2.3 Program Penanggulangan TB
2.3.1 Program Nasional Pengendalian TB Indonesia
Berdasarkan Kemenkes RI 2011, stratetegi nasional pengendalian TB di Indonesia, antara lain:
a. Visi “Menuju Masyarakat Bebas Masalah TB, Sehat, Mandiri, dan Berkeadilan”.
b. Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
madani dalam pengendalian TB. 2.
Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
c. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
d. Sasaran
Sasaran strategi nasional pengendalian TB mengacu pada rencana strategis kementrian kesehatan dari 2010 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan
prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Meningkatkan persentase kasus baru TB paru BTA positif yang ditemukan
dari 73 menjadi 90. 2.
Meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru BTA positif mencapai 88.
3. Meningkatkan persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85
dari 80 menjadi 88. e.
Target 1. Cakupan penderita TB BTA +
70 2. Angka kesalahan laboratorium
5 3. Angka kesembuhan
85
2.3.2 Strategi Penemuan Penderita TB
1. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif, artinya penjaringan suspek TB dilakukan dengan menunggu kehadiran pasien di Sarana
Pelayanan Kesehatan oleh petugas kesehatan sebagai hasil dari upaya penyuluhan secara aktif.
2. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah sampai saat ini belum dianggap sebagai upaya yang paling efektif.
3. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama kontak erat pasien TB BTA positif.
4. Apabila dijumpai pasien TB anak, harus dicari sumber penularannya Depkes RI, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Identifikasi Suspek TB
1. Gejala Klinis TB, suspek TB biasanya datang ke Sarana Pelayanan Kesehatan dengan berbagai keluhan dan gejala yang akan menunjukkan bahwa yang
bersangkutan termasuk suspek. - Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
- Gejala tambahan yang sering dijumpai: Gejala respiratorik batuk darah, sesak nafas, dahak bercampur darah, dan rasa nyeri dada. Gejala sistemik kurang
enak badan malaise, nafsu makan menurun, badan lemah, berat badan turun, demam meriang yang berulang lebih dari satu bulan, berkeringat pada malam
hari walaupun tanpa kegiatan. 2. Gejala-gejala tersebut juga dapat dijumpai pada pasien penyakit paru selain TB,
seperti bronchitis kronik, bronkiektasis, asma, kangker paru, dan lain-lain. 3. Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terkena, misalnya pada
limfadentis TB akan ditemukan pembesaran pada kelenjar getah bening. 4. Di negara endemis TB seperti Indonesia, setiap orang yang datang ke Sarana
Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung terlebih dahulu Depkes RI, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Pemeriksaan Dahak
Menurut Depkes RI 2009, diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga specimen „Sewaktu Pagi Sewaktu‟
SPS dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.
Pemeriksaan ulang dahak memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada: 1.
Akhir tahap intensif Dilakukan sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.
2. Sebulan sebelum akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan
ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. 3.
Akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Strategi DOTS Directly Observed Treatments Shortcourse
Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO. Strategi ini dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada
tahun 19951996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS 1969-1994 angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40 - 60. Dengan
strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85 dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan Permatasari, 2005.
Intervensi yang utama terdiri dari peningkatan pelayanan DOTS dengan menerapkan lima komponen strategi DOTS. Kelima komponen DOTS tersebut yaitu
komitmen politik, pemeriksaan mikroskopis, penyediaan Obat Anti Tuberkulosis OAT, adanya Pengawas Minum Obat PMO, serta pencatatan dan pelaporan.
Ekspansi pelayanan DOTS yang berkualitas ditujukan ke seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, rentan dan penderita TB anak. Upaya untuk
mendapatkan komitmen politis yang telah dimulai sebelumnya terus menerus ditingkatkan dengan berbagai kegiatan. Mulai dari memperkuat Gerakan Terpadu
Nasional Gerdunas TB pada setiap tingkatan, pembentukan tim DOTS, dan berbagai kegiatan advokasi kepada pemerintah daerah maupun lembaga swadaya
masyarakat lainnya. Peningkatan komitmen politis akan terus menjadi program intervensi utama untuk beberapa tahun ke depan Depkes RI, 2007.
Dalam menentukan penemuan dan pengobatan yang tepat dan bermutu di fasilitas pelayanan DOTS dibutuhkan kapasitas laboratorium. Oleh karenanya
diperlukan supervisi yang efektif di semua tingkatan untuk memantau kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
seluruh penyedia pelayanan terhadap pedoman pemeriksaan laboratorium dalam penanggulangan TB. Hal ini bertujuan untuk meningkatan kapasitas laboratorium
rujukan di tingkat pusat dan regional yang didukung oleh tujuh laboratorium regional dan laboratorium provinsi yang merupakan prioritas utama untuk peningkatan mutu
diagnostik Permatasari, 2005. Upaya perbaikan pengelolaan logistik baik OAT dan non OAT akan tetap
dilakukan pada tahun-tahun mendatang. Peralihan OAT dari komposisi terpisah menjadi Kombinasi Dosis Tetap KDT untuk dewasa merupakan upaya untuk
perbaikan pengobatan penderita. Produksi KDT dewasa dan anak yang belum tersedia merupakan prioritas ke depan penanggulangan TB. Berbagai pelatihan untuk
Pengawas Minum Obat PMO terus dilaksanakan. Berbagai media komunikasi, informasi dan edukasi untuk para PMO terus dikembangkan. Keterlibatan petugas
kesehatan dalam pengawasan minum obat terus diupayakan melalui keterlibatan para bidan desa dan petugas pustu. Upaya penurunan angka drop out di rumah sakit dan
BP4 dilakukan dengan penyediaan PMO bagi setiap penderita dengan memanfaatkan berbagai sektor yang berpotensi seperti LSM, dan lainnya Depkes RI, 2007.
Sistem surveilens dan monitoring evaluasi diperkuat melalui penunjukan petugas monitoring evaluasi provinsi, yang bertanggungjawab terhadap pencapaian
target indikator. Uji coba register TB dan modifikasi dari tanggal registrasi menjadi tanggal mulai pengobatan akan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Sistem
logistik di provinsi dan KabupatenKota, termasuk pengadaan bahan medis dan non
Universitas Sumatera Utara
medis juga akan lebih baik sesuai dengan tanggung jawab masing-masing pada setiap tingkat Depkes RI, 2007.
2.3.6 Jenis Obat Anti Tuberkulosis OAT
Menurut Depkes RI 2009, OAT yang digunakan dalam program penanggulangan TB saat ini adalah obat lini pertama, yang terdiri dari:
1. Isoniasid INH H
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 populasi kuman dalam beberapa hari pertama masa pengobatan. Obat ini sangat efektif untuk membunuh kuman yang
aktif berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mgkg BB, sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 10 mgkg
BB. 2.
Rifampisin R Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman persisten yang tidak dapat dibunuh
oleh ioniasid. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mgkg BB diberikan selama pengobatan harian maupun tahap lanjutan sebanyak 3 kali seminggu.
3. Etambutol E
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan adalah 15 mgkg BB, sedangkan pengobatan untuk tahap lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan
dosis 30 mgkg BB.
Universitas Sumatera Utara
4. Streptomisin S
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mgkg BB. Untuk penderita TB yang berumur sampai 60 tahun dosisnya adalah 0,75 ghari, sedangkan untuk
penderita TB berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 ghari. 5.
Pirazinamid Z Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan adalah 25 mgkg BB, sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 35 mgkg
BB. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket untuk satu
penderita dalam satu masa pengobatan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.
2.3.7 Efek Samping OAT
Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu,
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pemantauan dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-
tanda efek samping dan menyatakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT Zuliana, 2009.
Efek samping berat OAT adalah bingung, muntah-muntah, gatal dan kemerahan pada kulit, tuli, ikterus tanpa penyebab lain, gangguan keseimbangan,
Universitas Sumatera Utara
gangguan penglihatan, purpura dan syok. Sedangkan efek samping ringan OAT adalah mual, tidak nafsu makan, sakit perut, warna kemerahan pada air seni, nyeri
sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki Depkes RI, 2009. 2.3.8 Pengobatan TB Paru
Menurut Kemenkes RI 2010, pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap yaitu:
1. Tahap intensif
Pada tahap intensif awal, penderita mendapat obat tiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama ripamfisin.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam jangka waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.
2. Tahap lanjutan
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Pengobatan pada penderita TB dengan memadukan obat anti tuberkulosis
yang digunakan dalam Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menurut Depkes RI 2009 dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Kategori 1
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid H, Rifampisin R, Pirazinamid Z, dan Ethambutol E. Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan 2HRZE.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid H dan RifampisinR, diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan 4H3R3.
Obat ini diberikan untuk: a. Penderita baru TB Paru BTA Positif
b. Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang sakit berat c. Penderita TB Ekstra Paru berat
2. Kategori 2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan Isoniazid H, Rifampisin R, Pirazinamid Z, Ethambutol E dan suntikan streptomisin setiap
hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid H, Rifampisin R, Pirazinamid P, dan Ethambutol E setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan
setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita kambuh relaps
b. Penderita gagal failure c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai after default
3. Kategori 3
Universitas Sumatera Utara
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.
Obat ini diberikan untuk: a. Penderita baru BTA negatif
b. Rontgen positif sakit ringan. 4. OAT Sisipan
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan HRZE setiap
hari selama 1 bulan. Adapun tujuan dari pengobatan TB Paru menurut Depkes RI 2009, adalah
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT, mencegah kekambuhan, menyembuhkan penderita, mencegah kematian atau akibat buruk yang ditimbulkan,
memutuskan rantai penularan, dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi. Sedangkan prinsip dari pengobatan TB Paru adalah OAT harus diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori dalam pengobatan. Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap
KDT akan lebih menguntungkan dan dianjurkan. OAT ditelan sekaligus dan sebaiknya saat perut kosong. Hindari melakukan mono terapi pengobatan dengan
obat tunggal. Untuk menjamin kepatuhan penderita TB dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung DOT=Directly Observed
Treatment oleh seorang Pengawas Minum Obat PMO. Jangka waktu pengobatan
Universitas Sumatera Utara
relatif lama yaitu 6 - 8 bulan, dan diberikan secara terus menerus yang dibagi dalam 2
tahap. 2.3.9 Evaluasi Pengobatan
1. Evaluasi Klinis a. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. b. Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit. c. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologis 0 - 2 bulan pengobatan a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
b. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis: - Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan setelah fase intensif - Pada akhir pengobatan
c. Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. 3. Evaluasi radiologi 0 - 2 bulan pengobatan
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan
Universitas Sumatera Utara
c. Pada akhir pengobatan. 4. Evaluasi efek samping secara klinis
Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping
obat sesuai pedoman. 5. Evaluasi keteraturan berobat
a. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminumtidaknya obat tersebut.
b. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi Depkes RI, 2009.
2.4 Penyuluhan TB Paru
Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku
masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB paru Depkes RI, 2007.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam proses penyuluhan TB Paru yaitu dengan menyampaikan pesan penting secara langsung atau menggunakan media
kepada masyarakat maupun perorangan. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa bertujuan untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, serta
mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru. Penyuluhan langsung perorangan sangat penting dikarenakan hal ini sebagai penentu keberhasilan pengobatan
Universitas Sumatera Utara
penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Anggota keluarga
yang sehat diharapkan dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya sehingga terhindar dari penularan TB Paru Laban, 2012.
Penyuluhan langsung perorangan dapat dianggap berhasil jika: 1.
Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan
2.
Penderita dapat menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya
3. Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya Zuliana,
2009.
2.5
Konsep Determinan Kesehatan
Menurut Henrik L. Blum dalam Azwar, faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan berdasarkan besarnya pengaruh secara berurutan meliputi faktor
lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Keempat faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling
berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan optimal jika keempat faktor tersebut secara bersama-sama dalam kondisi optimal pula. Jika satu faktor terganggu,
maka status kesehatan akan bergeser ke arah di bawah optimal. Dengan kata lain, intervensi dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan harus ditujukan
kepada empat faktor tersebut Maulana, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Determinan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1.
Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat pemberian atau bawaan, misalnya: jenis kelamin, tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, dan sebagainya. 2.
Determinan atau faktor eksternal, yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya, dan sebaginya.
Berdasarkan teori Skinner, dapat dikatakan bahwa kesembuhan penderita TB Paru merupakan bentuk nyata yang dalam hal ini kegiatan tersebut dapat dipengaruhi
oleh faktor dalam diri si penderita faktor internal maupun dari luar si penderita faktor eksternal. Faktor internal yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pekerjaan dan pengetahuan, dan kepatuhan berobat sedangkan faktor eksternalnya yaitu dukungan keluarga, pengawasan PMO, sikap petugas, dan ketersediaan obat
anti tuberculosis OAT.
2.6 Pengawas Minum Obat PMO