Asas Perlakuan yang Sama Dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal
ASAS PERLAKUAN YANG SAMA DALAM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU ( PTSP ) DI BIDANG PENANAMANMODAL
S K R I P S I
Oleh
NIM : 090200454 HENDRAWAN SEMBIRING
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
ASAS PERLAKUAN YANG SAMA
DALAM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL
S K R I P S I
Oleh
NIM : 090200454 HENDRAWAN SEMBIRING
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
(WINDHA, SH., M. Hum) NIP. 19750112200501 2002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
195905111986011001 197302202002121001 Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.HumDr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan berkat dan bimbingan-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Asas Perlakuan yang Sama Dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal”.
Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga, pikiran serta dukungannya baik secara moril maupun materil. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada yang terhormat :
1.Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara,
2.Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus juga menjadi Dosen Pembimbing I yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini,
3.Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
4.Bapak Muhammad Husni S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
5.Ibu Windha S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi
(4)
6.Bapak Ramli Siregar S.H,, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
7.Bapak Dr. Mahmul Siregar S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II
yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini,
8.Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah ikhlas
memberi pengajaran kepada penulis selama menjalani perkuliahan serta staf akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
9.Orang tua penulis, Alm. Drs. Mimpin Sembiring dan Inti Sari Br. Sitepu,
S.H. yang senantiasa memberi doa dan dukungan kepada penulis,
10.Pacarku terkasih, Julia Sari, S.H. yang selalu memberikan dorongan,
semangat, doa dan kasih sayangnya kepada penulis,
11.Teman-teman seperjuangan saya, Haryo Septiadi Arunanto, Gindo Purba,
Zulfahmi Siregar, Agry Purba, Mahmudin Lubis, Anwar Lubis, dan Darwin Gulo,
12.Teman-teman komunitas saya, Taft Diesel Indonesia Chapter Sumatera
Utara, Inter Club Indonesia Regional Binjai, Brigade Mahasiswa Masyarakat Pancasila Indonesia USU.
Medan, 11 Februari 2014
Penulis,
(5)
DAFTAR ISI
Abstrak
Kata Pengantar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……….. 01
B. Perumusan Masalah ……….. 07
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 07
D. Keaslian Judul ……….. 09
E. Metode Penelitian ……….. 10
F. Sistematika Penulisan ……….. 21
BAB II PELAYANAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL SECARALANGSUNG (DIRECT INVESTMENT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DAN PERATURAN PELAKSANANYA A. Aspek Hukum Penanaman Modal Secara Langsung di Indonesia 1. Pengertian dan jenis-jenis penanaman modal ………… 23
2. Dasar hukum pelaksanaan kegiatan penanaman modal ……… 28
3. Kebijakan dasar penanaman modal …………..………… 33
4. Bidang usaha penanaman modal …………..………… 37
5. Fasilitas penanaman modal …………..………… 40
6. Penyelesaian sengketa …………..………… 42
B. Pelayanan Kegiatan Penanaman Modal 1. Pelayanan perizinan …………..………… 47
2. Pelayanan non perizinan …………..………… 49
(6)
BAB III ASAS PERLAKUAN SAMA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
A. Asas-asas Penyelenggaraan Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia
1. Asas-asas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007...…… 57
2. Asas-asas yang tidak dicantumkan dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 …………..………….. 63
B. Asas perlakuan sama dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007………... 68
BAB IV PEMBERLAKUAN ASAS PERLAKUAN YANG SAMA DALAM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL
A. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal
1. Pengertian dan dasar hukum Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) ………..………. 74
2. Tujuan diadakannya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).… 78
3. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) .……. 80
B. Mekanisme Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
1. Pelayanan perizinan ……...……….. 81
2. Pelayanan non perizinan ………. 85
C. Perlakuan Sama antara Penanam Modal Asing (PMA) dan Penanam
Modal Dalam Negeri (PMDN) dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
1. Pengertian modal dalam negeri dan penanaman modal dalam
negeri ………. 90
2. Bidang usaha yang terbuka untuk penananam modal dalam negeri
...…………... 93
(7)
4. Bidang usaha yang terbuka untuk penananam modal asing…... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……… 106
B. Saran ……….………. 107
(8)
ABSTRAK
ASAS PERLAKUAN YANG SAMA DALAM
PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL
Hendrawan Sembiring* Prof. Budiman Ginting SH, M.Hum**
Dr. Mahmul Siregar SH, M.Hum***
Kebijakan yang terdapat di dalam Undang-Undang Penanaman Modal merupakan angin segar bagi para investor karena membawa pengaruh yang postif dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia. Para investor semakin merasakan adanya jaminan kepastian hukum dalam menanamkan modalnya. Adapun permasalahan yang ingin dikemukakan penulis adalah bagaimanakah pengaturan
pelayanan terhadap kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment)
di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan pelaksananya, kemudian dibahas lagi mengenai bagaimanakah asas perlakuan sama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan akhirnya dibahas tentang bagaimanakah pemberlakuan asas perlakuan yang sama dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal.
Pengaturan pelayanan terhadap kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment) di Indonesia diatur dalam Pasal 21 UUPM yang menyatakan adanya peranan Pemerintah dalam memberi kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal. Kebijakan ini merupakan bentuk dari adanya jaminan kepastian hukum bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Asas perlakuan sama yang diatur dalam Pasal 3 huruf d dan pasal 6 ayat (1) UUPM merupakan kebijakan dan kewajiban Pemerintah Indonesia yang menjamin perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun. Perlakuan yang sama tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu Negara yang memperoleh hak istimewa. Pasal 4 ayat (2) UUPM juga menetapkan perlakuan sama antara penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan tetap mengacu kepada kepentingan nasional. Artinya, dalam keadaan-keadaan tertentu perlakuan sama tersebut dapat tidak diterapkan kepada penanaman modal asing. Tentunya pengecualian semacam ini harus sesuai dengan kesepakatan internasional. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bidang penanaman modal merupakan kebijakan yang diperintahkan oleh UUPM. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Langkah ini merupakan pelayanan yang efisien khususnya terhadap pelayanan perizinan.Usaha ini merupakan solusi yang prima bagi masyarakat dan pemegang keputusan lainnya karena memilikikeunggulan yaitu cepat, mudah, transparan, bebas dari biaya tidak resmi, dan memiliki kepastian hukum serta pelayanannya yang profesional.
Kata Kunci : Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), asas perlakuan sama, investor *Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**Dosen Fakultas Hukum USU, Pembimbing I ***Dosen Fakultas Hukum USU, Pembimbing
(9)
ABSTRAK
ASAS PERLAKUAN YANG SAMA DALAM
PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL
Hendrawan Sembiring* Prof. Budiman Ginting SH, M.Hum**
Dr. Mahmul Siregar SH, M.Hum***
Kebijakan yang terdapat di dalam Undang-Undang Penanaman Modal merupakan angin segar bagi para investor karena membawa pengaruh yang postif dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia. Para investor semakin merasakan adanya jaminan kepastian hukum dalam menanamkan modalnya. Adapun permasalahan yang ingin dikemukakan penulis adalah bagaimanakah pengaturan
pelayanan terhadap kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment)
di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan pelaksananya, kemudian dibahas lagi mengenai bagaimanakah asas perlakuan sama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan akhirnya dibahas tentang bagaimanakah pemberlakuan asas perlakuan yang sama dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal.
Pengaturan pelayanan terhadap kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment) di Indonesia diatur dalam Pasal 21 UUPM yang menyatakan adanya peranan Pemerintah dalam memberi kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal. Kebijakan ini merupakan bentuk dari adanya jaminan kepastian hukum bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Asas perlakuan sama yang diatur dalam Pasal 3 huruf d dan pasal 6 ayat (1) UUPM merupakan kebijakan dan kewajiban Pemerintah Indonesia yang menjamin perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun. Perlakuan yang sama tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu Negara yang memperoleh hak istimewa. Pasal 4 ayat (2) UUPM juga menetapkan perlakuan sama antara penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan tetap mengacu kepada kepentingan nasional. Artinya, dalam keadaan-keadaan tertentu perlakuan sama tersebut dapat tidak diterapkan kepada penanaman modal asing. Tentunya pengecualian semacam ini harus sesuai dengan kesepakatan internasional. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bidang penanaman modal merupakan kebijakan yang diperintahkan oleh UUPM. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Langkah ini merupakan pelayanan yang efisien khususnya terhadap pelayanan perizinan.Usaha ini merupakan solusi yang prima bagi masyarakat dan pemegang keputusan lainnya karena memilikikeunggulan yaitu cepat, mudah, transparan, bebas dari biaya tidak resmi, dan memiliki kepastian hukum serta pelayanannya yang profesional.
Kata Kunci : Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), asas perlakuan sama, investor *Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**Dosen Fakultas Hukum USU, Pembimbing I ***Dosen Fakultas Hukum USU, Pembimbing
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Cita-cita Bangsa Indonesia dengan kemerdekaannya ialah kebebasan untuk hidup mandiri membangun masyarakat adil dan makmur di atas tumpah darahnya yang kaya akan berbagai sumber alam untuk bergerak bebas di dunia, membantu atas dasar persamaan derajat dan mewujudkan suatu dunia yang damai. Agar cita-cita luhur tersebut dapat diwujudkan, kemerdekaan yang telah berhasil direbut harus diisi dengan berbagai bidang pembangunan. Karena dengan pembangunan, yaitu pembangunan secara menyeluruh dalam semua sector yang melibatkan semua lapisan masyarakat dalam pembangunan, tujuan mulia yang
dicita-citakan tersebut dapat terwujud.1
Salah satu aspek yang berperan dalam pembangunan tersebut adalah dengan adanya penanaman modal atau investasi yang besar. Kegiatan penanaman modal di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1967, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Keberadaan kedua instrumen hukum itu diharapkan agar investor baik investor
asing maupun investor domestik dapat menanamkan investasinya di Indonesia.2
1
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 2.
2
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 1.
(11)
Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, dimana pihak investor dalam negeri takut didominasi dan dieksploitasi oleh para investor asing. Padahal di sisi lain, pihak investor asing sangat dibutuhkan untuk perkembangan suatu Negara. Namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan bahwa kehadiran investasi asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup
luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud yakni kehadiran investor asing
dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan
demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari
sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) maupun alih
pengetahuan (transfer of know how).3
Sekalipun kehadiran investor membawa manfaat bagi negara penerima modal, di sisi lain investor yang hendak menambahkan modalnya juga tidak lepas
dari orientasi bisnis (business oriented), apakah modal yang diinvestasikan aman
dan bisa menghasilkan keuntungan. Selain pertimbangan ekonomi, investor juga mempertimbangkan non-ekonomi seperti jaminan keamanan, stabilitas politik, penegakan hukum dan sosial budaya merupakan faktor penentu yang tidak kalah
pentingnya untuk menentukan keberhasilan investasi.4
Pada masa Orde Baru, jumlah investasi yang diinvestasikan di Indonesia cukup tinggi yaitu investasi infrastruktur dianggarkan 7 hingga 8 persen dari Produk Domestik Bruto. Pertumbuhan penanaman modal swasta asing secara
3
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2007), hlm. 8.
4
(12)
langsung (foreign direct investment)-yakni, yang dana-dana investasinya langsung digunakan untuk menjalankan kegiatan bisnis atau mengadakan alat-alat atau fasilitas produksi seperti memberii lahan, membuka pabrik-pabrik, mendatangkan mesin-mesin, membeli bahan baku, dan sebagainya di Negara-negara dunia ketiga seperti di Indonesia ini, telah berlangsung secara sangat cepat selama sekian dasawarsa terakhir ini. Apabila pada tahun 1962 nilai totalnya baru mencapai sekitar US$ 2,4 milyar maka di tahun 1980 jumlahnya telah melonjak menjadi sekitar US$ 11 milyar, kemudian naik lagi hingga US$ 35 milyar di tahun 1990,
serta berpuncak sebesar lebih dari US$ 120 milyar di tahun 1997.5 Hal ini
disebabkan karena stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan pertahanan, sosial dan kemasyarakatan dalam keadaan aman dan terkendali sehingga para investor mendapat perlindungan dan jaminan keamanan dalam berusaha di Indonesia. Sementara itu, jumlah investasi (khususnya saat investor asing masuk ke Indonesia) pada masa Era Reformasi mengalami penurunan yang sangat signifikan karena seringnya terjadi konflik di masyarakat, yaitu investasi
infrastruktur dianggarkan 3 hingga 4 persen dari Produk Domestik Bruto.6
5
NN, Perusahaan Multinasional, dikutip dar
Ada dua hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia, sebagaimana diinventarisasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yaitu kendala internal dan eksternal. Kendala internal yang dimaksud meliputi :
diunggah terakhir pada tanggal 2 Aapril 2014.
6
(13)
1. Kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yangsesuai;
2. Kesulitan memperoleh bahan baku;
3. Kesulitan dana/pembiayaan;
4. Kesulitan pemasaran;
5. Adanya sengketa atau perselisihan di antara pemegang saham.
Sedangkan yang dimaksud dengan kendala eksternal, meliputi :
1. Faktor lingkungan bisnis, baik nasional, regional dan global yang tidak
mendukung serta kurang menariknya insentif atau fasilitas investasi yang diberikan pemerintah;
2. Masalah hukum;
3. Keamanan maupun stabilitas politik yang merupakan faktor eksternal
ternyata menjadi faktor penting bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia;
4. Adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut
mendistorsi kegiatan penanaman modal; dan
5. Adanya undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang
menimbulkan ketidakpastian dalam pemanfaatan areal hutan bagi industri
pertambangan.7
Pada tahun 2006, karena melihat sudah terdapat situasi yang tidak relevan lagi di bidang penanaman modal, maka Pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Penanaman Modal. Dan pada tanggal 29 Maret 2007,
7
(14)
RUU itu telah disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Diharapkan dengan adanya UUPM ini, seluruh aspek yang berhubungan dengan kegiatan penanaman modal baik bagi investor maupun negara penerima penanaman modal dapat saling menguntungkan. Karena di dalam UUPM telah diatur tentang fasilitas atau kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada investor. Pemberian kemudahan ini dimaksudkan agar investor, khususnya investor asing mau menanamkan investasinya di Indonesia. Manfaat adanya investasi itu adalah menggerakkan ekonomi masyarakat, menampung tenaga kerja, meningkatnya kualitas masyarakat yang berada di daerah investasi, dan lain-lain.8
Jika ditelaah secara khusus di dalam Pasal 3 angka (1) huruf d UUPM, maka disebutkan bahwa asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal UUPM ini merupakan UU yang mencerminkan sikap pro ataupun berpihak terhadap investor. Karena UUPM ini begitu mengayomi berbagai kebutuhan dan memberiikan manfaat bagi para investor. Investor yang dimaksud dalam UUPM ini bukan hanya saja yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Sikap pemerintah di dalam UUPM ini sudah menuju kepada adanya jaminan atas kepastian hukum yang diterapkan bagi investor. Hal ini terlihat dengan adanya penerapan asas perlakuan yang sama bagi seluruh investor yang ingin menanamkan modalnya.
8
(15)
negara adalah merupakan asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun penanam modal dari suatu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Pasal 4 ayat (2) UUPM menetapkan perlakuan sama antara penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan tetap mengacu kepada kepentingan nasional. Kaedah dalam Pasal 4 ayat (2) mengandung dua variabel yang harus dimaknai secara utuh, yakni kewajiban memberiiikan perlakuan sama dan mengacu pada kepentingan nasional. Hal ini berarti perlakuan sama tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan nasional. Artinya, dalam keadaan-keadaan tertentu perlakuan sama tersebut dapat tidak diterapkan kepada penanaman modal asing. Tentunya pengecualian
semacam ini harus sesuai dengan kesepakatan internasional.9
Kemudahan yang dimaksud dalam UUPM ini terlihat juga dari adanya peraturan akan adanya Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang bertujuan untuk mengefisienkan proses prosedural pembuatan izin usaha. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) ini merupakan cerminan dari peningkatan pelayanan pemerintah kepada para investor. PTSP yang diatur dalam Pasal 25 ayat (5) dan 26 ayat (1) UUPM ini bertujuan untuk membantu investor dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal dan informasi mengenai penanaman modal. PTSP yang
9
Asmin Nasution, Transparansi Dalam Penanaman Modal, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 94.
(16)
dilakukan oleh pejabat yang berwenang ini merupakan satu kegiatan yang memang dapat mengefisienkan waktu dan biaya para investor.
Dengan adanya pembaharuan yang sangat positif di dalam UUPM ini, maka penulis merasa tertarik untuk mencari hubungan dari pemberlakuan asas perlakuan yang sama bagi investor di dalam pelaksanaan PTSP di bidang penanaman modal di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan pelayanan terhadap kegiatan penanaman
modal secara langsung (direct investment) di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan pelaksananya ?
2. Bagaimanakah asas perlakuan sama yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ?
3. Bagaimanakah pemberlakuan asas perlakuan yang sama dalam
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaturan pelayanan terhadap kegiatan penanaman
(17)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan pelaksananya.
b. Untuk mengetahui asas perlakuan sama yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
c. Untuk mengetahui pemberlakuan asas perlakuan yang sama dalam
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal.
2. Manfaat Penelitian
Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap ketiga pokok permasalahan di atas terdiri dari dua manfaat, yaitu:
a. Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah wawasan ilmiah dalam khasanah ilmu hukum ekonomi, yang secara khusus terletak pada pemahaman baru mengenai adanya suatu pengaturan tentang pemberian pelayanan bagi para investor di dalam kegiatan penanaman modal. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berisikan kekayaan akan cakupan materi yang terdiri dari seluruh aspek yang sangat berpihak kepada kepentingan investor.
b. Manfaat Praktis.
Ditinjau dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberii manfaat sebagai berikut :
(18)
1) Dengan adanya asas perlakuan yang sama bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia, maka asas itu akan menciptakan suatu kegiatan investasi yang akan diminati oleh seluruh investor.
2) Dengan adanya peraturan yang tegas di bidang penanaman modal, maka
semakin terwujudlah suatu jaminan kepastian hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3) Dengan adanya penulisan ini, maka penulis semakin dapat mengetahui dan
memahami aspek lain yang ada di bidang penanaman modal, secara khusus di bidang pemberian izin melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
D. Keaslian Judul
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka judul skripsi yang telah ada dan yang ada kaitannya dengan judul penulis “Asas Perlakuan yang Sama dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam Bidang Penanaman Modal” adalah sebahai berikut :
1. Winta Afrina ( 010200199 ) dengan judul skripsi “Penyelenggaraan
Penanaman Modal Asing di Indonesia menurut KEPRES No. 29 Tahun 2004.”
2. Ricky ( 040200068 ) dengan judul skripsi “ Kajian mengenai Hak Guna Usaha
dalam Rangka Penanaman Modal di Indonesia ( ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2007.”
3. Panataran L. Raya ( 040200061 ) dengan judul skripsi “ Predictability UU No.
25 Tahun 2007 dalam Mendorong Investor Asing dalam Penanaman Modal di Kabupaten Samosir.”
(19)
Berdasarkan beberapa judul skripsi yang telah dipaparkan di atas maka
judul penulis “Asas Perlakuan yang Sama dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu
dalam Bidang Penanaman Modal ” berbeda dengan karya tulis yang pernah ada sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah asli. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan terutama secara ilmiah dan akademik.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penanaman Modal
Di dalam pasal 1 ayat (1) UUPM disebutkan bahwa penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.
Untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi yang menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk itu, penanaman modal harus menjadi baian dari penyelenggaraan
perekonomian nasional.10
Penanaman modal dapat dibagi menjadi beberapa hal berikut :11
10
Dhaniswara K. Harjono, Op. Cit., hlm. 106.
11
Kuliah Hukum yang dikutip dari
(20)
a. Penanaman modal dalam negeri merupakan penggunaan modal dalam negeri baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk menjalankan usaha berdasarkan UU 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Yang dimaksud dengan modal dalam negeri adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki oleh Negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisisli di Indonesia, yang disisihkan/disediakan untuk menjalankan usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing.
b. Penanaman modal langsung (direct-investment): penanaman modal yang
modalya yang diinvestasikan secara langsung ke dalam bidang usaha tertentu.
Modal tersebut dapat berupa uang, barang modal, know-how dan knowledge.
c. Penanaman modal tidak langsung (indirect investment): penanaman modal
yang modalnya diinvestasikan secara tidak langsung dengan melalui mekanisme/sistem investasi lain, seperti lembaga pasar modal.
d. Joint-Venture merupakan kerja sama yang dilakukan modal asing dengan modal nasional yang semata-mata berdasarkan perjanjian/kontrak saja (contractual). Artinya tidak dibentuk badan hukum baru . misalnya perjanjian kerja sama antara Van Sickel associates. Inc (badan hukum yang berkedudukan di Delaware. USA) dengan PT. Kalimantan Plywood Factory (badan hukum di Indonesia) untuk secara bersama-sama mengolah kayu di
Kalimantan selatan. Kerja sama ini disebut juga dengan contract of
(21)
1) Techinical Assisstance yaitu bentuk kerja sama yang dilakukan antara pihak modal asing dan nasional yang berkaitan dengan skill dan cara kerja/metode ,
2) Franchise and brand-use agreement yaitu bentuk kerja sama yang digunakan apabila pemodal nasional ingin memproduksi barang yang telah mempunyai reputasi terkenal. Misal: coca-cola, Mc Donalds, Kentucky Fried Chicken dll
3) Management contract yaitu bentuk kerja sama pemodal asing dan nasional yang berkaitan dengan pengelolaan management oleh pemodal asing terhadap perusahaan nasional : misal dalam menajemen perhotelan, manajemen rumah sakit, dll
4) Build, Operation, and Transfer (BOT) yaitu bentuk kerja sama antara suatu pihak, dimana objek perjanjian dibangun, dikelola/dioperasikan selama jangka waktu tertentu, kemudian setelah masa konsesi tersebut diserahkan/ditransfer kepada pemilik. Misal : pembangunan department store, hotel, jalan tol . dll
e. Joint Enterprise yaitu kerja sama antara penanaman modal nasional dan penanaman modal asing dengan membentuk perusahaan atau badan hukum baru sesuai hukum Indonesia sebagaimana diisyaratkan dalam Ps 2 UU PMA.
Joint enterprise lazimnya berupa PT, dengan modal berupa saham yang berasal dari modal dalam nilai rupiah dan dalam valuta asing. Bentuk kerja sama ini cukup diminati oleh para investor disebabkan karena :
(22)
1) Setiap usaha di Indonesia membutuhkan rupiah untuk pembayaran harga-harga yang lebih murah dan mudah diperoleh, pembayaran gaji pegawai,
other costs dan allowances (PMA);
2) Investor asing tidak harus menanamkan modal dalam bentuk valuta asing
dapat dalam bentuk mesin-mesin atau hasil prosuksi penanaman tersebut (PMA);
3) Dengan bekerja sama dengan pengusaha nasional. Maka investor asing
dapat memperkecil risiko (PMA dan PMDN) .
f. Kontrak Karyamerupakan kerja sama antara modal asing dengan modal nasional dengan membentuk badan hukum Indonesia, dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerja sama dengan badan hukum lain yang menggunakan modal nasional. Hingga saat ini ,bentuk kerja sama ini baru terdapat dalam perjanjian kerja sama antara BUMN.
g. Production sharing adalah bentuk kerjasama, dimana pihak investor asing memberiikan kredit kepada pihak nasional, dan pokok pinjaman dan bunganya dikembalikan dalam bentuk hasil produksi dari perusahaan yang bersangkutan dan mewajibkan perusahaan nasional yersebut untuk mengekspor hasilnya ke Negara pemberi kredit.
h. Penanaman Modal denganDISC-RUPIAH (DISC: Debt Investment
Convertion Scheme), bentuk kerja sama campuran antara kredit dengan penanaman modal. Pengembalian kredit dikonversi/diubah menjadi penanaman modal asing. Pelunasan utang yang semula diperhitungkan
(23)
berdasarkan valuta asing , tetapi dibayar dengan rupiah . biasanya dilakukan untuk tagihan-tagihan kreditor asing yang tidak dijamin oleh pemerintah. i. Penanaman modal dengan kredit investasi yang mana dalam praktik
penanaman modal ini banyak dilakukan oleh para investor nasional untuk membiayai proyeknya yang ada di Indonesia. Awalnya berupa kredit
investasi dari dana-dana luar negeri, menjadi model nasional melalui
joint-venture yang prosesnya agak berbelit.
j. Portofolio investment merupakan investasi yang dilakukan melalui pembelian saham baik melalui pasar modal maupun melalui penempatan modal pihak ketiga dalam perusahaan. Bentuk kerja sama ini dalam praktik telah lama dan lazim dilakukan oleh investor keturunan cina.
2. Asas Perlakuan yang Sama
Suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh aparat pembentuk peraturan perundang-undangan pastilah mengacu pada asas dianggap perlu untuk dapat mewujudkan suatu tujuan yang ingin dicapai dari produk hukum tersebut. Sama halnya dengan UUPM ini yang menganut ada 10 asas, yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, asas kebersamaan, asas efisiensi berkeadilan, asas berkelanjutan, asas berwawasan lingkungan, asas kemandirian dan asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Jika ditelaah secara khusus di dalam Pasal 3 angka (1) huruf d UUPM, maka disebutkan bahwa asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah merupakan asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan
(24)
ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun penanam modal dari suatu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Pasal 4 ayat (2) UUPM menetapkan perlakuan sama antara penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan tetap mengacu kepada kepentingan nasional. Kaedah dalam Pasal 4 ayat (2) mengandung dua variabel yang harus dimaknai secara utuh, yakni kewajiban memberiikan perlakuan sama dan mengacu pada kepentingan nasional. Hal ini berarti perlakuan sama tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan nasional. Artinya, dalam keadaan-keadaan tertentu perlakuan sama tersebut dapat tidak diterapkan kepada penanaman modal asing. Tentunya pengecualian
semacam ini harus sesuai dengan kesepakatan internasional.12
Di dalam Pasal 6 ayat (1) UUPM ditetapkan juga bahwa adanya kewajiban pemerintah memberiikan perlakuan yang sama kepada semua penanaman modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini
merupakan penerapan dari prinsip most favoured nations dalam perdagangan
internasional.13
Klausul Most-Favoured Nation (MFN) adalah klausul yang mensyaratkan
perlakun non-diskriminasi dari suatu negara terhadap negara lainnya. Perlakuan
12
Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 94.
13
(25)
ini diberikan karena masing-masing negara terikat dalam suatu perjanjian internasional. Berdasarkan klausul ini salah satu negara yang memberiikan perlakuan khusus atau preferensi kepada suatu negara, maka perlakuan tersebut harus juga diberikan kepada negara-negara lainnya yang tergabung dalam suatu perjanjian. Klausul ini menurut Houtte, memberiikan suatu derajat
perlakuan sama (equitable treatment) dalam hubungan ekonomi internasional.
Dengan klausul ini, hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat
berkembang.14
a) Prinsip Nondiskriminasi
Negara Indonesia yang menganut sistem ekonomi yang bebas terkendali
atau mixed economy tidak terlepas dan sangat tergantung pada sistem perdagangan
internasional, dimana dewasa ini perdagangan internasional menggunakan sistem,
ketentuan, dan mekanisme yang telah diinisiasi oleh WTO ( World Trade
Organizations ) dengan salah satu bentuk aturan main (investasi) adalah TRIMs (
Agreement on Trade Related Investment Measures ). Atas dasar ketentuan tersebut, kegiatan penanaman modal di Indonesia secara logis-yuridis terikat kepada prinsip-prinsip penanaman modal internasional dari WTO dan TRIMs. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
Prinsip ini mengharuskan host country untuk memperlakukan secara sama
setiap penanam modal dan penanam modal di Negara tempat penanaman modal dilakukan.
14
Roni, Sumber Hukum Perdagangan Internasional. Dikutip dari
(26)
b) Prinsip Most Favoured Nations ( MFN )
Prinsip ini menuntut perlakuan yang sama dari Negara host terhadap penanam
modal dari Negara asing yang satu dengan penanam modal dari Negara asing yang lainnya yang melakukan aktivitas penanaman modal di Negara mana penanaman modal itu dilakukan.
c) Prinsip National Treatment
Prinsip ini mengharuskan Negara host untuk tidsk membedakan perlakuan
antara penanam modal asing dengan penanam modal daam negeri di Negara
host tersebut.15
Perlakuan yang sama tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu Negara yang memperoleh hak istimewa. Hak istimewa itu antara lain hak istimewa yang berkaitan dengan kesatuan kepabeanan, wilayah perdagangan bebas, pasar
bersama (common market), kesatuan moneter, kelembagaan yang sejenis, dan
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah asing yang bersifat bilateral, regional atau multilateral yang berkaitan dengan hak istimewa tertentu
dalam penyelenggaraan penanaman modal.16
15
Dhaniswara K. Harjono, Op. Cit., hlm. 110.
16
Ibid., hlm. 110.
Dengan ditempatkannya berbagai asas di dalam UUPM ini maka dari sini pastilah akan lahir suatu kebijakan tentang penanaman modal yang berjangka panjang dan harus menjadi pusat perhatian oleh berbagai pihak yang terkait dengan dunia penanaman modal ini.
(27)
3. Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Dunia penanaman modal pastilah tidak terlepas dari dunia bisnis yang mana lebih mengarah bagaimana pergerakan bisnis yang ada di suatu negara. Jika berbicara tentang dunia bisnis, maka tidak akan terlepas kaitannya dengan pelayanan publik. Karena dengan baiknya pelayanan publik maka akan semakin baik.
Jika dikaitkan dengan UUPM, maka UUPM ini telah mengatur suatu sistem yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang ada pada bidang penanaman modal yang dinamakan “Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)” yang dianggap dapat mempermudah penanam modal untuk mengurus berbagai perizinan dalam rangka menjalankan kegiatan penanaman modal dengan cara para calon investor tidak perlu lagi mendatangi ke berbagai instansi pemberi izin.
Di dalam Pasal 26 ayat (1) UUPM dinyatakan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) ini bertujuan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas, fiskal dan informasi mengenai penanaman modal. Segala sesuatu yang akan dibutuhkan oleh penanam modal akan dijelaskan secara kompherensif oleh petugas yang telah diberi kewenangan untuk itu.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang
(28)
memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau kabupaten/kota.
Jika Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dilakukan di bidang penanaman modal secara efektif dengan didasari atas adanya asas perlakuan yang sama terhadap penanam modal, maka sudah menjadi kepastian bahwa kegiatan penanaman modal yang ada di Indonesia akan diminati dan dapat berkembang dengan baik.
F. Metode Penelitian
Penelitian adalah termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data penelitian
tersebut meliputi : 17
1. Jenis penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif20.
Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa
dikaitkan dengan masyarakat.18
17
Soejono Soekanto, Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 9-10.
18
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007 ), hal. 57.
(29)
Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer yaitu peraturan–peraturan yang berkaitan dengan penerapan asas perlakuan yang sama dan pengaturan tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
2. Bahan Hukum
Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari :
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan Pelaporan Peayanan Terpadu
Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.19
b) Bahan hukum sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan
hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, dan data yang bersumber pada bahan hukum sekunder yang
terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisan-tulisan hukum.20
c) Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang dapat memberiikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif, dll.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(library reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan
19
Ibid. hal 23-24.
20
(30)
membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian21
4. Teknik Analisis Data.
.
Analisis data dilakukan dengan metode deduktif dan interpretative
sepanjang mengenai penerapan asas perlakuan yang sama dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yangdipergunakan dengan metode pendekatan perbandingan hukum.
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi yang berjudul “Asas Perlakuan Yang Sama Dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal”, sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
21
(31)
Berisikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan dan metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II PELAYANAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL SECARA
LANGSUNG (DIRECT INVESTMENT) BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DAN PERATURAN PELAKSANANYA
Pada bab ini akan membahas tentang aspek hukum penanaman modal secara langsung di Indonesia, pelayanan kegiatan penanaman modal dan pengawasan kegiatan penanaman modal.
BAB III ASAS PERLAKUAN SAMA DALAM UNDANG -UNDANG
NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
Bab ini berisikan mengenai asas-asas penyelenggaraan kegiatan penanaman modal di indonesia, asas perlakuan sama dalam undang-undang nomor 25 tahun 2007
BAB IV PEMBERLAKUAN ASAS PERLAKUAN YANG SAMA
DALAM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL
Pada bab ini akan membahas tentang pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di bidang penanaman modal, mekanisme pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), perlakuan sama antara penanam modal
(32)
asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN) dalam pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.
(33)
BAB II
PELAYANAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL SECARA LANGSUNG (DIRECT INVESTMENT) BERDASARKAN UUPM DAN
PERATURAN PELAKSANANYA
A. Aspek Hukum Penanaman Modal Secara Langsung di Indonesia
1. Pengertian dan jenis-jenis penanaman modal
Untuk memahami arti dari penanaman modal, maka perlu diberikan batasan yang jelas terhadap pengertian dari apa yang dimaksudkan dengan penanaman modal. Hal tersebut bertujuan agar persepsi dan pemahaman tentang penanaman modal menjadi jernih dan jelas guna menghindari adanya arti negatif terhadap keberadaan penanaman modal, khususnya Penanaman Modal Asing
(PMA).22
Dari bunyi Pasal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam penanaman modal asing risiko penggunaannya menjadi tanggungan penanam.
Seperti yang dinyatakan pada Pasal 1 UU 1/1967 tentang PMA yang berbunyi :
Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-Undang itu hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.
22
Aminuddin Ilmar, “Hukum Penanaman Modal di Indonesia”, (Jakarta : Prenada Media, 2005), hlm. 40.
(34)
Sehingga jaminan kepastian hukum dalam kegiatan penanaman modal oleh investor asing masih belum dapat terwujudkan.
Penanaman modal secara langsung dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan para investor yang hendak menanamkan modalnya secara langsung, yaitu dengan hadir secara fisik di dalam menjalankan usahanya. Dengan hadirnya ataupun
dengan didirikannya perusahaan para investor tersebut Negara host maka dengan
pastilah bahwa para investor tersebut harus tunduk kepada seluruh ketentuan
hukum yang diatur pada Negara host tersebut.
Teori yang dapat dipelajari dari hubungan antar negara penerima modal dengan penanaman modal, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) itu sendiri
mempunyai banyak variasi, yaitu :23
Teori yang pertama, menunjukkan adanya sikap yang ekstrim yakni tidak menginginkan timbulnya ketergantungan dari negara-negara terhadap penanaman modal khususnya penanaman modal asing, sehinggan dengan tegas menolak adanya penanaman modal asing karena dianggap sebagai kelanjutan dari proses
kapitalisme. Penganut teori ini adalah Karl Marx dan Robert Magdoff.24
Teori yang kedua, berupa teori yang bersifat nasionalisme dan populisme yang pada dasarnya diliputi kekhawatiran akan adanya dominasi penanaman modal asing. Oleh sebab itu, menurut paham teori ini bahwa kehadiran penanaman modal asing berakibat adanya pembagian keuntungan yang tidak
23
Ibid., hlm. 41.
24
(35)
seimbang yang terlalu banyak ada pada pihak penanaman modal asing, sehingga menyebabkan negara penerima modal asing membatasi kegiayan penanaman modal asing sedemikian rupa. Penganut teori ini adalah Streeten dan Stephen
Hymer.25
Teori yang ketiga, melihat peranan penanaman modal asing secara ekonomi tradisional dan meninjaunya dari segi kenyataan, dimana penanaman modal asing dapat membawa pengaruh pada perkembangan dan modernisasi ekonomi negara penerima modal asing. Proses tersebut dapat dilihat pada gejala perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dunia dan mekanisme pasar yang dapat berlangsung baik dengan atau tanpa pengaturan dan fasilitas dari negara penerima modal asing. Pelopor dalam teori ini adalah Raymond Vernon dan Charles P.
Kindleberger.26
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditunjukkan bahwa pengertian terhadap penanaman modal oleh masing-masing negara penerima modal tergantung atau ada keterkaitan dengan salah satu teori yang dianut ataukah merupakan variasi
dari berbagai teori itu.27
Lain halnya jika dilihat pengertian penanaman modal yang ada di dalam
Pasal 1 UUPM, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan penanaman modal
adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
25
Ibid., hlm. 41.
26
Ibid., hlm. 41.
27
(36)
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Dari pengertian di atas, maka sudah dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terdapat pemberlakuan asas yang baru dimana adanya asas perlakuan yang sama bagi seluruh investor. Karena kegiatan penanaman modal di Indonesia setelah dikeluarkannya UUPM dapat dilakukan oleh seluruh investor baik dari dalam ataupun luar negeri tanpa adanya perbedaan peraturan lagi.
Pengertian lain tentang penanaman modal diberikan oleh Organization
European Economic Co-operation (OEEC) yang menyatakan bahwa “direct investment is mean acquisition of sufficient interest in an undertaking to insure its controle by the investor“. Kesimpulan yang dapat ditarik dari rumusan tersebut adalah penanaman modal diberi keleluasaan pengusahaan dan penyelenggaraan pimpinan dalam perusahaan dimana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penanaman modal mempunyai penguasaan atas modal. Pengertian ini terlalu menitikberatkan pada penguasaan perusahaan dan tidak memperhitungkan adanya
kemunginan penanaman modal itu dalam bentuk portfolio investment.28
Lain lagi dengan pengertian yang diberikan oleh Andean Pact, yang
menyangkut “Direct Foreign Investment” yang menekankan kepada pengertian
28
(37)
penanaman modal asing yang dilakukan oleh para penanam modal asing secara
perorangan.29
Menurut Ensiklopedia Indonesia, investasi adalah penanaman uang atau
modal dalam proses produksi (dengan pembelian gedung-gedung, permesinan, bahan cadangan, penyelenggaraan uang kas serta perkembangannya). Dengan demikian, cadangan modal barang diperbsar sejauh tidak ada modal barang yang harus diganti.
Adapun pengertian investasi menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut :
Menurut Fitzgeral, investasi adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha
penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal padaa saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa yang akan datamg.
Menurut Kamarudin Ahmad, investasi adalah menempatkan uang atau
dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut.
30
Jika dilihat dari sumber dana yang digunakan daripada modal asing dan modal dalam negeri, maka akan ditemui jenis investasi secara langsung dan tidak langsung.
Penanaman modal ini jika ditelaah, maka akan terdapat berbagai jenis daripada penanaman modal tersebut. Adapun jenis-jenis penanaman modal itu adalah sebagai berikut :
29
Ibid., hlm. 44.
30
(38)
Investasi secara langsung, artinya bagi pemodal asing maupun dalam negeri yang hendak menanamkan modalnya harus secara langsung hadir secara fisik di dalam menjalankan usahanya.
Investasi secara tidak langsung, artinya bagi pemodal asing maupun dalam negeri yang hendak menanamkan modalnya tidak perlu hadir secara fisik di dalam menjalankan usahanya, sebab pada umumnya tujuan utama dari penanam modal bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali sehingga dengan
rentan waktu yang tidak begitu lama dapat menikmati keuntungan.31
Financial asset, merupakan investasi yang tidak berwujud, seperti dokumen (surat-surat) klaim tidak langsung dari si pemilik terhadap aktivitas riil pihak yang menerbitkan sekuritas tersebut.
Jika dilihat dari aspek modal atau kekayaannya atau yang biasa disebut dengan penggolongan investasi menurut asetnya, maka investasi dapat
digolongkan menjadi dua jenis, yaitu investasi real asset dan financial asset.
Real asset, merupakan investasi yang berwujud, seperti gedung-gedung, kendaraan, emas dan sebagainya.
32
Jika dilihat investasi berdasarkan pengaruhnya maka ini mengartikan bahwa investasi yang didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi atau tidak berpengaruh dari kegiatan investasi. Investasi berdasarkan pengaruh dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu investasi autonomus (berdiri sendiri) dan
investasi induced (memengaruhi-menyebabkan).33
Investasi autonomus (berdiri sendiri), merupakan investasi yang tidak dipengaruhi tingkat pendapatan, bersifat spekulatif. Misalnya, pembelian surat-surat berharga.
31
Sentosa Sembiring, Op. Cit., hlm. 41.
32
Salim HS. dan Budi Sutrisno. Op. Cit., hlm. 37.
33
(39)
Investasi induced (memengaruhi-menyebabkan), merupakan investasi yang dipengaruhi kenaikan permintaan akan barang dan jasa serta tingkat pendapatan. Misalnya, penghasilan transitori, yaitu penghasilan yang didapat selain dari bekerja, seperti bunga dan sebagainya.
Jika investasi dilihat pula dari segi pembiayaannya, maka investasi dapat digolongkan menjadi investasi yang bersumber dari modal asing (PMA) dan
investasi yang bersumber dari modal dalam negeri (PMDN).34
2. Dasar hukum pelaksanaan kegiatan penanaman modal
Investasi yang bersumber dari modal asing (PMA) merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan luar negeri.
Investasi yang bersumber dari modal dalam negeri (PMDN) merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri.
Pengaturan pemerintah dalam menerapkan bentuk usaha kerja sama (
joint-venture) antara penanaman modal asing dengan modal nasional dalam penjabarannya dilaksanakan pertama kali melalui Instruksi Presidium Kabinet
Nomor 36/U/IN/6/1967 yang ditetapkan dalam bentuk usaha kerja sama joint
enterprise (perusahaan campuran)35
Jika diamati ke masa yang lalu, maka tampaknya Pemerintah menyadari bahwa perkembangan dunia bisnis khususnya dalam menarik investasi semakin kompetitif. Untuk itu pada tahun 1994, pemerintah pun kembali menyesuaikan ketentuan penanaman modal asing yakni dengan menerbitkan Peraturan
yang juga merupakan salah satu bentuk usaha
kerja sama (joint-venture).
34
Ibid., hlm. 38.
35
(40)
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikian Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Pertimbangan dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional pada umumya, diperlukan langkah-langkah untuk lebih mengembangkan iklim usaha yang semakin mantap
dan lebih menjamin kelangsungan penanaman modal asing.36
a. Keputusan Presiden RI Nomor 116 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Dasar Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Dalam Pasal 2 disebutkan sebagai berikut:
Untuk memotong mata rantai birokrasi investasi ini, sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain dengan menerbitkan berbagai kebijakan di bidang investasi yakni dengan diterbitkannya :
“Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah mempunyai tugas membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan penanaman modal daerah, memberiikan persetujuan dan perijinan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertentu ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan kriteria tertentu, dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaannya.”
b. Instruksi Presiden RI Nomor 22 Tahun 1998 tentang Penghapusan Kewajiban
Memiliki Rekomendasi Instansi Teknis Dalam Permohonan Persetujuan Penanaman Modal. Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1/SK/1998 tentang Pelimpahan
36
(41)
Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Dalam Negeri Tertentu Kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Dalam Pasal 1 butir disebutkan :
“Menteri Negara Investasi (Meninves)/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melimpahkan kewnangan penerbitan Surat Persetujuan, Fasilitas dan Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk penanaman modal dalam negeri dengan nilai investasi sampai dengan Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) yang
dilaksanakan di daerahnya.”37
Berdasarkan ketentuan di atas, tampak bahwa sebenarnya pemerintah pusat sedikit demi sedikit mulai mendelegasikan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Secara teoritis hal ini dapat mempermudah bagi investor untuk melakukan kegiatan usahanya, sebab investor cukup datang ke daerah dimana ia
akan melakukan investasi.38
Dalam ketentuan sistem UU No. 32 Tahun 2004, maka kewenangan Pemerintah Daerah di bidang investasi berupa “pelayanan administrasi
Untuk mendapatkan landasan hukum yang lebih kuat tentang kewenangan Pemda dalam pengelolaan investasi, pemerintah menyadari perlu menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan potensi dan kondisi daerah. Untuk itu, Pemerintah Pusat mendelegaskan kewenangannya penanaman modal ke Pemeritah Daerah. Hal ini dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
37
Ibid., hlm. 95.
38
(42)
penanaman modal” dalam hubungan dengan Pemerintah Pusat, akan meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. kewenangan, tanggungjawab dan penentuan standar minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenagan Daerah;
dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.39
Kewenangan pemerintah daerah ini juga semakin dikuatkan dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik IndonesiaNomor 52 Tahun 2012 tentangPedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah, yang mana maksud dan tujuan investasi pemerintah daerah ini dinyatakan dalam Pasal 2 yang berbunyi :
(1) Investasi pemerintah daerah dimaksudkan untuk memperoleh manfaat
ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
(2) Manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. keuntungan sejumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu berupa
deviden, bunga dan pertumbuhan nilai Perusahaan Daerah yang mendapatkan investasi pemerintah daerah;
b. peningkatan berupa jasa dan keuntungan bagi hasil investasi sejumlah
tertentu dalam jangka waktu tertentu;
c. peningkatan penerimaan daerah dalam jangka waktu tertentu sebagai
akibat langsung dari investasi yang bersangkutan;
d. peningkatan penyerapan tenaga kerja sejumlah tertentu dalam jangka
waktu tertentu sebagai akibat langsung dari investasi yang bersangkutan; dan/atau
e. peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai akibat dari investasi
pemerintah daerah.40
39
Saut P. Panjaitan, Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Investasi Menurut Sistem Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Sistem Undang-Undang Penanaman Modal,
(43)
Penanaman modal di Indonesia telah berkembang cukup lama dalam kurun waktu kurang lebih empat puluh tahun, dimana dalam kurun waktu tersebut kegiatan penanaman modal di Indonesia, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri telah berkembang dan memberiikan kontribusi
dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional.41
Diharapkan dengan pemberlakuan UU 25/2007 ini dapat memberii motivasi/dorongan bagi investor untuk meningkatkan/menambah investasinya, maupun calon investor untuk berinvestasi di Indonesia, karena kebijakan pemerintah untuk meningkatkan arus investasi dari segi yuridis sudah dapat dikatakan positif.
Pada tahun 2007, Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) telah mengesahkan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan bukti adanya jaminan kepastian hukum bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia.
42
3. Kebijakan dasar penanaman modal
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 yang menjadi arah kebijaksanaan penanaman modal ditetapkan bahwa penanaman modal dimungkinkan pelaksanaannya di Indonesia dengan memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping itu, penanaman modal asing diarahkan untuk memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangka
40
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik IndonesiaNomor 52 Tahun 2012 tentangPedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah.
41
Asmin Nasution,Op. Cit., hlm. 79.
42
(44)
mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Hal tersebut sejalan dengan uraian Sunaryati Hartono bahwa suatu pembahasan mengenai penanaman modal asing tidak dapat dilihat terlepas dari peranannya di dalam pembangunan
ekonomi dan rencana pembangunan (economic planning), karena penanaman
modal asing hanya merupakan salah satu faktor saja dalam pembangunan
ekonomi.43
Selain itu, dalam GBHN secara tegas disebutkan bahwa kebijaksanaan dan pengelolaan penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) ditetapkan dan dilakukan oleh pemerintah yang diwujudkan dalam suatu instrumen kebijaksanaan berupa peraturan perundang-undangan seperti melalui peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri serta keputusan
Ketua BKPM.44
Penanaman modal sebagai salah satu alternative pembiayaan pembangunan harus dapat memfasilitasi perkembangan ekonomi, dimana penanaman modal dapat semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, alih Dalam suatu pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional suatu Negara, diperlukan pembiayaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Kebutuhan pembiayaan pembangunan di masa datang akan semakin besar, dimana pembiayan tersebut tidak dapat dipenuhi hanya dari pemerintah saja melalui penerimaan pajak dan penerimaan lainnya.
43
Sunaryati Hartono, “ Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia “, (Bandung : Bina Cipta ,1970), hlm. 1.
44
(45)
teknologi dan pengetahuan secara serta menciptakan lapangan kerja yang baru untuk mengurangi angka pengangguran dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Untuk itu, hanya dengan mendorong penanaman modal, pertumbuhan ekonomi terus dipacu sehingga mampu mengimbangi kemampuan ekonomi
negara-negara lain.45
Untuk itu, pembangunan ekonomi haruslah didukung oleh perkembangan hukum karena antara keduanya saling menunjang, dimana pembangunan ekonomi hanya dapat tercapai apabila ada kepastian hukum. Antara hukum dan ekonomi merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling berintegerasi satu
sama lain.46
Perlunya pengaturan pemerintah terhadap penanaman modal asing dimaksudkan untuk memberiikan arah terhadap penanaman modal asing yang dilaksanakan di Indonesia agar dapat berperan dalam pembangunan nasional. Dengan kata lain, kebijaksanaan penanaman modal asing di Indonesia, ditetapkan berdasarkan pemikiran bahwa penanaman modal asing harus dapat memberiikan konstribusi untuk memperkuat dan memperkukuh struktur perekonomian
Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) pembangunan di berbagai bidang merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Pembangunan tersebut terdiri dari bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, social dan budaya, daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan.
45
Ibid., hlm. 90.
46
(46)
nasional. Maka dengan adanya berbagai pengaturan terhadap penanaman modal asing tidak lain dimaksudkan untuk lebih memberii peluang yang lebuh luas kepada para penanam modal asing dalam melaksanakan kegiatannya melalui
dukungan iklim penanaman modal asing yang kondusif.47
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi,
akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta
geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.48
47
Aminuddin Ilmar, Op. Cit., hlm. 41.
48
Empi Muslion, Paradigma Perubahan Dokumen Perencanaan Pembangunan
(47)
Kebijakan dasar penanaman modal dapat dilihat dalam pasal 4 UUPM yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Pemerntah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk :
a. Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi
penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
b. Mempercepat peningkatan penanaman modal.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah:
a. Memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha bagi penanam modal
sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegkiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peratur perundang-undangan;
c. Membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
(3) Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.49
Dalam Pasal 4 ayat 2 UUPM dapat ditelaah bahwa kebijakan Pemerintah adalah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Hal ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberiikan kepastian hukum,
49
(48)
keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi
nasional.50
4. Bidang usaha penanaman modal
Apabila dikaji dan dianalisis ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa :
a. Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman
modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
b. Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah .
produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
Dan jika dilihat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, maka bidang usaha untuk penanaman investasi digolongkan menjadi tiga macam. Ketiga macam bidang usaha itu, meliputi :
a. Bidang usaha terbuka, adalah bidang usaha yang diperkenankan untuk penanaman modal, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing. b. Bidang usaha yang dinyatakan tertutup, adalah jenis usaha tertentu yang
dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal, yang meliputi :
1) Produksi senjata,
50
Orinton Purba, Kebijakan Penanaman Modal Di Indonesia, dikutip dari
(49)
2) Mesin,
3) Alat peledak,
4) Peralatan perang, dan
5) Bidang usaha yang dinyatakan eksplisit tertutup berdasarkan Pasal 13 ayat
(2) UUPM, seperti penjudian,objek ziarah, pemanfaatan (pengambilan) koral alam, museum, pemukiman/lingkungan adat, industri minuman mengandung alkohol, dll.
c. Bidang usaha terbuka dengan persyaratan, adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan persyaratan tertentu, yang tergolong dalam lima macam bidang usaha yaitu :
1) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan
pengembangan terhadap UMKMK,
2) bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan,
3) bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal,
4) bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu, dan
5) bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus.
Penjelasan mengenai daftar bidang usaha ini juga dapat dilihat secara jelas pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Berdasarkan Pasal 1 (1) Perpres 36/2010, bidang usaha yang tertutup adalah bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Penetapan ini didasarkan pada kriteria kesehatan, moral,
(50)
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal sebagaimana diatur dalam Lampiran I Perpres 36/2010, antara lain mencakup :
a. bidang usaha budidaya ganja,
b. perjudian/kasino, dan
c. industri minuman mengandung alkohol.
Berdasarkan Pasal 2(1) Perpres 36/2010, bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Peraturan mengenai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal didasarkan pada kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan Usaha mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
Bidang-bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Lampiran II Perpres 36/2010, antara lain mencakup :
(51)
a. bidang usaha budidaya tanaman pangan pokok,
b. pengusahaan sarang burung walet di alam,
c. pembenihan ikan laut,
d. pembangkitan tenaga listrik skala kecil dan
e. daur ulang barang-barang bukan logam.
Dalam hal penanaman modal pada bidang usaha terbuka dengan persyaratan, sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 Perpres 36/2010, investor wajib mematuhi persyaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup.51
5. Fasilitas penanaman modal
Pada dasarnya, investor baik domestik maupun asing yang menanamkan investasi di Indonesia diberikan berbagai kemudahan yang dimaksudkan agar investor domestik maupun asing mau menanamkan investasinya di Indonesia. Kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, berupa kemudahan dalam
bidang perpajakan dan pungutan lainnya.52
51
Leks&Co, Daftar Bidang Usaha Tertutup ( Daftar Negatif Investasi), dikutip dari
Ada sepuluh bentuk fasilitas atau kemudahan yang diberikan kepada investor, baik itu investor domestik maupun asing. Kesepuluh fasilitas itu disajikan sebagai berikut :
52
(52)
a. Fasilitas PPh melalui pengurangan penghasilan nettosampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu,
b. Pembebasan atau keringanan bea masuk impor barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri,
c. Pembebasan bea masuk bahan baku atau penolong untuk keperluan produksi tertentu,
d. Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal
baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberii nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional
e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat, f. Keringanan PBB,
g. Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan,
h. Fasilitas hak atas tanah,kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa :
1) Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan
puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun.
(53)
2) Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
3) Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25
(dua puluh lima) tahun.53
i. Fasilitas pelayanan keimigrasian, pemberian izin tinggal terbatas kepada pengusaha asing selama dua tahun. Setelah melewati tahap izin terbatas, mereka mendapat izin tetap. Untuk itu, BKPM harus berkoordinasi dengan imigrasi karena untuk mendapat kemudahan tersebut, harus dapat
rekomendasi dari BKPM, jika ingin mendapat izin tinggal terbatas.54
j. Fasilitas perizinan impor.Investor mendapat fasilitas perizinan impor dengan syarat, barang yang diimpor bukan barang terlarang menurut perundang-undangan, bukan barang yang berdampak negative terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup dan moral bangsa. Fasilitas yang diperoleh adalah pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk kegiatan produksi,
juga termasuk untuk bahan baku untuk keperluan produksi.55
6. Penyelesaian sengketa
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam melakukan aktifitas sehari-hari dengan manusia lain yang dapat melakukan kontrak atau perjanjian. Pelaku bisnis juga demikian. Setiap transaksi bisnis yang dilakukan selalu berhubungan dengan aspek hukum terutama perikatan yang timbul dari sebuah kontrak. Tentu saja
53
Orinton Purba, Op. Cit.
54
Dhaniswara K. Harjono, Op. Cit., hlm. 79.
55
(54)
pihak-pihak yang membuat kontrak tentu berharap kontrak yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, tidak menuntup kemungkinan kontrak yang mereka buat tidak berjalan seperti yang diharapkan sehingga timbul sengketa diantara para pihak yang membuatnya. Memang resiko timbulnya sebuah sengketa tidak dapat dihilangkan sama sekali oleh para pihak, namun resiko timbulnya sengketa tersebut dapat kita minimalisir.
Muara konflik yang diuraikan, dikarenakan pelaku bisnis tidak
memperhatikan aspek “legal cover” dalam memproteksi bisnis mereka, khususnya
aspek kontraktual. Dalam praktik, banyak sekali pelaku usaha yang mengesampingkan aspek hukum (kontrak) semata-mata untuk tuntutan bisnis (Profit oriented). Pelaku bisnis mendasarkan transaksinya hanya dengan perjanjian tidak tertulis atau bukti tertulis yang tidak kuat secara hukum dan ketika terjadi sengketa akibatnya pelaku bisnis tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut hak-haknya berkait dengan sengketa bisnis tersebut dan akhirnya
rugi besar. 56
Masih jarang ada pelaku bisnis yang menempatkan audit hukum (legal
audit- termasuk audit kontrak) sebagai kebutuhan primer dalam bisnis padahal alokasi biaya hukum sangat diperlukan karena dalam setiap transaksi bisnis selalu ada resiko terjadi sengketa bisnis (sengketa hukum) sehingga alokasi dana dalam
56
Chandra Nadhi, Pentingnya Aspek “Legal Cover” Untuk Memproteksi
Bisnis
(55)
pos anggaran perusahaan untuk biaya hukum semestinya wajib dianggarkan oleh
perusahaan.57
Apabila sengketa yang terjadi antara investor domestik dengan pihak pemerintah Indonesia dan masyarakat sekitarnya, maka hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia. Ada dua cara yang dapat ditempuh oleh investor domestik untuk menyelesaiakan sengketa tersebut, yaitu :
Pada prinsipnya, investor yang menanamkan investasinya di Indonesia mengharapkan investasi yang ditanamkannya dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya dan tidak menimbulkan gangguan, baik dari pihak pemerintah sendiri maupun dari masyarakat sekitarnya. Semakin baik dan aman dalam menjalankan usahanya, maka semakin besar keuntungan yang akan diperoleh investor di kemudian hari. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat dalam kegiatan investasi tersebut akan terjadi suatu persoalan yang timbul diantara investor dengan pemerintah atau malah dengan amsyarakat sekitar.
58
1)Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi atau lazim disebut dengan
alternative dispute resolution (ADR), melalui :
a)Konsultasi;
b)Negoisasi;
c)Mediasi;
d)Konsiliasi; atau
57
Loc. Cit.
58
(56)
e)Penilaian ahli.
2)Litigasi, yaitu pihak investor domestik mengajukan gugatan ke pengadilan
di wilayah tempat perbuatan hukum dan tempat sengketa terjadi dan menunggu hasil Pengadilan yang akan memutuskan pekara tersebut.
Apabila sengketa yang terjadi antara investor asing yang berkaitan dengan tindakan nasionalisasi oleh pihak pemerintah Indonesia dan masyarakat sekitarnya, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan dengan dua (2)
cara, yaitu :59
1)Musyawarah dan mufakat, yaitu dengan cara melakukan pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan dan kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara bersama-sama.
2)Arbitrase internasional, merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Indonesia, yang bersifat internasional. Biasanya lembaga arbitrase yang dipilih adalah arbitrase internasional yang berkedudukan di Paris.
Pertimbangan utama bagi investor melakukan investasi adalah adanya jaminan hukum penyelesaian sengketa penanaman modal, adanya cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase luar negeri merupakan pilihan para
59
(57)
investor dengan pertimbangan bahwa para investor khususnya asing tidak mengenal atau memahami sistem hukum di Negara tempat ia melakukan
investasi.60
B. Pelayanan Kegiatan Penanaman Modal
Di Indonesia sendiri penyelesaian sengketa penanaman modal di atur di dalam UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Secara khusus dalam Pasal 32 UUPM diatur sebagai berikut :
(1)Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. (2)Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
1. Pelayanan perizinan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009, yang termasuk dalam pelayanan perizinan adalah segala bentuk persetujuan
60
Anggi Sitorus, Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal, dikutip dari
(58)
untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.61
Secara konseptual UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999 mencita-citakan otonomi yang seluas-luasnya, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Namun cita-cita tersebut, belum didukung “political will” pemerintah. Hal ini tergambar melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat tumpang tindih, sebagaimana terlihat dalam pembagian/pelimpahan urusan di
Untuk meningkatkan pelayanan kepada investor, dalam Pasal 25 ayat (5) UUPM secara tegas dikemukakan, pelayanan dilakukan secara terpadu satu pintu. Apa yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang tersebut cukup ideal yakni para investor dalam mengurus berbagai perizinan untuk menjalankan kegiatan penanaman modal, tidak perlu mendatangi ke berbagai instansi pemberi izin.
Dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, dicantumkan bahwa yang dimaksud dengan perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal, yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
61
Leks&CoLawyers, Hukum Penanaman Modal,dikutip dari
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat penulis tarik dalam penulisan ini yang berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, yaitu :
1. Pengaturan pelayanan terhadap kegiatan penanaman modal secara langsung
(direct investment) di Indonesia diatur dalam Pasal 21 UUPM yang
menyatakan adanya peranan Pemerintah dalam memberi kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada penanam modal baik asing maupun dalam negeri.Kebijakan ini merupakan bentuk dari adanya jaminan kepastian hukum bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. 2. Asas perlakuan sama yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UUPM merupakan
kebijakan yang baru bagi seluruh investor. Pemerintah Indonesia menjamin perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun. Perlakuan yang sama tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu Negara yang memperoleh hak istimewa. Pasal 4 ayat (2) UUPMmenetapkan perlakuan sama antara penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan tetap mengacu kepada kepentingan nasional. Hal ini berarti perlakuan sama tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan nasional. Artinya, dalam keadaan-keadaan tertentu perlakuan sama tersebut dapat tidak diterapkan kepada penanaman modal asing. Tentunya pengecualian semacam ini harus sesuai dengan kesepakatan
(2)
internasional.Dan di dalam Pasal 6 ayat (1) UUPM ditetapkan juga bahwa adanya kewajiban pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanaman modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
3. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bidang penanaman modal merupakan kebijakan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.Langkah ini merupakan pelayanan yang efisien khususnya terhadap pelayanan perizinan, yang selama ini diakui sebagai proses yang berbelit dan panjang. Pelayanan ini juga menerapkan asas perlakuan yang sama bagi semua investor, antara lain dalam kemudahan memperoleh informasi terkait PTSP, dapat mengajukan pengaduan jika terdapat rasa tidak puas terhadap PTSP dan tata cara permohonan perizinan PTSP. Sehingga pelayanan ini merupakan angin segar bagi investor. Usaha ini merupakan solusi yang prima bagi masyarakat dan pemegang keputusan lainnya karena memilikikeunggulan yaitu cepat, mudah, transparan, bebas dari biaya tidak resmi, dan memiliki kepastian hukum serta pelayanannya yang profesional.
(3)
1. Diharapkan agar pemegang kekuasaan/wewenang dari penyelenggaraan PTSP ini benar-benar melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.
2. Diharapkan agar penanam modal, baik itu asing maupun dalam negeri mengetahui batasan-batasan hak dan kewajiban di dalam menjalankan kegiatan penanaman modal.
3. Diharapkan agar dalam praktek kegiatan penanaman modal, Pemerintah memang meberlakukan asas perlakuan yang sama bagi penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN)
(4)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asropi, Bunga Rampai Administrasi Publik: Dimensi Pelayanan Publik dan
Tantangannya dalam Administrasi Negara (Publik) di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara. 2007.
Budi Untung, Hendrik. Hukum Investasi, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Rahmi, Elita. Tarik Menarik antara Desentralisasi dan Sentralisasi Kewenangan
Pemerintah Daerah dalam Urusan Pertanahan, Jambi: Fakultas Hukum
UNJA, 2009.
Hartono, Sunaryati. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal
Asing (PMA) di Indonesia , Bina Cipta, Bandung, 1970.
HS., Salim dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2007.
Ibrahim, Jhonny. Metode Penelitian Hukum Normatif, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.
Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2005.
Nasution, Asmin. Transparansi Dalam Penanaman Modal, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008.
K. Harjono, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2007.
Roeroe, Freddy. Batam Komitmen Setengah Hati, Jakarta : Aksara Karunia, 2003. Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi, Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2007. Soekanto, Soejono. Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal 9-10.
JURNAL
Ahmad, Yulianto. “Peran Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA)
(5)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Perpres 27/2009 tentang PTSP di Bidang Penanaman Modal
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
WEBSITE
Azwin, Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bangun Kepercayaan Publik di Bidang
Penanaman Modal, diunggah dari
Badan, Awax. Pengertian Investasi Menurut Para Ahli yang dikutip dari
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Sistem informasi geografi ( SIG ) Sangat
Handal Untuk Pengendalian Investasi, dikutip dari
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Prosedur Pendirian PMA, diunggah dari
BPMPPT Kabupaten Bengkayang, Perizinan Terpadu, dikutip dari
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Kuantan Singingi, SPIPISE, diunggah dari
Leks&CoLawyers, Hukum Penanaman Modal,dikutip dari
Mahkamah Konstitusional RI, UU Penanaman Modal Inkonstitusional, diunggah dari
Muslion, Empi. Paradigma Perubahan Dokumen Perencanaan Pembangunan
Nasional, dikutip dari
Nadhi, Chandra. Pentingnya Aspek “Legal Cover” Untuk Memproteksi
Bi
Panjaitan, Saut P. Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Investasi Menurut Sistem Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Sistem Undang-Undang
(6)
Purba, Orinton. Kebijakan Penanaman Modal Di Indonesia, dikutip dari
Roni, Sumber Hukum Perdagangan Internasional. Dikutip dari
Rozali, Rais. Asas-asas dan Teori Pembentukan Undang-Undang, dikutip dari
Soemali, Asas Hukum, dikutip dari
Susapto., Leo Wisnu., BKPM Atur Kepemilikan Perusahaan Terbuka, dikutip dari