sangat
efektif , seperti dalam
kasus ini. Perhatikan
perbedaan antara
penampilan wajah pada gambar
30 dan 34.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Prognosis tergantung pada tingkat keparahan dari kelainan yang terjadi. Craniosynostosis dapat menyebabkan kompresi otak dan keterbelakangan mental dan
sangat mempengaruhi individu yang terkena kecuali cepat ditangani dengan craniectomy. Inovasi dalam bedah kraniofasial telah memungkinkan pasien untuk
mencapai potensi penuh mereka dengan memaksimalkan peluang mereka untuk pertumbuhan intelektual, kompetensi fisik, dan penerimaan sosial. Pasien pada
umumnya memiliki umur normal. Karena adanya komplikasi okular seperti keratopati eksposur, strabismus, dan
penurunan penglihatan, pasien dengan kelainan kraniofasial mungkin pada awalnya akan datang kepada dokter mata terlebih dahulu untuk merawat keluhan rasa sakit
dan kelainan yang mereka rasakan. Dengan adanya komplikasi pada mulut, dimana letak gigi yang tidak teratur dan rahang bawah yang lebih maju, maka pasien juga
akan mungkin terlebih dahulu datang ke dokter gigi. Maka dari itu pemahaman
tentang sindrom ini diperlukan oleh semua kalangan ahli medis guna mendapatkan diagnosa lebih awal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.
Dokter mata dapat menjadi bagian integral dari perawatan multidisipliner pasien yang membutuhkan. Pemahaman tentang kelainan ini diperlukan agar baik dokter mata,
dokter gigi, dokter bedah dan ahli-ahli medis lainnya dapat membuat rujukan yang tepat untuk memastikan pasien akan mendapatkan perawatan terbaik yang tersedia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan