masih banyak pelaku kejahatan yang tidak dapat penghormatan dan perlindungan atas hak-haknya. Oleh sebab dikarenakan, dalam proses penyerahannya
berlangsung dengan singkat dan cepat tanpa banyak prosedur atau formalitas yang harus diikuti. Orang yang bersangkutan diserahkan oleh pihak kepolisian dari
negara yang berhasil menemukan dan menangkap dan selanjutnya dibawa ke negara yang mencarinya itu. Jadi, orang yang bersangkutan itu tidak lebih
daripada sekedar sebagai obyek saja yang sepenuhnya tunduk pada kehendak dari kedua kepolisian negara tersebut. Sama halnya seperti proses permintaan dan
penyerahan sipelaku kejahatan melalui mekanisme ekstradisi yang memang sudah memiliki landasan legal formal yang sangat kuat, proses permintaan dan
penyerahan pelaku kejahatan Interpol ini juga telah memliki landasan legal formal yang juga sama kuatna yakni berupa perjanjian kerja sama antar kepolisian
dinegara-negara yang terlembagakan.
C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi
Umumnya untuk pengaturan tentang yurisdiksi negara atas kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun kejahatan-kejahatan lain yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan didalam konvensi-konvensi internasional adalah yurisdiksi universal. Bahkan dalam perkembangannya konvensi-konvensi
semacam ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan ekstradisi atas sipelakunya, jika negara-negara yang menjadi pihak atau peserta dalam konvensi tersebut
belum terikat pada suatu perjanjian ekstradisi bilateral maupun multilateral. Beberapa diantaranya ada yang mengesampingkan azas kadaluarsa, jadi kapanpun
Universitas Sumatera Utara
kejahatan itu dilakukan maka sipelaku masih dapat diekstradisi dan diadili atas perbuatannya itu.
Jika dilihat dari segi pengaturannya, didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi tampaknya tidak atau belum ada perjanjian-perjanjian ekstradisi
bilateral maupun multilateral yang menegaskan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk
meminta penyerahan sipelakunya. Yang ada hanyalah jenis-jenis kejahatan yang secara konvensional dan tradisional sudah diakui dan diatur didalam hukum
pidana masing-masing negara yang menjadi pihak atau peserta didalam suatu perjanjian ekstradisi. Namun, beberapa jenis kejahatan tersebut termasuk kedalam
ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan murder dan perbudakan enslavement. Akan tetapi, penegasan tentang kejahatan pembunuhan
dan perbudakan ini yang dimaksud adalah bukan dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan. Jadi, yurisdiksinya bukan berdasarkan atas yurisdiksi
universal melainkan yurisdiksi personal atas kewarganegaraan aktif maupun pasif. Secara teoritis, bahwa sipelaku kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa
diekstradisi dengan penerapan yurisdiksi universal. Adapun landasan hukum untuk mengekstradisikannya bukanlah pada perjanjian internasional tertulis
tentang ekstradisi, melainkan pada hukum kebiasaan internasional hukum internasional tidak tertulis tentang ekstradisi. Berdasarkan hukum kebiasaan
internasional bahwa negara-negara meskipun belum terikat pada perjanjian ekstradisi maka negara tersebut dapat melakukan ekstradisi termasuk ekstradisi
atas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.
Universitas Sumatera Utara
Masalah-masalah yang bersangkutan paut dengan ekstradisi seperti yang dipaparkan diatas tersebut merupakan suatu hal yang dihadapin oleh para pihak
negara-negara yang terlibat dalam kasus ekstradisi, termasuk ekstradisi atas sipelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal demikian disebabkan karena, azas-
azas ekstradisi tetap harus ditaati oleh para pihak yang melakukan ekstradisi berdasarkan pada kebiasaan hukum internasional tentang ekstradisi.
Berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Ada beberapa yang patut dipahami, yakni;
1. Jika sipelaku kejahatan tersebut sekaligus juga merupakan sipelaku
kejahatan tersebut adalah penguasa atau merupakan bagian dari pemerintah yang sedang berkuasa tampaknya akan sangat kecil
kemungkinan pemerintah tersebut akan mengabulkan permintaan ekstradisi dari pihak atau negara yang memintanya. Akan lainnya jika
sipelakunya adalah lawan politik dari pihak penguasa. 2.
Jika sipelaku melarikan diri kenegara ketiga setelah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dinegaranya sendiri atau diwilayah
negara lain, dia tentu saja akan memilih negara yang diyakini akan memberikan perlindungan terhadapnya. Misalnya, seorang yang
menganut paham komunisme yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan disuatu negara, dia tentu saja akan berusaha melarikan diri
kenegara yang menganut paham komunisme. 3.
Jika ada negara yang mengajukan permintaan ekstradisi berdasarkan yurisdiksi universal atas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dia
Universitas Sumatera Utara
akan berlindung dibalik kejahatan politik. Bahwa kejahatan yang ditegaskan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dijadikan
alasan untuk meminta penyerahannya, tergolong sebagai kejahatan politik. Dalam ekstradisi maka sipelaku kejahatan politik tidak boleh
diserahkan atau dengan kata lain permintaan negara peminta harus ditolak oleh negara yang diminta, jika kejahatan yang dijadikan alasan
untuk meminta penyerahannya merupakan kejahatan politik.
47
Meskipun tentang pengertian dan ruang lingkup dari kejahatan politik tersebut hingga kini masih belum ada kepastiannya, dan memang masih tidak
dapat diformulasikan dengan pasti. Namun dalam praktek pelaksanaannya ialah yang menentukan apakah kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta
penyerahan oleh negara peminta tergolong kejahatan politik ataukah kejahatan biasa adalah negara yang diminta. Sudah dapat dipastikan bahwa hasil penentuan
tersebut sangat subyektif. Jika alasan orang yang diminta atau sipelaku kejahatan yang berlindung dibalik kejahatan politik dan ternyata dibenarkan oleh negara
diminta negara tempatnya mencari perlindungan, maka selamatlah orang itu dari proses penuntutan dan penghukuman negara peminta.
Dalam perkembangannya terakhir ini, muncul usaha-usaha untuk menghapuskan sifat politik dari kejahatan terhadap kemanusiaan maupun
kejahatan-kejahatan lain yang berkenaan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat didalam suatu ketentuan dari konvensi yang mengaturnya maupun
didalam perjanjian bilateral tentang ekstradisi. Jadi, apapun motif, maksud, tujuan
47
Gultom Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, 2006, hal 21.
Universitas Sumatera Utara
politiknya, serta suasana politik yang mewarnai terjadinya kejahatan semacam itu maka semua itu haruslah diabaikan, agar negara diminta maupun pelakunya tidak
dapat berlindung dibalik kejahatan politik untuk menolak permintaan dari negara peminta sehingga sipelakunya dapat diekstradisikan. Dalam prakteknya, suatu
negara tidak mudah untuk dipaksa menyerahkan sipelaku kejahatan, sebab selalu saja ada aspek politik yang menjadi pertimbangan untuk tidak menyerahkan.
Kecuali adanya pengaruh tekanan-tekanan internasional yang dilakukan secara terus menerus melalui berbagai cara perundingan secara diplomasi.
Sepertinya memang bahwa upaya yang paling efektif untuk memaksa suatu negara yang menolak mengekstradisikan sipelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah melalui penekanan-penekanan internasional yang dilakukan secara terus menerus. Tetapi hal inipun tidak terlepas dari suatu dilemma juga.
Yakni, negara manakah yang menjadi pelindung terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dan negara atau negara-negara manakah yang melakukan
penekanan. Jika yang menjadi pelindung adalah negara-negara yang relatif lemah maka tentulah lebih mudah untuk menekannya. Sebaliknya jika yang menjadi
pelindung adalah negara yang kuat apalagi negara adikuasa super power atau negara yang menjadi sekutunya maka tentulah sulit untuk menekannya.
D. Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap kemanusiaan Oleh Mahkamah Pidana Internasional Berdasarkan Yurisdiksi Universal
Dalam upaya mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atas yurisdiksi universal tampaknya lebih efektif melalui badan peradilan
internasional, baik itu badan peradilan yang bersifat ad hoc ataupun badan
Universitas Sumatera Utara
peradilan yang bersifat permanen. Badan peradilan ad hoc, misalnya International Military Tribunal Nurenberg 946, Internasional Military Trybunal Tokyo
1948, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia Den Haag 1994, dan International Criminal Tribunal for Rwanda Arusha Tanzania 1993.
Sedangkan yang bersifat permanen ialah International Criminal Court ICC yang berkedudukan diDen Haag.
Melalui dua badan peradilan ad hoc tersebut telah dapat diadili dan dijatuhi hukuman serta beberapa diantaranya masih dalam proses pemeriksaan,
atas diri beberapa orang yang dituduh sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, dalam kedua badan peradilan ad hoc yang terakhir ini
hanya mampu mengadili pelaku-pelaku yang sebagian besar adalah mereka adalah yang tergolong tingkat bawahan. Sedangkan mereka yang tergolong tingkat
pimpinan, seperti Rodovan Karadjzick dan Jenderal Radco Mladic Serbia, hingga kini masih dengan aman berada dinegaranya. Hal dikarenakan mereka
didalam negerinya sendiri mendapat dukungan kuat karena memang kepemimpinannya diterima dan dihormati oleh rakyatnya, bahkan dipandang
sebagai pahlawan. Jadi, eksistensi orang yang bersangkutan didalam negerinya justru sangat kuat sehingga menjadi lebih sulit untuk mengajukannya kehadapan
badan peradilan ad hoc. Mengenai dalam kondisi tersebut, sangat mustahil mengharapkan
pemerintah negaranya akan bersedia secara sukarela menyerahkannya ke hadapan badan peradilan ad hoc tersebut. Kecuali jika terjadi perubahan politik dan
pemerintahan yang radikal di negara bersangkutan tersebut, dimana penguasa
Universitas Sumatera Utara
yang lama digulingkan dan pemimpin-pemimpinnya ditangkap atau ditahan oleh pemerintah baru yang haluan politiknya berbeda dengan pemerintahan lama yang
digulingkan tersebut. Itupun jika pemerintah baru tersebut bersedia secara suka rela menyerahkan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan semacam itu
kehadapan badan peradilan ad hoc itu. Sebaliknya jika tidak bersedia menyerahkannya dan akan mengadili sendiri berdasarkan hukum nasionalnya
pelaku yang melakukan kejahatan tersebut. Sedangkan di proses peradilannya melalui Mahkamah Pidana
Internasional yang dibentuk pada malam tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional Internasional Criminal
Court, akhirnya mendapat tahap penentuan dihadapan konferensi Diplomatik PBB diRoma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998
48
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional ini memiliki sejarah yang sangat panjang Mahkamah Pidana Internasional Ad Hoc yang pertama dibentuk
pada tahun 1474 untuk hakim Peter Von Hagenbach atas kejahatan yang dilakukan selama penyerangan terhadap kota Breisach. Ide pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional kembali dicetuskan pada abad ke-19 oleh Gustave Moynier mengenai pelanggaran-pelanggaran hakim atas konvensi
Jenewa tahun 1864 .
49
Kegagalan didalam membentuk pengadilan internasional setelah perang Dunia I, yang telah terbayarkan dengan dibentuknya Peradilan Militer
Internasional Nurenberg dan Peradilan Militer Internasional Tokyo yang dibentuk
48
Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: Elsam. Hal. VIII
49
www.iccnow.org
Universitas Sumatera Utara
setelah perang dunia II dan telah menghukum beberapa lusin penjahat internasional, dari hal inilah menjadi dasar bagi kejahatan-kejahatan internasional.
Peradilan Ad Hoc dibekas negara Yugoslavia dan di Rwanda yang telah beroperasi selama lebih kurang 10 tahun, telah menunjukkan betapa berguna dan
penting keadilan bagi kejahatan-kejahatan internasional. Dengan hal ini telah membuka jalan untuk membentuk peradilan yang lebih permanen.
Tahun 1989, Trinidad dan Tobago mengajukan kepada PBB untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional yang permanen yang mengadili
perdagangan obat-obat terlarang. Dari hal tersebut diatas dapat dilihat bahwa komunitas internasional sudah
melakukan berbagai tindakan yang menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk dibentuknya suatu mahkamah pidana Internasional. Dimana Mahkamah Pidana
Internasional yang ingin dibentuk adalah bersifat permanen yang berbeda dengan peradilan pidana internasional yang telah dibentuk sebelumnya.
Pembahasan mengenai Statuta Roma yang menjadi landasan berdirinya Mahkamah Pidana Internasional telah dimulai sejak tahun 1995, dimana draft dari
Statuta Roma itu dipersiapkan dan diadopsi oleh Komisi Huku m internasional International Law Commission pada Juli tahun 1996. Berdasarkan inisiatif dari
perwakilan umum PBB, komite Ad Hoc telah bertemu sebanyak dua kali pada tahun 1995 diNew York kantor pusat PBB untuk membahas draft dari statuta
yang diajukan oleh komisi hukum internasional. Pada tahun 1995, perwakilan umum PBB memutuskan untuk membentuk komite persiapan untuk
menyelesaikan draft statuta untuk diajukan didepan konferensi diplomatik.
Universitas Sumatera Utara
Komite persiapan ini bertemu sebanyak dua kali pada tahun 1996, dan tiga kali pada tahun 1997, dan pertemuan terakhir pada bulan Maret April tahun 1997,
untuk menyelesaikan semua draft statuta ini.
50
Dari tanggal 15 Juni sampai tanggal 17 juli 1998
51
Pada tanggal 1 Juli 2002 , perwakilan dari 160
negara, dan disaksikan 250 organisasi non-pemerintah NGOs-NonGovernmentl Organizations, bertemu diRoma untuk membahas perjanjian untuk mendirikan
Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen. Setelah melewati perundingan yang alot selama 5 bulan, maka konferensi diplomatik mengadopsi
Statuta Roma untuk mendirikan Mahkamah Pidana Internasional dengan melalui pemungutan suara yaitu 120 mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain.
52
Mahkamah Pidana Internasional mulai berlaku secara efektif berdasarkan Pasal 126 statuta Roma, yang dideklarasikan pada
tanggal 17 Juli 1998 diRoma, Italia. Dimana tepat 11 April 2002, genap 60 negara meratifikasi ICCsebagai syarat pemberlakuan. Mahkamah Pidana Internasional
berada disebuah kompleks perkantoran hipermodern De Haagse Arc dipinggiran kota Den Haag, pusat pemerintahan negeri Belanda. Kompleks De haagse Ar c
Cuma sementara sebelum pembangunan kantor tetap dipantai Scheveningen benar-benar selesai
53
50
Final act of the United Nations diplomatic conferene of plenipotentiaries on the establishment of an international criminal court. Icc official website
51
Leila Nadya Sadat and S. Richard Carden. The new international criminal court: an uneasy revolution. Geortgetown Law Journal.2000, hal. 1.
52
Berjalan Menuju Roma Refleksi Berlakunya Statuta Roma. Kompas Online. 2002
53
Gottliep, Sebastian. ICC Resmi Dibuka. 2002. TP.
. Statuta Roma dibagi menjadi 13 bagian,yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Bagian I mencakup kedudukan Mahkamah sebagai suatu lembaga
permanen
54
dan mengenai hubungan Mahkamah dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui suatu perjanjian yang disahkan
oleh Majelis negara anggota statuta
55
ini pada bulan September 2002 dan kemudian akan dilaksanakan oleh Ketua Mahkamah atas
nama Majelis. Pada pembagian ini juga menyebutkan bahwa Mahkamah berkedudukan di Den Haag
56
2. Bagian II meliputi kompetensi dari Mahkamah, yang hanya dibatasi
kepada kejahatan-kejahatn internasional yang mengancam komunitas internasional
, Belanda. Mahkamah juga dapat bersidang ditempat lain apabila dianggap diperlukan.
57
54
Article 1 of Rome Statute
55
Ibid. Article 2
56
Ibid. Article 3
57
Ibid. Article 5
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agressi. Mahkamah
hanya berkompetensi terhadap kejahatan tersebut yang dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002. Kasus-kasus bisa diajukan ke
Mahkamah melalui: Dewan Keamanan PBB, negara anggota, Jaksa Penuntut secara ex officio yang melaksanakan tugas berdasarkan
informasi yang didapatkan dari korban, organisasi non pemerintah NGOs atau sumber-sumber lain yang dapat dipercaya. Ketika kasus
diajukan keMahkamah baik oleh negara anggota maupun oleh Jaksa Penuntut secara ex officio, Mahkamah hanya diperbolehkan
melaksanakan yurisdisinya apabila teritorial tempat
Universitas Sumatera Utara
diberlakukannya kejahatan atau negara dimana pelaku kejahatan adalah warga negaranya, telah mertifikasi Statuta maupun menerima
kompetensi dari Mahkamah dalam arti melalui deklarasi yang dicatat oleh Kepaniteraan Mahkamah
58
. Tanpa ragu-ragu, bahwa prinsip yang paling utama dalam Mahkamah adalah menganut
yurisdiksi nasionalitas dan Mahkamah hanya diperbolehkan melaksanakan yurisdiksinya apabila negara yang bersangkutan tidak
bersedia atau tidak mampu untuk mengadili pelaku tindak pidana yang termasuk kedalam yurisdiksi Mahkamah
59
3. Bagian III meliputi prinsip-prinsip umum hukum pidana
.
60
dan mencakup pertanggung jawaban perorangan, dalam hal ini
pertanggung jawaban oleh negara dan badan hukum perusahaan dan asosiasi tidak termasuk didalam kompetensi dari Mahkamah.
Dalam bagian ini juga disebutkan dengan jelas bahwa mahkamah hanya berkompetensi tatas orang-orang yang berusia diatas 18 tahun
pada saat tindak pidana tersebut dilakukan
61
. Kedudukan seseorang, baik sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, maupun jabatan
resmi lainnya tidak membatasi Mahkamah utnuk melaksanakan yurisdiksinya berkaitan dengan orang tersebut
62
4. Bagian IV meliputi komposisi dan administrasi Mahkamah dan
mencakup bahwa Mahkamah tediri dari 18 orang Hakim, 1 orang .
58
Ibid. Article 12
59
Ibid. Article 17
60
Ibid. Article 22,23, 24
61
Ibid. Article 26
62
Ibid. Article 27
Universitas Sumatera Utara
Penuntut Umum, dan 1 orang Kepaniteraan. Hakim dan Penuntut Umum dipilih melalui Majelis negara anggota, dimana
Kepaniteraan dipilih oleh Hakim. Badan-badan didalam Mahkamah terdiri dari
63
: Kepresidenan 1 orang ketua dan 2 orang wakil ketua, Divisi Banding, Divisi Pengadilan, dan Divisi Pra-Pengadilan,
Kantor penuntut Umum, Kepaniteraan. Bahasa kerja adalah Bahasa Inggris dan Perancis. Bahasa resmi adalah bahasa Inggris, bahasa
Arab, Bahasa Mandirin, Bahasa Perancis, Bahasa Spanyol, Bahasa Rusia
64
5. Bagian V meliputi Penyelidikan dan Penuntutan dan mencakup
dimulainya penyelidikan yang merupakan wewenang dari Penuntut Umum dibawah pengawasan dari kamar pra-peradilan yang terdiri
dari 1 sampai 3 orang Hakim tergantung dari fungsi-fungsinya. Penuntut Umum
.
65
harus memndengarkan saksi-saksi pada tahap pra-peradilan termasuk didalam melakukan penuntutan dan
perlawanan. Kamar pra-peradilan
66
berwenang didalam mengeluarkan perintah untuk melakukan penahanan dan panggilan
untuk ke Mahkamah
67
. Tahap penyelidikan dan penuntutan berakhir dengan konfirmasi tuduhan sebelum persidangan
68
63
Ibid. Article 34
64
Ibid. Article 50
65
Ibid. Article 54
66
Ibid. Article 57
67
Ibid. Article 58
68
Ibid. Article 61
, dalam hal ini
Universitas Sumatera Utara
memutuskan untuk melanjutkan atau menolak tuduhan dan memindahkan terdakwa kepengadilan.
6. Bagian VI meliputi Kamar Pengadilan, Kamae Pengadilan terdiri
dari 3 orang hakim. Bahwa Mahkamah tidak akan menjalankan proses pengadilan tanpa kehadiran dari tertuduh. Hak-hak dari
tertuduh
69
dan korban
70
telah disebutkan dengan jelas, seperti bahwa teruduh harus didampingi oleh pengacara secara cuma-Cuma
dalam hal ini ia tidak mampu dan perlindungan terhadap saksi dan korban serta keikutsertaan mereka didalam persidangan. Syarat-
syarat pengambilan keputusan harus diambil dengan suara terbanyak
71
. Pertama kali didalam sejarah Mahkamah Pidana Internasional bahwa Mahkamah menjamin adanya kompensasi
kepada korban, seperti rehabilitasi dan restitusi
72
7. Bagian VII meliputi Hukuman. Pidana mati tidak termasuk didalam
hukuman, dimana penjara seumur hidup merupakan jenis hukuman yang tertinggi. Pengadilan juga dapat menambahkan denda selain
dari pada pidana penjara ini dan penyitaan .
73
69
Ibid. Article 67
70
Ibid. Article 68
71
Ibid. Article 74
72
Ibid. Article 75
73
Ibid. Article 77
terhadap keuntungan, properti atau aset, yang didapatkan baik secara langsung maupun
tidak langsung dari kejahatan yang dilakukan. Pengadilan juga memerintahkan sebagai kelanjutan dari denda dan penyitaan ini
Universitas Sumatera Utara
dimasukkan kedalam Trust Fund
74
8. Bagian VIII meliputi Permohonan Banding dan Peninjauan
Kembali. Banding diajukan ke divisi Banding, yang terdiri dari 5 orang hakim. Seseorang yang diputus bersalah harus mengajukan
banding ke divisi Banding untuk meninjau keputusan mengenai hukuman final yang akan diberikan dalam hal ada bukti-bukti
baru. Dalam hal terjadi kesalahan dalam pemahaman atau pemberian hukuman maka Mahkamah akan
memberikan kompensasi
yang didirikan oleh Majelis negara anggota pada bulan September tahun 2002 sesuai dengan
statuta ini dan diberikan kepada para korban maupun keluarga korban.
75
9. Bagian IX meliputi kerja sama internasional dan bantuan hukum
dan mencakup bahwa negara anggota harus bekerja sama penuh dengan Mahkamah dalam hal penyerahan orang yang diadili oleh
Mahkamah atau dalam pencarian bukti-bukti .
76
74
Ibid. Article 79
75
Ibid. Article 85
76
Ibid. Article 87
. Dalam hal ini juga negara anggota juga harus menyesuaikan hukum nasionalnya
mengenai masalah kerja sama ini. Mahkamah juga dapat mengajukan permintaan kerja sama kepada negara bukan anggota
dari statuta ini dalam bentuk ad hoc ataupun kepada organisasi antar pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
10. Bagian X meliputi pelaksanaan dari hukuman dan ukuran-ukuran
penyitaan juga mencakup penempatan terpidana di penjara dari daftar negara-negara yang telah menyatakan kesediaannya untuk
ditempatkan terpidana tersebut
77
. Mahkamah sendiri memiliki kekuasaan untuk mengurangi hukuman dan akan memberikan
keputusan apabila orang tersebut memiliki hak untuk itu seperti telah manjalani 23 dari keseluruhan hukumannya atau telah
menjalani hukuman selama 25 tahun bagi terpiana hukuman penjara sumur hidup
78
11. Bagian XI meliputi majelis Negara Anggota, yang terdiri dari 1
orang wakil dari setiap negara anggota . Selain dari kondisi ini Mahkamah sama sekali tidak
diperbolehkan untuk memeriksa kembali.
79
77
Ibid. Article 103
78
Ibid. Article 110
79
Ibid. Article 112
. Setiap negara anggota memiliki satu hak pilih. Negara-negara lain yang telah menanda
tangani Statuta atau Final Act of The Rome Diplomatic Conference juga dapat duduk di Majelis sebagai peninjau. Majelis akan
berwenang untuk memilih Hakim dan Jaksa Penuntut, menetapkan anggaran, apabila diperlukan untuk menambahkan Hakim. Majelis
juga menjalankan peraturan legislatif yang penting, seperti halnya Majelis memiliki wewenang untuk mengadopsi peraturan tentang
prosedur dan bukti-bukti, juga termasuk elemen-elemen dari kejahatan-kejahatan internasional. Majelis bertemu sekurang-
kurangnya 1 kali dalam 1 tahun, Majelis memiliki kantor sendiri
Universitas Sumatera Utara
yang terdiri 1 orang Presiden, 2 orang Wakil Presiden, dan 18 orang Hakim.
12. Bagian XII meliputi Pendanaan, seperti peraturan keuangan
80
, pembayaran biaya-biaya
81
, Mahkamah juga menerima sumbangan sukarela
82
13. Bagian XIII meliputi Klausul Penutup. Sekretaris Jenderal PBB
akan meninjau Statuta ini setelah 7 tahun berlaku yaitu pada tahun 2009. Statuta ini akan berlaku sejak ratifikasi oleh negara keenam
puluh dari pemerintah, organisasi internasional, perorangan,
perusahaan, dan badan-badan lain.
83
Maksud dan tujuan dari Mahkamah Pidana Internasional tercantum dalam Preamble Statuta Roma, antara lain
.
84
a. Menghukum pelaku kejahatan internasional yang paling serius
yang menjadi perhatian masyrakat internasional secara keseluruhan.
:
b. Memutuskan mata rantai kekebalan hukum impunity bagi para
pelaku kejahatan internasional yang paling serius. c.
Mencegah terjadinya kejahatan internasional yang paling serius. d.
Sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB, dalam hal semua negara harus menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan
kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik
80
Ibid. Article 113
81
Ibid. Article 114
82
Ibid. Article 116
83
Ibid. Article 126
84
Lembaga Studi Advokasi Masyarakat. Op. Cit. Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
suatu negara, atau dengan suatu cara lainyang tidak sesuai dengan maksud PBB.
e. Membentuk suatu Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat
permanen dalam hubungan dengan sistem PBB, dengan yurisdiksi atas kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional secara keseluruhan. f.
Menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya keadilan internasional
Mahkamah Pidana Internasional merupakan suatu badan peradilan supranasional yang independen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan
yurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang dicantumkan didalam Statuta, dan Mahkamah merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana
nasional
85
1. Individu yang telah beusia diatas 18 tahun
. Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki yurisdiksi atas:
86
2. Mahkamah menganut jurisdiction rationae personae yaitu yurisdiksi
atas perseorangan tidak termasuk organisasi atau negara. .
87
3. Jabatan resmi sebagai kepala negara atau kepala pemerintah, anggota
pemerintahan atau dewan perwakilan, wakil yang terpilih atau pejabat pemerintah, dalam hal apapun tidak akan membebaskan orang tersebut
dari tanggung jawab pidana
88
85
Article 1 of Rome Statute
86
Ibid. Article 26.
87
Sadat, Leila Nadya, dan carden, S. Richard. Op. Cit. Hal 6.
88
Article 27 of Rome Statute
.
Universitas Sumatera Utara
4. Komandan dan atasan lainnya bertanggung jawab terhadap tindak
pidana yng dilakukan pada saat perang dibawah perintah dan pengawasan mereka
89
Yurisdiksi Mahkamah dibatasi kepada kejahatan yang sangat serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Mahkamah
memiliki yurisdiksi menurut Statuta ini terhadap kejahatan-kejahatan sebagai berikut
.
90
a. Genosida.
:
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
c. Kejahatan perang.
d. Kejahatan Agresi.
Salah satu objek yang menarik dari Statuta Roma sebagai suatu dokumen konstitutif adalah menggabungkan kompetensi memeriksa yurisdiction to
prescibe, kompetensi mengadili yurisdiction to adjudicate, dan kompetensi untuk memaksakan hukuman yurisdiction to enforce didalam satu instrumen
91
89
Ibid. Article 28
90
Ibid. Article 5
91
Sadat, Leila Nadya,S. Richard. Op. Cit. Hal 6. Lihat Juga: Restatement of the Foreigh Relations Law of the United State 1987.
. Ketiga kategori yurisdiksi ini yang dikenal didalam huku internasional telah
mentransformasikan norma meliputi negara mana yang akan menjalankan kekuasaannya atas siapa dan didalam kondisi bagaimana kedalam suatu norma
yang memuat bahwa dalam kondisi bagaimana komunitas internasional khususnya negara anggota Statuta Roma bisa menjalankan tugas untuk
Universitas Sumatera Utara
memeriksa, mengadili kejahatan-kejahatan internasional,dan menerapkan hasil dari pradilannya
92
Pada dasarnya Mahkamah memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadili terhadap individu yang telah berumur diatas 18 tahun pada saat tindak
pidana tersebut dilakukan .
93
Mahkamah juga menganut prinsip yurisdiksi universal didalam menjalankan kompetensi memeriksa dan mengadili dari Mahkamah
. Mahkamah dalam hal ini juga membatasi kompetensi untuk mengadili hanya kepada individu, jadi dalam hal ini asosiasi, perusahaan,
partai politik, dan pemerintah bukan merupakan kompetensi dari Mahkamah.
94
Statuta Roma juga membatasi kompetensi dari Mahkamah dalam hal kompetensi memeriksa dan mengadili baru bisa dilaksanakan setelah Statuta
Roma ini resmi berlaku yaitu tanggal 1 July 2002 . Sebagai
contoh dalam hal Mahkamah menerima pelim pahan kasus dari Dewan Keamanan PBB, maka dalam hal ini Mahkamah akan dimintakan untuk memberikan putusan
terhadap kejahatan-kejahatan internasional dinegara manapun didunia ini.
95
Jadi, berdasarkan dalam prakondisi untuk menerapkan yurisdiksi Mahkamah. Dibawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah
situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi pihak dalam Piagam PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas
untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapat persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya, rujukan dari negara pihak dan
.
92
Ibid. Hal 7
93
Kennet, S. Gallant, Jurisdiction to Adjudicate and Jurisdiction to Prescribe in Internasional Criminal Court. 2003. Villanova Law Riview. Hal 13..
94
Sadat, Leila Nadya, dan Carde, S. Richard. Op. Cit. Hal 8.
95
Kennet. S. Gallant. Op. Cit. Hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
penyelidikan propio motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah ditekan, maka Mahkamah dapat melangkah maju hanya
jika situasi yang ada melibatkan peristiwa yang terjadi didalam wilayah sebuah negara yang menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu
sendiri Pasal 12 ayat 2. Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta, meskipun negara tersebut dapat
menunda penerimaannya atas yurisdiksi atas yurisdiksi kejahatan selama tujuh tahun Pasal 124 atau dengan cara menanda tangani deklarasi ad hoc yang
menyatakan menerima otoritas Mahkamah Pasal 12 ayat 1 dan 3. Banyak, atau bisa dibilang kebanyakan, negara yang diwilayahnya banyak terjadi tindak
kejahatan sebagaimana yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut,
bukanlah termasuk pertama-tama yang menandatangani Statuta Roma ini. Prakondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti
bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan. Namun pada akhirnya bisa tercapai
sebuah kesepakatan yakni mengenai universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan
efektif. Ada dukungan yang luas dalam konferensi ini untuk mengikut sertakan
negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yurisdiksi Mahkamah. Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka, dan
negara dimana korban adalah warga negaranya. Tekanan dari Amerika Serikat dan
Universitas Sumatera Utara
negara-negara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini, dan menghasilkan kesepakatan yang hanya sekedar mendekati. Jika mengikut sertakan
kesepakatan yang hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta ini,
Mahkamah tidak mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang melakukan kejahatan genosida yang sedang berada dalam tahanan
disebuah negara penanda tangan. Ini juga sekaligus meniadakan beberapa yurisdiksi yang lain. Mengikut sertakan negara korban menjadi warganya, juga
akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah, memberi perlidungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara peratifikasi
yang sedang melakukan misi kenegara non peratifikasi. Mahkamah bisa menerapkan yurisdiksinya atas kejahatan yang menimpa pasukan penjaga
perdamaian, walaupun terjadi diwilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang tidak menerima yurisdiksi Mahkamah. Ironinya, negara-negara yang
paling kukuh membatasi jangkauan Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga
perdamaian iternasional. Disisi kelompok pembela HAM berargumen bahwa prinsip “yurisdiksi
universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yurisdiksi universal adalah sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas, yang menyatakan
bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku kejahatan-kejahatan tanpa perlu memperdulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaraan. Sebagai contoh
praktis, kemampuan Mahkamah untuk menentukan kejahatan apa saja yang
Universitas Sumatera Utara
masuk yurisdiksinya akan bisa ditingkatkan jika diberi yurisdiksi universal. Tak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini akhirnya, dengan prakondisi yang
“ketat” untuk penerapan yurisdiksinya, merefleksikan kemunduran substansial dari yurisdiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecawakan selama
konferensi.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN