Adanya calon mempelai laki-laki Adanya calon mempelai perempuan

Perkawinan dalam Islam mempunyai nilai ibadah dan tidak semata-mata sebagai hubungan keperdataan biasa, karena itu dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan sebagai aqad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan merupakan ibadah melaksanakannya. 54 Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai rukun-rukun perkawinan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut :

1. Adanya calon mempelai laki-laki

Bagi mempelai laki-laki hendaklah ia bukan mahram dari calon isteri, tidak terpaksa yaitu atas kemauannya sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalnkan ihram haji atau umrah. Adapun syarat suami yang sah nikah yaitu : a. Tidak mahram bagi perempuan yang dinikahinya. Tidak sah nikah laki-laki dengan perempuan mahramnya; b. Tidak beristeri empat orang. Tidaksah nikah laki-laki yang sedang beristeri empat orang dengan perempuan yang kelima; c. Tidak beristerikan dengan perempuan yang haram dimadukannya dengan perempuan yang dinikahinya; d. Nikah dengan kemauannya; Tidak sah nikah laki-laki yang dipaksa. e. Tidak sedang ihram mengerjakan haji atau umrah. Tidak sah nikah laki-laki yang sedang ihram; f. Mengetahui diri perempuan yang hendak dinikahinya atau mengetahui nama dan nama bapaknya; g. Nyata ia seorang laki-laki. Tidak sah nikah orang yang banci. 55 54 Lihat Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam. 55 Sunarto, Perkawianan Di bawah Umur Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar-Riau, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001, hal. 19. Universitas Sumatera Utara

2. Adanya calon mempelai perempuan

Adapun bagi mempelai perempuan hendaklah ia tidak ada halangan syari’at yaitu bukan isteri seorang laki-laki lain, bukan mahram bakal suaminya, tidak dalam iddah, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak dalam ihram haji maupun umroh. Syarat isteri yang sah dinikahi, yaitu : a. Tidak mahram bagi laki-laki yang akan menikahinya; b. Tidak isteri orang lain dan tidak dalam iddah dari suaminya yang lain; c. Beragama Islam; Tidak sah nikah dengan perempuan yang kapir, kecuali kapir kitabiyah; d. Nyata ia seorang perempuan; Tidak sah nikah dengan orang yang banci; e. Tertentu orangnya; Tidak sah nikah dengan perempuan yang tidak ditentukan orangnya, misalnya kata wali: ”Aku nikahkan salah seorang diantara dua anakku yang perempuan ini kepadamu”. 56 Dalam melakukan aqad nikah, pihak mempelai laki-laki dan perempuan, keduanya harus mempunyai ahli yatul ada yang sempurna yaitu telah dewasa, berakal sehat dan tidak dipaksa. Jadi anak yang belum mumayyiz atau orang yang menderita sakit ingatan tidak sah melakukan aqad nikah sendiri. Anak yang sudah tamyiz tetapi belum dewasa dipandang dipandang tidak sempurna kecakapannya, sehingga apabila hendak melakukan aqad nikah wajib dengan izin walinya. Adapun mempelai perempuan selamanya dianggap tidak cakap melakukan aqad nikah sendiri tetapi dilakukan oleh walinya. Tetapi bagi mazhab hanafi ada kemungkinan bagi mempelai perempuan melakukan aqad nikah sendiri yaitu jika perempuan tersebut janda dan 56 Ibid, hal. 19-20. Universitas Sumatera Utara sudah dewasa.” 57 a. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh perkawinan itu dipaksakan. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa seorang perempuan perawan datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menceritakan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedangkan ia tidak mau tidak suka, maka Nabi menyerahkan keputusan itu kepada gadis itu, apakah mau menerima perkawinan itu atau dicerai. b. Adanya Wali Nikah Wali diartikan sebagai orang yang berkuasa penuh mengaqadnikahkan seorang perempuan dengan bakal suaminya. Wali itu boleh melakukan sendiri aqad nikah tersebut atau diwakilkan kepada siapa saja yang disukainya atau kepada juru nikah seperti kadi atau imam. Seorang wali hendaklah mempunyai syarat-syarat tertentu untuk mengaqadnikahkan anak perempuannya. Syarat-syarat tersebut adalah : a. Baligh. Tidak sah anak-anak yang belum baligh menjadi wali; b. Berakal. Tidak sah orang gila; c. Merdeka. Tidak sah budak orang; d. Laki-laki. Tidak sah perempuan; e. Tidak fasik. Tidak sah orang yang fasik dan kafir; f. Dengan kemauannya. Tidak sah orang yang dipaksa; g. Tidak sedang ihram mengerjakan haji atau umroh. Tidak sah orang yang sedang ihram; h. ak rusak pikirannya. Tidak sah orang yang sudah rusak pikirannya karena sudah sangat tua. 58 57 Iman Jauhari, Op. Cit, hal. 36. 58 Sunarto, Op. Cit, hal. 20. Universitas Sumatera Utara Para ulama berbeda pendapat tentang hamba sahaya, orang fasik dan orang bodoh. Maliki mengatakan bahwa kecerdikan bukan menjadi syarat dalam perwalian. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa ianya sebagai syarat dalam perwalian. Sementara mengenai keadilan, fuqaha berselisih pendapat mengenai segi kriterianya dengan kekuasaan untuk menjadi wali, di mana apabila tidak terdapat keadilan, maka dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilihkan calon yang seimbang bagi wanita yang berada di bawah perwalian. Begitu pula dengan hamba sahaya, diperselisihkan tentang perwaliannya sebagaimana diperselisihkan tentang keadilannya. 59

3. Adanya dua orang saksi