Pembentukan Biomassa Fitoplankton Trophodynamic of phytoplankton zooplankton as determination of fish larvae survival at Lagoon of Pulau Pari, Seribu Island

±± menyebabkan terakumulasinya biomassa diatom dalam perairan sehingga tidak terjadi proses transfer biomassa ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Biomassa fitoplankton yang terbentuk melalui proses fotosintesis merupakan makanan bagi organisme herbivor. Kehadiran organisme herbivor ini memegang peranan penting dalam mengontrol populasi fitoplankton. Banyak penelitian menunjukkan bahwa grazing oleh organisme herbivor menjadi penyebab utama kematian fitoplankton yang dapat mengurangi biomassa fitoplankton di perairan Strom Strom, 1996; Doberfuhl et al., 1997; Ruiz et al., 1998; Reeden et al., 2002; Stoecker Gustafson, 2002; Sommer et al., 2002; Nuruhwati, 2003; Sarnelle, 2005; Kartamiharja, 2007. Organisme herbivor yang berperan dalam proses grazing sebagian besar adalah zooplankton dari berbagai ukuran seperti mikrozooplankton, mesozooplankton, ciliata, dan larva ikan. Namun peranan organisme herbivor tingkat tinggi juga cukup besar dalam mengurangi biomassa fitoplankton di perairan. Ikan-ikan dewasa seperti lemuru Sardinella fimbriata dan bandeng Chanos chanos merupakan ikan yang bersifat planktivor yang menjadikan plankton sebagai makanan utama. Kondisi biomassa fitoplankton selain dipengaruhi oleh proses fotosintesis dan pemangsaan oleh herbivor, juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kestabilan kolom air tempat hidup fitoplankton memegang peranan penting dalam mempengaruhi konsentrasi biomassa fitoplankton. Faktor-faktor fisika yang mempengaruhi kestabilan kolom air seperti kedalaman, pencampuran massa air Jäger et al., 2008 dan kekuatan angin Moline Prezelin, 1996 pada akhirnya juga dapat mempengaruhi kondisi biomassa fitoplankton. Hasil penelitian Jäger et al. 2008 menunjukkan bahwa pencampuran masa air dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk mencapai puncak biomassa. Pada kolom air tercampur, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak biomassa fitoplankton bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sementara pada kolom air yang tidak tercampur, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak biomassa, tidak sepenuhnya bergantung pada kedalaman. Sementara Moline Prazelin 1996 menunjukkan bahwa pola musiman dan tahunan dari biomassa fitoplankton dan produktivitas ²³ primer sangat dipengaruhi oleh tekanan angin lokal. Angin yang bertiup harian dengan kecepatan rendah kurang dari 10 meterdetik berasosiasi dengan kestabilan kolom air. Tekanan angin rendah yang terjadi dalam periode yang lama lebih dari 1 minggu dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan fitoplankton dan akumulasi biomassanya. Terdapat keterkaitan yang erat antara tekanan angin, stabilitas kolom air dan akumulasi biomassa fitoplankton, hal ini ditunjukkan oleh Moline Prazelin 1996 di perairan pantai Antartika pada tahun 1991 1992. Besarnya pengaruh angin terhadap proses fotosintesis juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Charpy 1996 mengenai produksi fotosintesis di sebuah Atol. Menurut Charpy 1996 produksi maksimum fotosintesis di Atol Takapoto terjadi pada kedalaman antara 15 - 25 meter, akan tetapi pada kondisi angin bertiup kencang, produksi maksimum fotosintesis terjadi di kedalaman kurang dari 10 meter. Komponen penyusun biomassa fitoplankton sebagian besar merupakan fitoplankon yang berukuran sangat kecil yaitu dari golongan picoplankton 0,2 2 µm dan nanoplankton 2 20 µm. Fitoplankton berukuran kecil ini memberikan sumbangan yang besar terhadap total biomassa fitoplankton dan produksi primer. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sumbangan fraksi picoplankton terhadap total biomassa dan produksi primer dapat berkisar antara 65 81 dan 66 82 . Sedangkan sumbangan fraksi nanoplankton terhadap total biomassa dan produksi primer fitoplankton berkisar antara 59 88 dan 20 85 . Sementara mikroplankton hanya memberikan sumbangan antara 4 15 terhadap total biomasaa dan 5 15 terhadap total produksi primer Charpy, 1996; Wang et al., 1997; Mallone et al., 1993 dalam Lessard Murrel, 1998; Wen Lin, 2003. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, Wen Lin 2003 memberikan hasil yang cukup berbeda dalam nilai kontribusi picoplankton terhadap total biomassa dan produksi primer. Dari hasil penelitiannya diperoleh kontribusi picoplankton terhadap total biomassa fitoplankton berkisar antara 8 9 , sementara kontribusi picoplankton terhadap total produksi primer adalah 3 10 . Nilai ini jauh lebih kecil bila dibandingkan beberapa penelitian lainnya, hal ini diduga karena Wen Lin melakukan pengamatan di kolam air asin yang bersifat alkalin. ´µ Menurut Parson et al. 1984 perubahan nilai biomassa fitoplankton pada selang waktu tertentu dapat menunjukkan nilai pertumbuhan spesifik dari fitoplankton tersebut, dan dapat digambarkan melalui persamaan berikut: µ= ln BrB0 t = ln [B0 + YB0 t dimana: µ = perubahan biomassa fitoplankton Br = biomassa fitoplankton akhir B0 = biomassa fitoplankton awal t = interval waktu antara pengukuran B0 dan Bf Y = Br B0

2.4 Pembentukan biomassa zooplankton

Pembentukan biomassa zooplankton ditentukan oleh jumlah substansi atau energi yang dapat dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai makanannya. Makanan zooplankton sangat beragam bergantung pada jenis dan ukuran zooplankton, beberapa penelitian menunjukkan bahwa substansi yang sering dimanfaatkan oleh zooplankton adalah biomassa fitoplankton Turner, 1987; Lessard Murrel, 1998; Liu Dagg, 2003; Nuruhwati, 2003; Sarnele 2005, bakteri Agasild N ges, 2005, protozoa Scnetzer Charon, 2005, detritus organik Turner, 1987, atau bahkan zooplankton lain yang berukuran lebih kecil Turner, 1987. Banyaknya jumlah biomassa makanan yang dimanfaatkan tersebut akan menentukan pertumbuhan dari zooplankton. Pemanfaatan biomassa makanan oleh zooplankton dilakukan melalui aktivitas grazing. Aktivitas grazing dari zooplankton dilakukan melalui mekanisme filtrasi dan pemilihan makanan. Laju filtrasi yang dilakukan oleh zooplankton terkait dengan ukuran tubuh, namun hal ini dapat bervariasi antar individu bergantung pada kondisi suhu dan konsentrasi makanan Parson et al., 1984. Secara umum laju filtrasi Copepod terhadap mangsanya akan meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Sementara beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah volume air yang ¶· disaring akan menjadi lebih kecil pada saat konsentrasi makanan naik. Laju filtrasi zooplankton pada periode waktu tertentu dapat diukur sebagai penurunan konsentrasi sel fitoplankton pada periode waktu yang sama, sehingga pada saat laju grazing zooplankton melampaui laju pertumbuhan fitoplankton, maka dapat menyebabkan penurunan biomassa fitoplankton Liu Dagg, 2003; Lessard Murrel, 1998. Zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai makanan dalam jumlah yang cukup besar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu Dagg 2003 menunjukkan bahwa laju pemangsaan mesozooplankton terhadap fitoplankton berukuran 20 µm adalah 86 dari laju pertumbuhan fitoplankton tersebut. Sementara hasil penelitian Nuruhwati 2003 menunjukkan bahwa grazing zooplankton di perairan Teluk Jakarta dapat menurunkan standing stock fitoplankton antara 11,45 18,84 setiap harinya. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Kaswadji et al. 1993 dalam Nuruhwati 2003 di perairan pantai Bekasi menunjukkan bahwa dampak pemangsaan zooplankton terhadap biomassa fitoplankton adalah hilangnya 38 biomassa fitoplankton setiap harinya. Seperti halnya larva ikan, zooplankton juga melakukan proses seleksi terhadap mangsanya, seleksi dilakukan menurut jenis dan ukuran mangsa. Proses seleksi inilah yang menentukan jenis mangsa yang dimakan dan pola perilaku makan dari zooplankton. Sebagian besar zooplankton adalah pemakan fitoplankton, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa sesungguhnya zooplankton bersifat omnivor yang memakan baik fitoplankton maupun zooplankton lain yang berukuran lebih kecil. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Turner 1987 terhadap komposisi feces Copepod jenis Centropages velificatus mesozooplankton menunjukkan bahwa dalam feces Copepod tersebut ditemukan fitoplankton, potongan tubuh Crustacean dan partikel-partikel detritus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Copepod jenis C. velificatus bersifat omnivor. Proses seleksi selanjutnya ditunjukkan oleh kecenderungan Copepod ini untuk memilih dinoflagelata jenis Prorocentrum compressum bila dibandingkan dengan diatom yang berukuran sama yaitu jenis Coscinodiscus radiatus. Dari hasil ¸ pengamatan diketahui bahwa P. compressum ditemukan dominan dalam feces, padahal di perairan kelimpahan fitoplankton didominansi oleh C. radiatus 41 . Dari penelitian yang dilakukan selanjutnya oleh Schnetzer Caron 2005, diketahui ternyata Copepod memang kurang menyukai diatom sebagai mangsanya. Diatom memegang peranan yang tidak terlalu penting dalam siklus hidup Copepod, hanya beberapa taksa diatom dapat mempengaruhi penetasan telur Copepod karena dapat menghasilkan gugus aldehid reaktif Miralto et al. 1993; Ianora et al., 2004 dalam Scnetzer Caron, 2005. Selain dinoflagelata, ternyata Copepod juga memilih protozoa jenis ciliata dan mikrozooplankton seperti Clausocalanus spp. Hasil penelitian Wiadnyana Rassoulzadegan 1989 menunjukkan bahwa Copepod lebih menyukai ciliata bila dibandingkan dengan dinoflagellata. Ciliata menyumbang 67 dari total makanan yang dicerna oleh Copepod jenis Acartia clausi dan 87 dari total makanan yang dicerna oleh Copepod jenis Centropages typicus. Hasil penelitian Scnetzer Caron 2005 menunjukkan bahwa kontribusi ciliata mencapai 81 dari total karbon yang dicerna oleh Copepod. Sementara biomassa mikrozooplankton yang hilang akibat pemangsaan oleh Copepod adalah 4,6 per hari. Terkait dengan pemilihan makanan sesuai dengan ukuran tubuh zooplankton, Liu Dagg 2003 menunjukkan bahwa mikrozooplankton mempunyai kecenderungan untuk memangsa fitoplankton berukuran 5 20 µm bila dibandingkan dengan fitoplankton berukuran kurang dari 5 µm atau lebih dari 20 µm, walaupun secara uji statistik laju konsumsi mikrozooplankton terhadap ketiga fraksi ukuran tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan oleh laju grazing yang lebih tinggi terhadap fitoplankton berukuran 5 20 µm, bila dibandingkan dengan fitoplankton lain yang berukuran lebih kecil atau lebih besar. Sementara mesozooplankton lebih cenderung memakan fitoplankton berukuran lebih besar dari 20 µm, dimana lebih dari 80 dari pertumbuhan harian fitoplankton ini dikonsumsi oleh mesozooplankton. Hasil penelitian Liu Dagg mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Turner 1987 mengenai komposisi makanan Copepod yang dilihat dari isi fecesnya. Dari hasil penelitiannya ¹º terhadap feces Centropages velificatus mesozooplankton, Turner tidak menemukan fitoplankton berukuran kecil dalam jumlah yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa C. velificatus melakukan seleksi terhadap mangsa berukuran yang lebih besar saja sebagai makanannya. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Agasild N ges 2005 menunjukkan bahwa laju grazing metazooplankton terhadap fitoplankton lebih tinggi bila dibandingkan laju grazing metazooplankton terhadap bakteri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metazooplankton lebih memilih mangsa yang berukuran lebih besar bila dibandingkan dengan mangsa yang berukuran kecil.

2.5 Makanan alami larva ikan

Siklus hidup ikan diawali saat mulai terjadi proses pembuahan, perkembangan embryo, penetasan telur menjadi larva dan kemudian tumbuh menjadi juvenile. Fase awal larva ikan adalah saat larva masih belum berkembang morfologi dan fisiologinya, larva ikan akan memanfaatkan kuning telur yang dibawa saat menetas sebagai sumber energinya, fase ini disebut dengan fase endogenous feeding. Tahapan selanjutnya kuning telur akan menghilang dan larva berkembang memiliki kemampuan untuk mencari makan sendiri yang bersifat planktonik, tahap ini disebut sebagai tahap eksogenous feeding Kendall et al., 1984 dalam Alemany, 2003. Menurut Hjort 1914 dalam Govoni 2005 kelangsungan hidup larva sangat menentukan tingkat kesuksesan proses rekruitmen populasi ikan di wilayah tertentu. Ada dua postulat yang dikemukakan oleh Hjort berkaitan dengan keberhasilan proses rekruitment yaitu kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh 1 variasi spasio temporal dalam ukuran dan komposisi pakan alami dan 2 penyebaran dan masa tinggal larva dan kondisi lingkungan yang optimal. Makanan alami bagi larva ikan yang baru memasuki eksogenous feeding adalah organisme planktonik yang ukurannya sangat kecil dan sesuai dengan bukaan mulut larva seperti fitoplankton dan zooplankton. Kemampuan makan larva pertama kali sangat bergantung pada ukuran bukaan mulut larva Imanto Melianawati, 2003; Insan et al., 2002; Laurence, 1984, Lough, 1984. Bukaan mulut larva ikan saat pertama kali mencari makan berbeda-beda menurut spesies, » misalnya larva kakap merah Lates spp dan kerapu bebek Epinephelus spp mempunyai ukuran bukaan mulut pertama adalah 120 m, sementara larva L. argentimaculatus mempunyai bukaan mulut 145 m Imanto Melianawati, 2003, pada larva ikan betutu bukaan mulut pertama berukuran 1,0 2,8 µm Insan et al., 2002. Ukuran bukaan mulut menentukan jenis makanan apa yang dapat dimangsa oleh larva, dan hal ini yang menjadi salah satu penyebab adanya selektifitas dalam proses makan larva ikan. Beberapa penelitian mengenai makanan larva ikan menunjukkan bahwa makanan utama larva ikan didominansi oleh organisme planktonik, seperti yang dilakukan oleh Voss 2002, Lough dalam Werner 2000, Hirakawa et al. 1997 dalam Hao Shieh Sheng Ciu 2002, Rossi et al. 2006, Pepin Dower 2007. Pada awal proses makan, nauplii Copepoda lebih banyak dimanfaatkan atau terserap oleh sebagian besar larva ikan Voss, 2002; Conway et al., 1998; Tudela et al., 2002 dalam Rossi et al., 2006, atau bahkan pada beberapa jenis ikan fitoplankton lebih banyak dijadikan mangsa utama,misalnya larva ikan betutu berumur 3 hari memanfaatkan fitoplankton jenis Coelostrum sp Insan et al.,2002. Hasil penelitian Voss 2002 menunjukkan bahwa komposisi isi perut larva ikan sprat adalah sebagai berikut: nauplii 49,8 , fase Copepod Acartia yang terdiri dari A. bifilosa, A. longiremis, A. tonsa 35,1 , cladocera jenis Bosmina coregoni maritime 3,7 , Temora longicornis sebanyak 1,5 , Pseudocalanus elongatus linutus sebanyak 0,9 , Centropages hamatus 0,3 , Evadne normannii 0,1 , dan Podon spp 0,4 . Selain jenis-jenis diatas juga ditemukan polychaeta sebanyak 0,1 , bivalvia 0,4 , gastropoda 0,1 dan diatomacea 0,9 . Hasil penelitian Voss 2002 lainnya terhadap komposisi isi perut larva ikan cod Gadus morhua menunjukkan bahwa isi perut larva ikan cod didominansi oleh nauplii 86,4 , fase Copepod calanoid 9,1 , dan Bosmina dan Evadne masing-masing hanya ditemukan sebanyak 0,1 . Dari keseluruhan isi perut larva ikan cod jenis plankton diatom dan dinoflagellata hanya ditemukan sebanyak 0,1 . Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya terhadap