2. Perkawinan Campuran Beda Agama
Perkawinan antar agama di Indonesia yang secara teoritis menurut para pakar dicatatkan dalam register perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan
Agama oleh pejabat pencatat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan, sehingga keabsahan suatu perkawinan yang disertai pengakuan adanya perkawinan
dari pihak Negara berakibat hukum pada status harta perkawinan. Menurut Pasal 1 GHR Regeling Op De Gemengde Huwelijken atau yang
dikenal dengan Stb. 1898 Nomor 158, yang kemudian disebut dengan Peraturan Perkawinan Campuran, menyatakan bahwa ” Yang dinamakan dengan Perkawinan
Campuran , ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan”.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat 2 dari Peraturan Perkawinan Campuran GHR ditegaskan suatu asas yang sangat prinsipil, yaitu ” Perbedaan agama, bangsa
atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu”. Sementara itu di dalam Pasal 66 UU Perkawinan, menyebutkan bahwa :
”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk wetboek, Ordonansi Perkawinan Indonesia kristen Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 159, dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Mengenai Perkawinan Campuran dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Bab XII ketentuan-ketentuan lain Bagian ketiga
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 57, disebutkan bahwa :” Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”. Pengertian perkawinan campuran yang diberikan dalam Pasal 57 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 dan pengertian Perkawinan Campuran yang diberikan oleh Pasal 1 GHR terdapat perbedaan. Dari perbedaan tersebut menyebabkan pengetian
Perkawinan Campuran yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mempunyai arti yang sempit jika dibandingkan dengan pengertian Perkawinan
Campuran yang terdapat dalam HGR. Perkawinan Campuran dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 hanya
mengatur Perkawinan Campuran antara mereka yang berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan antar agama menjadi
permasalahan dimulai dari adanya permohonan Andi Vonny Gani P yang beragama Islam untuk melangsungkan perkawinan dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan
yang beragama Kristen.
41
Apabila seorang pria yang beragama Islam karena faktor-faktor tertentu bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita Ahlil Kitab, maka
hendaknya :
41
Agustina, Op. Cit, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
1. Perkawinan itu dilakukan menurut hukum Islam, dihadapan Kepala Kantor
Urusan Agama kecamatan setempat. 2.
Bertanya kepada hati nurani sendiri : a.
Apakah mampu mengajak calon istri kepada agama Islam dengan cara yang bijaksana dan nasehat-nasehat yang baik, serta mendidik putera-puterinya
dengan ajaran Islam. b.
Apabila hati nuraninya tidak mampu memberi jaminan, maka keinginanhasrat itu diurungkan saja, karena mafsadatnya lebih besar daripada
maslahatnya. 3.
Perkawinan itu tidak akan mengakibatkan dirinya melanggar ketentuan Allah, seperti mempunyai anak keturunan yang bukan Islam atau sekurang-kurangnya
menganggap remeh terhadap ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Dalam Al-Qur’an, ketentuan mengenai perkawinan antara pemeluk Islam
dengan pemeluk agama lain telah ditegaskan dengan jelas dalam Surat Al-Baqarah ayat 221, dinyatakan bahwa :
”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang yang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak laki-laki yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Sahnya perkawinan dalam hukum agama dapat dilaksanakan bila dilakukan pencatatan perkawinannya oleh Pejabat Pencatat Perkawinan, untuk yang beragama
Universitas Sumatera Utara
Islam, pencatatan perkawinan akan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk; sedangkan bagi yang tidak beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan pada Kantor Catatan Sipil. Dan dengan dikeluarkannya Kutipan
Akta Perkawinan Buku Nikah, hal ini merupakan bukti pengakuan sahnya perkawinan oleh Negara.
Perkawinan yang sah berakibat pada status harta perkawinan yang diatur secara tegas dalam Pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa :
1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2 Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Hukum Harta Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terjadinya perstuan bulat bukan saja pada harta tetapi juga pada seluruh hutang baik
sebelum dan sepanjang perkawinan. Perkawinan yang berbeda agama yang diakui oleh pihak Negara, mempunyai
akibat terhadap pengaturan hukum harta perkawinan, maka berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak
memerlukan pengaturan pelaksana kerena telah mengatur secara materiil dan pokok untuk dapat dilaksanakan dalam masyarakat.
Dengan semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan orang untuk membuat perjanjian perkawinan juga berkembang sejalan dengan makin
Universitas Sumatera Utara
banyaknya orang menyadari bahwa pernikahan juga adalah sebuah komitmen finansial seperti pentingnya hubungan cinta itu sendiri. Namun, tidak ada yang bisa
mematikan romantisme sedemikian cepat selain pembicaraan mengenai perjanjian perkawinan.
Seringkali bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang betengkar ketika ide perjanjian pernikahan dilontarkan, namun juga merembet menjadi masalah
keluarga antara calon besan. Hal ini terjadi karena perjanjian perkawinan bagi kebanyakan orang disini masih dianggap kasar, materialistik, juga egois, tidak etis,
tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya. Sayangnya dengan keterkaitan emosi yang begitu tinggi diantara pasangan
yang akan menikah bisa menghalangi objektivitas untuk mengantisipasi potensi masalah finansial dalam sebuah pernikahan, termasuk risiko perceraian. Anggapan
bahwa jika kita saling mencintai maka kita tidak akan memiliki masalah keuangan, sebenarnya kurang tepat.
Faktanya, masalah keuangan tetap saja muncul tidak peduli betapa suami isteri keduanya saling mencintai. Bayangkan betapa besarnya masalah keuangan yang
akan muncul ketika suami isteri tidak lagi saling mencintai dan memutuskan bercerai. Tanpa bermaksud menyinggung perasaan siapapun, bersikap sinis, skeptis maupun
pesimis, marilah kita berpikiran terbuka terhadap fenomena perjanjian pranikah ini dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Seperti layaknya perjanjian
kerjasama usaha, perjanjian jual beli, perjanjian hutang piutang atau polis asuransi sekalipun yang diantara para pihak pihak yang berkaitan berjanji untuk saling
Universitas Sumatera Utara
memberikan manfaat yang sebaik-baiknya secara adil. Maka dengan membuat membut perjanjian perkawinan, pasangan calon pengantin mempunyai kesempatan
untuk saling terbuka. Mereka bisa berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati
bersama tanpa ada yang ditutup-tutupi atau salah satu pihak merasa dirugikan karena satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian
tersebut. Perjanjian pra nikah Prenuptial Agreement adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin
yang akan menikah.
42
Perjanjian perkawinan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan isinya mengatur bagaimana harta kekayaan Anda berdua akan dibagi jika terjadi
perceraian, kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian ini juga bisa memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga akan diatur atau ditangani selama
pernikahan berlangsung. Dalam UU No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk sahnya suatu
perkawinan di samping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan
dalam undang-undang perkawinan dan penjelasannya. Perjanjian perkawinan yang dibuat suamiistri harus ada kesepakatan pada waktu membuat naskah perjanjian
perkawinan sebelum atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan. Menurut hasil penelitian melalui wawancara dengan Kamil mengatakan
bahwa:
42
www.danareksa.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2007.
Universitas Sumatera Utara
”Apabila pada saat perjanjian perkawinan itu diperbuat oleh orang yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum kawin, sedangkan
perkawinan itu dilangsungkan setelah dicapai umur yang ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1974, yaitu pria sudah berumur 19 sembilan belas tahun
dan wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan batal, sedangkan
perkawinan itu sendiri adalah sah.”
43
Dengan demikian untuk membuat perjanjian perkawinan orang-orang itu harus mencapai genap umur 18 delapan belas tahun baik pihak pria maupun pihak
wanita atau sudah pernah kawin. Dalam UU No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk sahnya suatu
perkawinan di samping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan
dalam undang-undang perkawinan dan penjelasannya. Perjanjian perkawinan yang dibuat suami istri harus ada kesepakatan pada waktu membuat naskah perjanjian
perkawinan sebelum atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan. Dalam Pasal 29 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, yang berbunyi ” pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Menurut M. Yahya Harahap, bahwa tujuan dari perjanjian
perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 adalah pemisahan dari pencampuran harta kekayaan bersama suami dan istri sebelum perkawinan dilaksanakan atas
43
Kamil, Kepala Bagian Urusan Agama Islam, Departemen Agama, Kota Medan, Hasil Wawancara, Medan, Tanggal 7 Mei 2007.
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan kedua belah pihak, atau merupakan penyimpanan dari ketentuan hukum tentang milik bersama dalam perkawinan.
44
Membuat perjanjian yang dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-
nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam membuat perjanjian perkawinan perlu
dipertimbangkan beberapa aspek yaitu : a.
Keterbukaan; Dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun
sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya
penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan. Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah,
bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar Anda tahu persis apa yang akan
diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya,
b. Kerelaan;
Perjanjian perkawinan harus disetujui dan ditanda tangani oleh ke dua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena
diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, maka perjanjian perkawinan tersebut bisa terancam batal karenanya,
c. Pejabat yang objektif;
Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa tercapai
keadilan bagi kedua belah pihak,
d. Notariil.
Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaris. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan
perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan KUA maupun
Kantor Catatan Sipil.
45
44
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 82.
45
Kamil, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Biasanya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, yaitu suami ataupun istri, meskipun
undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah.
Asalkan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, seperti sudah disebutkan diatas.
Pada dasarnya isi perjanjian perkawinan dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, berdasarkan
wawancara dengan beberapa Notaris, menyebutkan bahwa isi perjanjian perkawianan tersebut antara lain memuat:
a. Tentang pemisahan harta kekayaan, jadi tidak ada ada harta gono gini.
Syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan, kalau setelah menikah baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan
perkawinan.Kalau sudah menikah, sudah tidak bisa lagi bikin pisah harta. Semuanya menjadi harta gono gini. Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh
setelahdalam perkawinan. Kalau harta sebelumnya, sewaktu masih sendiri, itu adalah harta bawaan masing- masing. Mungkin dalam rangka proses cerai, ingin
memisahkan harta, bisa saja bikin perjanjian pembagian harta. Intinya dalam perjanjian perkawinan bisa dicapai kesepakatan tidak adanya percampuran harta
pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung mauapun apapbila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian;
b. Tentang pemisahan utang, jadi dalam perjanjian perkawianan bisa juga diatur
mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang
terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian,
c. Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut. Terutama
mengenai masalah biaya hidup anak juga biaya pendidikannya harus diatur sedemikian rupa berapa besar kontribusi masing-masing orang tua dalam hal ini
tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.
46
46
Erwin, Notaris Medan, Hasil Wawancara, Medan, Tanggal 25 Mei 2007.
Universitas Sumatera Utara
B. Tinjauan Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan pertama-tama harus dipahami sebagai ikhtiar manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab. Dari sini,
diharapkan akan terjalin hubungan kasih sayang, cinta, dan tanggung jawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban
manusia.
47
Sebagai dipahami dari teks-teks suci Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah Hadist Nabi SAW, perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha menyelamatkan dan
mengamankan alat-alat kelamin dari berbagai bentuk penyimpangan seksual yang pada gilirannya, dapat merusak fungsi-fungsi reproduksi. Jadi perkawinan merupakan
sarana atau wahana bagi perkembangbiakan manusia secara sehat dalam arti yang seluas-luasnya, baik menyangkut fisik, psikis, mental dan spiritual, serta sosial.
48
Menurut Kamal Muchtar sebagaimana dikutip oleh Iman Jauhari, menyebutkan bahwa perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan ”nikah”
dan perkataan ”zawaaf”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya haqiqat dan arti kiasan majaaz. Arti sebenarnya ”nikah” ialah ”dham” yang berarti
”menghimpit, menindih, atau berkumpul”. Sedangkan arti kiasannya ialah ”wathaa”, yang berarti ”setubuh atau aqad”, yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan ”nikah” lebih banyak dipakai dalam
47
K.H. Husen Muhammad, Fiqh Perempuan, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2001, hal. 105.
48
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya.
49
Perkawinan merupakan proses hubungan seksual manusia harus berjalan dengan semangat kedamaian dengan menghormati hak-hak asasi manusia sebagai
insan-insan sederajat antara pria dan wanita, untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.
50
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam KHI menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan disebutkan ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut Ensiklopedia Indonesia perkataan perkawinan adalah nikah; sedangkan menurut Poerwadarma 1976 kawin adalah perjodohan laki-laki dan
perempuan menjadi suami isteri; nikah; perkawinan yaitu pernikahan. Disamping itu menurut Hornby 1957 maraiage : the union of two person as husband and wife. Ini
berarti bahwa perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami isteri.
51
Lembaga perkawinan adalah dasar dan asa peradaban umat manusia. Kawin pada hakikatnya suatu perikatan aqad suci antara calon suami dan calon isteri, yang
mesti dilaksanakan oleh tiap-tiap kaum muslimin, kecuali jika ada sebab-sebab penting untuk tidak melaksanakannya. Kemudian perkawinan adalah suatu perjanjian
49
Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal. 16.
50
Ibid, hal. 15.
51
Bimo Walgito, , Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Andi, Yogyakarta 2002, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
untuk mensahkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.
52
Pernikahan bagi Islam bukanlah sekedar satu ikatan lahiriah atau perjanjian biasa antara seorang pria dengan seorang wanita guna memenuhi kebutuhan biologis
dan pertumbuhan keturunan semata-mata, tetapi pernikahan itu adalah Sunnah Rasulullah SAW yang terikat pada ketentuan hukum Islam, yang merupakan suatu
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Oleh karena itu, lembaga pernikahan harus dipelihara keluhurannya dan kesuciannya.
Hendaknya umat Islam, khususnya para orang tua dan remaja, dapat memelihara keluhurannya dan kesucian pernikahan, sesuai dengan norma yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain : 1.
Setiap perkawinan dilaksanakan menurut hukum dan tatacara agama Islam. Untuk keperluan pembuktian dan administrasi negara, pernikahan
yang dilakukan menurut agama Islam itu dicatat pada Kantor Urusan Agama KUA kecamatan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Seorang wanita yang beragama Islam dilarang larangan mutlak kawin
dengan pria yang bukan beragama Islam. Pelanggaran terhadap larangan itu adalah suatu perbuatan dosa, yang mengakibatkan hubungan diantara
mereka menjadi tidak halal dan karenanya membuahkan keturunan yang tidak sah.
3. Seorang pria yang beragama Islam dilarang larangan mutlak kawin
dengan wanita yang bukan beragama Islam dan juga bukan wanita Ahlil Kitab Yahudi dan Nasrani.
4. Pada prinsipnya, seorang pria muslim hendaklah berupaya untuk
melangsungkan perkawinan dengan wanita muslimah, kecuali apabila ada faktor-faktor penyebab yang sangat mendesak, seperti pria itu hidup di
52
T. Jafizham, Op. Cit, hal. 257.
Universitas Sumatera Utara
tengah-tengah lingkungan Ahlil Kitab dan atau menghindarkan diri dari kemungkaran.
53
Salah satu aspek yang diatur oleh hukum Islam yang menyangkut munakhahat, yaitu mengatur masalah perkawinan, yaitu mengatur hubungan seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah menurut syariat Islam untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran Islam dianjurkan untuk melakukan perkawinan karena
bermanfaat bukan saja bagi pihak yang melangsungkan perkawinan itu, tetapi juga untuk keluarga, masyarakat, bagsa dan negara. Hanya dengan melakukan perkawinan
seseorang akan terhindar dari perbuatan maksiat. Bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengadakan perkawinan, ajraan Islam menganjurkan agar melaksanakan
puasa. Dengan puasa seseorang akan mampu mengendalikan dirinya gejolak birahi dan keinginan untuk melakukan hubungan sex.
Ajaran Islam menganjurkan untuk melangsungkan perkawinan, hal ini dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Buchari dan
Muslim, yang artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Ia telah bersabda Rasulullah SAW kepada kami artinya ”Hai orang-orang muda siapa-siapa dari kamu
mampu kawin, hendaklah ia kawin karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan dan barang siapa tidak mampu
hendaklah ia bersaum, karena itu pengebiri bagimu”.
53
Agustina, Perkawinan Antar Agama dan Akibat Hukumnya Kajian Putusan Mari No. 1400, KPdt1986, Tesis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan dalam Islam mempunyai nilai ibadah dan tidak semata-mata sebagai hubungan keperdataan biasa, karena itu dalam Kompilasi Hukum Islam
ditegaskan sebagai aqad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan merupakan ibadah melaksanakannya.
54
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai rukun-rukun perkawinan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut :
1. Adanya calon mempelai laki-laki