Gambaran Elektrokardiogram pada Anak dengan Penyakit Jantung Rematik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Gambaran Elektrokardiogram pada Anak dengan Penyakit Jantung
Rematik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan
Oleh :
KARTINI MARPAUNG
100100163
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(2)
Gambaran Elektrokardiogram pada Anak dengan Penyakit Jantung
Rematik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan
KARYA TULIS ILMIAH
“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”
KARTINI MARPAUNG
100100163
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Gambaran Elektrokardiogram pada Anak dengan Penyakit Jantung Rematik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Nama : Kartini Marpaung
NIM : 100100163
Dosen Pembimbing Dosen Penguji I
dr. Tina Christina L.Tobing, Sp.A(K) dr. Christoffel L.Tobing, Sp.OG(K) NIP. 196109101987122001 NIP. 195607051983031001
Dosen Penguji II
dr. Ilhamd, Sp.PD
NIP. 196604231996031001
Medan, 2 Januari 2014
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP: 195402201980111001
(4)
ABSTRAK
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah kerusakan pada katup jantung akibat respon imun abnormal terhadap infeksi Streptokokus grup A yang didahului oleh demam rematik. PJR merupakan penyakit jantung anak yang paling sering dijumpai diseluruh dunia dengan lebih dari 230.000 kematian pertahun. Elektrokardiogram adalah alat perekam aktivitas jantung berdasarkan perbedaan potensial listrik. Kerusakan dari katup jantung akibat PJR dapat dideteksi, salah satunya dengan melihat perubahan dari gambaran elektrokardiogram. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran elektrokardiogram pada anak dengan penyakit jantung rematik di RSUP Haji Adam Malik.
Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan desain penelitian cross
sectional. Populasi penelitian adalah anak dengan PJR berusia kurang dari 18 tahun yang menjalani perekaman elektrokardiogram (EKG) di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 – Oktober 2013. Sampel penelitian ini
berjumlah 35 orang yang diperoleh dengan metode total sampling.
Dari gambaran elektrokardiogram dapat disimpulkan bahwa pemanjangan interval PR tidak selalu muncul pada fase akut, bergantung dari derajat akut penyakit tersebut. Dan perubahan pada segmen ST menunjukkan abnormalitas bermakna apabila disertai perubahan segmen lain pada elektrokardiogram.
Manifestasi mayor yang paling sering muncul adalah arthritis (80.0%) dan manifestasi minor yang paling sering muncul adalah Protein C Reaktif yang positif (25.2%).
(5)
ABSTRACT
Rheumatic Heart Disease (RHD) is the result of valvular damage caused by an abnormal immune response to group A streptococcal infection that preceded by rheumatic fever. RHD is the most common cardiovascular disease in young adult in the world with more than 230.000 deaths per year. Electrocardiogram is a tool to record the heart’s activity by electrical potential difference. The valvular damage of rheumatic heart disease can be detected by the changes in electrocardiogram. The aim of this study is to determine the electrocardiogram in children with RHD in RSUP Haji Adam Malik.
This research used descriptive with the cross sectional study design. The population of this study were children below 18 years old with rheumatic heart disease that undergo electrocardiogram in RSUP Haji Adam Malik from January 2011 to October 2013. Samples were obtained by total sampling method with the total of 35 children.
From electrocardiogram, it showed that prolongation of PR interval is not always occur during acute stage but depends on the degrees of acute illness. The value of elevation or depression of ST portion became more significant if it was also followed by other ECG segment changes.
This study showed that the most common major and minor manifestation (based on Jones Criteria) were arthritis (80.0%) and positive C Reactive Protein (25.2%).
(6)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia –Nya yang memampukan penulis untuk dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penelitian dan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, saya telah mendapat banyak bimbingan, pengarahan, dukungan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :
1. dr. Tina Christina L.Tobing, Sp.A(K) selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk dapat memberikan bimbingan, saran, motivasi dan semangat sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan. 2. dr. Christoffel L.Tobing, Sp.OG(K) selaku Dosen Penguji I dan dr.Ilhamd, Sp.PD selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan nasehat dalam penyempurnaan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.
3. dr. Mohd. Rhiza Z.Tala, Sp.OG selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan dukungan, motivasi, saran dan semangat.
4. Rasa cinta dan terima kasih yang tidak terhingga saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, ayahanda Ir.Robinson Marpaung dan ibunda Rosmina Silaen, S.Pd atas segala doa, dukungan, dan semangat yang tak putus-putusnya sebagai bentuk kasih sayang kepada saya.
5.Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada abang dan kakak terkasih beserta keluarga, Robert Riko Marpaung, Junita Marpaung, Riama Umika Marpaung dan Dewi Ariyanti Marpaung atas segala doa dan dukungan yang tiada henti.
6. Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan, angkatan 2010 terkhusus kepada Yohana Hutabarat, Michael Purba, Grace Dio, Akbar Sinaga, Lasa Siahaan, William Purba, Ruth Daratri, Dina Utami dan seluruh teman-teman angkatan 2010 lainnya. Terima kasih juga kepada Kak Kristina Silaban, Kak
(7)
Yeni Sinaga serta pihak lainnya yang turut membantu dalam upaya dan doa juga memberi semangat kepada penulis dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
Saya menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan, khususnya bagi pembaca Karya Tulis Ilmiah ini.
Medan, Desember 2013
Penulis,
(8)
Halaman
Halaman Persetujuan……….. i
Abstrak……….. ii
Abstract……… iii
Kata Pengantar……… iv
Daftar Isi………... vi
Daftar Tabel ………. ix
Daftar Gambar……… xi
Daftar Singkatan………. xii
Daftar Lampiran……… xiii
BAB 1 PENDAHULUAN………. 1
1.1. Latar Belakang………. 1
1.2. Rumusan Masalah………... 2
1.3. Tujuan Penelitian………. 2
1.4. Manfaat Penelitian………... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 4
2.1. Demam Rematik………... 4
2.1.1. Definisi Demam Rematik……….. 4
2.1.2. Etiologi Demam Rematik……….. 4
2.1.3. Patogenesis Demam Rematik………... 5
2.1.4. Manifestasi Klinis Demam Rematik………. 6
2.1.4.1. Manifestasi Mayor Demam Rematik………... 7
2.1.4.2. Manifestasi Minor Demam Rematik………... 9
2.1.5. Diagnosa Demam Rematik………... 10
2.1.6. Penatalaksanaan Demam Rematik……… 12
(9)
2.2. Penyakit Jantung Rematik………... 16
2.3. Elektrokardiogram………... 17
2.3.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Konduksi Jantung……. 17
2.3.2. Konfigurasi Elektrokardiogram……… 19
2.3.3. Gambaran Elektrokardiogram Normal……….. 20
2.3.4. Gambaran Elektrokardiogram Abnormal……….. 22
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL… 24 3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 24
3.2. Defenisi Operasional………... 24
BAB 4 METODE PENELITIAN……… 26
4.1. Jenis Penelitian……… 26
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian……….. 26
4.3. Populasi dan Sampel……… 26
4.3.1. Polulasi Penelitian………. 26
4.3.2. Sampel Penelitian……….. 26
4.4. Metode Pengumpulan Data………. 27
4.5. Pengolahan dan Analisis Data……….. 27
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN……… 28
5.1. Hasil Penelitian……… 28
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 28
5.1.2. Deskripsi Karakteristik………. 29
5.1.3. Hasil Analisa Data………. 30
5.2. Pembahasan……….. 35
BAB 6 KESIMPULAN………. 41
6.1. Kesimpulan………. 41
(10)
DAFTAR PUSTAKA………... 42
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
2.1. Kriteria Jones (revisi) untuk Pedoman dalam Diagnosis
Demam Rematik (1992)
11
2.2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam
Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
12
2.3. Pedoman Tirah Baring dan Rawat Jalan pada Pasien
Demam Rematik (Markowitz dan Gordiz, 1972)
13
2.4. Panduan Obat Anti Inflamasi 14
2.5. Jadwal yang Dianjurkan untuk Pengobatan dan Pencegahan
Infeksi Streptokokus
15
2.6. Durasi Pencegahan Sekunder yang Disarankan 16
5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis
Kelamin dan Kelompok Usia
29
5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Frekuensi Jantung
30
5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Interval PR
30
5.4. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Interval QRS
31
5.5. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Interval QT
31
5.6. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Gelombang P
32
5.7. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Aksis
Jantung
32
5.8. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Segmen ST
(12)
5.9. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Gelombang T
33
5.10. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Kadar Laju Endap Darah
33
5.11. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Nilai
Protein C Reaktif
34
5.12. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Jumlah
Leukosit
34
5.13. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Titer
ASTO
34
5.14. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Manifestasi Mayor
35
5.15. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan
Manifestasi Minor
35
5.16. Distribusi Frekuensi Gambaran Elektrokardiogram Sampel
Penelitian dengan Karditis
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1 Sistem Konduksi Jantung 18
2.2 Konfigurasi Elektrokardiogram dengan Gelombang,
Segmen dan Interval
19
2.3 Gambaran Normal Ritme Sinus 20
2.4 Cara Menghitung Frekuensi Jantung dengan Metode 300
Dibagi dengan Jumlah Kotak Besar dari R-R
21
(14)
DAFTAR SINGKATAN
ASTO Antistreptolisin O
CRP C-Reactive Protein
DALYs Disability Adjusted Life Years
EKG Elektrokardiogram
LAD Left Atrial Enlargement
LED Laju Endap Darah
PJR Penyakit Jantung Rematik
RAD Right Atrial Enlargement
RHD Rheumatic Heart Disease
SGA Streptokokus Grup A
WHO HLA-DR
World Health Organization Human Leucocytes Antigen DR
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Ethical Clearance
Lampiran 4 Data Induk
(16)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah suatu kondisi di mana terjadi kerusakan permanen pada katup jantung yang disebabkan oleh demam rematik. Rusaknya katup jantung diakibatkan oleh respon imun abnormal terhadap katup yang biasanya didahului oleh infeksi Streptokokus, dan akhirnya menyebabkan demam rematik (Marijon, E.et.al., 2012).
Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2004 melaporkan
bahwa baik di negara berkembang maupun negara maju, faringitis dan infeksi
kulit (impetigo) adalah infeksi yang paling umum disebabkan oleh Streptokokus
β-hemolitikus grup A. 15-20% faringitis disebabkan oleh infeksi bakteri
Streptokokus grup A, dengan insidensi puncak pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan 80% lainnya disebabkan oleh virus. Insiden ini dapat bervariasi antarnegara, bergantung pada musim, kelompok usia, kondisi sosioekonomi, faktor lingkungan, dan kualitas dari pelayanan kesehatan (WHO, 2004).
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 15,6 juta orang di dunia dengan PJR dan 1,9 juta lainnya dengan riwayat demam rematik akut tanpa karditis. Terdapat sekitar 470,000 kasus baru demam rematik akut setiap tahun dan lebih dari 230.000 kematian pertahun akibat PJR. Hampir semua kasus dan kematian terjadi di negara berkembang. Hal inilah yang menyebabkan PJR merupakan penyakit jantung anak yang paling sering dijumpai di seluruh dunia. Di banyak negara, PJR adalah penyakit yang paling sering menyebabkan kematian akibat penyakit jantung pada anak dan dewasa usia kurang dari 40 tahun (Carapetis J.et.al., 2012).
Di Asia Tenggara, sampai tahun 2000 didapati angka mortalitas PJR per
100.000 populasi adalah 7,6 dengan angka disabilitas pertahun (
Disability-Adjusted Life Years (DALYs)) 173,4 per 100 000 populasi. Tentu saja hal ini akan menurunkan kualitas hidup anak dan pertumbuhan ekonomi negara (WHO, 2004).
(17)
Pada PJR akut, gambaran elekrokardiogram (EKG) tidak sangat berarti dalam diagnosis. Untuk menegakkan diagnosis PJR perlu dicari kelainan konduksi, tanda keterlibatan miokardium dan perikardium juga tanda-tanda adanya hipertrofi atrium atau ventrikel. Cacat pada katup merupakan kelainan tersering yang disebabkan oleh PJR. Cacat katup yang terlalu lama dapat mengakibatkan perubahan anatomi jantung. Perubahan anatomi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan elektrokardiogram (Wahab, 1993).
Menurut Rivenes et al. (2003) dalam Rijnbeek et al. (2008), sensitifitas elektrokardiogram untuk mendiagnosa hipertrofi ventrikel kiri < 20% dan spesifisitasnya 88%-90%. Sedangkan menurut Fogel et al. (1995) dalam Rijnbeek et al. (2008), untuk mendiagnosa stenosis aorta, elektrokardiogram mempunyai sensitifitas yang lebih baik, yakni 67% dan spesifisitas 95%.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana gambaran elektrokardiogram pada anak dengan penyakit jantung rematik di RSUP Haji Adam Malik Medan?”
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran elektrokardiogram pada anak dengan penyakit jantung rematik di RSUP Haji Adam Malik.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui gambaran irama jantung anak dengan penyakit jantung rematik.
b. Mengetahui gambaran frekuensi jantung anak dengan penyakit jantung rematik.
(18)
c. Mengetahui gambaran komponen interval PR, QRS dan QT pada elektrokardiogram anak dengan penyakit jantung rematik.
d. Mengetahui gambaran morfologi gelombang P pada elektrokardiogram anak dengan penyakit jantung rematik.
e. Mengetahui gambaran kompleks QRS dan aksis jantung pada elektrokardiogram anak dengan penyakit jantung rematik.
f. Mengetahui gambaran morfologi segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiogram anak penyakit jantung rematik.
h. Mengetahui gambaran kadar laju endap darah (LED), C reaktif protein dan jumlah leukosit pada anak dengan penyakit jantung rematik.
i. Mengetahui gambaran kadar ASTO (Anti Streptolisin O) pada anak dengan penyakit jantung rematik.
j. Mengetahui manifestasi mayor dan manifestai minor yang muncul pada anak dengan penyakit jantung rematik.
1.4. Manfaat penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat, yakni:
a. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai penyakit jantung rematik.
b. Bagi peneliti, menambah wawasan dalam melakukan penelitian juga meningkatkan pengetahuan peneliti tentang elektrokardiogram dan penyakit jantung rematik serta sebagai syarat kelulusan dari Fakultas Kedokteran USU.
c. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak lain yang akan melanjutkan penelitian ini ataupun penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
(19)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Rematik
2.1.1. Definisi Demam Rematik
Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang menyerang
multisistem akibat infeksi dari Streptokokus β-hemolitikus grup A pada faring
(faringitis) yang biasanya menyerang anak dan dewasa muda. Demam rematik menyebabkan terjadinya peradangan yang biasanya terjadi pada jantung, kulit dan
jaringan ikat. Pada daerah endemik, 3% pasien yang mengalami faringitis oleh
Streptokokus berkembang menjadi demam rematik dalam 2 - 3 minggu setelah infeksi saluran nafas bagian atas tersebut (RHD Australia, 2012).
2.1.2. Etiologi Demam Rematik
Streptokokus adalah bakteri gram positif yang ciri khasnya berpasangan atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Terdapat sekitar dua puluh
spesies Streptokokus, termasuk Streptococcus pyogenes (grup A), Streptococcus
agalactie (grup B) dan Enterococci (grup D). Secara morfologi, Streptokokus merupakan bakteri berbentuk batang atau ovoid dan tersusun seperti rantai yang membentuk gambaran diplokokus atau terlihat seperti bentuk batang. Panjang rantai sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Brooks et.al., 2004).
Dinding sel Streptokokus mengandung protein (antigen M, R, dan T),
karbohidrat (spesifik untuk tiap grup), dan peptidoglikan. Pada Streptokokus grup A, terdapat juga pili yang tersusun dari sebagian besar protein M yang dilapisi asam lipoteikoat. Pili ini berperan penting dalam perlekatan Streptokokus ke sel epitel (Brooks et.al., 2004).
Banyak Streptokokus mampu menghemolisa sel darah merah secara in
vitro dengan berbagai derajat. Apabila Streptokokus menghemolis sempurn sel
darah merah yang ditandai dengan adanya area yang bersih (clear zone) disebut
(20)
sempurna dan menghasilkan pigmen berwarna hijau disebut α-hemolitikus. Dan
Streptokokus lain yang tidak mengalami hemolisa disebut γ-hemolitikus (Brooks
et.al., 2004).
Streptokokus β-hemolitikus grup A, seperti Steptococcus pyogenes
merupakan agen pencetus yang menyebabkan terjadinya demam rematik akut. Tidak semua serotip Streptokokus grup A dapat menimbulkan demam rematik.
Serotip tertentu Streptokokus β-hemolitikus grup A, misalnya serotip M tipe 1, 3,
5, 6, 18, 24 lebih sering diisolasi dari penderita dengan demam rematik akut.
Namun, karena serotip tidak diketahui pada saat diagnosis klinis faringitis
Streptokokus, klinisi harus menganggap bahwa semua Streptokokus grup A mempunyai kemampuan menyebabkan demam rematik, karena itu semua episode
faringitis Streptokokus harus diobati (Todd, 2000).
Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes.
Apabila tidak ada antibodi spesifik tipe-M, organisme ini mampu bertahan terhadap proses fagositosis oleh polimorfonuklear. Protein M dan antigen pada dinding sel Streptokokus memiliki peranan penting dalam patogenesis demam rematik (Brooks et.al., 2004; Todd, 2000).
2.1.3. Patogenesis Demam Rematik
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik,
yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host
(manusia), dan faktor lingkungan (Raju & Turi, 2012).
Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan bagian atas dan melekat pada jaringan faring. Adanya protein M menyebabkan organisme ini mampu menghambat fagositosis sehingga bakteri ini dapat bertahan pada faring selama 2
minggu, sampai antibodi spesifik terhadapStreptokokus selesai dibentuk (Raju &
Turi, 2012).
Protein M, faktor virulen yang terdapat pada dinding sel Streptokokus,
secara immunologi memiliki kemiripan dengan struktur protein yang terdapat
dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup jantung
(21)
kaudatus (lysogangliosides) yang terdapat diotak (Joseph, 2010). Adanya kemiripan pada struktur molekul inilah yang mendasari terjadinya respon autoimun yang pada demam rematik. Kelainan respon imun ini didasarkan pada
reaktivitas silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang
akan mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin dan antibodi spesifik yang secara langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip dengan antigen Streptokokus. Seperti pada korea Sydenham, ditemukan antibodi pada nukleus kaudatus otak yang lazim
ditemukan terhadap antigen membran sel Streptokokus (Behrman, 1996). Dan
ditemukannya antibodi terhadap katup jantung yang mengalami reaksi silang
dengan N-acetylglucosamine, karbohidrat dari Streptokokus grup A,
membuktikan bahwa antibodi bertanggung jawab terhadap kerusakan katup jantung (Carapetis, 2010).
Genetik juga berperan terhadap kerentanan terjadinya demam rematik, namun mekanisme yang pasti belum diketahui. Resiko terjadinya demam rematik
setelah faringitis oleh Streptokokus, pada mereka yang mempunyai kerentanan
secara genetik, adalah sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang tidak rentan secara genetik (Robert, 2012). Telah diidentifikasi suatu alloantigen pada sel B dari 75% penderita demam rematik, sedangkan hanya didapatkan 16% pada yang bukan penderita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa antigen HLA-DR merupakan petanda PJR (Fyler, 1996).
Akhirnya, faktor lingkungan berhubungan erat terhadap perkembangan demam rematik. Kebersihan lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal, sarana kesehatan yang kurang memadai juga pemberian antibiotik yang tidak adekuat pada pencegahan primer dan sekunder demam rematik, meningkatkan insidensi penyakit ini (Raju & Turi, 2012).
2.1.4. Manifestasi Klinis Demam Rematik
Terdapat periode laten selama 3 minggu (1-5 minggu) antara infeksi Streptokokus dengan munculnya manifestasi klinis demam rematik. Namun pada korea dan karditis, periode latennya mungkin memanjang sampai 6 bulan. Gejala
(22)
faringitis Streptokokus umumnya tidak spesik, hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan antibodi terhadap Streptokokus. Manifestasi klinis demam rematik yang paling sering dijumpai adalah demam dan poliarthritis. Poliarthitis didapati pada 60-75% kasus dan karditis pada 50-60% . Prevalensi terjadinya korea bervariasi antar populasi, yakni antara 2-30%. Sedangkan eritema marginatum dan nodulus subkutan jarang dijumpai, sekitar kurang dari 5% kasus demam rematik (Carapetis, 2010).
2.1.4.1. Manifestasi Mayor Demam Rematik
1. Karditis
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam rematik akut dan menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. 40-60% pasien demam rematik akut berkembang menjadi PJR (Raju & Turi, 2012). Karditis ini mempunyai gejala yang nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, demam ringan, mengeluh nafas pendek, nyeri dada dan arthalgia. Karena manifestasi yang tidak spesifik dan lamanya timbul gejala, setiap pasien yang datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi harus selalu dilakukan. Pasien yang pada pemeriksaan awal tidak dijumpai adanya karditis harus terus dipantau sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2-3 minggu pascainfeksi, maka selanjutnya ia jarang muncul. (Wahab, 1994).
Miokardium, endokardium dan perikardium juga sering terlibat dalam karditis. Miokarditis biasanya terjadi dengan adanya takikardi, pembesaran jantung dan adanya tanda gagal jantung. Perikarditis sering dialami dengan adanya nyeri pada jantung dan nyeri tekan. Pada auskultasi juga sering dijumpai adanya bising gesek yang terjadi akibat peradangan pada perikardium parietal dan viseral. Bising gesek ini dapat didengar saat sistolik maupun diastolik (Carapetis, 2010).
(23)
Diagnosa karditis ditegakkan dengan menemukan 1 dari 4 kriteria dibawah ini: (1) Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukkan adanya insufisiensi aorta atau insufisiensi mitral saja, tanpa adanya bising jantung organik tidak dapat disebut sebagai karditis. (2) Perikarditis (bising gesek, efusi perikardium, nyeri dada, perubahan EKG). (3) Kardiomegali pada foto toraks, dan (4) Gagal jantung kongestif (Madiyono et.al., 2005).
2. Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi yang paling sering dari demam rematik, terjadi pada sekitar 70% pasien demam rematik. Arthritis menunjukkan adanya radang sendi aktif yang ditandai nyeri hebat, bengkak, eritema dan demam. Nyeri saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti, sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Arthritis rematik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliarthritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, arthritis sembuh dalam 1 minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Arthritis demam rematik ini berespon baik dengan pemberian asam salisilat (Wahab, 1994; Essop & Omar, 2010).
3. Korea Sydenham
Korea Sydenham terjadi pada 13-34% kasus demam rematik dan dua kali lebih sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari korea ini cukup lama, sekitar 3 minggu sampai 3 bulan dari terjadinya demam rematik. Gejala awal biasanya emosi yang labil dan iritabilitas. Lalu diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan dan inkoordinasi muskular. Semua otot dapat terkena, namun otot wajah dan ekstremitas adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan namun menghilang saat pasien beristirahat (Essop & Omar, 2010). Emosi pasien biasanya labil, mudah menangis, kehilangan
(24)
perhatian, gelisah dan menunjukkan ekspresi yang tidak sesuai. Apabila proses bicara terlibat, pasien terlihat berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Meskipun tanpa pengobatan, korea dapat menghilang dalam 1- 2 minggu. Namun pada kasus berat, meskipun diobati, korea dapat bertahan 3 – 4 bulan bahkan sampai 2 tahun (Wahab, 1994).
4. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada demam rematik yang terjadi kurang dari 10% kasus (Essop & Omar, 2010). Ruam ini tidak gatal, makular, berwarna merah jambu atau kemerahan dengan tepi eritema yang menjalar dari satu bagian ke bagian lain, mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, dengan bagian tengah yang terlihat lebih pucat, muncul paling sering pada batang tubuh dan tungkai proksimal namun tidak melibatkan wajah. Eritema biasanya hanya dijumpai pada pasien karditis, seperti halnya nodulus subkutan (Wahab, 1994).
5. Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis (Carapetis, 2010). Ukuran nodul bervariasi antara 0,5 – 2 cm, tidak nyeri, padat dan dapat bebas digerakkan. Kulit yang menutupinya dapat bebas digerakkan dan pucat, tidak menunjukkan tanda peradangan. Nodul ini biasanya muncul pada karditis rematik dan menghilang dalam 1-2 minggu (Essop & Omar, 2010).
2.1.4.2.Manifestasi Minor Demam Rematik
Demam hampir selalu terjadi pada poliarthritis rematik. Suhunya jarang
mencapai 40O C dan biasa kembali normal dalam waktu 2 – 3 minggu, walau
(25)
(misalnya nyeri, merah, hangat) juga sering dijumpai. Arthalgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar (Essop & Omar, 2010).
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam rematik akut dengan gagal jantung oleh karena distensi hati. Anoreksia, mual dan muntah juga sering muncul, namun kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epistaksis berat juga mungkin dapat terjadi (Wahab, 1994).
Pada penderita yang belum diobati, biakan usapan faring sering positif bakteri Streptokokus hemolitikus. Titer antisteptolisin-O (ASTO) akan meningkat. Kadar antibodi ini akan mencapai puncak sekitar satu bulan pascainfeksi dan menurun sampai normal setelah sekitar 2 tahun, kecuali pada insufisiensi mitral yang dapat bertahan selama beberapa tahun. Laju endap darah juga hampir selalu meningkat, begitu juga dengan protein C-reaktif (Fyler, 1996).
Pada pemeriksaan EKG, sering menunjukkan sinus takikardia, namun terkadang dapat dijumpai normal. Pemanjangan interval P-R terjadi pada 28-40% pasien. Pemanjangan interval P-R ini tidak berhubungan dengan kelainan katup atau perkembangannya (Miller et.al., 2011).
2.1.5. Diagnosa Demam Rematik
Demam rematik dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, dapat sendiri atau bersama-sama. Tidak ada satu manifestasi klinis atau uji laboratorium yang cukup khas untuk diagnostik ,kecuali korea Sydenham murni, dan karena diagnosis harus didasarkan pada kombinasi beberapa temuan. Semakin banyak jumlah manifestasi klinis maka akan semakin kuat diagnosis (Madiyono et.al., 2005).
Pada tahun 1994 Dr T Duckett Jones mengusulkan kriteria untuk diagnostik yang didasarkan pada manifestasi klinis dan penemuan laboratorium sesuai dengan kegunaan diagnostiknya. Manifestasi klinis demam rematik dibagi menjadi kriteria mayor dan minor, berdasarkan pada prevalensi dan spesifisitas dari manifestasi klinis tersebut (Madiyono et.al., 2005).
(26)
Tabel 2.1. Kriteria Jones (revisi) untuk Pedoman dalam Diagnosis Demam Rematik (1992)
Manifestasi mayor Manifestasi minor
Karditis Klinis
Poliarthritis Arthralgia
Korea Sydenham Demam
Eritema marginatum Laboratorium
Nodulus subkutan Reaktans fase akut
Laju endap darah (LED) naik
Protein C reaksi positif
Leukositosis
Pemanjangan interval PR pada EKG Bukti adanya infeksi streptokokus
Kenaikan titer antibodi antistreptokokus : ASTO dan lain-lain Usapan faring positif untuk streptokokus beta hemolitikus grup A Demam skarlatina yang baru
Sumber : Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak, 2005
Dasar diagnosis pada pasien demam rematik : (1) Highly probable (sangat
mungkin) yaitu jika ditemui 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor
ditambah 2 manifestasi minor disertai bukti infeksi Streptokokus β-hemolitikus
grup A yaitu dengan peningkatan ASTO atau kultur positif. (2) Doubtful
diagnosis (meragukan) yakni jika terdapat 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor namun tidak terdapat bukti infeksi
Streptokokus β-hemolitikus grup A. (3) Exception (pengecualian) yakni jika
diagnosis demam rematik dapat ditegakkan bila hanya ditemukan korea saja atau karditis indolen saja (Madiyono et.al., 2005).
Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan untuk melanjutkan penggunaan kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk demam rematik serangan pertama dan serangan rekuren demam rematik pada pasien yang diketahui tidak mengalami penyakit jantung rematik. Untuk serangan rekuren demam rematik pada pasien yang sudah mengalami penyakit jantung rematik, WHO merekomendasikan menggunakan minimal dua kriteria minor disertai adanya bukti infeksi SGA sebelumnya (Madiyono et.al., 2005).
(27)
Tabel 2.2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
Kategori diagnostik Kriteria
Demam rematik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
tanpa PJR ditambah dengan bukti infeksi SGA
sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua minor ditambah dengan bukti infeksi
dengan PJR SGA sebelumnya
Korea Sydenham Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
bukti infeksi SGA
PJR (stenosis mitral murni atau Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
kombinasi dengan insufisiensi mendiagnosis sebagai PJR
mitral dan/atau gangguan katup aorta)
Sumber : WHO, 2004
2.1.6. Penatalaksanaan Demam Rematik
Semua pasien demam rematik akut harus menjalani tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Lama dan tingkat tirah baring tergantung pada sifat dan keparahan serangan. Pasien harus diperiksa setiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk memulai pengobatan dini apabila terjadi gagal jantung. Karena karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, maka pengamatan ketat harus dilakukan selama masa itu (Madiyono et.al., 2005; Wahab, 1994).
(28)
Tabel 2.3. Pedoman Tirah Baring dan Rawat Jalan pada Pasien Demam Rematik (Markowitz dan Gordiz, 1972)
STATUS KARDITIS PENATALAKSANAAN
Tidak ada karditis Tirah baring selama 2 minggu dan sedikit
demi sedikit rawat jalan selama 2 minggu dengan salisilat.
Karditis, tidak ada kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu dan sedikit
demi sedikit rawat jalan selama 4 minggu
Karditis, dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu dan sedikit
demi sedikit rawat jalan selama 6 minggu
Karditis, dengan gagal jantung Tirah baring ketat selama masih ada gejala
gagal jantung dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 3 bulan
Sumber : Buku Ajar Kardiologi Anak, 1994
Eradikasi Streptokokus merupakan syarat utama dalam pengobatan demam rematik akut, sedangkan pengobatan lain bergantung pada manifestasi klinis penyakit. Pengobatan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan cara
pengobatan faringitis Streptokokus, yakni :
Benzatin penicillin G, dosis tunggal
Untuk BB > 30 kg : dosis 1,2 juta U i.m, dan Untuk BB < 30 kg : dosis 600.000 U i.m Jika alergi terhadap benzatin penisilin G :
Eritromisin 40 mg/kgbb/hari dibagi 2-4 dosis selama 10 hari Alternatif lain :
Penisilin V (Phenoxymethylpenicilin) oral, 2 x 250 mg
Sulfadiazin oral, 1 gr sekali sehari
Eritromisin oral, 2 x 250 mg
Pengobatan antiradang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam rematik. Pada pasien arthritis, manifestasi akan berkurang dengan pemberian obat antiradang (salisilat atau steroid). Pada pasien karditis terutama karditis berat, aspirin sering kali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, sehingga harus ditangani dengan steroid, misalnya
(29)
prednisone (Tabel 2.4). Kriteria beratnya karditis adalah: (1) Karditis minimal, jika tidak jelas ditemukan adanya kardiomegali. (2) Karditis sedang apabila dijumpai kardiomegali ringan, dan (3) Karditis berat apabila jelas terdapat kardiomegali yang disertai tanda gagal jantung (Madiyono et.al., 2005).
Tabel 2.4. Panduan Obat Anti Inflamasi
Arthritis Karditis ringan Karditis sedang Karditis berat
Prednison 0 0 0 2-6 minggu
Aspirin 1-2 minggu 3-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan
Sumber : Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak, 2005
Dosis : Prednison : 2 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis selama 2 minggu
dan diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off ) dengan
pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin 75 mg/kgbb/hari dalam 2 minggu dan dilanjutkan selama 6 minggu
Aspirin : 100mg/kgbb/hari dibagi dalam 4-6 dosis; setelah minggu
ke-2 dosis aspirin diturunkan menjadi 60 mg/kgbb/hari.
Pada pasien korea yang ringan, umumnya hanya membutuhkan tirah baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang paling sering diberikan adalah fenobarbital dan haloperidol. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5mg), kemudian dinaikkan sampai 2,0 mg tiap 8 jam, bergantung pada respon klinis. Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat dapat diberikan steroid (Wahab, 1994).
(30)
2.1.7. Pencegahan Demam Rematik
Pencegahan primer demam rematik berarti mengeradikasi Streptokokus
saat terjadi infeksi saluran pernafasan bagian atas (faringitis) dengan pemberian
antibiotik yang adekuat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya demam rematik akut. Diagnosis faringitis yang tepat sangat diperlukan untuk dapat memberikan terapi antibiotik yang tepat juga. Antibiotik akan efektif mengeradikasi Streptokokus dari saluran pernafasan atas dan mencegah demam rematik, apabila
diberikan dalam 9 hari sejak munculnya gejala faringitis (WHO, 2004).
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya demam rematik berulang dan penyakit jantung rematik. Pencegahan sekunder ini wajib dilakukan pada pasien yang pernah mengalami demam rematik baik dengan atau tanpa adanya gangguan pada katup jantung (WHO, 2004).
Tabel 2.5. Jadwal yang Dianjurkan untuk Pengobatan dan Pencegahan Infeksi Streptokokus
Pengobatan Faringitis Pencegahan Infeksi
(Pencegahan Primer) (Pencegahan Sekunder)
1. Penisilin benzatin G IM 1. Penisilin benzatin G IM
a. 600 000-900 000 Unit a. 600 000 Unit untuk pasien
untuk pasien <30kg < 30 kg setiap 3-4 minggu
b. 1 200 000 Unit IM b. 1 200 000 Unit untuk pasien
untuk pasien >30kg > 30 kg setiap 3-4 minggu
2. Penisilin V oral: 2. Penisilin V oral:
250 mg, 3 atau 4 kali sehari 250mg, dua kali sehari
selama 10 hari
3. Eritromisin: 3. Eritromisin:
40mg/kgbb/hari dibagi dalam 250mg: dua kali sehari 2-4 kali dosis sehari (dosis maksimum
1g/hari) selama 10 hari
4. Sulfadiazin:
a. 0,5 g untuk pasien < 30kg
sekali sehari
b. 1 gr untuk pasien >30kg
sekali sehari
(31)
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor, yakni: waktu serangan, jumlah serangan demam rematik sebelumnya, usia pertama kali terkena demam rematik, ada atau tidaknya PJR, ada atau tidaknya riwayat keluarga yang menderita PJR, tingkat sosioekonomi dan keadaan lingkungan lainnya (WHO, 2004). Makin muda saat terkena demam rematik, makin besar kemungkinan kumat, namun setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi pada 5 tahun pertama. Pasien dengan karditis lebih mudah kumat daripada pasien tanpa karditis (Wahab, 1994).
Tabel 2.6. Durasi Pencegahan Sekunder yang Disarankan
Kategori pasien Durasi Pencegahan
Pasien tanpa adanya bukti karditis Selama 5 tahun sesudah serangan
terakhir atau sekurangnya sampai berusia 18 tahun (mana yang lebih lama)
Pasien dengan karditis Selama 10 tahun sesudah serangan
(insufisiensi mitral ringan atau terakhir atau sekurangnya
karditis yang telah sembuh) sampai berusia 25 tahun (mana yang
lebih lama)
Penyakit jantung katup berat lainnya Seumur hidup
Setelah operasi katup Seumur hidup
Sumber : WHO, 2004
2.2. Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) merupakankerusakan katup jantung yang
disebabkan oleh respon imun abnormal terhadap infeksi Streptokokus yang terjadi saat demam rematik sebelumnya (Marijon et.al., 2012). PJR lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami keterlibatan jantung berat pada serangan demam rematik akut. Walaupun karditis dan deman rematik dapat mengenai perkardium, miokardium dan endokardium, namun kelainan yang menetap hanya ditemukan pada endokardium, terutama katup jantung. Katup yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta yang kelainannya dapat berupa insufisiensi tetapi bila penyakit telah berlangsung lama dapat berupa stenosis (Madiyono et.al., 2005).
(32)
2.3. Elektrokardiogram
Rekaman aktivitas jantung berperan sangat penting dalam kardiologi. Pencatatan aktivitas jantung atas dasar perbedaan potensial listrik ini disebut elektrokardiografi (EKG). Impuls listrik jantung memacu kontraksi berjalan melalui sistem konduksi khusus yang menimbulkan arus listrik lemah yang menyebar ke seluruh tubuh. Dengan elektroda yang diletakkan pada beberapa tempat dipermukaan tubuh dan dengan menghubungkan elektroda tersebut dengan alat elektrokardiografi, maka arus listrik tersebut dapat terekam pada kertas elektrokardiogram.
Adapun kegunaan dari EKG adalah sebagai berikut :
1. Dapat menentukan adanya hipertrofi atau pembesaran ruang jantung 2. Dapat menentukan adanya gangguan miokardium
3. Membantu diagnosis spesifik distritmia
4. Membantu diagnosis perikarditis atau efusi pericardium 5. Mengetahui efek berbagai obat terhadap sistem kardiovaskular
6. Dapat menentukan adanya gangguan metabolik atau elektrolit (Wahab, 1994)
2.3.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Konduksi Jantung
Sistem konduksi jantung terdiri dari sel-sel khusus yang berfungsi meneruskan impuls listrik. Sel-sel ini tidak berperan dalam mekanisme kontraksi, melainkan berperan dalam pengaturan koordinasi aktivitas jantung. Sistem konduksi itu berturut-turut adalah:
1. Nodus Sinoatrial (nodus SA), disebut juga sebagai pacu jantung (pacemaker)
merupakan sekumpulan sel yang terletak di sudut kanan atrium kanan dengan ukuran panjang 10-20 mm dan lebar 2-3 mm. Nodus SA mengatur ritme jantung (60-100 x/menit) dengan mempertahankan kecepatan depolarisasi dan mengawali siklus jantung dengan sistolik atrium yang dipengaruhi oleh saraf simpatik dan parasimpatik (Dharma, 2009; Putra et.al., 1994).
2. Jaras internodal atrium (internodal atrial pathway) akan meneruskan impuls ke
nodus atrioventrikular melalui 3 jaras, yakni: (1) Jaras intermodal anterior yang meneruskan impuls kebagian atrium kiri dan melintasi bagian anterior septum
(33)
atrium. (2) Jaras internodal media yang meninggalkan bagian posterior nodus SA kemudian ke bagian superior nodus AV, dan (3) Jaras internodal posterior yang meninggalkan posterior nodus SA menuju bagaian posterior nodus AV. Ketiga jaras ini akan saling berhubungan dan menghantarkan impus dari nodus SA ke nodus AV (Putra et.al., 1994).
3. Nodus Atrioventrikular (nodus AV), pada orang dewasa berukuran 2 x 5 mm dan terletak pada permukaan endokardium pada bagian kanan septum interatrium. Nodus AV menghasilkan impuls 40-60 x/menit dan kecepatan konduksi 0,05 meter/detik. Impuls dari atrium ini mengalami perlambatan selama 0,07 detik di nodus AV (Dharma, 2009).
4. Bundel His bercabang menjadi cabang kiri dan kanan. Cabang bundel kanan (right bundle branch) menuju septum ventrikel sampai ke dasar muskulus
papilaris anterior. Cabang bundel kiri (left bundle branch) menembus septum
ventrikel dan terbagi menjadi fasikulus anterior yang berperan dalam kontraksi ventrikel kiri bagian anterior dan superior dan fasikulus posteror yang berperan dalam kontraksi bagian posterior dan inferior ventrikel kiri (Putra et.al., 1994).
5. Sistem Purkinje. Cabang bundel His akan berakhir pada sistem purkinje di
lapisan subendokardium kedua ventrikel. Serabut purkinje tersebar mulai dari
septum interventrikel sampai ke muskulus papilaris dan mengasilkan impuls 20-40 x/menit dengan kecepatan konduksi 4 meter/detik (Dharma, 2009).
Gambar 2.1. Sistem Konduksi jantung
(34)
2.3.2. Konfigurasi Elektrokardiogram
Gambar 2.2. Konfigurasi Elektrokardiogram dengan Gelombang, Segmen dan Interval
Sumber : www.merckmanuals.com
Gelombang P : gelombang pertama kali terlihat. Terjadi defleksi positif
akibat depolarsasi atrium.
Interval P-R : waktu antara permulaan gelombang P dengan awal kompleks
QRS. Menunjukkan waktu terjadinya penjalaran gelombang depolarisasi dari atrium ke ventrikel.
Segmen P-R : dibentuk dari akhir gelombang P sampai dengan awal
kompleks QRS dan merupakan penentu garis isoelektris
Gelombang Q : defleksi negatif pertama yang terlihat. Gelombang Q tidak
selalu nampak, bergantung letak pencatatan dan sifat otot ventrikel
Gelombang R : defleksi positif pertama pada depolarisasi ventrikel
Gelombang S : defleksi negatif pertama setelah defleksi positif (R) pada
depolarisasi ventrikel
Kompleks QRS : menunjukkan depolarisasi ventrikel (dan kontraksi)
Gelombang T : defleksi akibat repolarisasi ventrikel
Gelombang U : defleksi setelah gelombang T sebelum gelombang P;
menunjukkan repolarisasi serabut purkinje
Interval QRS : waktu depolarisasi ventrikel, diukur dari awal gelombang Q
(35)
Interval Q-T : waktu depolarisasi dan repolarisasi ventrikel; diukur dari awal gelombang Q sampai akhir gelombang T
Segmen S-T : jarak antara akhir dari gelombang S dan awal dari
gelombang T; menunjukkan waktu anatara depolarisasi ventrikel dan awal dari repolarisasi ventrikel (Putra et.al., 1994; Jones, 2005)
2.3.3. Gambaran Elektrokardiogram Normal
Berdasarkan Dharma (2009) dan Pomedli et.al. (2011), interpretasi elektrokardiogram dilakukan dengan menentukan :
A. Ritme atau irama jantung
Karakteristik ritme sinus :
- Laju : 60-100x/ menit
- Ritme interval : P-P regular, interval R-R regular.
- Gelombang P : Positif (upright) di sadapan I, II, III dan selalu diikuti
kompleks QRS
- PR interval : 0,12-0,20 detik (3-5 kotak kecil) dan konstan
Gambar 2.3. Gambaran Normal Sinus Ritme
Sumber: www.nottingham.ac.uk
B. Frekuensi jantung (laju QRS)
Terdapat 3 metode untuk menghitung frekuensi jantung, yaitu: 1. 1500 / jumlah kotak kecil antara R-R
(36)
Gambar 2.4. Cara Menghitung Frekuensi Jantung dengan Metode 300 dibagi dengan Jumlah Kotak Besar dari R-R
Sumber: www.nottingham.ac.uk
3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10, atau dalam 12 detik dikalikan dengan 5
Frekuensi jantung normal : 60-100 x/menit (bradikardi < 60, takikardia >100)
C. Interval
1. P-R interval = 0,12-0,20 detik (3-5 kotak kecil)
2. QRS interval ≤ 0,10 detik (≤ 2.5 kotak kecil)
3. Q-T interval ≤ setengah dari interval R-R, jika frekuensi jantung normal
D. Morfologi gelombang P
Lihat gelombang P pada sadapan II dan V1 untuk melihat kelainan pada
atrium kiri dan kanan.
E. Kompleks QRS
1. Menentukan aksis jantung
Sumbu jantung (aksis) ditentukan dengan menghitung jumlah resultan defleksi positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu
X dan sadapan aVF sebagai sumbu Y. Aksis normal berkisar antara -30o sampai
+110o. Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis
jantung adalah:
(37)
(aksis) berada pada posisi normal.
b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan II positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis
ke kiri (LAD= left axis deviation), berada pada sudut -30o sampai -90o.
c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis
ke kanan (RAD= right axis deviation) berada pada sudut +110o sampai
+180o.
d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis
kanan atas, berada pada sudut -90o sampai +180o.
2. Hitung durasi kompleks QRS
3. Evaluasi apakah ada tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri atau kanan serta cari apakah terdapat morfologi blok cabang berkas kanan maupun kiri (bundle branch blocks).
F. Analisis segmen S-T, Gelombang T, interval Q-T dan gelombang U
1. Analisis adanya elevasi segmen S-T :
a. elevasi segemn S-T pada infark miokard akut
b. Perikarditis
2. Analisis adanya segmen S-T depresi dan atau gelombang T inversi: a. Iskemia miokard
b. Biasanya bersamaan dengan hipertrofi ventrikel atau blok cabang berkas (bundle branch blocks).
c. Abnormalitas metabolik (hipokalemia atau hiperkalemia)
2.3.4. Gambaran Elektrokardiogram Abnormal 1. Penyakit Jantung Rematik Aktif
Pada PJR aktif, proses radang yang terjadi dapat melibatkan sistem konduksi, endokardium, miokardium, dan perikardium. Akibatnya, terjadi aritmia dan dilatasi jantung yang selanjutnya dapat menyebabkan regurgitasi mitral dan/ atau aorta (Wahab, 1993).
(38)
Kelainan konduksi yang sering terjadi adalah blokade konduksi AV. Pemanjangan Interval P-R menunjukkan adanya blokade AV derajat I dan merupakan kriteria minor pada kriteria diagnostik Jones. Adanya keterlibatan miokardium ditunjukkan dengan gelombang T yang rendah dan depresi S-T (Wahab, 1993).
Hipertrofi ventrikel dan atrium dapat terjadi karena peradangan dan regurgitasi mitral dan/atau regurgitasi aorta. Pada pembesaran atrium kiri dapat dijumpai : (1) durasi gelombang P > 0,11 detik, (2) gelombang P berlekuk disadapan I, II, aVL yang disebut P mitral, dan (3) Gelombang P bifasik di
sadapan V1 dengan bagian inversi yang dominan. Sedangkan adanya gelombang R
yang tinggi di sadapan V6 menandakan adanya hipertrofi ventrikel kiri (Dharma,
2009).
2. Penyakit Jantung Rematik Kronik
Pada penyakit jantung rematik kronik masalah utama yang muncul adalah regurgitasi valvula. Bila regurgitasi mitral besar, maka akan terjadi penambahan beban volume, baik pada atrium kiri maupun pada ventrikel kiri dan terjadi hipertensi vena pulmonalis (Wahab, 1993).
Penambahan beban (hipertrofi) ventrikel kiri diwujudkan sebagai kompleks
QRS seperti gelombang S yang dalam sadapan V1 dan gelombang R yang tinggi
di sadapan V6. Bila terjadi regurgitasi dan/atau stenosis mitral berat akan terjadi
gambaran hipertropi atrium kiri. Hipertropi atrium kiri yang berat dapat menyebabkan fibrilasi atrium (Wahab, 1993).
(39)
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Anak dengan penyakit jantung rematik adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (UU RI No. 23 Tahun 2002) dan mengalami kerusakan katup jantung yang diakibatkan oleh respon imun abnormal terhadap infeksi Streptokokus yang terjadi saat demam rematik sebelumnya (Marijon, E. et.al., 2012).
Elektrokardiogram adalah alat yang merekam aktivitas listrik sel di atrium dan ventrikel serta membentuk gelombang dan kompleks yang spesifik. Aliran listrik itu didapat dengan menggunakan elektroda di kulit yang di hubungkan dengan kabel ke mesin EKG (Dharma, 2009).
3.3. Cara Ukur
Cara ukur penelitian ini adalah dengan menganalisis data sekunder dari rekam medis pasien anak dengan penyakit jantung rematik di RSUP Haji Adam
Malik Medan.
Anak dengan Penyakit
(40)
3.4. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas elektrokardiogram (EKG) yang diperoleh dari rekam medis pasien anak dengan
penyakit jantung rematik di RSUP Haji Adam Malik Medan.
3.5. Hasil Ukur
Hasil pengukuran yang diperoleh adalah gambaran EKG pada pasien anak dengan penyakit jantung rematik, gambaran kadar laju endap darah (LED), protein C reaktif, jumlah leukosit, gambaran kadar ASTO dan gambaran manifestasi mayor dan manifestasi minor pada anak dengan PJR.
3.6. Skala Ukur
(41)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melihat gambaran elektokardiogram (EKG) pada anak penyakit jantung rematik. Desain penelitian
yang digunakan adalah penelitian cross-sectional dengan pendekatan retrospektif
dengan melakukan pengukuran elektrokardiogram (EKG) hanya satu kali dalam satu waktu yang datanya diambil dari masa yang telah lampau.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian direncankan akan dilakukan pada bulan Juli – Oktober
2013. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Tempat penelitian ini dipilih karena RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan pusat pelayanan kesehatan pemerintah yang menjadi tempat rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan, khususnya di wilayah Sumatera Utara.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Polulasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh anak dengan penyakit jantung rematik berusia kurang dari 18 tahun yang menjalani perekaman elektrokardiogram (EKG) di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 – Oktober 2013.
4.3.2. Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling
dimana keseluruhan populasi adalah sampel.
Adaupun kriteria inklusi dan eksklusi dari penelitian ini: a. Kriteria inklusi
Seluruh rekaman EKG dari pasien penyakit jantung rematik yang berusia kurang dari 18 tahun di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011- Oktober 2013.
(42)
b. Kriteria eksklusi
a. Pasien anak dengan PJR yang juga mengalami penyakit jantung bawaan. b. Pasien anak dengan PJR yang tidak memiliki rekaman EKG lengkap.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan membaca rekaman EKG yang diperoleh dari rekam medis pasien penyakit jantung rematik yang berusia kurang dari 18 tahun dari Januari 2011 hingga Oktober 2013 di RSUP Haji Adam Malik Medan.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan akan diolah menggunakan sistem komputerisasi. Analisis data dilakukan secara dekriptif dengan menggunakan program komputer statistik yang sesuai.
(43)
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Proses pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan pencatatan data pada rekam medis dan pembacaan EKG pada kertas EKG anak berusia kurang dari 18 tahun dengan penyakit jantung rematik pada periode Januari 2011- Oktober 2013. Hasil rekam medis yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga didapat hasil penelitian seperti dipaparkan di bawah ini.
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP Haji Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dengan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI pada 6 September 1991 No.502/Menkes/SK/IX/199, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki bagian Instalasi Rekam Medik yang menyimpan data pasien penyakit jantung rematik. Bagian tersebut merupakan lokasi pengambilan data pada penelitian ini.
(44)
5.1.2. Deskripsi Karakteristik
Dalam penelitian ini, karakteristik individu yang dipilih untuk menjadi sampel adalah anak dengan PJR yang berusia kurang dari 18 tahun periode Januari 2011 hingga Oktober 2013 di RSUP Haji Adam Malik Medan. Jumlah keseluruhan pasien PJR berusia kurang dari 18 tahun yang mengalami perekaman EKG pada periode Januari 2011 - Oktober 2013 sebanyak 35 sampel, dengan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Usia
Kelompok usia
Jenis kelamin
Total Laki-laki Perempuan
n % n % n %
5-7 tahun 1 2.9% 1 2.9% 2 5.7%
8-11 tahun 5 14.3% 6 17.1% 11 31.4%
12-15 tahun 10 28.6 11 31.4 21 60.0%
16-18 tahun 1 2.9% - - 1 2.9%
Total 17 48.6% 18 51.4% 35 100%
Berdasarkan Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa jumlah sampel berdasarkan jenis kelamin laki-laki didapati 17 anak (48.6%) dan jumlah sampel perempuan sebanyak 18 anak (51.4%). Jumlah sampel berdasarkan kelompok usia yang terbanyak adalah kelompok usia 12-15 tahun yaitu 21 anak (60.0%), berikutnya kelompok usia 8-11 tahun sebanyak 11 anak (31.4%), berikutnya kelompok usia 5-7 tahun sebanyak 2 anak (5.7%) dan kelompok usia 16-18 tahun yaitu 1 anak (2.9%).
(45)
5.1.3. Hasil Analisa Data
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Frekuensi Jantung
Berdasarkan Tabel 5.2. dapat dilihat bahwa dari 35 sampel didapati 4 anak (11.4%) yang mengalami takikardia, sedangkan 31 anak (88.6%) mempunyai frekuensi jantung normal dan tidak ditemukan adanya bradikardia.
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Interval PR
Interval PR Frekuensi Persentase (%)
Memendek - -
Normal 22 62.9
Memanjang 13 37.1
Total 35 100.0
Berdasarkan Tabel 5.3., dari 35 sampel didapati pemanjangan interval PR pada 13 anak (37.1%) sedangkan 22 anak (62.9%) mempunyai interval PR yang normal dan tidak ditemukan adanya interval PR yang memendek.
Frekuensi Jantung Frekuensi Persentase (%)
Normal 31 88.6
Takikardia 4 11.4
Bradikardia - -
(46)
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Interval QRS
Interval QRS Frekuensi Persentase (%)
Memendek - -
Normal 33 94.3
Memanjang 2 5.7
Total 35 100.0
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa dari 35 sampel penelitian terdapat 2 anak (5.7%) yang mengalami pemanjangan interval QRS, sedangkan 33 anak (94.3%) mempunyai interval QRS yang normal dan tidak ditemukan adanya interval ORS yang memendek.
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Interval QT
Interval QRS Frekuensi Persentase (%)
Memendek - -
Normal 33 94.3
Memanjang 2 5.7
Total 35 100.0
Pada Tabel 5.5. dapat dilihat bahwa dari 35 sampel penelitian terdapat 2 anak (5.7%) yang mengalami pemanjangan interval QT, 33 anak (94.3%) dengan interval QT normal dan tidak ditemukan adanya interval QT yang memendek.
(47)
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Gelombang P
Gelombang P Frekuensi Persentase (%)
Normal 21 60.0
P mitral 12 34.3
P pulmonal 2 5.7
Total 35 100.0
Gelombang P pada EKG menggambarkan depolarisasi dari atrium kanan yang diikuti depolarisasi dari atrium kiri. Pada pembesaran dari atrium kiri akan
dijumpai adanya gelombang P yang berlekuk (notched) di sadapan I, II, aVL yang
disebut P mitral. Sedangkan pada pembesaran atrium kanan ditandai dengan adanya P pulmonal, yakni gelombang P yang tinggi ( >2,5mm) di sadapan II, III dan aVF.
Berdasarkan Tabel 5.6. dapat dilihat bahwa dari 35 sampel penelitian
terdapat 11 anak (31.4%) yang mengalami pelebaran atrium kiri, 2 anak (5.7%) mengalami pelebaran atrium kanan dan 1 anak (2.9%) mengalami pelebaran pada atrium kiri dan kanan.
Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Aksis Jantung
Aksis Jantung Frekuensi Persentase (%)
Normal 27 77.1
Deviasi aksis ke kanan 8 22.9
Deviasi aksis ke kiri - -
Total 35 100.0
Tabel 5.7. menunjukkan 8 anak (22.9%) mengalami deviasi aksis jantung ke kanan, 27 anak (77.1%) mempunyai aksis jantung normal dan tidak dijumpai deviasi aksis jantung ke kiri.
(48)
Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Segmen ST
Segmen ST Frekuensi Persentase (%)
Normal 30 85.7
Depresi 3 8.6
Elevasi 2 5.7
Total 35 100.0
Berdasarkan Tabel 5.8. didapati 3 anak (8.6%) yang mengalami depresi segmen ST dan 2 anak (5.7%) mengalami elevasi dari segmen ST.
Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Gelombang T
Gelombang T Frekuensi Persentase (%)
Normal 26 74.3
Inverse 7 20.0
Upright 2 5.7
Total 35 100.0
Berdasarkan Tabel 5.9. terdapat 7 anak (20.0%) yang mengalami inverse pada gelombang T dan 2 anak (5.7%) mengalami gelombang T yang tegak
(upright).
Tabel 5.10. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Kadar Laju Endap Darah
Berdasarkan Tabel 5.10. didapati 21 anak (60.0%) yang mengalami peningkatan laju endap darah. Sedangkan 14 anak lainnya (40.0%) normal.
LED Frekuensi Persentase (%)
Normal 14 40.0
Peningkatan 21 60.0
(49)
Tabel 5.11. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Nilai Protein C Reaktif
Berdasarkan Tabel 5.11. didapati 26 anak (74.3%) yang mempunyai nilai Protein C Reaktif positif, sedangkan 9 anak lainnya (25.7%) negatif.
Tabel 5.12. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Jumlah Leukosit
Pada Tabel 5.12. didapati dari 35 sampel penelitian terdapat 9 anak (25.7%) yang mengalami leukositosis sedangkan 26 anak lainnya (74.3%) mempunyai jumlah leukosit dalam batas normal.
Tabel 5.13. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Titer ASTO
Berdasarkan Tabel 5.13. didapati 19 anak (54.3%) yang mempunyai titer ASTO positif sedangkan 16 anak lainnya (45.7%) negatif.
Nilai CRP Frekuensi Persentase (%)
Positif 26 74.3
Negatif 9 25.7
Total 35 100.0
Leukosit Frekuensi Persentase (%)
Normal 26 74.3
Leukositosis 9 25.7
Leukopenia - -
Total 35 100.0
Titer ASTO Frekuensi Persentase (%)
Positif 19 54.3
Negatif 16 45.7
(50)
Tabel 5.14. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Manifestasi Mayor
Berdasarkan Tabel 5.14. didapati dari 25 sampel penelitian yang mempunyai manifestasi klinis berupa manifestasi mayor (sesuai kriteria Jones) terbanyak adalah arthritis, yaitu 20 anak (80.0%), kemudian karditis sebanyak 5 anak (20.0%).
Tabel 5.15. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Manifestasi Minor
Manifestasi Minor Frekuensi Persentase (%)
Klinis Arthralgia 12 11.7
Demam 22 21.4
Lab. Peningkatan LED 21 20.4
Protein C Reaktif (+) 26 25.2
Leukositosis 9 8.7
EKG Pemanjangan Interval PR 13 12.6
Total 103 100
Berdasarkan Tabel 5.15., manifestasi minor (sesuai kriteria Jones) yang paling sering muncul pada penelitian ini adalah Protein C Reaktif yang (+) sebanyak 26 anak (25.2%), kemudian demam sebanyak 22 anak (21.4%), selanjutnya peningkatan laju endap darah, yaitu 21 anak (20.4%), selanjutnya
Manifestasi Mayor Frekuensi Persentase (%)
Karditis 5 20.0
Arthritis 20 80.0
Eritema Marginatum - -
Korea Sydenham - -
Nodulus Subkutan - -
(51)
pemanjangan interval PR pada EKG, yaitu sebanyak 13 anak (12.6%), selanjutnya arthralgia sebanyak 12 anak (11.7%) dan leukositosis sebanyak 9 anak (8.7%).
Tabel 5.16. Distribusi Frekuensi Gambaran Elektrokardiogram Sampel Penelitian dengan Karditis
Abnormalitas pada EKG Frekuensi Persentase (%)
Takikardia 1 20.0
Pemanjangan interval PR 3 60.0
Pemanjangan interval QRS 1 20.0
Pemanjangan interval QT - -
P mitral P pulmonal
4 -
80.0 -
Deviasi aksis jantung 2 40.0
Elevasi segmen ST 1 20.0
Gelombang T Inverse 2 40.0
Upright 1 20.0
Total 15 300%
Berdasarkan Tabel 5.16. ditemukan bahwa dari 5 sampel penelitian dengan karditis dijumpai 1 anak (20.0%) mengalami takikardia, 3 anak (60.0%) mengalami pemanjangan interval PR dan 1 anak (20.0%) mengalami pemanjangan interval QRS. Ditemukan P mitral pada 4 anak (80.0%), deviasi aksis jantung pada 2 anak (40.0%), elevasi segmen ST pada 1 anak (20.0%),
gelombang T yang inverse ditemukan pada 2 anak (40.0%) dan upright pada 1
anak (20.0%). Sedangkan tidak dijumpai adanya pemanjangan interval QT dan gelombang P pulmonal.
(52)
5.2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran elektrokardiogram pada anak dengan penyakit jantung rematik di RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada data rekam medik anak berusia kurang dari 18 tahun dengan penyakit jantung rematik, diperoleh data sebanyak 35 sampel dari Januari 2011 sampai Oktober 2013 yang memenuhi kriteria inklusi. Data tersebut dijadikan panduan dalam malakukan pembahasan dan sebagai hasil akhir.
5.2.1. Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Usia
Pada penggolongan sampel berdasarkan jenis kelamin, didapatkan jumlah penderita perempuan lebih banyak dari penderita laki-laki, yaitu penderita perempuan sebanyak 18 anak (51,4%) dan laki-laki sebanyak 17 anak (48,6% ) dimana tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Hasil yang didapakan pada penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Karen Sliwa et.al. (2010) yang menunjukkan
terjadinya penyakit jantung rematik pada 57% perempuan dan 43% laki-laki.
Namun dari kepustakaan lain juga menyebutkan penyakit jantung rematik terjadi pada 8.120 (53.8%) laki-laki dan 6.960 (46.2%) perempuan yang menunjukkan bahwa terdapat distribusi yang sama antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan (p>0.05) (Jarnail S Thakur et.al., 1996). Hal yang sama juga disampaikan pada penelitian Das De Sudeep et.al. (2013) bahwa dari 6 studi yang telah dilakukan menunjukkan tidak didapatinya perbedaan signifikan dari jenis kelamin terhadap terjadinya penyakit jantung rematik.
Pada penggolongan sampel berdasarkan kelompok usia, kelompok usia 12-15 tahun mempunyai jumlah terbanyak yaitu 21 anak (60%), selanjutnya kelompok usia 8-11 tahun sebanyak 11 anak (31,4%), kemudian kelompok usia 5-7 tahun sebanyak 2 anak (5.7%) dan kelompok usia 16-18 tahun sebanyak 1 anak (2.9%). Hasil penelitian Das De Sudeep et.al.(2013) menunjukkan populasi anak terbanyak terjadinya demam rematik akut adalah usia 5-18 tahun. Demikian
(53)
juga hasil yang didapatkan pada penelitian Shrestha P N et.al. (2012) yang menunjukkan kelompok usia terbanyak adalah usia 11-12 tahun sebanyak 44.64% kemudian kelompok usia 9-10 sebanyak 23.21% dan kelompok usia 13-14 tahun sebanyak 21.43%.
5.2.2. Gambaran Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Frekuensi Jantung
Berdasarkan data yang telah disajikan, terdapat 4 anak (11.4%) yang mengalami takikardia sedangkan 31 anak lainnya (88.6%) mempunyai frekuensi jantung normal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Alvin L Sellers et al. (2000) yang mendapatkan 50% (10 orang) sampel mengalami takikardia.
5.2.3. Gambaran Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Interval PR, QRS dan QT.
Pada penggolongan sampel berdasarkan interval PR didapatkan pemanjangan interval PR pada 13 anak (37.1 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang ditemui pada penelitian D Milliard-Bullock (2012) yang mendapatkan pemanjangan interval PR pada 10% sampelnya (52 orang). Hasil penelititian Alvin L Sellers et al. (2000) juga menunjukkan dari 20 sampel penelitiannya ditemukan 8 sampel (40%) yang mengalami pemanjangan interval PR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Julius Kahn et al. (1948) dikatakan bahwa walaupun pemanjangan interval PR adalah perubahan EKG yang paling sering ditemui pada pasien PJR, namun pemanjangan interval PR ini tidak selalu muncul pada fase akut dari demam rematik. Penelitian Michael D Seckeler et al. (2011) juga mengatakan bahwa pemanjangan interval PR tidak menunjukkan bahwa pasien akan berkembang menjadi penyakit jantung rematik.
Pada pengelompokan data berdasarkan interval QRS didapatkan 2 anak (5.7%) yang mengalami pemanjangan interval QRS. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakaukan oleh Julius Kahn et al.(1948) mengatakan bahwa seperti pada perubahan interval PR, perubahan interval QRS bervariasi bergantung derajat akut
(54)
penyakit tersebut. Pada penelitian Filberbaum dalam Julius Kahn et al.(1948) didapatkan 7% perubahan interval QRS.
Pada pengelompokan data berdasarkan interval QT terdapat 2 anak (5.7%) yang mengalami pemanjangan interval QT. Hasil yang sama juga didapatkan L.Kornel et al. (1954) yaitu 7% (2 orang) dari 30 pasien dengan PJR mengalami pemanjangan interval QT.
5.2.4. Gambaran Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Gelombang P, Segmen ST dan Gelombang T
Pada pengelompokan data berdasarkan gelombang P terdapat 11 anak
(31.4 %) yang mengalami pelebaran atrium kiri, 2 anak (5.7%) mengalami pelebaran atrium kanan dan 1 anak (2.9%) mengalami pelebaran pada atrium kiri dan kanan. Pada penelitian Raul Chirife (1975) mengatakan bahwa pelebaran dari gelombang P di sadapan II berkorelasi dengan volume atrium. Dan pemanjangan durasi gelombang P disebabkan oleh pemanjangan waktu konduksi impuls intra-atrial.
Pada pengelompokan data berdasarkan segmen ST terdapat 3 anak (8.6%) yang mengalami depresi dan 2 anak (5.7%) yang mengalami elevasi segmen ST. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Julius Kahn et al. (1948) yang menemukan elevasi dan depresi segmen ST sebanyak 1.23 % (118 sampel). Dan dikatakan bahwa perubahan segmen ST saat dilakukan pemeriksaan serial dan perubahan segmen ST yang diikuti oleh perubahan segmen lain dari EKG (terutama gelombang T) terutama menggambarkan abnormalitas yang bermakna.
Pada pengelompokkan data berdasarkan gelombang T ditemui 7 anak (20.0%) yang mengalami inversi dan 2 anak (5.7%) mengalami gelombang T
yang tegak (upright). Chetan Mehta et al.(2004) mengatakan bahwa interpretasi
gelombang T sangat bergantung pada usia. Pada usia 7 hari hingga 10 tahun akan didapati gelombang T yang inversi. Munculnya gelombang T yang tegak pada kelompok usia ini menunjukkan adanya hipertropi ventrikel kanan. Setelah usia 10 tahun, gelombang T akan kembali tegak, sehingga munculnya gelombang T yang inversi pada usia ini menunjukkan adanya hipertropi ventrikel kiri. Dari
(55)
penelitian Julius Kahn et al. (1948) juga didapati 2.08% (200 orang) yang mengalami perubahan gelombang T. Dan abnormalitas bermakna ditunjukkan apabila perubahan gelombang T diikuti oleh perubahan segmen ST.
5.2.5. Gambaran Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian berdasarkan Manifestasi Mayor Sesuai Kriteria Jones
Pada pengelompokan data berdasarkan manifestasi mayor sesuai kriteria Jones, manifestasi yang terbanyak adalah arthritis, yaitu 20 anak (80.0 %), kemudian karditis sebanyak 5 anak (20%) sedangkan tidak dijumpai manifestasi klinis eritema marginatum, korea Sydenham, dan nodulus subkutan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Alvin L Sellers et al.(2001) yang menemukan 85% sampel (17 orang) mengalami arthritis. Demikian juga hasil yang didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh D Millard-Bullock (2012) yang mendapatkan arthritis (63%), karditis (41%), eritema marginatum (1%) , korea Sydenham (3%) dan nodulus subkutan (0.5%).
Hasil yang berbeda didapatkan dari data WHO bagian Asia Tenggara (Michael D Seckeler, 2011), karditis terjadi pada 66.0%, arthritis 46.0%, eritema marginatum 0.8% , korea Sydenham 15.4% dan nodulus subkutan 4.4%.
5.2.6. Gambaran Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian berdasarkan Manifestasi Minor Sesuai Kriteria Jones
Pada pengelompokan data berdasarkan manifestasi mayor sesuai kriteria Jones, didapatkan manifestasi minor yang terbanyak adalah Protein C Reaktif yang (+) sebanyak 25.2 % (26 anak), demam 21.4% (22 anak), peningkatan laju endap darah sebanyak 20.4% (21 anak), pemanjangan interval PR pada EKG 12.6 % (13 anak), arthralgia sebanyak 11.7% (12 anak) dan leukositosis sebanyak 8.7% (9 anak).
Hasil yang didapatkan pada penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh D Millard Bullock (2012) yang mendapatkan manifestasi minor terbanyak adalah CRP (+) dan LED meningkat (83%), arthralgia (73%), demam (70%), dan pemanjangan interval PR (10%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zehra
(56)
Golbasi et al.(2002) yang mengatakan bahwa Protein C Reaktif tidak hanya merupakan indikator pada fase akut PJR, tetapi juga dapat menetap tinggi kadarnya pada fase kronik PJR sebagai tanda adanya inflamasi yang persisten pada katup jantung.
Pada pengelompokan data berdasarkan titer ASTO didapatkan 19 orang (54.3%) yang mempunyai titer ASTO positif. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Shrestha P N et.al.(2012) bahwa terdapat peningkatan titer ASTO sebesar 94%. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Michael D Seckeler et.al.(2011) yang menunjukkan pada data WHO bagian Asia Tenggara terdapat peningkatan ASTO sebesar 60.9%.
Penelitian Michael A. Gerber et al.(2009) menyebutkan bahwa titer ASTO (Antistreptolisin O) meningkat 1-2 minggu dengan puncak peningkatan 6-8 minggu sesudah infeksi streptokokus. Penelitian Claudia Saad et.al. (2001) juga menunjukkan bahwa titer ASTO dapat bertahan sampai 5 tahun setelah infeksi.
(57)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian ini maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemanjangan pada interval PR tidak selalu muncul pada fase akut dari demam rematik. Dan perubahan interval PR ini bervariasi bergantung pada derajat akut dari penyakit jantung rematik.
2. Perubahan EKG pada penyakit jantung rematik, terutama pada segmen ST akan menunjukkan abnormalitas yang bermakna apabila diikuti oleh perubahan segmen lain dari EKG (terutama gelombang T).
3. Manifestasi mayor berdasarkan kriteria Jones yang paling sering muncul adalah arthritis (80.0%) dan yang paling jarang muncul adalah eritema marginatum. 4. Manifestasi minor berdasarkan kriteria Jones yang paling sering muncul adalah
Protein C Reaktif yang positif (25.2%) dan yang paling jarang muncul adalah leukositosis (8.7%).
6.2. Saran
Dari hasil penelitian yang didapat, maka muncul beberapa saran dari peneliti, yaitu:
1. Bagi tempat penelitian agar lebih meningkatkan kelengkapan data pada rekam medik sehingga semakin banyak informasi yang dapat dipergunakan.
2. Untuk lebih meningkatkan variasi data, pencatatan rekam medik sebaiknya dilakukan selengkap mungkin sehingga semakin banyak data yang dapat dijadikan variabel penelitian.
3. Bagi peneliti dimasa yang akan datang agar dapat lebih mengembangkan penelitian ini sehingga bisa menjadi sumber pembelajaran yang lebih akurat dan menyeluruh.
(58)
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, R.E., Kliegman, R., and Arvin, A.M., 2000. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson, terj. A. Samik Wahab. Ed.15; Vol.2. Jakarta: EGC.
Brooks, G.F., Butel, J.S., and Morse, S.A., 2004. Streptokokus. In: Jawetz,
Melnick, & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 23. Jakarta: EGC, 233-250.
Carapetis, J.et.al., 2012. The Australian Guideline for Prevention, Diagnosis and
Management of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. 2nd ed. RHDAustralia, National Heart Foundation of Australia and the Cardiac Society of Australia and New Zealand.
Carapetis, J.R., 2010. Acute Rheumatic Fever. In: Loscalzo, J.et.al., ed.
Harrison’s Cardiovascular Medicine. Ed.17. United States: The McGraw-Hill, 290-296.
Children’s Hospital of Wisconsin, 2013. Rheumatic Fever. Milwaukee: Children’s
Hospital of Wisconsin. Available from: http://www.chw.org/display/PPF/DocID/23071/router.asp. [Accesed 28
April 2013]
Chin, K.T., 2012. Pediatric Rheumatic Heart Disease. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview [Accesed 28 April 2013]
Chirife, Raul., Feitosa, Gilson S. & Frankl, William S., 1975.
Electrocardiographic detection of left atrial enlargement: Correlation of P wave with left atrial dimension by echocardiography. British Heart Journal vol. 37 page 1281-1285. Available from:
(59)
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC482954/pdf/brheartj00262-0077.pdf [Accesed 04 Desember 2013]
Dharma, S., 2009. Sistematika Interpretasi EKG: Pedoman Praktis. Jakarta: EGC.
Essop, M.R & Omar, T., 2010. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever. In:
Crawford, M. H.et.al., ed. Cardiology. Ed. 3. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 1215-1223.
Fyler, D.C., 1996. Kardiologi Anak Nadas, terj. A. Samik Wahab. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Gerber, Michael.A., Baltimore, Robert S., Eaton, Charles B. et.al., 2009.
Prevention of Rheumatic Fever and Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis: A Scientific Statement From the American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young, the Interdisciplinary Council on Functional Genomics and Translational Biology, and the Interdisciplinary Council on Quality of Care and Outcomes Research. Circulation Journal of American Heart Association vol. 119 page 1541-1551. Available from: http://circ.ahajournals.org/content/119/11/1541 [Accesed 06 Desember 2013]
Ghazala Q. Sharieff, MD & Sri O. Rao, MD, 2006. The Pediatric ECG.
Emergency Medicine Clinics Of North America.vol 24. Page 195–208.
Elsevier Saunders. Available from: http://sciencedirect.com/science/journal/07338627 [Accesed 19 Agustus
(60)
Gölbasi, Z., Uçar, O., Keles, T., et.al., 2002. Increased levels of high sensitive C-reactive protein in patients with chronic rheumatic valve disease: evidence of ongoing inflammation. European Journal Of Heart Failure vol. 4 no.5, page 593-595. MEDLINE Complete, EBSCOhost [Accesed 19 Juni 2013]
Jones, S.A., 2005. ECG Notes : Interpretation and Management Guide.
Philadelphia: F. A. Davis Company.
Jones, S.A., 2008. ECG Success: exercise in ECG interpretation. Philadelphia:
F. A. Davis Company.
Lilly, L.S., 2011. Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of
Medical students and Faculty. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Kahn, J., Shapiro,E. & Lipkins, L Maurice., 1948. The Electrocardiogram in
Rheumatic Fever. California Medicine vol.69 no.6. Page 449-452.
Available from:
http://ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1643649/pdf/califmed00306-0043.pdf [Accesed 13 Juni 2013]
Kornel, L. & Braun, K., 1954. The Q-T interval in Rheumatic Heart Disease.
Available from: http://heart.bmj.com/content/18/1/8.full.pdf [Accesed 13 Juni 2013]
Madiyono, B., Rahayuningsih, S.R., dan Sukardi, R., 2005. Penyakit Jantung
Didapat: Demam Rematik Akut dan Penyakit Jantung Rematik. Dalam:
Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak. UKK Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 37-46.
(1)
RM26
14
thn
P 150 0,16s
0,08s
0,28s
N
N
N
Inverted
di V5,
V6
60 + 7.64 -
demam
RM27
13
thn
P 100 0,16s
0,12s
0,48s
P
mitral N
N
N
30 +
6.3
+
demam,
arthralgia
RM28
14
thn
L 139 0,20s
0,12s
0,36s
N
N
N
N
25 -
5.38
+
karditis
arthralgia
RM29 7
thn L 136 0,20s 0,08s 0,36s
P
mitral RAD
N
Inverted
di V1 V2
18 - 12.29 +
arthitis
demam
RM30
12
thn
L 100 0,20s
0,08s
0,36s
P
mitral N
N
N
50 +
16.1
-
arthitis
demam
RM31
10
thn
L 75 0,14s
0,08s
0,36s
P
pulmonal
RAD
Depresi
di lead
II, III,
aVF
N 18
+
18.99
- arthitis
demam
RM32
8,5
thn
L 100 0,10s
0,08s
0,48s
N
N
N
Inverted
di V1
13 - 9.58 -
arthralgia
RM33
13
thn
L 100 0,20s
0,08s
0,24s
P
mitral N
Depresi
di aVR,
V1, V2
Inverted
di V1,
V2
40 + 8.74 -
demam
RM34
14
thn
P 100 0,20s
0,08s
0,38s
P
mitral N
N
Inverted
di V1,
V2, V3
44 + 7.79 +
arthitis,
karditis
RM35
8,6
(2)
Lampiran 5: Output Data
Usiakel * Jeniskelamin Crosstabulation Jeniskelamin
Total laki-laki perempuan
Usiakel 5-7 Count 1 1 2
% of Total 2.9% 2.9% 5.7%
8-11 Count 5 6 11
% of Total 14.3% 17.1% 31.4%
12-15 Count 10 11 21
% of Total 28.6% 31.4% 60.0%
16-18 Count 1 0 1
% of Total 2.9% .0% 2.9%
Total Count 17 18 35
% of Total 48.6% 51.4% 100.0%
tahun
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 2011 11 31.4 31.4 31.4
2012 14 40.0 40.0 71.4
2013 10 28.6 28.6 100.0
Total 35 100.0 100.0
HRkelusia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 31 88.6 88.6 88.6
takikardia 4 11.4 11.4 100.0
(3)
PRkel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 22 62.9 62.9 62.9
increase interval 13 37.1 37.1 100.0
Total 35 100.0 100.0
QRSkel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 33 94.3 94.3 94.3
increase interval 2 5.7 5.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
QTkel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 33 94.3 94.3 94.3
increase interval 2 5.7 5.7 100.0
(4)
GelP
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 21 60.0 60.0 60.0
P mitral 12 34.3 34.3 99.8
P pulmonal 2 5.7 5.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
AxisJtg
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 27 77.1 77.1 77.1
RAD 8 22.9 22.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
SegmenST
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 30 85.7 85.7 85.7
depresi 3 8.6 8.6 94.3
elevasi 2 5.7 5.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
GelT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 26 74.3 74.3 74.3
inverse 7 20.0 20.0 94.3
upright 2 5.7 5.7 100.0
(5)
LEDkel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 14 40.0 40.0 40.0
increase 21 60.0 60.0 100.0
Total 35 100.0 100.0
CRP
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid positif 26 74.3 74.3 74.3
negatif 9 25.7 25.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
Leukositkel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid normal 26 74.3 74.3 74.3
leukositosis 9 25.7 25.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
TiterASTO
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid positif 19 54.3 54.3 54.3
negatif 16 45.7 45.7 100.0
(6)
Mayor
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid karditis 5 14.3 20.0 20.0
arthitis 20 57.1 80.0 100.0
Total 25 71.4 100.0
Missing System 10 28.6