pembiaran adalah Jenderal Yamashita, perdana Menteri Tokyo, menteri Luar Negeri Hirota pada pengadilan tokyo, Perdana Menteri Kambada dari Rwanda
dan yang sekarang masih berlangsung proses persidangannya Presiden Slobodan Milosevic, di Den Haag. Konsep demikian sudah diterima cukup lama dalam
hukum internasional, terakhir terkodifikasi dalam Statuta Roma. 3. Prinsip praduga tak bersalah
Berdasarkan Pasal 61 Statuta Roma, prinsip ini menempatkan adanya beban pada jaksa pnuntut umum untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-
alasan yang meyakinkan. Pasal 97 i Statuta Roma menyarankan bahwa bukti- bukti dan bantahan tidak dibebankan kepada terdakwa, meskipun banyak
pembelaan yang dinyatakan dalam Statuta, seperti perintah atasan dan paksaan, menempatkan beban-beban tersebut kepada terdakwa. Masalah beban dan standar
bukti dapat menjadi sangat penting dalam pengadilan yang menggunakan sistem juri, walaupun mereka mencoba untuk bersikap akademis dalam membuat
putusan-putusan pengadilan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pada praktiknya, pada saat tuntutan telah membuktikan tanpa keraguan adanya
keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, tugas yang berat dalam membuat kondisi tidak bersalah seperti adanya paksaan atau keadaan yang tidak
sadar atau kesalahan akan berpindah kepada terdakwa.
C. Kejahatan Terhadap kemanusiaan Crimes Againts humanity Dalam
Statuta Roma 1999
Kejahatan terhadap kemanusiaan Crimes Againts humanity merupakan kejahatan yang sangat serius sehingga menjadi musuh umat manusia hostis
Universitas Sumatera Utara
humanis generis. Dalam hukum internasional pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia sebagaimana terumus dalam kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
kejahatan menurut hukum kebiasaan internasional maupun prinsip-prinsip hukum umum. Praktik-praktik internasional menunjukkan bahwa kejahatan terhadap
kemanusiaan merupakan kejahatan jus cogens. Kejahatan demikian menimbulkan obligatio erga omnes kewajiban
masyarakat internasional secara keseluruhan untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan. Oleh karena itu, kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku
prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dimanapun dan dilakukan oleh warga negara lain.
Peningkatan penderitaan manusia terus-menerus yang ditimbulkan oleh perang atau sengketa bersenjata mengarah keperubahan tetap dalam kodifikasi
peraturan yang berkait dengan tindakan permusuhan dan perlindungan terhadap korban. Dalam perkembangan ide mengadili orang-orang yang terlibat dalam
kekejaman dan pelanggaran berat hak azasi manusia telah dimulai sejak lama dengan mendasarkan diri pada standar nilai serta norma kemanusiaan yang
bersumber dari nilai-nilai filsafat dan agama yang diyakini saat itu
31
Pada tahun 1474 misalnya, pengadilan internasional menjatuhkan hukuman mati kepada Peter von Hagenbach, pelaku kekejaman saat pendudukan
Breisach atas kasus dalam perang saudara utara-selatan di Amerika. Abraham Lincoln juga melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan pidana,
termasuk pidana mati terhadap para pelaku. Jadi sebenarnya hukum perang sama .
31
Marcella Elwina. S, Mengatur Kejahatan Perang, www.suaramerdeka.com,20 Desember. 2009.
Universitas Sumatera Utara
tuanya dengan perang itu sendiri. pada tahun 1864 diselenggarakan konferensi Jenewa tentang nasib para prajurit yang terluka dimedan perang. Konferensi lain
diadakan di St Pittersburg tahun1866 untuk melarang penggunaan proyektif yang meledak dengan berat kurang dari 400 gram.
Dua konferensi internasional itu menandai titik awal kodifikasi hukum perang pada zaman modern. Konferensi-konferensi itu disusul dua konferensi
perdamaian pada tahun 1899 dan 1907 di Den Haag, dengan tujuan utama mengatur cara dan alat perang. Dalam konvensi, misalnya ditegaskan betapa
penting perlindungan terhadap penduduk sipil, kehidupan manusia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta keyakinan agama. Baik penduduk
sipil maupun pihak yang berperang tetap harus mendapatkan perlindungan atas dasar azas hukum internasional yang berlaku sebagai kebiasaan masyarakat
beradab, hukum kemanusiaan, dan hati nurani. Namum konvensi itu lebih diarahkan ke kewajiban dan tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk mengatu
pertanggung jawaban pidana secara individual. Tragedi mengerikan di medan tempur Solferino mencuatkan gagasan pendirian palang merah. Sejak saat itu
hukum perang dikembangkan terus menerus untuk memperluas lingkup perlindungan terhadap para korban dan menyesuaikannya dengan kenyataan
sengketa baru
32
Pertemuan penting berikutnya yang menghasilkan instrumen internasional baru adalah Konvensi Jenewa Genewa Convention 1949 beserta empat protokol
tahun 1977 yang mencakup perlindungan terhadap korban perang. Dalam .
32
ICRC International Committee Of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal 129
Universitas Sumatera Utara
konvensi itu disyaratkan perlindungan terhadap orang yang terluka dan sakit, korban karam, tawanan perang, dan orang sipil. Diatur pula dalam protokol yang
sangat relevan bagi para komandan dan militer, peraturan tentang penggunaan dalam konvensi Den Haag. Juga penetakan batas-batas untuk menghindari
penderitaan dan kerusakan yang tidak perlu. Peraturan mengenai kejahatan perang telah pula dimasukkan dalam Rome Statute 1998 mengenai International Criminal
Court dengan dua dokumen terkait. Yakni, dokumen elements of crimes dan rule of procedures and evidence yang harus dianggap melekta dengan Rome Statute
1998. Selain itu azas-azas umum dan opini para juri dapat pula dianggap sebagai
sumber hukum. Walau, harus dirumuskan lebih dahulu dalam konvensi internasional dengan pertimbangan-pertimbangan empiris dan kebiasaan-
kebiasaan internasional. Selanjutnya pada tanggal 17 Juli 1998, dalam konferensi Diplomatik
Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB telah menghasilkan satu langkah penting dalam penegakan Hak Azasi Manusia HAM yaitu disetujuinya Statuta Roma.
Statuta Roma merupakan sebuah perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court untuk mengadili tindak kejahatan
kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum impunity. Dari 148 negara peserta konferensi; 120 negara mendukung, 7 negara menentang, dan 21 negara
abstain
33
33
Op.cit. http:www.sekitarkita.com.
.
Universitas Sumatera Utara
Ada empat jenis tindak pelanggaran serius yang menjadi pelanggaran,yaitu:
1. Genocide Genosida
2. Crimes Againts humanity Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
3. War Crimes Kejahatan Perang
4. Aggression kejahatan Agresi
Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya. Sampai Juli 2001, 37 negara telah meratifikasinya dan 139 menyatakan
persetujuannya. Jumlah ini tidak termasuk Indonesia. Dalam Statuta ini juga menjelaskan beberapa hal tentang struktur mahkamah, jenis pelanggaran,
penyelidikan dan penuntutan, persidangan dan hukuman serta beberapa hal penting lainnya. Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu negara yang
menjunjung nilai kemanusiaan merupakan salah satu negara bersama dengan China dan Irak yang menolak disahkannya Statuta Roma. Beberapa mahkamah
yang telah dibentuk untuk berbagai kasus pelanggran adalah sebagai berikut
34
a International Criminal Tribunal for Yugoslavia ICTY, dibentuk pada
tahun 1993. :
b International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, dibentuk DK PBB
pada tahun 1994.
D. Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts humanity dalam Piagam