5. Ucapan ijab dan qabul
Masalah aqad atau sighat ijab qabul di dalam hukum perkawinan Islam adalah dipandang sebagai rukun yang paling penting bagi suatu pernikahan. Pernyataan
pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri disebut ”Ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan rasa ridha dan setuju disebut
”qabul”. Syarat-syarat ijab qabul adalah :
a. Beriring-iringan antara ijab dan qabul. Tidak sah jika diantarai dengan
pembicaraan yang lain atau dengan diam yang lama; b.
Sesuai bunyi ijab dan qabul. Tidak sah jika tidak sesuai. Misalnya wali menikahkan Fatimah anak Ali, lalu diterima laki-laki dengan Aisyah anak
Ali;
c. Didengar oleh dua orang saksi yang mengerti maksudnya. Tidak sah jika
tidak terdengar mereka atau tidak mengerti maksudnya; d.
Disebutkan dengan khusus perempuan yang dinikahinya itu di dalam ijab dan qabul. Tidak sah jika tidak dikhususkan;
e. Tidak bertaklik. Tidak sah jika bertaklik. Misalnya kata wali : Aku nikahkan
anakku Fatimah kepadamu jika telah diceraikan suaminya”.
62
Sighat ijab dan qabul yang disepakati oleh ulama yaitu ada kata yang berakar kata ”zawaja” dan ”nakaha”. Dua kata ini memang yang dipergunakan oleh Al-
Qur’an untuk maksud pernikahan.
63
Tujuan utama atau tujuan pokok perkawinan adalah bersatunya kedua belah pihak, dengan mudah mereka akan mengerti cara untuk saling membantu dalam
mencapai tujuan. Tujuan pokok ini adalah yang jauh lebih besar ketimbang keinginan birahi semata-mata. Mereka dapat belajar saling menghargai satu sama lain,
mencintai Allah dalam keluarga mereka dan terhadap yang lainnya, serta mengatasi
62
Ibid.
63
Iman Jauhari, Op. Cit, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
kesulitan-kesulitan dan kekurangan mereka. Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk
menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yng damai dan teratur.
64
Menurut Ny. Soemiyati dalam buku M. Idris Ramulyo tentang Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan
Islam, menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah ” untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah”.
65
Menurut Filosof Islam, Imam Ghazali, membagi tujuan dan faedah perkawinan dengan 5 lima hal, sebagai berikut :
1 Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia; 2
Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan; 3
Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan; 4
Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basah pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang;
5 Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
66
Pengertian Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum
Islam KHI dinyatakan ”perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan
64
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 24.
65
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Edisi Revisi, Penerbit Ind-Hill Co, Jakarta, 1990, hal. 49.
66
Ibid, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
dimasa yang akan datang”. Kata taklik merupakan masdar dari kata ’allaqa yang konjugasinya adalah
menggantung atau mengaitkan. Dan kata ”talak” berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar yang konjugasinya adalah melapaskan atau menguraikan tali
pengikat.
67
Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih bersifat universal-konsepsional yang berarti tidak mencampur-
adukkan antara kebijakan yang sifatnya temporal dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen dan universal. Pengertian perkawinan yang
selanjutnya dalam tesis ini disebut ta’lik talak yang dikemukakan dalam berbagai doktrin fiqh dan menempatkan ta’lik talak searah dengan perjanjian. Dalam
pengertian ta’lik talak yang diucapkan oleh suami tidak perlu memperoleh persetujuan isteri. Pengertian ta’lik talak seperti ini tidak sejalan dengan asas
perkawinan di Indonesia yang menempatkan suami isteri pada derajat yang sama.
68
Dalam literatur yang berbahasa Indonesia seperti dirumuskan oleh Moh. Anwar disebutkan bahwa ”Ta’lik talak atau talak mu’allaq adalah menyandarkan
67
Louis Ma’luf, al munjid fi al lulqah, Dar al-masyruq, Beirut- Libanon, Cet.3, 1992, hal. 348. lebih lanjut lihat terjemahan Abdul Rahman Al-Jaziri.
68
Salah satu asas perkawinan yang terkandung dalam UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 adalah persamaan derajat antara pria dan wanita, konsekuensinya adalah tindakan yang membawa
dampak kepada kedua belah pihak harus disetujui bersama. Lebih lanjut lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet.VII, Ed, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 125-127.
Universitas Sumatera Utara
jatunya talak kepada sesuatu perkara, perbuatan maupun waktu tertentu”.
69
Jadi definisi ta’lik talak yang bersifat praktis dikemukakan oleh Kamal Mukthar sebagai
”Talak yang menguntungkan yang diucapkan oleh suami dan dikaitkan dengan iwadh sesudah akad nikah sebagai suatu perjanjian perkawinan yang mengikat suaminya.
70
Terminologi perjanjian menurut KHI tidak disebut rumusannya secara jelas seperti pengertian yang termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun demikian,
KHI menyebutkan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah bukan perjanjian sepihak. Ketentuan ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 45 KHI yang menyebutkan bahwa
kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawianan dalam bentuk : 1.
Ta’lik Talak, dan 2.
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam Lebih lanjut mengenai perjanjian ta’lik talak sebagai perjanjian perkawinan
dalam KHI yang diatur dalam Pasal 46 yang menyebutkan bahwa : 1
Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam 2
Apabila keadaan yang disyaratkan dalam ta’lik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya tidak sungguh-
sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama
3 Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali
69
Ahmad Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, Dipenogoro, Bandung, 1991, hal. 66. Untuk membandingkan pengertian ta’lik talak yang
dikemukakan oleh Moh. Anwar dengan talak mu’allaq secara substansial dapat dilihat dalam Sayid Sabiq, tt, Fiqh Sunnah, juz II, Maktabah al Hidmah al Hadisah, Mesir, hal. 38.
70
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 207. Definisi ini kurang jami’ karena hanya dapat mengaku ta’lik talak yang ada sejak
tahun 1931, karena sejak itulah baru ada yang mempraktekkan iwadh dalam Sighat ta’lik. Lebih lanjut lihat Zaini Ahmad Noeh, , Pembacaan Sighat Ta’lik Talak Sesudah Akad Nikah, Dalam Mimbar
Hukum No. 30 tahun VIII, 1977, hal. 65-67.
Universitas Sumatera Utara
4 Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang sahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan
5 Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam
6 Di samping itu, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat
7 Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama
atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban rumah tangga
8 Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut,
dianggap telah terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga
9 Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik
yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan, maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan
10 Dapat juga diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas
pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh
selama perkawinan atau sebaliknya
11 Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan
pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
12 Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan
bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya ke Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
13 Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri
tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar
setempat
14 Apabila dalam tempo enam bulan pengumuman tidak dilakukan oleh yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga
15 Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan
perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
71
71
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 79-81.
Universitas Sumatera Utara
6. Syarat-syarat Perjanjian Perkawinan