Penerapan Yuisdiksi Universal Atas Pelaku Kejahatan

BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME

EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN CRIMES AGAINTS HUMANITY

A. Penerapan Yuisdiksi Universal Atas Pelaku Kejahatan

Mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan Crimes Againts humanity maka eksistensinya kini tidak dapat diragukan lagi, sebab sudah diakui luas oleh masyarakat internasional. Jadi dalam hal ini timbul problema yakni, siapa atau negara mana yang dapat mengadili dan menjatuhkan hukuman bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan Crimes Againts humanity, maka yang mendasar tentang hal tersebut adalah berkaitan dengan masalah yurisdiksi negara dalam hukum internasional. Maksudnya ialah; bahwa lembaga peradilan internasional atau negara mana yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini, yakni apakah tunduk terhadap yurisdisi negara tempat terjadinya, negara tempat timbulnya korban, maupun negara tempat sipelakunya bersembunyi atau mencari perlindungan, atau negara dimana sipelaku berkewarganegaraanberkebangsaan. Ataukah semua negara didunia ini memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut. 44 Dalam karakter dari kejahatan terhadap kemanusiaan itu yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara, tidak mengenal perbedaan atas dasar ras, agama, suku, etnis, latar belakang ataupun keyakinanan politik,maka oleh 44 Gultom Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, 2006, hal 157 Universitas Sumatera Utara karenanya terdapat menyebabkan terjadinya tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan secara universal, maka adalah tepat jika atas kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut diberlakukan yurisdiksi universal. Berdasarkan dalam yurisdiksi universal ini, jika ditinjau dari hukum internasional, berarti bahwa setiap negara berhak, berkuasa, ataupun wewenang mengadili sipelakunya, tanpa memandang siapapun pelakunya atau siapapun para korbannya, juga tanpa memandang tempat dimana peristiwa itu terjadi, serta kapan saja terjadinya. Berkenan dengan waktu atau kapan terjadinya, berarti yurisdiksi universal ini mengesampingkan azas kada 45 Sebelum pembahasan secara lebih mendalam tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan penerapan yurisdiksi universal atas pelaku kejahatan pada umumnya ini, maka sebaiknya terlebih dahulu memahami tentang pengaturannya dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional. Yakni; Pertama, dari kedua Statuta peradilan internasional telah menegaskan eksistensinya atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini dalam hukum internasional positif. Penegasan ini lebih ditujukan sebagai yurisdiksi untuk mengadili dari kedua badan peradilan tersebut. Kedua, seperti yang telah dinyatakan dalam butir-butir kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah ditegaskan dalam kedua Statuta badan peradilan tersebut, maka ada beberapa diantaranya sudah diatur tersendiri didalam sebuah perjanjian atau konvensi interansional dan negara-negara yang sudah meratifikasinya ada juga yang sudah mentranformasikannya kedalam hukum atau undang-undang pidana nasionalnya. Ketiga, bahwa ada beberapa atau sebahagian luarsa lewat waktu. 45 Ibid, Universitas Sumatera Utara dari kejahatan-kejahatan yang tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah diatur jauh sebelumnya atau sesudahnya, didalam hukum pidana nasional dari sebahagian besar negara-negara meskipun isi dan jiwanya tidak persis sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang ditegaskan didalam kedua Statuta peradilan tersebut. Dengan demikian sepanjang menyangkut beberapa jenis kejahatan terhadap kemanusiaan seperti ditegaskan didalam kedua Statuta dari kedua badan peradilan internasional tersebut, ataupun kejahatan-kejahatan lain yang mengandung aspek pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diatur didalam konvensi-konvensi tersendiri, ada beberapa konvensi itu yang sudah memberlakukan yurisdiksi unversal. Secara teoritis, sipelaku kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari proses dan tuntutan hukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Hal ini sangat positif karena dengan dianutnya atau diberlakukannya yurisdiksi universal terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan maka kesadaran hukum dan rasa keadilan umat manusia sudah tersalurkan. Akan tetapi, bahwa hukum internaional hanya sebatas memberikan yurisdiksi atau hanya memberikan hak, kekuasaan, atau kewenangan kepada negara-negara untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya dinegaranya masing- masing untuk mengadili sipelaku kejahatan tersebut. Yang kemudian, terserah kepada masing-masing negara dalam mentansformasikannya lebih lanjut didalam hukum atau peraturan perundang- undangan pidana nasionalnya serta mengimplementasikannya didalam ruang lingkup wilayahnya. Universitas Sumatera Utara Jika terperinci dengan jelas, bahwa pada umumnya perjanijan-perjanjian internasional termasuk konvensi-konvensi yang berkenan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam suatu perjanjian internasional itu untuk dapat menjadi hukum internasional positif maka perjanjian internasional itu membutuhkan persetujuan sejumlah minimum tertentu dari negara-negara untuk terikat atau yang lebih populer dengan istilah sebutan ratifikasi. Semakin banyak yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut yang dilakukan oleh negara- negara maka akan semakin positif bagi eksistensi dari perjanjian hukum internasional tersebut. Namun, dalam prakteknya untuk memenuhi jumlah minimal tertentu dari negara-negara yang meratifikasinya bahwa hal tersebut harus dibutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan bertahun-tahun. Penyebabnya adalah karena negara-negara memiliki kebebasan apakah akan menyatakan persetujuannya untuk terikat atau tidak, dan juga bebas untuk menentukan kapan menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Jadi, bahwa faktor waktu merupakan suatu kendala yang paling awal bagi suatu perjanjian internasional termasuk konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan untuk memperoleh status baru yakni menjadi huku m internasional positif. Namun, jika sudah menjadi hukum internasional positif, maka perjanjian internasional hanyalah mengikat terhadap negara-negara yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sudah meratifikasinya saja. Dan negara-negara lain yang belum atau mungkin menolak untuk meratifikasinya tentulah negara Universitas Sumatera Utara tersebut tidak terikat atau dengan perkataan lain negara-negara tersebut diluar dari perjanjian atau konvensi internasional. Jika hanya hanya sedikit negara-negara yang terikat, dan sebahagian besar tidak atau belum terikat maka secara kuantitatif sudah mengurangi efektitas perjanjian internasional tersebut. Negara-negara yang tergolong tidak terikat pada perjanjian atau konvensi internasional tersebut karena belum atau tidak meratifikasinya, dan negara-negara tersebut juga tidak memikul beban atau kewajiban yang bersumber dari perjanjian atau konvensi internasional yang bersngkutan. Bagi negara-negara yang sudah meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional berarti bahwa negara tersebut sudah terikat, dan dinegaranya sendiri sudah menjadikan perjanjian atau konvensi internasional tersebut kedalam bagian hukum nasionalnya, dengan mentransformasikannya atau menjabarkan ketentuan perjanjian atau konvensi internasional tersebut kedalam hukum nasional. Hal demikian ini sangatlah penting karena memang ada perjanjian atau konvensi internasional yang tidak bisa diterapkan secara langsung didalam ruang lingkup teritorial negara yang sudah meratifikasinya, yang dalam hal ini termasuk perjanjian atau konvensi internasional yang berhubungan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Untuk dapat diterapkan terhadap sipelakunya maka substansinya pada perjanjian atau konvensi internasional semacam inilah yang harus dijabarkan lagi kedalam hukum pidana nasionalnya. Yang mana, ketentuan hukum atau undang-undang pidana nasional inilah yang dapat diterapkan sebagai hukum nasional positif terhadap sipelaku kejahatan tersebut. Hal yang demikian Universitas Sumatera Utara itu sangatlah penting penting untuk ditekankan karena berlakunya azas nullum dellictum dalam hukum pidana yang juga sudah diakui sebagai azas hukum yang berlaku secara universal. Dalam kenyataan juga terdapat fakta ada negara-negara yang sudah meratifikasi atau menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian atau konvensi internasional, termasuk diantaranya berhubungan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan ternyata masih belum menjabarkan atau mentransformasikan ketentuan konvensi tersebut kedalam hukum atau undang- undang pidana nasionalnya. Sebagai akibatnya dari perjanjian atau konvensi internasional yang demikian itu meskipun sudah menjadi bagian dari hukum nasional dari negara yang bersangkutan, dalam ruang lingkup nasionalnya ternyata perjanjian atau konvensi internasional yang telah dijabarkan kedalam hukum nasional tersebut akhirnya tidak befungsi sebagaimana mestinya atau tidak berguna sama sekali jadinya bagi negara yang bersangkutan itu. Maka hukum nasional yang telah dijabarkan itu pun dianggap tidak lebih dari peraturan hukum yang hanya sekedar merupakan ornamen atau dekorasi hukum belaka. Dan apabila jika terjadi suatu kasus atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik pada waktu perang maupun bukan pada waktu bukan perang ataupun damai belum tentu suatu negara ataupu negara- negara yang sudah meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional yang telah mentransformasikannya kedalam hukum atau undang-undang pidana nasionalnya akan mengambil tindakan nyata, misalnya dengan mengadili sendiri sipelaku kejahatannya. Hal ini disebabkan karena dalam kasus-kasus semacam ini Universitas Sumatera Utara seringkali faktor politik sangat mempengaruhi dan bahkan sangat menentukan. Dimensi-dimensi politiknya kadang-kadang sangat besar, baik dimensi politik internal maupun eksternal atau internasional. Kendala politik dari penerapan hukum positifnya akan lebih jelas tampak jika dalam kasus atau peristiwa tersebut terlibat pihak penguasa atau pemegang kekuasaan. Pihak penguasa akan berusaha menunda-nunda, dan menghalangi atau menghambat penerapan hukumnya, yang demikan itu justru dengan penerapan hukumnya seperti itu maka pihak penguasa itu sendiri akan dapat terancam eksistensinya. Seperti dalam suatu hipotesis yang berlaku sampai sekarang ini bahwa ‘semakin besar keterlibatan penguasa atau kekuasaan dalam suatu kasus, semakin sulit hukum akan menembus atau menjangkaunya.’ Jadi, bahwa berlakunya yurisdiksi universal bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini sebenarnya sangat ideal sekali,namun dalam kenyataannya bahwa prakeknya tidaklah mudah. Kendala utamanya terletak pada faktor kedaulatan negara state sovereignty karena dalam banyak hal banyak diwarnai oleh aspek-aspek politik ketimbang aspek-aspek legal-formal.

B. Ekstradisi Pada Pelaku Pada Umumnya